Kirim PUISI atau CERPEN ke infodiknas@yahoo.com untuk dimuat di www.infodiknas.com.
Oleh : La Ode Gusman Nasiru
Bahkan, sejak sebelum terlempar ke dunia, aku sempat menolak menjadi bagian dari perempuan itu. Bagaimanapun, aku tak sudi jika selama sekian belas tahun harus selalu bersamanya. Pengap lengket dinding rahim menjadi saksi betapa aku melaknatnya. Telah kutarik-kendorkan segala urat dan bakal ototku, kutekuk-tekuk kening dan bibirku, tapi tetap saja aku terlahir dengan kesempurnaan yang matang. Bahkan mata yang selama itu terus kupejam malah berubah menjadi mata terindah di seantero kampung setelah seorang perempuan mengejang sehari semalam. Karena terkesima dengan bentuknya yang bulat penuh dan bercahaya, ayah dan ibunya menamainya Indah Purnama. Dasar mental kampung, padahal saat itu bulan tidak sedang bulat. Di atas hanya ada sekantung putih doreamon yang muntah dari gigir cakrawala.
* * *
Baiknya kukatakan siapa aku agar tak ada sentimen negatif di antara kita. Aku adalah sepotong wajah. Hai, tak perlu heran atau tersenyum! Kalau bukan karena kau, tak akan kutukar kisah tolol ini dengan bongkahan dendam yang tertimbun tahun-tahun di hatiku. Aku juga tak berkenan jika kau mengabaikan perjuanganku dalam menggagalkan rencana kelahiran Indah. Aku berkelit dalam diskusi sengit ketika ia berusia seratus sepuluh hari. Tapi akhirnya sesuatu menghantam tengkukku keras, dan aku mafhum ada yang tengah murka. Jangan bayangkan diamku setelah itu adalah kekalahan. Tidak, suatu hari nanti ia akan merasakan betapa pahit buluh-buluh nista.
Indah tumbuh dengan kemolekan paras yang luar biasa. Tentu saja paras itu aku. Banyak pemuda yang diam-diam selalu mengintipnya ketika menjemur pakaian di beranda samping rumah. Si Barto bahkan terobsesi dengan wajah gadis itu—ingat, sebenarnya ia terpesona pada penampilanku. Ia pernah mencuri beha milik Indah dua belas tahun, kemudian menghirupnya dalam-dalam di belakang pohon mahoni. Dia pikir aku tak melihatnya. Aku hanya tersenyum. Rasakan kau, penjahat ulung yang bertekuk lutut pada mekar aroma dada.
Kebencianku pada Indah semakin tak terbendung ketika aku tak pernah dirawatnya. Padahal aku ingin sekali seperti wajah teman-temannya yang sesekali dibedaki, sesekali diberi gincu, atau sesekali dicium sang pacar yang belum lagi berkumis dan berjanggut. Saking lugunya, ketika bercermin dua kali sehari ia hanya sempat menyisir rambutnya yang berkepang. Aduh, gadis naif. Lihatlah aku. Aku yang terpantul bersama bayangan tubuhmu yang mengkal di depan kaca lemari. Aku yang kalau kau buat tersenyum akan membuat Barto lebih banyak mencuri pakaian dalammu. Tidak, kau memang terlalu dungu untuk mengerti betapa beruntungnya kau diberi kesempatan bersamaku.
Aku jadi ingat, Indah. Suatu malam ketika kau pulang mengaji bersama teman-teman kau melihat bulan berdarah berlari-lari. Tentu mereka menertawai kebingunganmu. Mata mereka tidak awas akan hal itu. Ya, sebab bulan telah memproteksi dirinya sehingga hanya dirimu yang mampu melihat kesengsaraannya. Sampai di rumah kau buru-buru masuk kamar dan mengunci diri, sebab pikirmu bapak dan ibu tak akan mengerti apa yang kau lihat. Buktinya, bapak tenang-tenang saja mencari saluran di radionya bahkan ketika kau mengucap salam dengan ketakutan yang terlalu kentara.
