TEMBANG DOLANAN ILIR-ILIR: NILAI DAN KEARIFAN LOKAL BUDAYA AGRARIS DI JAWA
(KAJIAN ETNOPUITIKA)
By
Ari Ambarwati (a.arianya@gmail.com)
FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang
Kid folk song as an oral literature work offers the individual beauty, especially the exploration of language and play manifestation. Ilir-ilir kid folk song created by Sunan Kalijaga. It usually sang by moslem students before after noon and night pray on the mosque of Javanese long time ago. In the Javanese culture, the discussion about beauty could not be separated from the discussion of the goodness, the truth, and the holiness according to Javanese people. Ilir-ilir came up on the context of the agricultural thingking which are the high solidarity and the oneness.
Key words: kid folk song, local wisdom, agriculture, ethnopoetica
A. TEMBANG DOLANAN
Sebagai negara multibudaya dan etnik, Indonesia banyak memiliki keragaman budaya yang terwariskan secara turun-temurun. Salah satu diantaranya adalah lagu (tembang) dolanan. Harjawijaya dalam Widyaparwa (2010:1) menyatakan bahwa nyanyian rakyat dalam masyarakat Jawa dikenal dengan istilah tembang dolanan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa lagu adalah ragam suara yang berirama atau suatu nyanyian, sedangkan yang dimaksud dengan lirik adalah susunan kata nyanyian tersebut.
Masyarakat Jawa dengan bahasa dan budaya Jawa memiliki banyak tembang-tembang yang biasa didendangkan untuk meninabobokan atau menimang anak. Tembang-tembang tersebut ada yang disenandungkan saat anak-anak bermain (dolanan) seperti padhang bulan, cublak-cublak suweng, dan ilir-ilir.
Tiap masyarakat yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa memiliki puisi-puisi lagu atau nyanyian-nyanyian yang biasa didendangkan dan atau disenandungkan untuk meninabobokan dan menimang anak. Masyarakat Jawa dengan bahasa dan budaya Jawa memiliki banyak puisi lagu atau tembang-tembang yang dimaksud, khususnya yang berwujud puisi lagu dolanan (Nurgiyantoro, 2005:99). Tembang dolanan pada masyarakat Jawa tradisional, sesuai namanya, banyak yang biasa dinyanyikan anak-anak sambil bermain-main dengan kawan-kawannya, seperti padhang bulan, cublak-cublak suweng, dan ilir-ilir.
Tembang dolanan tersebut pada umumnya tidak dapat diketahui secara pasti kapan penciptaannya dan mewaris secara turun-temurun secara lisan. Namun, dewasa ini tembang dolanan tersebut sebagai telah dibukukan antara lain untuk menjaga agar tidak hilang dari peredaran dan dapat diwariskan lewat media tulis, seperti yang dilakukan oleh Prawiradisastra.
Keindahan tembang dolanan dapat dilihat dari segi kesastraan dan lagu yang mendukungnya, sedang jika dimainkan dengan diiringi gamelan atau musik modern keindahannya bertambah dengan bunyi musik yang mengiringinya itu. Perpaduan antara keindahan syair, lagu, dan musik pengiring akan menghasilkan bunyi yang bernilai estetis lengkap.
Dilihat dari segi syair yang mendukung, tembang dolanan sebagai suatu bentuk karya seni sastra, menawarkan keindahan tersendiri, terutama yang berwujud permainan atau pengolahan bahasa. Lewat permainan bahasa itu dapat diperoleh suatu pengucapan yang indah, luwes, menarik, dan mampu menggugah rasa keindahan dalam hati, menghanyutkan bagi pendengarnya.
Permainan bahasa yang dimaksud terutama berupa pemilihan kata dan struktur kalimat yang keduanya dipilih lewat pertimbangan secara ketat. Artinya, baik kosakata maupun struktur yang dipilih dipertimbangkan yang mampu memberikan efek sebagaimana yang diharapkan agar dapat menyentuh hati pendengar. Selain lewat permaianan kata dan struktur sintaksis, keindahan bahasa itu juga diperoleh lewat pendayagunaan berbagai bentuk perbandingan (pepindhan), teka-teki (cangkriman), peribahasa (paribasan), wangsalan,dan parikan.
