Oleh Chindy Hanggara Rosa Indah (Mahasiswa Pascasarjana UNISMA Malang)
.
Abstrak
Generasi muda Indonesia percaya bahwa kemampuan berbahasa Inggris mutlak diperlukan dalam era globalisasi ini untuk bisa bersaing di bursa kerja nasional maupun internasional (Artini, 2006; Lamb, 2002). Sayangnya, pembelajaran bahasa Inggris di sekolah, sampai saat ini belum cukup membekali lulusan sekolah menengah atas dengan bahasa Inggris yang sesuai dengan kebutuhan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai akibatnya, banyak siswa yang berusaha dengan kesadaran sendiri meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris mereka, baik dengan mengikuti kursus maupun dengan belajar sendiri melalui berbagai sumber yang mudah didapatkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dengan menonton film atau membaca bacaan dalam bahasa Inggris. Masalahnya adalah, tidak semua siswa hidup dalam lingkungan dimana sumber belajar bahasa Inggris bisa didapatkan dengan mudah. Siswa di daerah perkotaan biasanya jauh lebih beruntung dibandingkan dengan siswa di pedesaan dalam hal lingkungan belajar berbahasa Inggris yang kondusif. Makalah ini merupakan bagian kecil dari sebuah penelitian besar yang akan memaparkan langkah-langkah apa saja yang bisa di rancang pada tingkat sekolah untuk membantu setiap siswa dalam mengoptimalisasi potensi berbahasa asing (Inggris). Langkah yang dimaksud mencakup lima variabel Dynamic Qualities yaitu kecepatan belajar (personal learning rate), pilihan gaya dan strategi belajar (preferred learning styles and learning strategies), keinginan untuk berhasil (success-need), persepsi diri tentang belajar (self-view as a language learner), serta hubungan dengan guru (relations with teachers).
Kata Kunci: Dynamic qualities, potensi berbahasa Inggris.
Pendahuluan
Era globalisasi dewasa ini sarat dengan berbagai bentuk persaingan global. Hal ini disadari penuh oleh dunia pendidikan Indonesia yang merespon persaingan global tersebut dengan cara memfokuskan pembangunan pendidikan nasional pada tiga hal, yaitu: (1) pemerataan dan perluasan akses pendidikan, (2) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan, dan (3) penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik (Depdiknas, 2006). Berbagai upaya untuk mencapai ketiga landasan pendidikan nasional ini telah diupayakan. Sehubungan dengan peningkatan mutu, misalnya, semua aspek yang dianggap berpengaruh terhadap peningkatan mutu telah mendapat perhatian dan penanganan yang serius. Berbagai bentuk perlakuan, pelatihan dan pendidikan bagi guru, sebagai salah satu komponen penting penentu mutu, juga telah dimaksimalkan. Dari segi sarana prasarana, usaha pemerintah juga tidak kurang. Berbagai terobosan dan fasilitas belajar telah diupayakan sehingga mutu pendidikan bisa ditingkatkan. Selain itu, melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), pemerintah juga telah menetapkan standar yang pasti tentang bagaimana pendidikan di setiap jenjang dilaksanakan dan apa saja kompetensi minimal yang harus dicapai oleh setiap lulusannya (BSNP, 2005).
Acuan dan arah yang jelas dari sistem pendidikan nasional seyogyanya mempermudah setiap satuan pendidikan dalam penyelenggaraan proses pembelajaran bagi peserta didik. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah salah satu bentuk penjabaran standar pendidikan yang mengacu pada standar pendidikan dengan peluang untuk memasukkan potensi lokal ke dalamnya. Potensi lokal yang dimaksud adalah pertimbangan terhadap kemampuan akademis peserta didik di setiap satuan pendidikan dan kebutuhan daerah dimana suatu sekolah berada. Dengan adanya KTSP, setiap sekolah memiliki otonomi untuk menentukan standar kompetensi tambahan yang ingin dicapai serta strategi pembelajaran yang diterapkan untuk mencapai kompetensi minimal dan tambahan tersebut.
Adanya otonomi sekolah dalam menentukan langkah-langkah strategis dalam rangka mencapai standar pendidikan yang sudah ditetapkan pemerintah memberi peluang kepada sekolah untuk mengakomodasi keadaan / kondisi riil dan kebutuhan daerah dimana sekolah itu berada. Selain itu langkah strategis harus menjembati antara harapan / target kurikulum dengan harapan siwa tentang belajar. Salah sartu kondisi nyata yang perlu dipertimbangkan adalah kebutuhan siswa untuk mampu berbahasa Inggris dalam konteks kehidupan sehari-hari. Kemampuan berbahasa Inggris ini tidak saja untuk memenuhi tuntutan untuk meraih masa depan yang lebih baik, tetapi secara umum akan meningkatkan mutu dan daya saing sumber daya manusia (SDM) generasi muda Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, mata pelajaran bahasa Inggris, dalam era persaingan global ini, bisa dianggap sebagai salah satu mata pelajaran terpenting. Hal ini disebabkan karena bahasa asing tersebut menyandang status sebagai bahasa internasional. Sebagai bahasa yang bisa dipakai dalam kancah ekonomi, sosial, iptek, maupun politik, penguasaan terhadap bahasa ini akan menjadi sebuah nilai plus bagi SDM Indonesia. Sementara itu, saat ini ada semakin banyak sekolah mengejar status sekolah berstandar internasional dimana salah satu indikatornya adalah penguasaan bahasa Inggris.
Berdasarkan sejarah pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia, Bahasa Inggris sudah dianggap sebagai bahasa yang wajib ‘diajarkan’ di sekolah sejak kemerdekaan Indonesia tercapai pada tahun 1945 (Jazadi, 2004). Berbagai upaya terus menerus untuk meningkatkan penguasaan siswa Indonesia terhadap bahasa asing tersebut telah diupayakan, tetapi sampai saat ini berbagai penelitian menyimpulkan bahwa profisiensi berbahasa Inggris lulusan sekolah menengah atas di Indonesia belum menggembirakan (Alisjahbana, 1990; Dardjowidjojo, 2000; Depdiknas, 2002; Kartasasmita, 1997; Ki Supriyoko, 2004; Kweldju, 2004; Lie, 2004; Sadtono, 1983; Soedrajat, 1997; Tomlinson, 1990). Dengan kata lain, lulusan SMA yang sudah belajar bahasa Inggris paling tidak selama enam tahun, belum bisa diharapkan mampu menggunakan bahasa tersebut dalam kehidupan nyata (Lie, 2004).
Berdasarkan analisis yang dilakukan Artini (2006), kekurang berhasilan siswa Indonesia dalam menguasai Bahasa Inggris erat hubungannya dengan tiga kondisi sebagai berikut:
(i) Status bahasa Inggris secara nasional
(ii) Status bahasa Inggris di tingkat sekolah.
(iii) Budaya sekolah
(i) Status bahasa Inggris secara nasional
Indonesia adalah negara yang secara linguistik sangat kaya karena memiliki lebih dari 300 bahasa daerah (Encyclopedia Indonesia, 2005). Sejak kemerdekaan Indonesia, bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu dan bahasa nasional. Bahasa Inggris memiliki status sebagai bahasa asing sehingga hanya menjadi sebuah mata pelajaran di sekolah saja. Dengan kata lain, Bahasa Inggris tidak memiliki fungsi sosial di masyarakat (Mistar, 2005).
Dampak dari status yang disandang oleh bahasa Inggris ini adalah bahwa bahasa ini tidak dipergunakan secara luas di Indonesia. Siswa belajar bahasa ini hanya di dalam kelas saja sebagai mata pelajaran yang tidak berbeda dari mata pelajaran yang lain, baik dari segi cara belajar dan mengajar maupun dari segi penilaian hasil belajarnya. Cara belajar masih lebih banyak melibatkan hafalan dan pemahamanm terhadap aturan, rumus, kata-kata maupun istilah.
(ii) Status bahasa Inggris di tingkat sekolah.
Di tingkat sekolah bahasa Inggris tidak lebih dari salah satu dari mata pelajaran yang wajib dipelajari oleh siswa. Sudah menjadi pengetahuan bersama, bahwa kecuali untuk jurusan Bahasa, nilai rendah dalam mata pelajaran bahasa Inggris tidak merupakan ancaman bagi siswa untuk tidak naik kelas. Walaupun begitu, siswa memiliki keharusan untuk serius dalam mata pelajaran ini karena Bahasa Inggris adalah salah satu mata pelajaran yang diujikan secara nasional. Dengan kata lain, Bahasa Inggris tidaklah memiliki status yang istimewa dibandingkan dengan mata pelajaran lain selain bahwa dia merupakan satu diantara enam mata uji ujian nasional.