Di celah jendela kau mengintip. Tak ada bulan di situ. Kau meraih gerendel, mendorongnya sedikit, lalu tiba-tiba blasss. Dengan kecepatan sepersekian detik bulan telah berdiri di depan hidungmu. Kau terlempar di atas tempat tidur dan menutup mataku. Tapi aku tahu, takut-takut kau masih mengintip memperhatikan darah bulan yang berceceran di lantai, juga menodai kasur yang baru diganti ibu. Bulan tiba-tiba menyusup ke dalam lipatan pahamu, merogoh rahimmu. Kau tak kuasa berteriak, sebab perih yang menggaruk perut membuatmu sejenak lupa bahkan untuk meringis.
Di dapur, aku sempat mendengar Cahaya menggerutu sebab kau tak membantunya menyiapkan perkakas meja makan. Ibu mengetuk pintu untuk makan malam. Perempuan itu lalu menggeser pintu ke dalam dan melihatmu tengah berkutat dengan keringat, darah, dan air mata. Awalnya ibu ketakutan bukan kepalang. Ia hendak memanggil bapak, tetapi sesaat kemudian intensitas kekhawatirannya berkurang. Sesungging senyum mengendarai bibirnya.
“Aduhai anakku” ia berkata gugup, tapi aku dapat menerka gelombang kebahagiaan membuncah dalam getar aliran suaranya. Ia mengangkatamu lalu setengah menyeret ke kamar mandi. Ayah yang melihat rokmu memerah tergesa berdiri, tapi ibu menahannya dengan tatapan dan anggukan.
* * *
Hari-hari bergegas menggunting senja dan rembang. Di bulan berikutnya aku melihat tanganmu telaten mengurusi pembalut, dan aku kau buat begitu tenang seolah aku senang melihat bagian bawah tubuhmu. Sejak itu bulan memilih menetap di saluran rongga surgamu. Tapi akhirnya aku mengalah. Bukan kalah. Sebab aku senang kau mulai memperhatikan instruksi ibu untuk mengurusi diri.
Aku paling senang ketika kau bangun di suatu pagi. Mandi dan mengusapkan bedak tipis ke permukaan kulitku. Aku terenyuh—tapi jangan pernah berpikir dendamku seketika luntur. Bagian yang juga membuatku gembira ketika teman-teman perempuan melirikmu sambil tersenyum. Di ujung koridor sekolah aku sempat melirik beberapa anak lelaki menganga melihatmu. Kau menunduk. Aku mengumpat. “Angkat aku, tolol!”
Kau memalingkan wajah, aku melihat pak guru agama justru terang-terangan menyedot matamu dengan kebinalan paling liar.
Seharusnya kau menyalahkan Cahaya yang cerdas, sehingga malam itu ia harus memenuhi janji rutin mengajari anak pak lurah di rumahnya. Kau tinggal sendiri sambil menghafalkan rumus fisika. Bapak dan ibu tengah berkunjung ke rumah Bibi Marfua di kota. Perempuan yang berkata akan berkongsi dengan seorang pejabat teras demi kenaikan pangkat bapak.
Seharusnya kau juga menyalahkan jam yang diperoleh ibu sebagai hadiah undian di satu toko elektronik. Sebab ia terlalu lambat berdetak. Itu berarti kau harus sabar menunggu Cahaya. Duh, betapa lama tiga ribu enam ratus detik bagimu, gadis remaja.
Aku tiba-tiba mencium bau aneh. Bukan, bukan bau buku bekas kakakmu tahun lalu. Bau yang busuk dan menamparku. Aku ingat, ini aroma purba malam pertama. Kau tiba-tiba menoleh ke arah pintu setelah mendengar ketukan halus. Segera kau tepis kalau itu makhluk halus sebab kau lebih fasih menghafal ayat kursi dibanding Cahaya dan bapak. Kau dan aku. Kita berdiri.
Pak Saleh?
Kau menengok keluar. Memperlihatkan sikap hati-hati, dan bertanya dengan diam yang sempurna. Ah, aku lupa kau sudah mulai dewasa. Kau sudah belajar bahasa tubuh.