Walau berwujud tembang dolanan, puisi-puisi itu tidak berarti bahwa tembang dolanan tersebut tidak mengandung makna. Ada makna yang ditawarkan lewat puisi-puisi tembang dolanan itu yang dapat bermanfaat bagi kehidupan, baik makna yang disampaikan secara tersurat maupun tersirat, yang pada umumnya terkait dengan kondisi masyarakat dan lingkungan sewaktu puisi itu diciptakan. Jadi, lewat tembang dolanan itu dapat juga ditafsirkan kristalisasi nilai-nilai, masalah apa yang menarik dan penting yang menjadi obsesi penciptanya (yang umumnya tidak pernah dikenali) pada saat itu.
Secara umum tembang dolanan itu mengandung makna yang berkaitan dengan masalah adat-istiadat, budi pekerti, sopan santun, moral, sindiran, kebersihan, lingkungan hidup, kesehatan dan religius. Namun, suatu hal yang terasa kental pada umumnya tembang dolanan itu adalah unsur kejenakaan, main-main, humor, dan mengajak pendengar untuk tertawa. Keindahan tembang dolanan itu tampaknya juga diperoleh lewat unsur kejenakaan dan humor itu.
Lewat syair-syairnya yang jenaka dan lirik lagunya yang menarik, tembang dolanan itu mampu memberikan fungsi rekreatif, hiburan yang segar untuk mengajak pendengar bersenang-senang, namun sekaligus di dalamnya terkandung nilai-nilai yang bermanfaat. Anak pada usia dini yang dininabobokan dan atau ditimang-timang dengan disertai nyanyian tersebut bisa jadi belum paham akan makna kata per kata, tetapi lewat lirik lagunya mereka dapat memperoleh hiburan yang menyenangkan dan sekaligus membangkitkan perasaan keindahan. Lewat kata-kata yang ada dalam tembang itu karena seringnya didengar dan kadang-kadang juga kontekstual, anak justru akan memperoleh input bahasa.
B. ILIR-ILIR (PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI JAWA)
Berdirinya kerajaan Demak Bintara menunjukkan wujud riil hasil gerakan Islam yang dipimpin oleh para wali. Pada waktu itu penguasa panatagama dan panatapraja dipisah. Sunan Giri penguasa keagamaan menunjuk dan menobatkan seorang tokoh menjadi penguasa pemerintahan (1478—1506). Ini mirip keadaan Eropa Abad Pertengahan ketika gereja Katolik menobatkan raja. Karenanya Sunan Giri dianggap sebagai Paus Jawa (Poespaningrat, 2008).
Sunan Giri dan Sunan Kalijaga merupakan dua wali yang ada dalam Wali Sanga. Wali Sanga bisa diartikan sebagai Wali yang berjumlah sembilan, karena kata “sanga” dalam bahasa Jawa artinya ‘sembilan’. Wali Sanga memiliki arti yang lain. Kata “sanga” dapat pula berarti tempat belajar, sehingga Wali Sanga dapat diartikan sebagai suatu institusi.
Pengembangan agama dilakukan salah satunya melalui budaya. Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit (mengganti wayang beber) sebagai media dakwah Agama Islam. Untuk mereduksi resistensi dari pihak ortodoks, Sunan Kalijaga menempatkan Sunan Giri sebagai rajanya para dewa, Bethara Guru atau Girinata (benar yang “menata” adalah Sunan Giri, namun yang melaksanakan, eksekutifnya adalah Sunan Kalijaga). Sunan Kalijaga juga berperan dalam pengembangan seni lainnya.
Sunan Kalijaga menciptakan baju taqwa yang lalu disempurnakan Sultan Agung dengan segala rangkaiannya (dhestar, nyamping dan keris). Sunan Kalijaga menciptakan tembang dhandanggula (suatu nada toleransi antara melodi Arab dan Jawa) dan lagu Ilir-ilir (spiritual song, suatu pertanda cara dakwah secara damai dan dendang sayang, tanpa paksaan dan kekerasan).
