
Hilmi Setiawan, SABAH
KABUT tipis menyelimuti jalan raya yang menghubungkan pusat Kota Tawau dengan areal perkebunan kelapa sawit Merotai (21/8). Sirene mobil Voorijder rombongan Mendiknas Mohammad Nuh yang meraung-raung memecah keheningan jalan sepanjang 50 kilometer yang beraspal mulus itu. Di dalam perkebunan kelapa sawit tersebut, tinggal ribuan kepala keluarga tenaga kerja Indonesia (TKI). Setelah tinggal belasan tahun, mereka kini sudah beranak pinak. Tak heran, areal perkebunan sawit Merotai juga dipenuhi anak-anak TKI usia sekolah. Tetapi, muncul masalah besar dengan keberadaan anak-anak para TKI tersebut. Salah satunya adalah masalah akses pendidikan. Catatan dari Konsulat Republik Indonesia di Tawau menyebutkan, anak-anak TKI di Tawau berjumlah lebih dari 40 ribu.
Dari jumlah tersebut, yang bisa mengenyam pendidikan setingkat SD tidak sampai separo. Sedangkan yang mengenyam pendidikan SMP hanya sekitar 500 anak. Itu pun, pendidikan SD dan SMP-nya hanya nonformal. Dengan begitu, ijazah yang mereka peroleh hanya ijazah seperti kejar paket A dan B.
Setelah rombongan menteri tiba, anak-anak yang belajar di pusat kegiatan belajar mengajar (PKBM) perkebunan kelapa sawit Merotai langsung berjajar rapi. Mereka menyambut kedatangan Nuh dengan tabuhan rebana. Seluruh siswa lantas memadati PKBM yang hanya terdiri atas tiga ruang kelas itu. Di antara para siswa PKBM Merotai yang baru saja naik ke tingkat SMP, ada Nuranita binti Nuddin. Bocah kelahiran Makassar, 12 Desember 1995, tersebut tinggal di perkebunan sawit itu sejak berumur dua bulan. Dia ikut Nuddin, ayahnya, dan Rosmiati, ibunya, yang bekerja sebagai buruh di tempat tersebut. Ya, meski usianya sudah 16 tahun, dia baru masuk kelas setara SMP. Padahal, umumnya, anak seusia dia minimal sudah kelas 1 SMA.
Sambil bercerita tentang pengalaman belajar di dalam perkebunan sawit, bulir-bulir keringat muncul di kening Nuranita. Maklum, dia ikut rombongan penabuh rebana yang menyambut kedatangan Nuh. ”Ini sekolah saya. Kondisinya sudah lebih baik,” kata dia dengan logat Melayu. Penggemar musik Indonesia itu menuturkan, setahun terakhir pendidikan bagi anak-anak TKI di sejumlah perkebunan sawit di Tawau sedikit meningkat. Itu terjadi karena sudah ada PKBM yang membuka layanan belajar setingkat SMP. ”Sebelumnya, tidak ada. Setelah lulus SD, ya tidak sekolah,” jelas Nuranita, lantas bertepuk tangan untuk menyambut pidato wakil KBRI Kuala Lumpur yang menggebu-gebu.
Nuranita menceritakan, anak-anak lulusan SD tidak bisa sekolah di jenjang SMP milik pemerintah Malaysia. Dari segi infrastruktur, sekolah tingkat SD di Tawau masih terbatas. Namun, tidak demikian tenaga pendidik atau guru. Selama ini, PKBM-PKBM itu telah memiliki cukup guru dari Malaysia dan Indonesia. Kebanyakan guru dari Malaysia mengajarkan mata pelajaran eksak. Sedangkan guru dari Indonesia bertugas mengajarkan pendidikan kewarganegaraan (PKn), bahasa Indonesia, dan pendidikan agama. Di antara guru asal Indonesia yang ikut nimbrung dalam agenda safari Ramadan Nuh, ada Ibnu Hajar. Guru kelahiran Jambi, 18 Agustus 1965, itu menuturkan bahwa pemerintah Indonesia memiliki sistem yang bisa menjaga ketersediaan guru di Tawau. Yakni, sistem perekrutan dan kontrak selama dua tahun. ”Kontrak saya habis tahun depan,” ujar PNS di lingkungan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Jambi itu.