Pak Saleh mendorong udara antara kita dan dia. Kau terpaksa masuk dan duduk, lalu mempersilakannya. Padahal dia meminta izin masuk sambil melangkah ke dalam. Kau tergagap. Aku tersenyum. Bertalu-talu gendang jantungmu menghantam telingaku. Aku yakin Pak Saleh yang duduk satu meter di depan kita membaca bunyi itu. Ia meletakkan sebuah botol, seharusnya kitab kebenaran yang selalu ia tenteng ke sekolah. Sikapnya sempurna sebagai seekor manusia. Setelah bertanya di mana bapak ibu, kau berbohong berkata ibu sedang memasak dan bapak sedang mengetik. Aih, bodoh kamu Indah, tentu saja Pak Saleh tahu kau berbohong. Tatapannya menerkam mesum ke arahku. Aku! Indah—yang makin cantik. Ia tiba-tiba bergerak lesat menutup pintu. Kau berdiri hendak menghalangi, tapi lekas ia tepis dengan lengannya yang lebat berbulu. Aku tertawa, Indah, sungguh. Kau pasti juga tahu kelanjutan cerita kita di masa lalu itu, bukan? Tapi aku agak kecewa, harusnya Pak Saleh tidak terburu-buru. Sebab ia bisa menunggu sampai Cahaya datang. Sekali tepuk, dua lalat bertekuk lutut di bawah pusarnya.
“Kau tahu botol ini untuk apa, Indah? Untuk mengurung bulanmu di dalamnya. Sebab aku akan bertukar tempat dengannya.”
Tawanya keras tertahan, kau merasa atap rumah lebih baik runtuh saat itu.
Pak Saleh buru-buru meneguk sedikit isi botolnya, sisanya disiram ke tubuhmu hingga kau basah dan menangis. Aku basah dan tertawa. Aku benar-benar menikmati saat Pak Saleh akhirnya merogoh bulan itu, Indah. Lalu menyumpalkannya di mulut botol. Akhirnya kau tak punya bulan, kecuali setitik nista jadah Pak Saleh.
Dua bulan berlalu. Dua minggu setelah kepulangannya dari rumah bibi, Ayah resmi naik pangkat. Cahaya baru saja menerima penghargaan di sekolah setelah mendapat peringkat satu untuk kesekian kalinya. Ibu masih sering berkumpul bersama ibu-ibu yang lain di beranda samping rumah. Aku, aku sering diam-diam memperhatikan perubahan sikap ibu yang mulai diam-diam memperhatikan perubahan sikapmu. Sesuatu akhirnya harus terungkap.
Bulan ketiga kehamilanmu, bapak pulang dari kantor membawa muka yang lebih kusut dari gumpal rajutan benang. .Ia seakan memikul beban puluhan kilo di pundaknya. Pundak yang selalu menggendong kau dan Cahaya hampir sembilan tahun lalu. Ia diturunkan dari jabatannya, sebab bosnya mendengar kabar tak sedap tentang keluarganya dari teman sejawatnya. Sayangnya berita busuk itu benar. Padahal bapak baru saja mengambil kredit di bank untuk membangun rumah. Seminggu kemudian bapak resmi keluar dari kantor setelah sebelumnya meminta dengan sangat kepada para atasan untuk tidak memberhentikannya. Resesi ekonomi memaksa perusahaan memangkas beberapa pegawainya. Sebenarnya jabatan bapak masih layak diperhitungkan, tapi karena namanya telanjur hangat di meja rapim, akhirnya dia diberi kesempatan untuk mencari pekerjaan di tempat lain.
Bapak tiba-tiba sering murung menatap sore. Tak butuh waktu lama untuk membuatnya gila. Ibu tak tahan dengan penagih kredit yang datang hampir tiap hari dan mengancam menghabisi keluarganya. Ia hengkang dari rumah. Menitip satu dua butir air mata untuk kita. Cahaya tak butuh waktu lama untuk mengkambinghitamkan seseorang dalam bencana keluarga. Ia mulai tak memedulikanmu. Saat itu kau harus berjuang mengurusi anakmu dengan Pak Saleh, ia yang menghilang dari kampung dua hari setelah memaksa menyemai benih dalam garis tanganmu.
Kau berjalan tertunduk. Menelusuri setapak-setapak harapan. Harapan yang melemparmu ke kota!
Sembilan bulan kau terseok-seok menanggung neraka yang ditujah ke perutmu. Sesuatu robek menganga, memberi kesempatan sepasang tangan merengkuh daging beraroma biadab dari labirin tanpa cahaya. Kau tidak pantas menghujatnya, betapapun surga telah menancapkan roh dalam tubuh anak itu. Sepasang tangan yang telah menadahnya dari liangmu juga memaksa bayimu menjalani takdirnya sendiri. Kau tentu tahu, belum genap sebulan kau memanjakan kerongkongannya yang belum mengenal sesuatu selain air susu, harus kau tinggalkan. Pun, sepasang tangan itu yang memaksamu menyusui kerongkongan lain. Kerongkongan yang terlalu banyak dilalui dosa.