Tembang lir-ilir yang banyak dianggap lagu dolanan anak ini sebetulnya adalah bukti kepandaian para Wali Songo dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat Jawa melalui cara yang sangat menyenangkan dan tak terasa menggurui. Kata-kata dalam tembang itu seolah-olah deretan kata-kata biasa saja yang menggambarkan keriangan dunia kanak-kanak. Namun jika dibaca sungguh-sungguh akan banyak makna agamawi yang muncul.
Tembang yang sering dinyanyikan anak-anak Jawa ini konon diciptakan oleh Sunan Kalijaga, meskipun ada juga yang mengatakan bahwa tembang ini ciptaan Sunan Ampel. Tembang ilir-ilir biasanya dinyanyikan oleh santri sebelum solat magrib atau solat isya di surau-surau pedalaman Jawa dulu. Tembang ilir-ilir, menurut versi lain, diciptakan oleh Sunan Giri, salah seorang Wali Songo, penyebar agama Islam di Jawa. Sunan Giri selain tinggi ilmu agamanya juga seorang ahli pendidik yang berjiwa demokratis. Beliau mendidik anak-anak dengan jalan membuat bermacam-macam permainan yang dijiwai oleh agama, misalnya Jelungan, Jamuran, Gendi-Gerit, Gula Ganti, Cublak-Cublak Suweng, Ilir-Ilir, dan sebagainya.
Menandai makin subur dan terkenal agama Islam di era para wali. Islam sebagai keyakinan (temanten) baru seperti kebangkitan tanaman padi yang menghijau. Meski berat penggembala (penguasa) agar aktif dalam siar agama. Blimbing bersegi lima (5 rukun Islam) untuk meyucikan diri dari ajaran (dodot = pakaian) yang ada bersihkan dari ajaran sesat syirik untuk mendapatkan ajaran yang benar guna mengahadap Tuhan sewaktu-waktu. (dodot bedhah pinggir = agama yang rusak, dondomono, jlumatana = jahitlah dengan teliti pakaian yang robek itu). Selagi masih ada kesempatan peluklah agama Islam, sebelum terlambat. Bergembira kalian moga-moga dapat ampunan dan anugerah dari Tuhan.
Bersama para wali, Sunan Kalijaga mengubah ukiran yang berbentuk manusia dan binatang yang dilarang dalam agama Islam diganti dengan yang berbentuk dedaunan. Sunan Kalijaga menciptakan gamelan sekaten (sahadatain atau dua kalimat syahadat).
C. NILAI KEARIFAN LOKAL BUDAYA JAWA
Sebagai negara multietnis dan multibudaya, Indonesia sangat kaya dengan budaya daerah. Menurut Danandjaya dalam Winarto (2010:1), keragaman budaya merupakan tradisi yang telah mereka warisi secara turun temurun dan menjadi milik bersama, baik dalam bentuk lisan, maupun bukan lisan. Budaya daerah yang beragam tentu lahir dari nilai serta kearifan lokal yang bersumber dari pandangan hidup dan sikap perilaku yang diyakini oleh masyarakat yang mengembangkan budaya tersebut. Nilai serta kearifan lokal merupakan etalase atau meja pajang bagi suatu budaya masyarakat setempat. Dari etalase tersebut dapat diketahui bagaimana konfigurasi, gambaran, pola pandang, sikap hidup serta nilai-nilai yang dikembangkan oleh masyarakat tertentu.
Menurut Alisjahbana sebagai sebuah sistem lambang, budaya berkenaan dengan kompleksitas hayatan, renungan, gagasan, pikiran, pandangan dan nilai yang pada hakikatnya merupakan ekspresi dan eksternalisasi kegiatan budi manusia dalam menjalani, mempertahankan dan mengembangkan hidup serta kehidupannya di dunia (Saryono, 2010:35). Singkatnya, budaya merupakan kompleksitas kegiatan cipta, rasa dan karsa manusia. Oleh karenanya, budaya sering dipahami sebagai sistem makna, pengetahuan dan sistem nilai.
