SEORANG ksatria gugur di medan perang, nakhoda meninggal di kapalnya, seorang pilot tewas di pesawatnya, dan seorang juru kunci Gunung Berapi meninggal di pekuncenannya.
Demikianlah yang terjadi pada Mbah Maridjan. Dia memenuhi sumpahnya sebagai penjaga gunung Merapi, hingga akhir hayatnya. Gelimang harta dan publisitas yang diperolehnya sebagai bintang iklan selama ini – yang membuatnya kesohor seantero negeri – tak mengalihkan perhatiannya pada tugas mengabdi kuncen di gunung Merapi.
Mbah Maridjan meninggal dalam keadaan bersujud, dan jenazahnya ditemukan pada Rabu (27/10) dinihari pk 05:00. Kepasrahan ditunjukkan tokoh spiritual ini kepada Yang Maha Kuasa.
Sebagai seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta dengan jabatan juru kunci, yang diangkat oleh Sultan Hamengku Buwono IX, Mbah Maridjan menunjukkan nilai-nilai kesetiaan tinggi. Meskipun Gunung Merapi memuntahkan lava pijar dan awan panas yang membahayakan manusia, dia bersikukuh tidak mau mengungsi.
Sikapnya yang terkesan mbalelo itu, baik kepada Pemda DIY, maupun Sultan Hamengku Buwono X, pewarisnya, yang menolak turun gunung beberapa waktu lalu, dilakukan semata-mata sebagai wujud tanggung jawabnya terhadap tugas yang diamanatkan oleh Ngarsa Dalem (Sri Sultan HB IX).
Bintang Iklan yang populer dengan ungkapannya Roso-roso.. meninggal pada usia 83 tahun . Dia lahir tahun 1927 di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, di desa dimana dia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Tahun 1970 Mbah Maridjan diangkat menjadi abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta dan oleh Sultan Hamengku Buwono IX diberi nama baru, yaitu Mas Penewu Suraksohargo. Pada saat itu, sebagai abdi dalem, Mbah Maridjan diberi jabatan sebagai wakil juru kunci dengan pangkat Mantri Juru Kunci, mendampingi ayahnya yang menjabat sebagai juru kunci Gunung Merapi.
Mbah Maridjan menikah dengan Ponirah (73). Dia memiliki 10 orang anak, namun lima di antaranya telah meninggal. Pada akhir hayatnya Mbah Maridjan mengasuh 11 cucu, dan 6 orang cicit.
Anak-anak Mbah Maridjan ada yang memilih tinggal di Yogyakarta dan ada pula yang di Jakarta. Mereka adalah Panut Utomo, 50, Sutrisno, 45, Lestari, 40, Sulastri, 36, dan Widodo, 30. Di antara anak-anak Mbah Maridjan, juga ada yang siap mewarisi tugas sebagai juru kunci Gunung Merapi dan kini telah menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta.
Mbah Maridjan telah tiada. Teladan yang diberikan oleh almarhum Mbah Maridjan adalah kesetiaannya mengabdi, dan teguh pendirian – sikap yang langka di masa kini. Para wakil rakyat, para pemimpin kita yang duduk dijabatan tinggi begitu banyak yang lupa pada janji dan sumpahnya – setelah berkelimpahan harta dan kemudahan.
Seorang Mbah Maridjan yang telah begitu disubyo-subyo, berkelimpahan harta dari iklan yang dibintanginya, tetap bertahan di rumahnyadi saat kritis, meninggal dalam keadaan pasrah, tawakal dan bersujud, memenuhi sumpah setia pada panggilan tugasnya. Selamat Jalan Mbah Maridjan! (dimas)
.
Sumber: http://www.poskota.co.id/headline/2010/10/27/teladan-dari-mbah-maridjan-gugur-sebagai-kuncen-merapi
.
FOTO-FOTO
.
.
.