MUALLIMATUL ATHIYAH. TRADISI PENYERAHAN PERABOT RUMAH TANGGA DALAM PERKAWINAN (STUDI KASUS DI DESA KARDULUK KEC. PRAGAAN KAB. SUMENEP MADURA
Kata kunci: tradisi, perkawinan
Perkawinan adalah salah satu dari sekian banyak ritual agama yang dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan sebuah keluarga. Dalam masyarakat pedesaan yang sarat dengan nilai-nilai tradisi, perkawinan tidak hanya dilakukan dengan tata cara atau peraturan sesuai dengan ketetapan agama. Dalam hal ini adalah agama Islam.
Salah satu yang terpenting dalam penyelenggaraan sebuah perkawinan adalah adanya mas kawin. Mas kawin identik dengan pengikat dari pihak pengantin laki-laki pada pengantin perempuan yang menjadi istrinya. Hukum Islam tidak memberikan batasan tentang sedikit banyaknya jumlah mas kawin, karena yang terpenting adalah penerimaan istri akan pemberian suaminya. Desa Karduluk yang menjadi lokasi penelitian skripsi ini, pemberian mahar berbentuk barang-barang perlengkapan rumah tangga mulai lemari, dipan/ tempat tidur, kursi dengan meja, lemari hias, dan sebagainya. Barang-barang ini dibawa ke rumah pihak mempelai perempuan pada saat penyelenggaraan pernikahan dan dianggap sebagai bagian dari mahar dengan sebutan bhaghibha.
Barang-barang bhaghibha ini dipastikan selalu ada di hampir semua perkawinan yang berlangsung di desa Karduluk. Bhaghibha ini todak disebutkan dalam prosesi Ijab Qabul seperti halnya mas kawin tetapi keberadaannya diketahui semua orang sebagai sebuah tradisi yang dianggap ‘wajib’.
Dampak sosial adanya tradisi ini adalah bahwa seorang laki-laki yang berasal dari desa Karduluk ini akan menunggu kesiapan dan kesanggupan dirinya untuk mempunyai barang-barang bhaghibha ini sebelum menetapkan untuk menikahi seorang perempuan warga desanya sendiri. Karena hal ini tidak diberlakukan pada perkawinan dengan mempelai laki-laki dari luar desa Karduluk. Sedangkan dampak ekonominya lebih merupakan tuntutan tersendiri bagi sebuah keluarga yang mempunyai anak laki-laki bahwa suatu saat nanti harus mengusahakan pengadaan barang-barang perlengkapan ini untuk persiapan perkawinannya.
Hukum Islam tidak memandang tradisi ini berlebih-lebihan. Hukum sosial sendiri menganggap bahwa tradisi adalah sepenuhnya miliki masyarakat yang menciptakan dan melestarikan tradisi tersebut.