Budaya Jawa, sama seperti budaya dalam masyarakat etnis lain memiliki nilai-nilai estetis yang khas dan unik. Seperti dikemukakan Teeuw, utamanya dalam tradisi sastra Jawa—khususnya juga dalam tradisi sastra Timur—nilai estetis Jawa berkenaan dengan keindahan dan keelokan, indah nan elok, suatu objek estetis dalam pandangan manusia Jawa. Dalam budaya Jawa, keindahan serta keelokan berjalin secara mutual dengan kesucian (nilai religious Jawa), kebenaran dan ketepatan (nilai filosofis Jawa) dan kebaikan serta kesopansantunan atau kepantasan (nilai etis Jawa) (Saryono, 2010:148). Nilai religius, filosofis, estetis serta etis Jawa dikatakan berjalan seiring, saling mendukung, menghargai, misalnya kualitas estetis sastra Jawa kuno menemukan puncaknya dalam kualitas religius (kalangon) dan momen estetis sastra Jawa kuno mencapai puncaknya dalam momen religius. Dengan kata lain, dalam budaya Jawa, hal yang indah dapat menjangkau arti yang baik, pantas, benar, tepat dan suci.
Nilai serta kearifan lokal budaya Jawa berarti pandangan hidup, pola pandang, sikap perilaku yang mengedepankan harmonisasi kehidupan manusia dan Tuhannya. Yang indah bagi manusia Jawa berarti kudus, senantiasa bersandar pada religiusitas. Dalam budaya Jawa, pembicaraan tentang keindahan serta keelokan tidak bisa meninggalkan pembicaraan tentang dimensi-dimensi kebaikan, kebenaran dan kesucian menurut masyarakat Jawa.
D. ETNOPUITIKA
Linguistik baik yang menggunakan pendekatan formal (misalnya ala Chomsky) ataupun pendekatan yang lebih humanistik (misalnya ala Hymes atau Halliday) hanya dapat memberikan analisis struktural dan penjelasan parsial, terutama terhadap “misteri makna” dalam bahasa puitis. Meminjam istilah Chomsky di hadapan bahasa puitis, linguistik hanya dapat melakukan sebagian saja dari descriptive adequacy (ketuntasan pemaparan), dan rasanya mustahil untuk bisa sampai pada explanatory adequacy (ketuntasan penjelasan). Jadi, memang harus ada division of labor antara linguistik dan sastra (Kadarisman, 2010:101). Dalam menghadapi bahasa puitis atau teks sastra, linguistik, sebagai acuan teoretis dan pisau analisis, memiliki kelebihan dan sekaligus kekurangan.
Istilah “puitika” berakar pada Aristoteles dan berasal dari masa lebih dari dua milenium yang lalu. Sementara istilah “etnopuitika” diperkenalkan ke dunia akademis baru beberapa dasawarsa yang lalu. Tepatnya “etnopuitika” diperkenalkan oleh Rothenberg pada tahun 1968, melalui jurnal Alcheringa.
Istilah “puitika” dapat mengambil penjelas “etno” yang melahirkan “etnopuitika”. Seperti halnya etnolinguistik, etnomusikologi, atau etnobotani, etnopuitika adalah puitika yang mementingkan wawasan lokal. Etnopuitika merupakan titik temu dari tiga disiplin, yaitu linguistik, antropologi, dan sastra lisan. Objek kajian etnopuitika adalah “teks” yang muncul pada pentas sastra atau poetic performance. Bidang linguistik bertugas menganalisis struktur teks, dari lapis fonetis-fonologis, lapis morfoleksikal, lapis sintaksis, sampai sosio-semantisnya. Antropologi berfokus pada pengetahuan lokal, yaitu bagaimana filsafat atau kearifan lokal menjelaskan makna sosial dari pentas sastra bagi masyarakat setempat. Sastra lisan menjekaskan posisi pentas sastra dalam kaitannya dengan pentas-pentas sastra yang lain, yang mungkin berkaitan, setengah berkaitan, atau sama sekali terpisah. Singkatnya etnopuitika adalah disiplin yang mengkaji puitika pentas yang membawa warna lokal yang kental.