(iii) Budaya Sekolah
Disadari atau tidak, pendidikan sekolah identik dengan proses belajar yang terjadi di dalam kelas dengan kehadiran guru dan siswa dengan seperangkat kegiatan yang berlangsung secara rutin (Sulaiman & Gasim, 1998). Sementara itu, hasil penelitian tentang pendidikan di sekolah yang dilakukan oleh USAID (2003) melaporkan bahwa kegiatan yang berlangsung di dalam sekolah memiliki pola sebagai berikut:
• Guru mengajar dengan cara ‘berceramah’ dan siswa bekerja di papan tulis sementara siswa lainnya menonton dengan pasif. Kegiatan semacam ini menyita sekitar 60%dari jam pelajaran.
• Siswa mengerjakan tugas (task) baik secara individual maupun kelompok, atau mengerjakan tes (30%)
• Tidak ada pelajaran karena guru absent atau siswa terlibat dalam kegiatan yang bersifat ‘accidental, misalnya gotong royong, persiapan perayaan hari nasional atau perayaan lainnya (10%).
Pola kegiatan di kelas seperti di atas terjadi hampir di semua sekolah dan pada semua mata pelajaran, termasuk bahasa Inggris. Dalam kelas bahasa Inggris, kegiatan lebih didominasi oleh pengerjaan dan pembahasan tugas seputar pemahaman bacaan, penjelasan grammar atau latihan kosa kata. Porsi waktu yang disediakan untuk latihan penggunaan bahasa Inggris secara komunikatif sangat kecil meskipun Kurikulum terbaru sekarang ini menekankan pembelajaran bahasa Inggris pada pencapaian kompetensi berbahasa Inggris. Salah satu penyebab utama masih dipertahankannya pembelajaran bahasa secara tradisional ini adalah karena target akhir dari pembelajaran adalah untuk sukses dalam ujian nasional seperti yang dikatakan Musthafa (2001) dan Nilan (2003).
“In Indonesian schools, pupils are encouraged to learn by rote and produce lists of facts in compulsory examinations, an approach which neither stimulates creativity, nor provides better foundations in English …” (Nilan, 2003:128).
Kutipan di atas lebih menekankan bahwa cara pembelajaran bahasa Inggris yang dialami oleh sebagian besar siswa di Indonesia tidak mendorong adanya kreatifitas berbahasa yaitu keinginan berdasarkan kesadaran sendiri untuk mengembangkan kemampuan untuk menggunakan bahasa yang dipelajarinya dalam konteks nyata.
Priyono (2004:22) mengatakan bahwa sebagian besar dari siswa di Indonesia hanya mendapat pengalaman belajar bahasa Inggris di dalam kelas dimana guru merupakan satu-satunya sumber input berbahasa. Sementara itu, guru bahasa Inggris umumnya hanya tergantung pada buku teks sebagai satu-satunya sumber belajar dan mengajar.
Identifikasi Masalah Pembelajaran Bahasa Inggris di SMA di Indonesia
Dari paparan latar belakang permasalah tersebut di atas maka masalah utama dalam pembelajaran bahasa Inggris di sekolah secara umum dan di SMA secara khusus adalah:
1. Proses pembelajaran dan pengalaman belajar bahasa Inggris hanya berlangsung di kelas dimana guru berperan sebagai satu-satunya sumber input berbahasa
2. Dalam kelas bahasa Inggris, fokus pembelajaran lebih ditekankan pada penguasaan grammar dan pemahaman bacaan daripada kompetensi komunikatif. Jadi siswa tidak cukup mendapat kesempatan untuk mengembangkan kreatifitas berbahasa.
3. Target pembelajaran adalah pencapaian nilai ujian nasional yang memuaskan dimana materi ujian tidak mencakup kelancaran (fluency) berbahasa tetapi hanya kebenaran (accuracy) berbahasa yang dinilai dari aturan grammatika yang standar.
Ketiga permasalahan utama tersebut bisa menjelaskan mengapa lulusan SMA yang paling tidak sudah belajar bahasa Inggris selama enam tahun tidak bisa diharapkan mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris dalam konteks kehidupan sehari-hari. Sementara itu, hasil penelitian di provinsi Bali dan Sumatra menemukan bahwa siswa SMA sebagai generasi muda memiliki sikap positif dalam belajar bahasa Inggris. Sebagian besar dari generasi muda tersebut menganggap bahwa bahwa Bahasa Inggris adalah bahasa yang sangat penting karena bisa menjadi aset untuk meraih masa depan yang baik (Artini, 2006; Lamb, 2002).
Sehubungan dengan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah, siswa SMA di Bali menunjukkan pemahaman bahwa belajar bahasa Inggris sebenarnya tidak sama dengan belajar mata pelajaran lain di sekolah. Mereka menyadari bahwa untuk bisa mempelajari bahasa Inggris yang sebenarnya mereka perlu melakukan usaha extra selain belajar dari sekolah, karena sekolah tidak cukup membekali mereka dengan bahasa Inggris yang diperlukan dalam kehidupan nyata. Motivasi untuk belajar tambahan di luar sekolah disebabkan oleh harapan / ekspektasi mereka untuk memiliki masa depan yang lebih baik apabila memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang baik.
Usaha ekstra (extra efforts) yang dilakukan oleh siswa di Bali bisa jadi merupakan phenomena yang terjadi pada generasi muda di provinsi atau kota lain di Indonesia. Adanya ‘mismatch’ antara target pembelajaran bahasa Inggris dengan harapan siwa dalam belajar bahasa Inggris berdampak terhadap berkembangnya self-direction dalam belajar bahasa Inggris. Yang dimaksud dengan self direction disini adalah usaha dan arah yang ditentukan sendiri oleh siswa dalam usaha tambahan yang dilakukannya untuk mencapai kompetensi berbahasa Inggris untuk kepentingan mendapat pekerjaan atau memiliki masa depan yang lebih baik.
Adapun jenis usaha tambahan atau extra efforts yang dilakukan oleh siswa di Bali bisa dibedakan menjadi dua yaitu:
• Berdasarkan sumber belajar (Learning resources)
Yang dimaksud disini adalah segala sumber atau sarana belajar yang diacu siswa untuk meningkatkan kompetensi berbahasa Inggris baik berupa benda hidup maupun tidak hidup. Sehubungan dengan sumber belajar ini, usaha tambahan yang biasanya banyak dilakukan oleh siswa di Bali antara lain: membaca buku atau majalah, menonton film / acara tv, mendengarkan acara radio berbahasa Inggris, atau belajar dari guru privat atau kursus.
• Tujuan Belajar
Yang dimaksud disini adalah usaha ekstra yang diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Misalnya apabila siswa ingin mengembangkan kemampuan menulisnya, maka mereka melakukan usaha / latihan sendiri berupa kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan menulis, misalnya mengisi buku harian dan menulis surat. Untuk kemampuan berbicara siswa sering melakukan kegiatan , bercakap-cakap dengan turis / orang asing / penutur asli bahasa Inggris yang ada di sekitar mereka, menirukan lagu-lagu berbahasa Inggris atau berbicara sendiri di depan cermin.
Rumusan Masalah
Dari permasalahan tersebut di atas, bisa dibayangkan bahwa siswa yang berusaha keras dengan kemauan sendiri dan didukung oleh fasilitas dan lingkungan memadai untuk belajar sendiri akan memiliki harapan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggrisnya. Tetapi masalahnya tidak semua siswa memiliki kondisi atau keberuntungan untuk mendapat fasilitas atau lingkungan belajar yang mendukung keinginannya untuk mencapai kompetensi berbahasa Inggris yang memadai. Siswa yang berada di sekolah yang berlokasi di pedesaan atau yang berasal dari keluarga yang kurang mampu sudah tentu mengalami hambatan untuk bisa berbahasa Inggris yang baik. Untuk itu, sekolah sebagai institusi pendidikan formal dimana siswa menghabiskan sebagian besar dari waktunya untuk belajar seharusnya melakukan sesuatu untuk mengakomodasi harapan siswa untuk memiliki kompetensi berbahasa Inggris. Membantu siswa mencapai kompetensi berbahasa Inggris tidak saja berarti memberi kecakapan hidup (life skill) kepada mereka secara individual tetapi sekaligus memberi andil terhadap peningkatan mutu dan daya saing SDM Indonesia.
Streven (1977) telah membuktikan bahwa setiap individu yang tidak memiliki kesulitan dalam pemerolehan bahasa ibunya sebenarnya memiliki potensi berbahasa kedua dan / atau berbahasa asing. Yang dimaksud dengan potensi berbahasa kedua adalah kemungkinan kemampuan pemerolehan (acquisition) bahasa lain selain bahasa yang diperoleh seseorang sejak mereka belajar bahasa pertamakali, yaitu bahasa yang dipakai oleh ibunya sejak dia bayi. Bahasa lain tersebut bisa berupa bahasa kedua (bahasa lain yang juga dipakai di lingkungan masyarakat dimana seseorang tinggal) atau bahasa asing, yaitu bahasa lain yang tidak digunakan sebagai alat komunikasi oleh penduduk di negara dimana dia tinggal.
