Tumpang-tindih bukan persoalan mendasar dalam penelitian. Apalagi, penelitian tersebut dilakukan untuk memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi bersama.
“Kalau ingin menjawab tantangan bangsa yang begitu besar, kita tidak dapat membebankan penelitian satu isu kepada satu lembaga saja,” ujar Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Iskandar Zulkarnain, kepada SH, Senin (24/8).
Ia mengungkapkan hal tersebut terkait mengomentari sejumlah pendapat yang menyebutkan, selama ini ada tumpang-tindih penelitian antara lembaga penelitian yang satu dan yang lain. Menurutnya, membebankan satu isu untuk diteliti satu lembaga penelitian tidak tepat. Apalagi, lembaga tersebut memiliki sumber daya, termasuk sumber daya manusia (SDM), yang terbatas.
Ia mencontohkan, ada pendapat yang mempermasalahkan penelitian antara LIPI dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang dianggap tumpang-tindih. Padahal di negara lain, ketumpang-tindihan tersebut tidak menjadi persoalan.
“Di negara lain, satu isu biasa dikeroyok beberapa, bahkan banyak institusi. Di sini sebaliknya, banyak pihak malah meributkan kenapa ada tumpang-tindih penelitian LIPI-BPPT,” ucapnya.
Iskandar menegaskan, seharusnya tidak ada lagi pihak-pihak yang menganggap satu isu permasalahan bangsa sebaiknya hanya diselesaikan satu institusi penelitian . Kalaupun hal tersebut benar-benar dijalankan, penelitian akan membutuhkan waktu jauh lebih lama.
Hal tersebut dianggapnya tidak akan efektif karena jumlah persoalan bangsa yang harus diselesaikan banyak. Datangnya pun datang silih berganti.
Efisiensi Anggaran
Ia menduga, wacana tentang tumpang-tindih penelitian yang selama berembus datang dari perspektif efisiensi anggaran. Banyak yang berpandangan, sebuah isu yang telah diteliti oleh satu institusi penelitian sebaiknya tidak diteliti institusi lain. Tujuannya adalah menghemat anggaran.
Ia menganggap pandangan tersebut keliru. Kendati isu penelitian sama, setiap peneliti dan institusi penelitian memiliki cara masing-masing yang khas sehingga hasil penelitian tidak mungkin sama.
“Seperti yang kita lihat, peraih Nobel tidak datang dari satu institusi saja. Padahal, yang dibahas isu dan topik yang sama,” ujar Iskandar.
Ia mengingatkan, seharusnya tidak ada lagi dikotomi antara lembaga penelitian hulu-hilir maupun lembaga penelitian dasar dan terapan. Kalaupun ada dikotomi, kedua jenis lembaga penelitian tersebut harus terhubung satu sama lain.
“Kalau penelitian dasar dan terapan tidak terhubung, bagaimana terapan bisa berkembang?” tanya Iskandar.
Ia memberi contoh tentang penelitian mengenai sistem peringatan dini bencana (early warning system). Ia mengingatkan, penemuan alat untuk mendeteksi bencana secara dini itu dengan sendirinya pasti berdasarkan temuan penelitian yang sifatnya dasar. Hasil-hasil penelitian dasar digabungkan lebih dulu agar peneliti terapan dapat menghasilkan alat peringatan dini bencana.
Harry Truman Simanjuntak, profesor bidang prasejarah mengungkapkan, penelitian yang besar membutuhkan sumber daya dan dana yang besar pula. Menurutnya, selama ini penelitian-penelitian ilmiah, termasuk bidang arkeologi, terkendala persoalan keterbatasan sumber daya dan dana. Akibatnya, hasil-hasil penelitian tidak optimal.
Apabila menggunakan SDM dalam jumlah yang memadai, tim penelitian akan memperoleh temuan yang lebih besar daripada pencapaian yang diperoleh saat ini.
Ia mencontohkan, penelitian Gua Harimau. Supaya hasilnya maksimal, tim penelitiannya sebenarnya memerlukan sekitar 20 peneliti dari berbagai bidang. “Kenyataannya, SDM yang tersedia hanya 10 peneliti,” ucapnya. (*)
http://www.sinarharapan.co/news/read/150824129/tumpang-tindih-penelitian-tak-jadi-masalah