Dalam perkembangan selanjutnya, ada dua ciri utama yang sacara khas menjadi etnopuitika. Pertama, etnopuitika memfokuskan diri pada pentas sastra atau verbal art performance. Dalam hal ini etnopuitika dapat dipandang sebagai “puitika-pentas”, yang merupakan titik temu dari berbagai disiplin, seperti linguistik, antropologi, sastra (lisan), dan folklore (Kadarisman, 2010:103). Kedua, etnopuitika berusaha mempelajari makna pentas sastra serta implikasinya dengan lebih dahulu memahami pengetahuan lokal. Artinya, setiap kelompok budaya atau komunitas penutur bahasa memiliki ciri-ciri lokal yang khas, yang tidak terdapat pada kelompok budaya atau komuntas penutur bahasa lainnya. Ciri-ciri khas tersebut dikenal secara baik oleh peneliti bila berharap untuk dapat memberikan deskripsi yang memadai teradap penelitiannya di bidang etnopuitika.
Menurut Dell Hymes etnopuitika menekankan pentingnya the universality of the lines, atau kesemestaan pembaitan, terhadap narasi sastra pentas ke dalam bentuk puisi. Namun karena pembaitan tidak selalu ada dalam sastra pentas maka penekanan oleh Hymes tersebut bergeser menjadi the universality of poetic features, atau kesemestaan ciri-ciri puitis. Sementara itu menurut Dennis Tedlok etnopuitika menekankan pada the art of sounding the text, atau seni melantunkan teks.
Pemahaman pengetahuan lokal atau local knowlegde merupakan prasyarat yang tidak dapat ditinggalkan oleh peneliti di bidang etnopuitika. Hasil penelitian Arps mengenai tembang Jawa, yang dibukukan menjadi Tembang in Two Traditions: Performance and Interpretation of Javanese Literature, adalah sebuah contoh unggulan untuk penlitian etnopuitika. Hasil penelitian Aprs memberikan sumbangan yang sangat berarti terhadap etnopuitika, yaitu teks sastra tidak harus hadir dan lahir melalui pentas. Dalam tembang performance, atau yang dalam istilah lokalnya dikenal sebagai macapatan, hampir dapat dipastikan bahwa teks selalu mendahului pentas. Istilah teks di sini diartikan secara longgar, sebagai a stretch of verbal discourse. Jadi, teks bisa meliputi wacana lisan maupun tertulis. Jika yang ditekankan adalah pengertian teks tertulis, maka definisi formalnya menjadi an orthogrphic (or phonetic) record of the stretch of verbal discourse.
Pentas menjadi bagian utama dari objek studi etnopuitika. Pentas ini pula yang secara tegas membedakan antara puitika (ala Jakobson) dan etnografi wicara yang dipopulerkan Hymes sejak awal tahun 1960-an. Puitika Jakobson lebih memusatkan perhatian pada struktur teks. Sementara itu etnografi wicara Hymes mempelajari percakapan bahasa sehari-hari sebagaimana digunakan oleh penuturnya, serta bagaimana penggunaan bahasa itu ditentukan oleh konteks percakapan dan aturan-aturan yang berlaku dalam budaya lokal. Jadi, etnopuitika atau puitika pentas, dengan terlebih dahulu memahami nilai-nilai budaya lokal dan memusatkan perhatiannya pada pentas sastra, bertujuan menjelaskan unsur-unsur pembentuk struktur dan bunyi bahasa, yang merupakan ciri-ciri pokok dari pentas tersebut.
Perlu dicatat bahwa tujuan semacam itu sangat diwarnai oleh ilmu bahasa, yang sifatnya sangat struktural. Artinya, analisisnya selalu bergerak dari bentuk menuju makna. Penjelasan yang bersifat struktural, baik mengenai bentuk maupun bunyi bahasa, banyak diwarnai oleh metode puitika Jakobson, sedangkan penjelasan mengenai bagaimana budaya lokal itu mewarnai bahasa dan pentas sastra banyak berkaitan dengan hipotesis Sapir-Whorf, dalam versinya yang moderat. Berkaitan dengan hal ini, Sapir menyatakan bahwa setiap bahasa, sebagai alat ekspresi budaya dan sastra, memiliki kekhasan masing-masing.