Dalam hal potensi berbahasa, setiap individu memiliki dua kualitas yang membedakannya dari orang lain. Kedua kualitas tersebut terdiri dari:
1. Kualitas statis (static qualities) yang merupakan bawaan sejak lahir dan dari lingkungan keluarga yang tidak banyak bisa diubah melalui pendidikan formal di sekolah (misalnya stamina belajar, kemauan untuk berusaha, dan pengalaman berbahasa).
2. Kualitas dinamis (Dynamic Qualities) yang bisa berubah atau mengalami penyesuaian dengan kondisi atau keadaan dimana proses belajar itu terjadi. Ada lima variabel kualitas dinamis, yaitu:
• Kecepatan belajar (personal learning rate),
• Pilihan gaya dan strategi belajar (preferred learning styles and learning strategies),
• Keinginan untuk berhasil (success-need),
• Persepsi diri tentang belajar (self-view as a language learner), dan
• Hubungan dengan guru (relations with teachers).
Dynamic qualities seperti yang disebut di atas, dipercaya bisa dikembangkan dan dipengaruhi oleh proses belajar mengajar di sekolah. Pengkondisian belajar yang didukung dengan sarana/prasarana serta strategi pembelajaran yang inovatif akan membantu siswa untuk mengembangkan potensi berbahasa Inggris yang sudah dimilikinya sehingga mereka bisa menggunakan bahasa tersebut secara kreatif dan komunikatif dalam konteks nyata. Jadi rumusan masalah yang menjadi fokus bahasan dalam makalah ini adalah:
1. Usaha apakah yang bisa dilakukan di tingkat Sekolah Menengah Atas untuk mengembangkan dynamic qualities siswa sehingga bisa mengoptimalisasi potensi berbahasa Inggris yang mereka miliki?
2. Bagaimana strategi pembelajaran efektif yang bisa dirancang guru untuk meningkatkan dynamic qualities dan potensi berbahasa Inggris siswa selama di dalam kelas?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas maka perlu dilakukan telaah pustaka tentang faktor-faktor penentu keberhasilan belajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Faktor-faktor yang dimaksud terutama yang berhubungan dengan perbedaan individu, karena selama ini penelitian tentang faktor penyebab ketidakberhasilan pemebelajaran bahasa Inggris lebih ditekankan pada variabel ‘inanimate’ (sarana prasarana, teknik dan metode dalam PBM atau kebijakan di bidang pendidikan) dan ‘animate’ (guru, pengawas, menejemen sekolah dan pendidikan).
Faktor penentu Kualitas Hasil Belajar Bahasa Inggris
Salah satu teori yang dikutip oleh banyak peneliti tentang faktor penentu keberhasilan belajar bahasa asing adalah Good Language Learning (GLL Theory) (Naiman, Frohlich, Todesco, and Stern,1978). Menurut teori ini, ada banyak faktor yang saling berinteraksi yang menjadi penentu keberhasilan belajar bahasa asing (Bahasa Inggris). Faktor-faktor yang dimaksud terdiri dari Guru dan Proses Mengajar (teacher and teaching), Pebelajar (learner), Proses Belajar (learning) dan Konteks Belajar (Learning Context). Dari segi guru dan Proses Mengajar, variabel penentu adalah materi, silabus, metode, sumber belajar. Guru memiliki peran yang sangat penting karena merekalah yang memiliki otoritas untuk menjabarkan tuntutan kurikulum dan silabus dalam langkah-langkah nyata di kelas.
. Guru harus bisa merancang rencana pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum dan menetukan metode dan strategi belajar yang membuat siswanya bisa belajar secara efektif dan menyenangkan.
Pebelajar (learner) sendiri juga merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan belajar. Masing-masing siswa hadir di kelas dengan beberapa ‘atribut’ yang memang sudah melekat pada mereka sebagai mahluk individu dan sosial. Mereka membawa perbedaan yang bersifat internal seperti misalnya: umur, IQ, aptitude, motivasi, attitude, kepribadian, dan cognitive styles. Perbedaan ini tentu tidak bisa diabaikan begitu saja dalam PBM. Menurut teori ini pebelajar dianggap sebagai salah satu dari tiga variabel bebas yang berperan besar dalam menentukan hasil belajar (adapun dua variabel bebas lainnya guru+PBM dan konteks belajar). Hasil Belajar (Learning Outcome) sebagai variabel terikat meliputi ketrampilan berbahasa yang mencakup mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis.
Belajar (learning) didefinisikan sebagai suatu proses yang bisa dilakukan secara tidak sadar (subconscious) maupun sadar (conscious). Proses yang dilakukan secara tidak sadar maksudnya adalah belajar yang terjadi secara alamiah tanpa disadari sepenuhnya oleh pebelajar bahwa mereka sebenarnya sedang belajar. Sebaliknya, proses yang sadar adalah proses belajar yang secara sadar dilakukan dalam bentuk tingkah laku atau tindakan atau strategi untuk mempelajarai sesuatu.
Konteks belajar juga merupakan salah satu faktor penentu. Pebelajar bahasa Inggris yang ada di negara dimana bahasa Inggris digunakan oleh anggota masyrarakat setempat (ESL) tentu akan meiliki strategi belajar dan hasil belajar yang berbeda dengan pebelajar yang berada di daerah dimana bahasa yang dipelajari tidak dipakai dilingkungannya (EFL). Dalam konteks ESL (English as a Second Language), pebelajar dihadapkan dengan belajar bahasa tidak hanya di sekolah tetapi juga di lingkungannya. Sementara di konteks EFL (English as a Foreign Language), pebelajar hanya mendengar dan mempelajari bahasa tersebut di dalam kelas.
Teori faktor penentu keberhasilan belajar di atas menekankan pada adanya hubungan sebab akibat dari sejumlah variabel yang mengiidentifikasikan betapa kompleksnya penelitian tentang pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing. Ada sejumlah variable yang saling terkait sehingga penelitian yang hanya melihat satu variabel saja cenderung menghasilkan temuan yang kurang bisa dipertanggungjawabkan.
Perbedaan Individu dalam belajar bahasa Asing (Inggris)
Penelitian di bidang pendidikan (Educational Research) belakangan ini memberi perhatian yang besar terhadap pebelajar (sebagai individu) dan proses belajarnya. Trend penelitian seperti ini didasari oleh kesadaran akan perlunya pemahaman proses belajar dari sudut pandang pelajar (tidak semata-mata dari sudut pandang guru dan ilmu pendidikan saja). Menurut Boekarts (1998:13), pemahaman pebelajar sebagai individu dalam belajar merupakan sebuah langkah penting dalam rangka meningkatkan kualitas hasil belajar. Penelitian yang memfokuskan pada perbedaan individu ini sangat berbeda dengan trend penelitian sebelumnya, yang lebih menekankan pada berbagai strategi / tehnik atau metode mengajar dan pengaruhnya terhadap kualitas hasil belajar.mengajar.
Ada beberapa faktor perbedaan individu yang memiliki peran dalam belajar bahasa asing yaitu:
1. Gender
Penelitian tentang gender dan hubungannya dengan belajar dipelopori oleh kelompok feminist pada tahun 70an atas reaksi adanya ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan dalam kesempatan dan perlakuan di bidang pendidikan. Pada saat itu, siswa perempuan dianggap telah menjadi korban dari diskriminasi sistimatis dari siswa dan guru laki-laki maupun sistem pendidikan dan sekolah. Mata pelajaran dibedakan menjadi dua yaitu mata pelajaran yang maskulin karena lebih cocok untuk laki-laki (misalnya sains dan matematika), dan mata pelajara feminine, karena lebih cocok untuk perempuan (misalnya bahasa dan sejarah) (Francis, 2000:5).
Selanjutnya beberapa penelitian menunjukkan bahwa dalam belajar bahasa asing, pebelajar perempuan memiliki pola strategi yang berbeda secara signifikan dengan pebelajar laki-laki. Beberapa perbedaan yang ditemukan antara lain:
• Pebelajar perempuan lebih peka terhadap suara dan ucapan dalam belajar bahasa asing dan mengasosiasikan apa yang didengar dengan benda atau gambaran yang ada dalam imaginasinya.
• Pada saat bercakap-cakap dengan penutur asli bahasa asing, pebelajar perempuan lebih sering meminta pembicara untuk mengulangi atau mengatakan sekali lagi kata-kata atau ekspresi yang baginya kurang jelas
Temuan di atas menunjukkan bahwa perbedaan gender juga memiliki peran dalam pencapaian hasil belajar bahasa Inggris karena pebelajar laki dan perenpuan punya kecendrungan untuk memilih strategi yang berbeda untuk mempelajari ssuatu yang sama.