Dengan blak-blakan, Ibnu menuturkan kepincut mengajar di pedalaman Tawau karena iming-iming gaji besar. Ayah Intan Morina, 16, dan Bobi Kurnia Hajar, 14, tersebut menyatakan, selama dikontrak dua tahun dirinya digaji Rp 15 juta per bulan. Gaji itu cukup besar jika dibandingkan dengan gajinya sebagai PNS yang tidak lebih dari Rp 5 juta.
Setelah bersaing dengan peminat guru yang lain, Ibnu dinyatakan lolos. Dengan tekad kuat, dia berangkat ke Tawau. Dia meninggalkan keluarga kecilnya di Jambi. Ibnu menyempatkan pulang kampung enam bulan sekali. Dari hitung-hitungan finansial, Ibnu mengatakan bahwa gaji Rp 15 juta per bulan itu lebih dari cukup. Sebab, untuk bisa hidup tidak sengsara dan tidak berlebihan, dia cukup merogoh kocek Rp 4 juta sampai Rp 5 juta. Dengan pengeluaran sebesar itu, Ibnu sudah bisa menggilir menu, mulai telor, ikan, hingga daging. Jika dari sektor pendapatan Ibnu merasa cukup, tidak demikian kebutuhan batinnya. Untuk mengatasi rasa rindu dengan sang istri dan anak, dia memilih berpuasa. ”Jika sudah berpuasa, semua sudah lupa. Tinggal berfokus ke urusan mengajar,” jelas dia.
Ibnu lantas menuturkan kurikulum pendidikan yang diberikan kepada anak-anak TKI. Pada tahun pertama, pelajaran PKn yang diberikan terkait dengan pengenalan pulau-pulau Indonesia. Ibnu cukup kaget ketika awal-awal mengajar. Sebab, saat itu anak-anak TKI tersebut mengenal Indonesia hanya terdiri atas satu pulau. Yaitu, Pulau Sulawesi. ”Setelah saya telusuri, kebanyakan TKI di sini berasal dari Bugis,” ungkap Ibnu.
Akhirnya, secara perlahan Ibnu menjelaskan kepada para siswa didiknya bahwa Indonesia terdiri atas ribuan pulau. Mulai yang besar-besar hingga yang kecil-kecil. Meskipun ada siswa kelas I SD yang sudah berumur belasan tahun, Ibnu mengatakan butuh waktu lebih dari satu semester untuk membuat mereka benar-benar hafal dan paham tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Setelah berhasil mengenalkan pulau-pulau Indonesia, misi Ibnu selanjutnya adalah mulai menanamkan budaya-budaya Indonesia. Sebagian di antara materi yang paling ditekankan adalah penanaman budaya ramah tamah dan sopan santun. Menurut Ibnu, anak-anak TKI yang lahir dan besar di perkebunan sawit cenderung berperilaku kurang sopan. ”Mereka tidak sungkan-sungkan melompat dan naik ke pundak guru,” terang dia. Ibnu menduga, perilaku sehari-hari di keluarga berperan besar dalam membentuk sikap kurang sopan itu. Dia menjelaskan, sejak pagi buta mereka ditinggal ayah dan ibu masing-masing untuk bekerja di kebun kelapa sawit. Anak-anak dibiarkan keluyuran dan bermain bersama anak sebaya tanpa ada yang menjaga dan mengawasi. Setelah budi pekerti khas Indonesia tertanam, selanjutnya mereka diajari tentang sejarah. Misalnya, diperkenalkan dengan pahlawan-pahlawan pejuang kemerdekaan. Selain itu, mereka mulai diperkenalkan dengan lagu kebesaran Indonesia Raya. Menurut Ibnu, pelajaran yang paling sulit diterima anak-anak TKI adalah pelajaran bahasa Indonesia. ”Penyebabnya adalah perbedaan persepsi tentang sebuah kata,” jelasnya. Dia mencontohkan, anak-anak para TKI itu lebih mengenal kata menjemput dengan arti mengundang daripada menjemput dengan arti mendatangi. (*/c11/nw).