E. KAJIAN ETNOPUITIKA ILIR-ILIR
ILIR-ILIR
Ilir-ilir ilir-ilir [bangun-bangunlah (dari tidur)]
tandure wis semilir [pohon /tanaman sudah tumbuh subur]
Tak ijo royo-royo [demikian menghijau]
tak senggu temanten anyar [bagaikan gairah pengantin baru]
Cah angon-cah angon [anak penggembala]
penekno blimbing kuwi, [panjatlah pohon belimbing itu]
Lunyu-lunyu yo penekno,[walau susah atau licin tetap panjatlah]
kanggo mbasuh dodotiro.[berguna untuk cuci pakaianmu]
Dodotiro-dodotiro [pakaian-pakaian]
kumitir bedhah ing pinggir [yang buruk disisihkan]
Dondomono jumlatana [jahitlah dan benahilah]
kanggo sebo mengko sore [untuk menghadap nanti sore]
Mumpung padang rembulane [mumpung terang rembulannya]
mumpung jembar kalangane, [mumpung banyak waktu luang]
yo sorako-sorak hiyo [mari bersorak-sorak ayo]
Khusus ilir-ilir makna gramatikalnya adalah sebagai berikut. Sang bayi yang lahir di dalam dunia ini masih suci bersih, murni sehingga ibarat pengantin baru, siapa saja ingin dan suka memandangnya. Bocah angon (penggembala) itu diumpamakan santri, mualim, artinya orang yang menjalankan syariat agama. Sedangkan buah belimbing memiliki lima belahan, yang diibaratkan sebagai rukun Islam. Batang pohon belimbing yang licin bermakna kesulitan dalam melaksanakan rukun Islam maupun kehidupan harus bisa diatasi. Bahwa orang hidup di dunia itu senantiasa condong berbuat dosa, segan mengerjakan yang baik dan benar serta utama, sehingga dengan menjalankan sholat diharapkan bisa membasuh dosa sekaligus sebagai bekal kita menghadap kehadirat Ilahi.
Dimulai dari kata “bangun, bangunlah” dari keadaan tidur, yang sering dilihat para ulama sebagai keadaan mati sementara akan timbul pertanyaan: apanya yang harus dibangunkan atau dihidupkan? Roh kah? Kesadaran? Atau pikiran? Tetapi maksud kata “lir-ilir” yang juga mengandung gerakan angin semilir ini bisa juga ditafsirkan sebagai imbauan lembut dan ajakan untuk berzikir. Zikir yang akan menghidupkan apa yang tadinya melenakan. Zikir untuk kembali siaga. Berjaga dan senantiasa mengingat sang Pencipta.
Baris “tandure wes semilir tak ijo royo-royo, tak senggu temanten anyar” bisa diartikan bahwa zikir sudah dikerjakan, maka akan menghasilkan kehidupan yang indah dan nyaman seperti pohon hijau yang rindang, yang bermanfaat sebagai tempat berteduh banyak makhluk Allah di muka bumi. Setelah itu, meski kalimat sesudahnya mengaitkan kesejukan dan rindang pohon dengan kesejukan pengantin baru, ada juga tafsir lain yang menyatakan bahwa yang dimaksudkan Sunan Kalijaga saat menuliskan kata-kata “pengantin baru” ini adalah raja-raja di Jawa yang baru memeluk agama Islam, setelah sebelumnya leluhur mereka biasanya memeluk agama Hindu atau Budha. Pemahaman arti seperti ini masih bisa diterima akal karena dengan berpindahnya keyakinan seorang raja menjadi pemeluk Islam, biasanya juga akan diikuti dengan perpindahan keyakinan rakyatnya secara besar-besaran sehingga bisa terlihat seperti pohon hijau yang rimbun, ijo royo-royo.