Apa yang dapat dilakukan perempuan sepertimu selain menelan nasib bulat-bulat? Tidak ada opsi dalam penentuan itu, Ndah. Kau hanya bertugas melakoninya. Kali ini waktu berpihak padaku. Menikmati saat yang paling aku nanti selama kurun tak terhingga, sejak kau makan dari plasenta. Aduhai.
Malam-malamku dipenuhi tawa dan gembira. Hari-harimu disesaki sesal tak berkesudahan. Aku mereguk candu dalam gelas-gelas yang disodorkan, menikmati setiap yang disuguhkan. Kau menyodorkan permohonan ampun kepada lampu-lampu jalan, kepada warung-warung yang ramai tak pernah tidur, kepada kasur, kepada bau sepatu-sepatu, kepada lecutan ikat pinggang, kepada pintu yang didobrak, kepada ranjang yang bergoyang, kepada tangisanmu sendiri. Juga kepadaku.
Ah, tidak. Kau juga sudah lama mengutukku. Rembulan yang kautangisi dan malam-malam yang senantiasa menerkammu mengajarkan apa yang patut kau salahkan. Aku. Wajahmu.
Matahari yang mati di ufuk menghirup segala warna tembaga, mengembuskan napas polusi dalam relung keremangan malam. Sudah setahun kau dan beberapa perempuan lain menempati rumah ini. Rumah sepasang tangan. Tapi kau masih enggan keluar kamar jika tak ada tamu. Apa kau coba berdusta dengan berpura-pura mencemooh keadaan? Padahal kau menikmatinya? Ah, aku tetap tak mampu menerka tikungan lintasan pemikirannmu.
Ramai bunyi langkah mendekati pintu bilikmu. Suara cempreng sepasang tangan terdengar tengah bercakap sebentar kepada geletar suara bariton. Sesuatu yang bulat telah menelusup dalam kepala dan pembuluh darahmu. Ialah niat. Niat juga yang memaksamu tidak membuka pintu dan melirik ke samping kanan tempat kau letakkan takdirmu. Di luar sana, sepasang tangan mengetuk anggun. Kau meraih tempayan. Terdengar ketukan semakin berirama. Kau menutup mata. Ketukan ketiga mulai tak sabar. Kau tersenyum dengan bibirku seraya menyumpah kecil. Aku tersentak menghirup gumaman itu.
‘Akan kutuntaskan dendamku padamu.’
Sambil menatap cermin kau menantang mataku. Ada bara yang teramat nyala di situ.
Tidak, kau tidak pernah seambisius ini bermain dengan malapetaka. Tidak setelah kau nekat keluar dari rumah hampir dua tahun lampau.
Bunyi ketukan disertai serapah dan bentakan. Kau mencidukkan air keras ke seluruh tubuhku.
Bedebah! Terkutuk kau, Indah!
Luluhlah aku dalam durjana yang telah aku bangun.
Aku salah. Niat telah membawamu jauh dari ini. Sebelum pintu terdobrak oleh tendangan, kau mengiris lenganmu dengan beringas. Darah muncrat. Dua wajah mendekat menangkap senyummu yang terbakar.
Tak ada yang akan membawamu ke rumah sakit pun bersedih atas dirimu. Tak ada yang merenungi makna kematianmu. Bahkan, koran kota mengambil keuntungan atas kecelakaan yang menimpa dirimu, tiga hari setelah sebuah mobil melemparmu ringan di kedalaman jurang. Jurang di samping kiri jalur masuk ke desa, desa kita. Ya, di situ. Kau rebah di bibir sungai, tepat di atas batu yang menghala ke matahari. Beruntung matahari mengirimimu seorang anak nelayan. Sehingga mayatmu tak berulat dan membusuk.
Lima bulan setelah kau mati, ibu kembali dengan menggendong seorang anak. Anak yang diserahkan sepasang tangan dengan dua lubang borgol pada masing-masing lengannya.
===
http://www.radarbanjarmasin.co.id/index.php/berita/detail/Budaya%20dan%20Sastra/20861