2. Persepsi dan Ekspektasi
Shen and Pedulla (2000:1) mendefinisikan persepsi sebagai cara pandang siswa terhadap suatu mata pelajaran yang kemudian menghasilkan suatu penilaian atau ramalan apakah mata pelajaran itu akan bisa pelajari, seberapa besar kemungkinannya untuk berhasil dalam belajar, apa manfaat yang akan didapat dari mempelajari mata pelajaran tersebut, serta masalah apa yang mungkin akan dialaminya pada saat mempelajarinya. Dengan kata lain, persepsi adalah semacam kesadaran secara psikologis tentang manfaat belajar sesuatu baik sebelum, pada saat maupun sesudah mengalami proses belajar.
Pemahaman terhadap persepsi siswa tentang performa akademiknya pada suatu mata pelajaran tertentu merupakan langkah awal yang penting untuk meingkatkan kualitas belajar. Menurut Boekaerts, 1998:13) persepsi akan mengarahkan siswa dalam belajar. Hubungan antara persepsi dan kemampuan akademis sangatlah kuat. (Byrne, 1984; Zimmerman, 1994). Selanjutnya Boekaerts mengatakan bahwa persepsi memiliki peran dalam membentuk ekspektasi belajar. Yang dimaksud dengan ekspektasi disini adalah pendapat pribadi tentang apa yang akan dapat dicapai dimasa mendatang apabila berhasil dalam mempelajari suatu subyek tertentu. Keterhubiungan antara persepsi dan ekspektasi bisa digambarkan sebagai berikut. Seorang siswa merasa bahwa bahasa Inggris sangat penting untuk dipelajari (persepsi) karena kalau dia memiliki ketrampilan berbahasa Inggris yang bagus maka dia akan dengan mudah mendapat pekerjaan di bidang pariwisata (ekspektasi).
3. Sikap (Attitude)
Banyak penelitian dirancang untuk menemukan hubungan atau pengaruh satu atau lebih faktor perbedaan individu terhadap hasil belajar. Corbin and Chiachiere (1997) yang melakukan penelitian tentang hubungan antara sikap (attitude) dengan hasil belajar (achievement) terhadap 349 siswa SMA menemukan bahwa sikap berpengaruh terhadap hasil belajar. Lebih jauh peneliti ini menemukan bahwa gender dan lama belajar juga mempengaruhi hasil belajar secara signifikan. Wright (1999) juga menemukan bahwa gender merupakan ‘predictor’ terkuat dari attitude. Dengan kata lain perbedaan gender berkorelasi secara kuat dengan perbedaan attitude. Khusus dalam pembelajaran Bahasa Inggris sebagai bahasa asing, Kang (2000) menemukan bahwa siswa perempuan menunjukkan sikap yang lebih positif (dibandingkan dengan siswa laki-laki) terhadap belajar bahasa asing. Penelitian yang dilakukan di Bali menghasilkan temuan yang agak berbeda dimana siswa laki-laki dan perempuan secara umum menunjukkan sikap yang positif terhadap bahasa Inggris. Hal ini mungkin diakibatkan karena Bali adalah tempat wisata internasional sehingga baik siswa laki-laki maupun perempuan memiliki ekspektasi yang sama dari belajar bahasa Inggris (Artini, 2006).
4. Motivasi
Ada beberapa cara pengklasifikasian motivasi, salah satunya adalah motivasi intrinsik dan ekstrinsik (Fisher, 1990; Stipek, 2002). Yang pertama didefinisikan sebagai dorongan dari dalam diri individu untuk melakukan atau belajar sesuatu. Sementara itu, motivasi ekstrinsik mengacu pada dorongan yang berasal dari luar individu yang menyebabkannya melakukan / belajar sesuatu.
Saaban and Gaith (2000) menggunakan instrumen penelitian berupa ‘motivation scale’ terhadap 180 mahasiswa yang berasal dari Libanon dan sedang belajar di Amerika untuk mengetahui motivasi, usaha, ekspektasi dan persepsinya terhadap kemampuan belajar bahasa Inggrisnya. Peneliti ini menemukan bahwa mahasiswa Libanon di Amerika memiliki motivasi integratif dalam belajar bahasa Inggris yang tercermin dari usaha, strategi, ekspektasinya untuk mencapai hasil belajar yang tinggi. Selain itu juga ditemukan bahwa mahasiswa perempuan memiliki motivasi yang lebih tinggi daripada mahasiswa laki-laki.
5. Kemampuan belajar
Meskipun kesadaran bahwa setiap individu berbeda dalam hal belajar, sampai saat ini sekolah atau sistem pendidikan masih memperlakukan semua siswa sama. Dengan kata lain, semua siswa dianggap / diasumsikan memiliki kemampuan dan potensi yang sama dalam belajar bahasa Inggris. Akibatnya, semua siswa diajar dengan cara yang sama, mengacu pada buku teks atau materi belajar yang sama. Mereka juga diharuskan mengerjakan pekerjaan / task yang sama dan melalui proses belajar yang sama. Dalam waktu atau jadwal yang sama, siswa dianggap sudah dapat mempelajari sejumlah materi yang sama (Guild, 2001). Pendapat ini sejalan dengan pendapat Skehan (1989) yang mengatakan bahwa pada penelitian tindakan kelas, semua siswa biasanya diasumsikan sama dan proses belajar dianggap sebagai sesuatu yang universal. Pada kenyataannya, siswa di dalam sebuah kelas memiliki rentangan kemampuan belajar yang sangat luas tergantung dari berbagai faktor baik yang bersifat internal maupun ekternal.
Seorang guru pastilah pernah mengamati bahwa beberapa muridnya belajar dengan cepat dan jauh mengungguli teman-temannya yang lain. Banyak juga siswa yang kelihatannya lamban atau sulit mencapai target atau indikator yang sudah ditetapkan oleh guru (Onwuegbuzie, et al., 2000). Guru umumnya menuduh siswa yang kurang berhasil mencapai target sebagai siswa yang malas, kurang semangat, atau bahkan bodoh. Padahal dengan mengacu pada faktor-faktor perbedaan individual di atas, ketidakberhasilan siswa mungkin diakibatkan karena materi atau strategi belajar dan mengajarnya tidak cocok atau apa yang dipelajarinya menurutnya tidak berguna atau tidak menarik.
Teori GLL di atas memberi inspirasi bagi banyak peneliti untuk menemukan karakteristik pebelajar yang baik (good learner) dan yang tidak baik (not good learner). Ada lima strategi yang menjadi pilihan siswa yang tergolong good learners, yaitu:
(i) Aktif dalam penyelesaian tugas (Active Task Approach)
“Good language learners” selalu melibatkan diri secara aktif dalam setiap kegiatan belajar dan pengerjaan tugas yang diberikan guru. (Naiman, et al., 1996:30). Keterlibatan aktif mencakup tingkah laku:
• Merespon secara aktif setiap kesempatan belajar yang disediakan oleh guru
• Memilih atau mengidentifikasi lingkungan belajar yang mendukung proses belajar
• Mengintensifkan strategi belajar dengan cara menambah kegiatan belajar yang lerevan
• Berusaha mencari kesempatan tambahan untuk mempraktekkan penggunaan bahasa asing yang dipelajari
• Menetapkan tujuan belajar dan melakukan kegiatan yang terfokus untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
(ii) Menyadari bahwa Bahasa adalah suatu sistem (Realisation of Language as a System)
“Good language learners’ memiliki kesadaran bahwa belajar bahasa adalah belajar suatu sistem. Pebelajar yang baik mungkin membandingkan bahasa ibunya dengan bahasa baru yang dipelajarinya. Dengan cara ini mereka akan lebih mudah mempelajari tentang aturan bahasa dan aspek lain yang membuat belajar bisa lebih bermakna.
(iii) Menyadari bahwa bahasa adalah alat komunikasi dan interaksi
“Good language learners memiliki kesadaran bahwa bahasa adalah alat untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Kesadaran ini direfleksikan dalam tingkah laku seperti misalnya:
• Mementingkan kelancaran berbahasa (fluency) dari pada keakuratan berbahasa (accuracy)
• Berusaha mencari kesempatan untuk berkomunikasi dengan penutur asli untuk meningkatkan kompetensi komunikatif dalam bahasa Inggris
• Menunjukkan sensitifitas terhadap penggunaan bahasa (termasuk bagaimana bersikap yang benar menurut budaya bahasa yang dipelajarinya)
(iv) Menata situasi emosional (Management of Affective Demands)
“Good language learners memiliki sensitifitas tentang bagaimana menata emosi dalam belajar dan efektif dalam penggunaan waktu. Mereka bisa menyemangati atau menghargai diri sendiri apabila telah melakukan proses belajar dengan berhasil. Penataan emosi diperlukan untuk mempertahankan keberhasilan dalam belajar.