Yang lebih menarik adalah baris selanjutnya yang dimulai dengan “cah angon-cah angon” mengapa harus seorang bocah penggembala yang diseru Sunan Kalijaga dalam lagu itu? Mengapa bukan “Pak Kiai-Pak Kiai” misalnya? Inilah salah satu kecerdasan Sunan Kalijaga yang lain dalam memahami dunia kanak-kanak sekaligus konsep figur imamat. Penggembala adalah seorang yang selalu mengarahkan hewan-hewan gembalanya agar tidak tersesat, layaknya seorang imam yang berkewajiban untuk selalu membimbing makmumnya di jalan yang benar, betapapun sulitnya jalan itu.
Jika kata “cah angon” itu dilihat sebagai seruan lembut kepada para imam, bisa saja dalam bentuk para kiai, raja-raja, atau kaum terpelajar yang merasa punya kewajiban untuk terus mengarahkan rakyat sebagai makmumnya, kalimat “penekno blimbing kuwi” menjadi sangat kuat maknanya karena blimbing adalah buah berwarna hijau dengan lima (5) sisi buah yang bisa dianggap sebagai simbol lima rukun Islam. Sedangkan “penekno” merupakan ajakan kepada raja-raja Jawa untuk mengimbau masyarakat agar mengikuti jejak mereka untuk memeluk dan menjalankan syariat Islam.
Kalimat selanjutnya “lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro” memiliki arti bahwa meskipun cukup sulit untuk memperoleh “blimbing kuwi” itu, jika bisa didapat akan sangat bisa membantu untuk memudahkan mencuci pakaian. Tidak sulit memhami kalimat ini jika pengertian tentang “blimbing kuwi” sebagai lima rukun Islam, karena jika seseorang sudah berpegang pada rukun Islam, maka akan mudah baginya untuk membersihkan hati, pikiran, ketakwaan, sebagai bagian dari “pakaian” yang digunakan sehari-hari. Sebab jika tidak dibersihkan secara rutin dan sungguh-sungguh, pakaian itu bisa cepat lusuh dan terlihat buruk di mata orang lain.
Karena itu, jika pakaian takwa dan keimanan sudah terlihat lusush, baris-baris kalimat “dodotiro-dodotiro kumitir bedah ing pinggir” yang berarti bahwa pakaian-pakaian yang sudah lusuh harus segera dipinggirkan, bukan dengan maksud untuk dibuang, melainkan untuk dijahit kembali, diperbaiki agar secepatnya terlihat indah lagi.
Adapun baris yang menyatakan “dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore” atau “benahilah pakaianmu untuk menghadap nanti sore” sangat jelas maksudnya sebagai penanda waktu menyangkut kematian. Dengan demikian, seorang muslim sudah selayaknya harus selayaknya harus membenahi pakaian iman dan takwanya sebelum kematian datang “di waktu sore”, atau ujung umur seseorang yang diperkenankan Allah SWT.
Tembang itu ditutup dengan imbauan yang sangat menyejukkan hati bahwa segalanya harus segera dilakukan “mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane” yang bermakna “mumpung terang rembulannya, mumpung banyak waktu luang”. Karena jika sinar rembulan sudah redup alam semesta gelap, dan tak ada lagi waktu luang untuk berbenah, sia-sia saja seluruh keinginan untuk memperbaiki pakaian takwa jika waktunya sudah tidak memungkinkan.
Seluruh lagu akhirnya ditutup dengan kata-kata riang gembira “yo surako-surak hiyo” yang berarti sambutlah seruan ini dengan sorak-sorai dan keceriaan untuk menjalankan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Jika seluruh kalimat dalam tembang ilir-ilir diteliti dengan cara seperti ini, sulit untuk tidak mengatakan bahwa Sunan Kalijaga, atau siapapun dari Wali Songo yang menciptakan lagu ini hanya membuat melodi indah ini hanya untuk anak-anak, karena sesungguhnya ada pesan lebih serius yang ditempatkan dalam kata-kata riang itu.
