Tak semua wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki SMP Terbuka sebagai alternatif menjalankan program pendidikan dasar. Padahal SMP Terbuka bisa menjadi solusi bagi siswa yang tak bisa melanjutkan sekolah di SMP reguler.
Di Kabupaten Sleman misalnya. Jika di wilayah lain SMP Terbuka dipandang sebelah mata, di Sleman malah mendapatkan simpati siswa. Jumlah siswanya semakin bertambah.
Menurut Pembantu Pelaksana SMP Terbuka, Sleman Sardiono mengatakan SMP Terbuka Sleman kini telah menarik minat warga. Terbukti, dari sebelum 2012, jumlah siswa tidak pernah lebih dari 25 kini bisa mereka menerima 39 siswa.
“Namun baru tahun ini banyak sekali yang malah mendaftar di SMP Terbuka. Kebanyakan siswa yang daftar karena ingin masuk siang, karena pagi hingga siang mereka ingin membantu orang tuanya bekerja di sawah,” kata Sardiono yang juga menjadi penjaga SMPN 3 Tempel, Kamis (19/7).
SMP Terbuka awalnya memang untuk belajar siswa yang kurang mampu, khususnya harus membantu orangtua di rumah. Di Sleman sendiri SMP Terbuka hanya ada di Desa Pondokrejo, Tempel, Sleman. Saat berdirinya 1994 siswa bersekolah di Aula Balai Desa Pondokrejo namun 1995 mereka menginduk di SMPN 3 Tempel.
Sardiono menambahkan sebelum tahun 2010 karena menginduk biasanya siswa SMP Terbuka meminjam beberapa peralatan alat tulis dan perabotan kantor, termasuk komputer. Namun setelah ada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk SMP Terbuka semua peralatan bisa disediakan sendiri.
Meskipun menginduk, menurut Sardiono bukan berarti siswa SMP Terbuka tidak bisa bersaing. Bahkan ada siswa yang nilai NEM-nya bisa mencapai 33.
“Kalau di sini NEM SMPN 3 Tempel itu ada yang sampai 36, dan yang SMP Terbuka ada yang mencapai 33. Sedangkan nilai terendah SMPN 3 Tempel NEM mencapai 18, kalau SMP terbuka NEM paling rendah malah 20. Jadi tidak selama SMP terbuka itu tidak bisa bersaing,” kata Sardiono.
Sardiono menuturkan selama ini jumlah kelulusan SMP Terbuka mencapai 100% tiap tahunnya. Padahal waktu belajar SMP Terbuka lebih pendek, untuk satu mata pelajaran hanya membutuhkan 30 menit, sedangkan SMP reguler mencapai 40 menit.
Melihat kondisi ini, Sardiono berharap SMP terbuka Sleman bisa mendapatkan gedung sendiri. “Inginnya itu siswa SMP Terbuka bisa dapat gedung sendiri, meskipun gurunya tetap menginduk di SMPN 3 Tempel,” harapnya.
Seleksi Ketat
Sementara itu, Kepala Bidang Kesiswaan dan Kurikulum Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Sleman Srin Wantini menuturkan saat ini SMP Terbuka di Sleman tinggal satu. Meskipun mulai diminati bukan berarti SMP Terbuka bisa menampung semua siswa yang mendaftar. Perlu adanya seleksi, terlebih untuk siswa yang masih bisa bersekolah secara reguler.
“Pada dasarnya sekolah reguler maupun terbuka sama dan keduanya digratiskan. Untuk itu kami tetap akan meminta kepala sekolah setempat untuk menyeleksi siswanya, jangan sampai ada siswa yang harusnya masuk SMP reguler malah diterima di SMP Terbuka,” kata Sri.
Sri menambahkan, memang SMP Terbuka di Sleman ini masih dibutuhkan, khususnya siswa yang juga anak petani. “Tapi bukan hanya orang-orang Sleman yang sekolah di sini lho. SMP Terbuka Sleman juga banyak menampung siswa dari Magelang juga,” tambahnya.
Di KP & GK Dihapuskan
Sementara di Kulonprogo, sudah beberapa tahun terakhir, SMP Terbuka telah dihapuskan oleh pemerintah setempat. Ditemui belum lama ini, Kepala Dinas Pendidikan Kulonprogo, Sri Mulatsih membenarkan penutupan SMP Terbuka tersebut.
“Dulu beberapa tahun lalu memang masih ada satu di daerha Girimulyo, tapi sekarang sudah tutup,” jelasnya. Penutupan sekolah tersebut, menurutnya dilakukan karena beberapa pertimbangan yakni pertama kurangnya peserta didik dari tahun ke tahun. Sementara alasan lainnya dikarenakan Pemkab Kulonprogo sudah menalangi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pendidikan dasar.
Ia melanjutkan, dulu pendirian SMP Terbuka dilakukan untuk mengakomodasi para siswa yang tidak mampu secara ekonomi sehingga harus menyisihkan waktu untuk bekerja mencari nafkah. “Sementara saat ini untuk biaya pendidikan sudah digratiskan, dalam artian sudah ditalangi BOS. Kalau untuk pembelian sarana prasarana itu memang di luar BOS. Jadi hal itu yang menjadi pertimbangan kami,” ujarnya.
Selain menganggap BOS sudah mengakomodir biaya pendidikan untuk SD hingga SMP, pihaknya hingga kini sudah menyiapkan bantalan lainnya berupa beasiswa retrieval. Ia sudah memerintahkan kepada jajarannya untuk mengirimkan surat ke tiap kecamatan se-Kulonprogo yang isinya meminta pihak kecamatan melakukan pendataan siswa usia sekolah yang tidak bersekolah.
Ia melanjutkan, setelah pendataan dilakukan, pihaknya bakal melakukan seleksi untuk memasukkan nama-nama warga tersebut ke dalam prorgram beasiswa retrieval yang dananya berasal dari Pemerintah Pusat.
Jika memang masih ada yang tidak terakomodasi, menurutnya saat ini di Kulonprogo sudah banyak berdiri Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang diasuh sendiri oleh warga secara mandiri dan memiliki jalur dari paket A hingga C.
Untuk wilayah Kulonprogo, hingga kini sudah ada 52 PKBM yang telah teregister atau Nomor Induk Lembaga (Nilem).
Sama halnya dengan di Kulonprogo, di Gunungkidul SMP Terbuka sudah tidak lagi. Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Gunungkidul Sudodo mengatakan SMP Terbuka di Gunungkidul sudah tidak ada lagi sejak tahun 2010.
“Kami sekarang hanya punya SMP Reguler,” kata Sudodo kepada Harian Jogja di kantor Pemkab Gunungkidul, Wonosari, Jumat (2)/7). Sudodo berujar pihaknya ingin memberikan layanan pendidikan yang lebih berkualitas kepada masyarakat Gunungkidul.
Oleh karenanya, SMP Terbuka di Gunungkidul ditutup dan sekarang hanya terdapat SMP Reguler. Gunungkidul dulu memiliki SMP Terbuka di sejumlah kecamatan seperti Gedangsari, Semanu, Panggang sampai Wonosari.
Para siswa biasanya juga bekerja di berbagai sektor informal seperti pembantu rumah tangga sampai buruh serabutan. Dalam satu SMP Terbuka di Gunungkidul dulu memiliki belasan sampai dua puluhan siswa.
http://www.solopos.com/2012/pendidikan/lapsus-pendidikan-smp-terbuka-solusi-siswa-203508