(v) Memonitor kemampuan dalam menggunakan bahasa target (Monitoring of target language performance)
‘Good language learners’ melakukan revisi / pengulangan secara terus menerus terhadap apa yang sudah dipelajarinya. Dengan kata lain, mereka mereka memiliki kesadaran yang tinggi akan perlunya melakukan penyesuaian, klarifikasi, inferensi pada saat mempelajari materi baru. Hal ini dilakukan dengan cara bertanya kepada penutur asli, guru atau orang lainyang menurut mereka memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang bagus.
Selain kelima kriteria ‘good language learner’ di atas, beberapa pilihan aktifitas juga sering dilakukan seperti misalnya::
• Menirukan dengan keras bahasa atau ekspresi yang dipakai oleh penutur asli
• Menyusun kalimat mengikuti pola kalimat yang terdapat pada buku-buku grammar
• Mendengarkan radio, menonton acara TV damn membaca apa saja (Koran, majalah, iklan, brosur, dll) yang memakai bahasa Inggris.
Hasil penelitian tentang karakteristik pebelajar bahasa yang baik seperti yang diuraikan di atas menjadi inspirsi bagi banyak peneliti lain untuk melakukan penelitian yang sama dengan konteks budaya atau bidang ilmu atau mata pelajaran yang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Adult Education Resource and Information Service (ARIS), Australia, (2000) misalnya makin menguatkan bahwa meski berbeda budaya dan kurun waktu, GLL di Australia memiliki karakteristik yang sama dengan yang dilakukan Naiman dkk pada tahun 1978 yang silam. Beberapa tambahan yang diberikan oleh penelitian ARIS yaitu:
• kemampuan menentukan tujuan belajar jangka pendek dan jangka panjang
• kemampuan merencanakan langkah-langkah efektif untuk mencapai tujuan belajar
• kemampuan mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan gaya dan strategi belajarnya
• kemampuan menetapkan prioritas untuk meng’efisien’kan komitmen belajar
• kemampuan mengenali sekaligus memilih gaya dan strategi belajar yang efektif sesuai dengan jenis tugas yang dikerjakan
Penelitian tentang karakteristik GLL yang dilakukan di Jepang (Takeuchi, 2003), selain menguatkan temuan Naiman dkk, juga menemukan perbedaan mendasar antara pebelajar bahasa asing di negara barat dan timur. Penelitian Naiman, dkk (1978) dan ARIS (2000) bisa dikatakan mewakili budaya negara Barat, sedangkan yang di Jepang bisa mewakili negara Asia (Timur). GLL di Jepang memiliki karakteriristik berupa belajar dengan keras dan belajar dengan rajin yang menekankan waktu, intensitas dan keseriusan dalam belajar.
6. Strategi Belajar (Learning Strategies)
Strategi belajar sering diterjemahkan menjadi bagaimana kita belajar (how we learn). Jadi, strategi belajar bahasa Inggris adalah bagaimana pebelajar memilih tingkah laku yang memungkinkan mereka mendapat ilmu dan ketrampilan berbahasa Inggris yang merupakan bahasa target yang dipelajarinya secara efektif. Sebagaimana dijelaskan dalam karakteristik pebelajar bahasa yang baik di atas, seorang pebelajar biasanya mengetahui dan memahami kekuatan dan kelemahan gaya dan strategi belajar yang dipakainya dalam tahapan-tahapan belajarnya. Mereka bisa memahami strategi mana yang efektif untuk belajar apa. Sebaliknya, pebelajar yang tidak baik biasanya tidak memiliki kemampuan untuk mengenali mana strategi belajarnya yang efektif dan mana yang tidak.
Strategi belajar yang diterapkan oleh pebelajar biasanya disadari oleh penggunanya. Selain itu strategi bisa diubah dan disesuaikan dengan tujuan belajar. Karena sifatnya yang fleksibel dan pemakainya menyadari tentang pilihan strategi yang dipakainya, maka strategi belajar merupakan salah satu variabel perbedaan individu yang bisa dipengaruhi oleh strategi mengajar yang diterapkan guru. Dengan kata lain, guru bisa melatihkan strategi efektif kepada siswanya agar tujuan pembelajaran bisa tercapai.
Penelitian kelas yang bertujuan meningkatkan mutu hasil belajar sekarang ini telah mengalami pergeseran fokus, dari guru dan PBM menjadi pebelajar dan proses belajarnya. Perubahan trend ini erat hubungannya dengan berkembangnya ilmu perbedaan individual (Individual Differences / ID) dimana pebelajar sebagai mahluk individu memiliki keunikan tersendiri dalam belajar. Individu satu dan lainnya memiliki perbedaan dari segi gender (laki dan perempuan), persepsi dan ekpektasi belajar, sikap, motivasi, kemampuan belajar, sikap, maupun strategi belajar. Proses pembelajaran yang efektif semestinya mengenali perbedaan diantara pebelajar dan mempertimbangkan perbedaan tersebut dalam perencanaan pembelajarannya.
Berdasarkan uraian kajian putaka di atas, maka perlu dipikirkan cara pembelajaran bahasa Inggris yang tidak dihalangi oleh perbedaan individu, dan semua pebelajar merasa tertantang untuk terus belajar dengan keinginan sendiri. Di bawah ini akan dibahas langkah-langkah apa saja yang bisa diterapkan di tingkat sekolah dan di tingkat ruang kelas.
Analisis Situasi dan Pemecahan Masalah
Pengembangan Dynamic Quality di tingkat sekolah
Berdasarkan rumusan masalah dan kajian pustaka di atas, perlu adanya suatu pembaharuan dalam pembelajaran bahasa Inggris yang efektif dan ‘fair’ bagi semua siswa tanpa terkendala oleh adanya perbedaan gender, persepsi dan ekpektasi belajar, sikap, motivasi, kemampuan belajar, sikap, maupun strategi belajar yang ada di antara mereka. Pembelajaran pembaharuan tersebut hendaknya bisa menjawab tantangan sebagai berikut:
1. Tidak menguntungkan atau merugikan bagi sekelompok siswa.
Materi pembelajaran hendaklah menarik dan bermanfaat bagi semua siswa, tidak hanya pada sekelompok siswa saja. Misalnya materi tentang olah raga akan menguntungkan hanya bagi siswa yang senang dengan olah raga sehingga mereka memiliki latar belakang pengetahuan yang cukup banyak sebelum pembelajaran tentang materi tersebut dilakukan. Bagi pebelajar yang kurang menyukai topik tersebut mungkin tidak bisa menunjukkan hasil belajar yang optimal karena mereka tidak bisa mengembangkan potensi berbahasa yang sudah dimiliki mereka. Tentunya tidaklah adil bila guru mengatakan bahwa kelompok siswa yang tidak suka topik olah raga dan hasil belajarnya rendah sebagai siswa kurang atau bodoh.
2. Tidak monoton dan teramalkan (predictable).
Strategi pembelajaran bahasa Inggris selama ini terkesan monoton karena langkah-langkah yang ditempuh selalu mengikuti pola pre activity – whilst activities – post activities. Siswa sudah bisa menebak pengalaman belajar seperti apa yang akan mereka lalui di dalam kelas. (misalnya berkelompok dan menjawab pertanyaan). Rutinitas yang bisa diramalkan siswa tentu kurang bisa memberi tantangan untuk belajar secara berkelanjutan.
3. Tidak terbatas di dalam kelas saja.
Sampai saat ini, budaya belajar terpaku pada konsep belajar yang hanya terjadi di dalam kelas. Belajar bahasa yang hanya terjadi di dalam kelas, tidak akan cukup membekali siswa dengan life skills berbahasa Inggris. Oleh sebab itu perlu pemikiran bagaimana caranya memvariasikan berbagai teknik dan strategi mengajar yang menyebabkan siswa mencari sendiri sumber belajarnya dan selalu belajar.
4. Tidak hanya menyenangkan bagi sekelompok siswa saja.
Belajar bahasa Inggris sering hanya menyenangkan bagi siswa yang merasa lebih dari yang lainnya dan menarik perhatian guru lebih banyak. Hal ini bisa mengakibatkan keminderan dan rasa kurang percaya diri pada siswa lain yang merasa kurang diperhatikan oleh guru. Pembelajaran bahasa Inggris harusnya memberi peluang sebesar-besarnya bagi semua peserta didik untuk berpartisipasi dan belajar sebanyak mungkin.
5. Tidak hanya cocok untuk siswa di sekolah yang ada di suatu lokasi tertentu saja
Seperti yang diketahui bersama, siswa yang sekolahnya berlokasi di daerah perkotaan biasanya lebih beruntung dari segi sarana, prasarana dan lingkungan belajar dari pada siswa yang berada di lokasi pedesaan. Variabel lokasi sekolah merupakan variabel yang terbukti berpengaruh terhadap strategi belajar siswa. Dalam belajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing, siswa di daerah perkotaan memiliki pilihan strategi belajar yang lebih bervariasi daripada siswa di pedesaan. Di kota siswa dengan mudah bisa mencari tempat kursus yang sesuai dengan kebutuhan belajarnya. Selain itu ada lebih banyak sumber belajar seperti misalnya orang yang memiliki profisiensi bahasa Inggris yang baik, sumber bacaan berbahasa Inggris otentik (misalnya majalah dan surat kabar), dan akses internet. Jadi perlu adanya suatu model pembelajaran yang bisa menjangkau semua siswa secara merata, tidak terkendala oleh variabel lokasi.