F. KEARIFAN LOKAL BUDAYA AGRARIS DALAM ILIR-ILIR
Kegiatan agraris merupakan kegiatan yang mengalami proses panjang dan memakan waktu hingga ribuan tahun (tidak begitu saja terbentuk) di dalam sejarah kebudayaan manusia. Masa kejayaan masyarakat agraris bermula pada saat berakhirnya masa mengumpulkan makanan (food gathering) dan perlahan tergantikan perannya ketika revolusi industri dimulai. Saat itu manusia berhenti mengumpulkan makanan karena mereka menemukan cara yang lebih baik untuk hidup yakni dengan mengolah tanah pertanian dan menjinakkan hewan.
Masyarakat agraris dan kebudayaan bermukim memiliki kaitan yang erat, sebab di saat manusia mulai bertani dan beternak, manusia sudah tidak mungkin lagi hidup berpindah-pindah. Dengan kata lain: muncul ide berupa kebutuhan untuk menetap, menciptakan rumah, dan mengembangkannya menjadi permukiman sederhana.
Ilir-ilir muncul pada konteks alam pikiran agraris yang bercirikan keutuhan dan keragaman. Solidaritas pada masa itu masih sangat kuat dan berbeda dengan sekarang yang masyarakatnya cenderung individualis. Kode-kode budaya dalam Ilir-ilir yang cenderung ke agraris memiliki unsur motivasi dan optimistis misalnya pada lirik ”Ilir-ilir tandure wes sumilir” adalah kode budaya dalam masyarakat agraris yang berarti tanamannya sudah tumbuh subur. “”. Lirik-lirik tersebut semua berhubungan dengan bidang agraris karena pada masa Mataram masyarakat lebih sukses di bidang agraris bukan di maritim.
Dalam pandangan masyarakat agraris, keberadaan “bocah-angon” (penggembala) merupakan entitas dari realitas sosial yang sejak dulunya, tak pernah terpisah dari dinamika masyarakat pedesaan dalam kesehariannya. Ternak yang digembalakan, umumnya berupa lembu atau kambing, merupakan pusaka warga yang mayoritas sebagai petani desa. Pekerjaan menggembalakan ternak, meski bisa dipandang ringan, tetapi sejatinya beresiko besar. Karena bukan saja soal keselamatan ternak yang merupakan tanggungjawabnya. Tetapi di segala musim dan cuaca, panas dan hujan deras, di bawah terik yang membakar dan di kala badai disertai halilintar; kegiatan “cah angon” dalam menggembalakan ternak tetap berlangsung, demi keberlangsungan hidup ternak maupun bocah angon dan selanjutnya masyarakat itu sendiri.
Bocah angon, dalam pandangan masyarakat tradisional, dianggap manusia yang dekat dan dikasihi Tuhan Yang Maha Esa. Bocah angon atau pemimpin (baik pemimpin agama maupun dalam konteks pejabat yang memiliki massa) diharapkan mampu menggembalakan umatnya dengan baik. Kedudukannya yang yang ‘lebih tinggi’ secara social dan budaya dalam tatanan masyarakat seharusnya membuat mereka mampu mengemban amanah untuk melindungi dan mendidik umatnya dengan baik. Realitas demikian agaknya yang juga dipupuhkan dalam tembang “ilir-ilir” ciptaan Sunan Kalijaga, salah seorang wali dan pujangga penyebar ajaran islam, penerus Nabi di bumi Jawa ini.
Daftar Rujukan
Kadarisman, Effendi. 2010. Mengurai Bahasa Menyibak Budaya. Malang: UIN Maliki Press
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak. Jogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Poespaningrat, Pranoedjoe. 2008. Kisah Para Leluhur dan Yang Diluhurkan: Dari Mataram Kuno sampai Mataram Baru. Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat.
Saryono, Djoko. 2010. Menafsir Puitika Indonesia Menemu Tilas Budaya Jawa. Malang: A3.
Winarto, Daru. 2010. Lirik Lagu Dolanan sebagai salah Satu Bentuk Komunikasi Berbahasa Jawa: Analisis Fungsi. Widyaparwa (Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan), 38 (1):1—12.