6. Tidak hanya berorientasi pada pencapaian nilai yang baik dalam ujian.
Penilaian dan evaluasi itu perlu, tetapi seharusnya tidak membuat belajar menjadi suatu proses yang sempit. Belajar bahasa yang benar adalah belajar bagaimana menggunakan bahasa itu sebagai alat komunikasi, baik secara lisan maupun tulisan. Untuk itu perlu adanya suatu cara pembelajaran yang membuat pebelajar nyaman, meskipun harus ada ujian yang akan diikuti. Oleh sebab itu, bukan hanya pendekatan pembelajaran yang perlu diinovasi tetapi juga cara bagaimana menilai hasil belajar mereka.
Salah satu cara untuk menjawab keenam tantangan terebut diatas adalah dengan mengangkat issue dynamic qualities sebagai fokus sentral yang harus ditangani. Dynamic qualities adalah nilai-nilai yang ada pada setiap individu dan bisa dimanipulasi atau dipengaruhi dalam proses
belajar mengajar di sekolah atau di kelas. Ada lima variabel dalam dynamic qualities: (i) Kecepatan belajar (personal learning rate), (ii) Pilihan gaya dan strategi belajar (preferred learning styles and learning strategies), (iii) Keinginan untuk berhasil (success-need), (iv) Persepsi diri tentang belajar (self-view as a language learner), dan (v) Hubungan dengan guru (relations with teachers).
Pemecahan Masalah dan Saran Kebijakan
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya setiap individu sebenarnya memiliki kemungkinan untuk menjadi pebelajar bahasa yang sukses (berkesempatan menjadi seorang GLL atau ‘good language learner’). Perbedaan individual antara pebelajar yang satu dengan yang lainnya bisa dijembatani dengan pengembangan dynamic qualitis yang dimiliki oleh setiap pebelajar. Langkah-langkah pengembangan kualitas dinamis ini diuraikan berdasarkan kajian putaka dan dikombinasikan dengan hasil penelitian penulis.
Perbedaan individual yang bersifat bawaan lahir yang melekat pada setiap pebelajar tidak bisa diubah, tetapi bisa dijadikan acuan dalam pengembangan Kualitas dinamis yang dimiliki siswa. Seperti yang telah disebutkan di atas, sebagai institusi pendidikan formal, dimana setiap siswa menghabiskan sebagian besar waktu belajarnya, sekolah seharusnya bisa mengkondisikan proses belajar bahasa Inggris yang bisa mengoptimalisasi potensi berbahasa Inggris yang sudah dimiliki siswa dengan cara memanfaatkan kualitas dinamis yang ada pada siswa. Adapun langkah-langkah yang bisa dilakukan oleh sekolah antara lain:
1). Membantu pebelajar mengoptimalisasi kecepatan belajar (personal learning rate),
Masalah:
Selama ini bisa diamati bersama bahwa setiap siswa memiliki kecepatan belajar yang berbeda. Ditinjau dari kecepatan belajarnya, pebelajar bisa diklasifikasikan menjadi dua: (i) pebelajar cepat (fast learner) dan pebelajar lamban (slow learners). Dalam pembelajaran bahasa Inggris di sekolah, seorang fast learner dan slow learner cenderung akan tetap dalam kategori masing-masing semasih proses pembelajaran terjadi secara monoton. Seorang fast learner yang sudah menyelesaikan tugasnya kadang-kadang harus menunggu slow learner selesai tanpa mengerjakan sesuatu yang berarti. Kondisi seperti ini potensial menyebabkan kebosanan dan menurunkan motivasi belajar bahasa Inggris mereka. Sebaliknya, seorang slow learner merasa cemas karena belum bisa menyelesaikan tugasnya sementara pebelajar lain menunggunya. Dampak yang mungkin terjadi adalah rasa tidak percaya diri dan bahkan rendah diri. Apabila hal ini dibiarkan terus maka kedua kelompok pebelajar ini akan mengalami penurunan motivasi belajar.
Pemecahan Masalah dan Saran Kebijakan
Hal yang bisa dilakukan oleh sekolah adalah penyediaan kelas khusus yang dilengkapi dengan materi-materi pengayaan berupa tasks ketrampilan berbahasa (listening, speaking, writing dan reading) serta materi tata bahasa dan kosa kata. Setiap anak yang telah meyelesaikan tugas dan masih memiliki waktu luang, mereka bisa mengerjakan materi pengayaan. Ruang bahasa Inggris ini bisa pula dimanfaatkan untuk memberikan rewards atau penguatan positif bagi siswa yang menunjukkan prestasi dalam belajar di kelas. Sebagai hadiah, mereka diberi ‘tiket masuk’ ke ruangan bahasa Inggris untuk mengakses ‘self access learning’ (materi belajar yang bisa diakses lewat internet. Materi yang tersedia di ruang bahasa Inggris ini ada dalam tiga bentuk: cetakan (print out), audio (materi yang hanya bisa didengarkan, dan materi audiovisual (yang bisa dilihat dan didengarkan). Semua materi ini disusun berdasarkan tingkat kesukaran dan harus dikerjakan secara berturutan. Materi tersebut harus membantu pebelajar meningkatkan ketrampilan berbahasa secara aktif .
2). Pilihan gaya dan strategi belajar (preferred learning styles and learning strategies),
Masalah
Setiap siswa membawa gaya dan strategi yang dibawanya sejak sebelum memasuki bangku sekolah. Gaya dan strategi ini berkembang dari lingkungan dan pengalaman belajar yang dialami siswa. Misalnya, sebelum memasuki sekolah menengah atas, seorang siswa mengalami pembelajaran bahasa Inggris pertama kali di SMP dimana pembelajaran menekankan pada penguasaan grammar dan kosa kata. Sebagai akibatnya, siswa memasuki SMA dengan gaya dan strategi belajar bahasa Inggris yang menarget sisi kognitif melalui kegiatan menghafal (pola kalimat dan kosa kata) atau dengan menyusun kalimat tertulis. Untuk mencapai target kompetensi berbahasa Inggris, strategi semacam itu tentunya kurang efektif karena siswa selalu merasa tidak percaya diri apabila mereka harus dituntut untuk berbicara dalam bahasa Inggris secara spontan. Untuk itu, sekolah harus menciptakan suatu sistem atau cara dimana setiap siswa mendapat kesempatan untuk mengembangkan strategi belajar bahasa Inggris yang membuat mereka percaya diri dan bisa berbicara bahasa Inggris secara spontan.
Pemecahan Masalah dan Saran Kebijakan
Untuk membiasakan siswa mengenali strategi belajarnya, sekolah perlu meyediakan area sekolah dimana siapapun yang memasuki area tersebut harus berbicara dalam bahasa Inggris (English Zone). Area ini bisa ditandai dengan warna yang menarik perhatian dimana dipajang hasil-hasil karya siswa yang berhubungan dengan Bahasa Inggris, seperti puisi, prosa, karikatur, berita, dan sebagainya. Selain penyediaan area, juga perlu ditetapkan waktu dimana seluruh warga sekolah harus berbahasa Inggris (English Day). Dengan membudayakan komunikasi dalam bahasa Inggris maka bukan hanya siswa tetapi seluruh warga sekolah harus belajar berbahasa Inggris dan tidak ada yang merasa malu atau takut salah.
3). Keinginan untuk berhasil (success-need)
Masalah
Setiap individu memiliki keinginan untuk berhasil. Artini (2006) menemukan bahwa lebih dari 86.9% siswa SMA di Bali melakukan usaha di luar sekolah untuk meningkatkan kompetensi bahasa Inggrisnya. Keterbatasan sarana / sumber belajar di luar sekolah menyebabkan 44.9% siswa hanya belajar berdasarkan materi yang di dapat di sekolah, misalnya dengan mereview pelajaran, menterjemahkan teks bacaan, atau mengerjakan tasks dari buku tanpa di suruh guru. Sisanya, memakai sumber belajar lain disamping materi sekolah (misalnya dengan menyanyikan lagu-lagu berbahasa Inggris atau menonton film atau membaca bacaan berbahasa Inggris. Jadi hambatan utama dalam upaya siswa mencapai kesuksesan dalam belajar bahasa Inggris adalah kekurangan sarana dan sumber belajar otentik.
Pemecahan Masalah dan Saran Kebijakan
Keinginan siswa untuk mencapai keberhasilan dalam belajar bahasa Inggris ini bisa diakomodasi dengan cara menyusun aturan tentang bentuk dan persyaratan pemberian penghargaan atas keberhasilan yang dicapai dalam belajar bahasa Inggris. Misalnya, setelah mendapat sepuluh penghargaan kecil-kecil di dalam kelas, siswa bisa menukarkan dengan penghargaan dari kepala sekolah, dan pemegang penghargaan kepala sekolah terbanyak akan terpilih menjadi siswa berbahasa Inggris bulan ini (English speaker of the week). Selain itu, sekolah menyediakan tiket masuk ruang audio visual (AV) bagi siswa yang sudah menunjukkan prestasi tertentu dalam bahasa Inggris. Di dalam ruangan itu siswa bisa menonton film berbahasa Inggris di luar jam sekolah. Dengan demikian selain merasa mendapat penghargaan yang membanggakan, siswa sebenarnya mengalami proses belajar tambahan melalui film berbahasa Inggris.
4). Persepsi diri tentang belajar (self-view as a language learner), dan
Masalah
Dengan strategi pembelajaran bahasa Inggris yang konvensional dimana guru lebih banyak berbicara dan siswa lebih banyak mendengarkan, siswa cenderung memiliki persepsi diri yang negatif tentang bahasa Inggris. Mereka menganggap bahasa Inggris tidak penting, membosankan, sulit dipelajari atau hanya sekedar mata pelajaran yang harus diikuti. Persepsi diri seperti itu sudah tentu akan menyebabkan kurangnya pengembangan potensi berbahasa Inggris.
Pemecahan Masalah dan Saran Kebijakan
Untuk membantu siswa membangun persepsi diri yang positif tentang bahasa Inggris, perlu adanya hubungan personal yang harmonis antar semua warga sekolah dimana setiap orang harus saling memotivasi yang lainnya untuk memakai bahasa Inggris dalam percakapan di luar kelas. Dengan demikian setiap siswa akan menganggap bahwa mereka harus bisa berbahasa Inggris karena semuanya harus berbahasa Inggris pada area dan waktu yang ditentukan oleh sekolah. Dengan demikian sekolah akan menjadi komunitas yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Dengan terbangunnya budaya seperti ini siwa akan bisa merubah self view atau persepsi pribadinya tentang bahasa Inggris.
5). Hubungan dengan guru (relations with teachers).
Masalah
Dalam pembelajaran konvensional guru biasanya memegang peran sebagai pemegang otoritas di kelas. Siswa sangat tergantung pada guru dalam segala hal. Misalnya, murid baru berbicara kalau guru memintanya berbicara. Hubungan guru-murid seperti ini kurang menciptakan suasana belajar yang kondusif karena siswa merasa segan kepada guru. Siswa berusaha menyenangkan guru dengan cara tidak membuat kesalahan dalam pelajaran. Kondisi seperti ini tidak mendukung pembelajaran bahasa Inggris yang efektif yang menuntut hubungan harmonis antar guru dan siswa. Kelas konduif adalah kelas dimana interaksi bisa datang dari segala arah. Inisiatif berbicara juga bisa datang dari siswa. Selain itu, situasi saling menghargai harus terjalin dengan baik sehingga semua merasa nyaman dalam proses belajar mengajar.
Pemecahan Masalah dan Saran Kebijakan
Hubungan antara siswa dengan guru sudah dibuktikan memiliki dampak terhadap motivasi dan keinginan berprestasi. Hubungan yang harmonis dimana guru mengenal nama setiap siswanya dan bahkan mengenal siapa orang tua siswanya akan memberikan suasana belajar kondusif. Dari pihak sekolah, aturan yang jelas tentang bagaimana menciptakan hubungan yang harmonis tersebut harus dibuat dan disosialisasikan kepada semua warga sekolah. Misalnya, pada setiap akhir semester, guru merancang project bersama siswa. Project tersebut hendaknya melibatkan semua siswa dan guru bahasa Inggris secara personal. Contoh project misalnya, pementasan drama berbahasa Inggris. Proses persiapan pementasan akan mempererat hubungan antara siswa dan guru.
Langkah-langkah yang dibahas di atas tersebut akan membangun status bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di sekolah, bukan hanya sebagai mata pelajaran di kelas. Status ini akan mengubah paradigma bahwa guru adalah satu-satunya sumber input berbahasa Inggris. Semua warga sekolah (siswa dan guru serta staf administrasi) memiliki peran yang sama sebagai sumber belajar. Selain itu, budaya sekolah yang menganggap bahwa belajar hanya terjadi di dalam kelas dengan kehadiran guru bisa diubah.
Pengembangan Dynamic Quality di tingkat Kelas
Selain langkah-langkah yang bisa diambil pada tingkat sekolah, guru yang langsung dan lebih sering berhubungan dengan siswa, juga perlu mengambil langkah-langkah pada tingkat kelas.
Kecepatan Belajar
Telah disebutkan sebelumnya bahwa berdasarkan teori Individual Differences (Bassett et al., 1978; Clouston, 1996, 1998), setiap individu memiliki kecepatan belajar yang berbeda. Selain berbeda, kecepatan belajar individu mungkin juga berubah dari satu fase ke fase belajar yang lainnya. Namun demikian, intervensi guru dalam bentuk strategi pembelajaran yang dipilih pada saat proses belajar dan mengajar berlangsung bisa berpengaruh terhadap kecepatan belajar siswanya. Ada beberapa strategi guru yang memiliki pengaruh terhadap kecepatan belajar siswa, misalnya:
1. Pemilihan materi yang sesuai dengan minat dan daya tarik siswa
2. Penentuan target atau tujuan pembelajaran yang jelas dan bermanfaat bagi siswa
3. Menciptakan tantangan bagi siswa dalam belajar
4. Menerapkan sistem penghargaan yang jelas
Pilihan gaya dan strategi
Gaya dan strategi belajar juga merupakan bagian dari perbedaan individual dalam belajar. Setiap siswa memiliki kecenderungan untuk menerapkan gaya belajar (learning styles) sesuai dengan pengalaman belajar yang sudah dimilikinya. Misalnya, dengan membaca dalam hati, membaca bersuara, membaca dengan alunan musik, membaca sambil mencatat, dan sebagainya. Sementara itu, pilihan strategi belajar sangat ditentukan oleh jenis tugas atau latihan yang harus dikerjakan siswa. Misalnya, apabila tugas / task yang dikerjakan adalah menjawab pertanyaan tentang bacaan, ada siswa yang membaca pertanyaan dulu lalu mencari jawabannya dalam bacaan, ada pula siswa yang lebih suka membaca dulu sampai mengerti baru menjawab pertanyaannya. Pilihan gaya dan strategi belajar bisa dipengaruhi oleh strategi guru dalam mengelola proses belajar mengajar di dalam kelas. Yang bisa dilakukan oleh guru untuk membantu siswa mengembangkan strategi yang efektif dalam belajar, misalnya:
1. Memvariasikan jenis tugas (task)
2. Memberi batasan waktu pengerjaan tugas yang sesuai
3. Menentukan indikator keberhasilan dan kegiatan susulan (follow up activities) yang bersifat menguatkan motivasi belajar
Keinginan berhasil
Pada tingkat kelas, keinginan berhasil pada siswa harus dirangsang dengan cara menciptakan sistem reward yang bisa dilihat oleh semua orang. Cara gampang misalnya dengan menempelkan sebuah pohon dari kertas karton tanpa daun dan bunga (hanya dahan dan ranting) di tembok kelas yang gampang dilihat. Setiap siswa yang menunjukkan prestasi berhak mendapat penghargaan berupa daun yang ditulisi nama siswa dan ditandatangani oleh guru lalu digantung pada cabang pohon tersebut. Semakin banyak penghargaan yang dikumpulkan semakin rimbun pohon tersebut. Siswa akan termotivasi untuk melakukan tugas sebaik mungkin sehingga bisa menyumbang daun sebanyak-banyaknya pada pohon kelas.
Persepsi diri
Di tingkat kelas, persepsi diri bisa dibentuk melalui pengisian lembar evaluasi diri yang menanyakan tentang bagaimana pendapatnya tentang materi yang baru dipelajarinya, apa yang sudah berhasil dipelajari dan apa yang belum dimengerti, apa yang akan dilakukan selanjutnya untuk meningkatkan hasil belajarnya. Dengan menanamkan kebiasaan melakukan refleksi diri seperti ini, siswa akan lebih memahami kebermanfaatan belajarnya serta mampu mengidentifikasi tentang kekuatan dan kelemahan strategi belajarnya. Evaluasi dan refleksi diri juga akan menumbuhkan kemampuan berfikir kritis siswa karena mereka menjadi mengerti kebutuhan belajarnya dan mampu menganalisis apakah yang dipelajari di kelas sudah sesuai dengan kebutuhannya atau tidak.
Hubungan dengan guru
Guru bisa membangun hubungan yang harmonis dengan siswanya di dalam kelas dengan mengenali setiap siswa secara pribadi dan menunjukkan sikap simpati dan empati, menciptakan suasana belajar yang secara psikologis nyaman dan selalu siap membantu siswa yang mengalami kesulitan. Untuk meningkatkan hubungan personal yang lebih baik, lima menit pertama bisa dipakai untuk ‘news time’ dimana siswa secara terjadwal harus berbagi cerita pribadi dengan teman dan guru dalam bahasa Inggris. Cerita tersebut bisa berupa pengalaman yang berkesan, kehadiran anggota keluarga baru, kenaikan jabatan orang tua, dan sebagainya. Jadwal yang berisi siapa yang harus bercerita dibuat selama 1 semester, sehingga setiap siswa sudah tahu kapan gilirannya untuk bercerita.
Simpulan dan Saran
Makalah ini menganalisis permasalahan dalam pembelajaran bahasa Inggris di tingkat sekolah menengah atas dari sudut pandang yang berbeda dari penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian-penelitian sebelumnya umumnya mengungkapkan alasan kekurangberhasilan pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia dan menghasilkan berbagai saran sehubungan dengan penyebab permasalahan yang ditemukan. Hasil dan saran yang dihasilkan berkisar pada perbaikan metode san strategi belajar mengajar, peningkatan kualitas guru dan juga peningkatan kesejahtraan guru.
Dalam makalah ini, permasalahan dilihat dari sudut pandang pebelajar dengan beberapa aspek perbedaan secara individu. Perbedaan individual yang dimaksud mencakup gender (laki dan perempuan), persepsi dan ekpektasi belajar, sikap, motivasi, kemampuan belajar, maupun strategi belajar. Perbedaan ini harus dijembatani melalui pengembangan kualitas dinamis (dynamic quality) siswa yaitu atribut individu yang berperan dalam menentukan hasil belajar. Dynamic quality ini diangkat karena variabel yang dicakup (kecepatan belajar /personal learning rate; pilihan gaya dan strategi belajar / preferred learning styles and learning strategies; keinginan untuk berhasil / success-need; persepsi diri tentang belajar / self-view as a language learner; dan hubungan dengan guru / relations with teachers merupakan variabel yang bisa berubah seiring pengalaman dan kebutuhan belajar siswa.
Review terhadap faktor-faktor penentu keberhasilan belajar bahasa Inggris dan konsep dan kriteria seorang pebelajar bahasa asing yang baik (GLL) lebih memperjelas tantangan yang dihadapi apabila sekolah menginginkan adanya perubahan dalam target dan pembelajaran bahasa Inggris, khususnya di tingkat sekolah menengah atas (SMA). Penetapan target dan pembelajaran yang kontekstual (sesuai dengan kondisi riil sekolah) sangat memungkinkan untuk dilakukan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sekarang ini.
Rangkuman Saran Kebijakan
Saran kebijakan yang dirangkum dalam makalah ini mengacu pada dua tingkat implementasi:
1. Tingkat sekolah
Di tingkat sekolah, harus diciptakan kondisi belajar bahasa asing (bahasa Inggris) yang kontekstual dan berkesinambungan. Belajar tidak hanya terjadi di dalam kelas dan tidak pula hanya melibatkan guru bahasa Inggris dan siswa. Beberapa langkah tyang di sarankan dalam konteks sekolah antara lain:
• Penyediaan ruangan khusus yang dilengkapi dengan materi-materi pengayaan untuk mengoptimalisasi kesempatan belajar baik secara mandiri maupun dengan bimbingan guru. Materi yang tersedia harus mencakup semua ketrampilan berbahasa (listening, speaking, writing dan reading), kosa kata dan grammar.
• Penetapan area dan waktu khusus dimana semua warga sekolah harus berbahasa Inggris. Area khusus bisa saja sudut sekolah yang ditandai dengan tulisan English Zone dimana dipajang hasil karya siswa yang berhubungan dengan bahasa Inggris (puisi, prosa, karikatur, dll). Di area ini pula, setiap siswa yang ada disana harus saling berbicara dengan bahasa Inggris. Penetapan waktu bisa dilakukan setiap minggu dengan nama English Day, dimana semua warga sekolah pada hari itu harus berbahasa Inggris.
• Penyusunan aturan tentang bentuk dan persyaratan pemberian penghargaan atas keberhasilan yang dicapai dalam belajar bahasa Inggris. Dalam aturan itu, siswa paham apa yang akan diterimanya kalau mereka melakukan sesuatu dengan sangat baik. Dengan kata lain, prestasi yang dicapai di kelas tidak saja diketahui oleh warga kelas tetapi juga warga sekolah. Sekolah misalnya menetapkan persyaratan untuk dinobatkan menjadi The most proficient speaker of the month (Siswa dengan proficiency berbahasa Inggris terbaik bulan ini). Penghargaan seperti ini akan memotivasi siswa untuk selalu berprestasi dan tidak ragu-ragu menunjukkan kemampuan berbahasa aktif mereka.
• Pembiasaan untuk melakukan evaluasi diri dan refleksi diri untuk mengenali kebermanfaatan materi yang dipelajari serta memahami kekuatan dan kelemahan strategi belajar yang diterapkan dalam belajar. Dengan cara ini siswa akan terbiasa untuk berfikir kritis dan memiliki persepsi positif terhadap belajar bahasa Inggris.
• Penciptaan hubungan personal yang harmonis antara guru dan siswa serta antara siswa dengan warga sekolah lainnya. Hubungan antara guru dan siswa seharusnya tidak terhenti ketika kelas berakhir karena hubungan personal yang harmonis berdampak terhadap kenyamanan belajar dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap pencapaian hasil belajar yang optimal.
2. Tingkat Kelas
Pada tingkat kelas, pengembangan kualitas dinamik siswa menjadi tanggung jawab guru. Guru harus menjadi figur kompeten, bisa dipercaya, kreatif, inovatif dan memiliki komitmen kuat untuk membantu siswa mencapai target pembelajaran Bahasa Inggris. Beberapa langkah yang sudah dibahas antara lain:
• Pemilihan materi yang sesuai dengan minat dan daya tarik siswa
• Penentuan target atau tujuan pembelajaran yang jelas dan bermanfaat bagi siswa
• Penciptaan tantangan bagi siswa dalam belajar
• Penerapan sistem penghargaan yang jelas
• Perencanaan kegiatan kelas yang bervariasi
• Penetapan alokasi waktu yang jelas untuk setiap kegiatan
• Penentuan indikator keberhasilan dan kegiatan susulan (follow up activities) yang bersifat menguatkan motivasi belajar
• Penciptaan kondisi pembelajaran yang efektif dan menyenangkan
• Penyediaan kesempatan untuk berbicara, curah pendapat atau unjuk performa berbahasa Inggris.
Dari langkah-langkah di atas, bisa dibayangkan bahwa faktor-faktor perbedaan individu tidak akan menjadi kendala yang berarti bagi siswa untuk mengoptimalisasi potensi berbahasa Inggrisnya karena adanya kesempatan yang bervariasi untuk terus belajar baik secara mandiri, berkelompok, maupun dengan bimbingan guru. Langkah-langkah tersebut juga akan menciptakan budaya sekolah yang interactive, dan sociable, yaitu semua warga sekolah saling berinteraksi, dan bersosialisasi dengan motif yang sama yaitu mencapai profisiensi berbahasa Inggris secara bersama-sama.
Saran kepada Pemerintah sebagai Pembuat Kebijakan
Kemampuan berbahasa Inggris merupakan asset bagi generasi muda untuk berkompetensi di bursa kerja. Oleh sebab itu, upaya-upaya yang mengarah pada pengembangan kualitas dinamis individu harus dilakukan di tingkat sekolah dan kelas sehingga setiap lulusan SMA akan memiliki kompetensi berbahasa asing tersebut. Segala upaya akan berhasil apabila didukung oleh adanya kebijakan dari pusat yang mewajibkan bahasa Inggris dijadikan bahasa kedua di sekolah sehingga semua warga sekolah saling membantu dan mendukung. Sebagai konsekewensinya, harus ada juga kebijakan sehubungan dengan bagaimana kemampuan berbahasa Inggris itu dievaluasi.
Ujian Nasional adalah upaya untuk mengetahuai pencapaian standar pendidikan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Akan tetapi untuk mata pelajaran yang sebenarnya masuk dalam kategori ketrampilan, seperti bahasa Inggris, cara dan materi ujian yang diterapkan sekarang ini tidak akan mendorong tercapainya penguasaan life skill berbahasa Inggris. Ketrampilan berbahasa aktif tidak akan cukup apabila hanya diujikan secara tertulis. Oleh sebab itu perlu pemikiran untuk menyertakan wawancara (kemampuan berbahasa Inggris formal) dan/atau percakapan (kemampuan berbahasa Inggris non-formal) untuk melihat potensi berbahasa Inggris siswa yang sebenarnya.
Daftar Pustaka
.
Selengkapnya hubungi: 081 333 052 032