IHAN NURDIN | Foto : TAUFAN MUSTAFA

Sepi. Itulah kesan yang dirasakan ketika memasuki pekarangan sebuah rumah yang berada di Lorong Emas, Jalan Pelangi Lamdingin, Banda Aceh.
Tidak ada tanda-tanda petunjuk bahwa rumah tersebut sebenarnya adalah rumah yang dialihfungsikan sebagai bangunan sekolah. Kecuali selembar spanduk dengan posisi tidak terlalu strategis bertuliskan ‘Sinar Mulia, Indonesian Classical School’.
Setelah masuk ke dalam rumah, suasana layaknya sekolah umum juga tidak didapati di sini. Kecuali beberapa ruangan yang disulap menjadi kelas belajar, ruang pustaka, ruang makan, dan kantor.
Dinding-dinding seluruhnya berwarna kuning terang, memberikan kesan ceria dan ramai. Di rumah inilah 17 orang anak usia sekolah dasar dari kelas satu sampai kelas empat mengikuti proses belajar mengajar.
Sinar Mulia adalah satu-satunya sekolah informal di Banda Aceh yang menerapkan sistem pembelajaran home schooling berbasis komunitas. Latar belakang Sinar Mulia didirikan karena keresahan beberapa orang tua terhadap tumbuh kembang anak-anaknya di sekolah umum.
Akhirnya dibentuklah Sinar Mulia sebagai sekolah alternatif yang mampu mendidik anak-anak menguasai ilmu pelajaran umum dan berkarakter serta perilaku baik. Seminggu dua kali murid-murid diwajibkan ikut kelas karakter. “Di kelas ini mereka akan belajar tentang kasih sayang, bersikap jujur, bersikap tertib dan mengasah kepedulian terhadap sesama,” ujar Nadia kepada The Atjeh Post, Selasa 13 Maret 2012.
Uniknya orang tua juga diwajibkan untuk ikut kelas karakter ini. Tujuannya agar tercipta ikatan emosional yang baik antara orang tua dan anak.
Di lain sisi Nadia melihat bahwa dewasa ini anak-anak seperti dieksploitasi oleh orang tuanya. Setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar pada jam-jam sekolah, anak masih diharuskan mengikuti berbagai les yang akan membuat anak jenuh dan stres.
“Kondisi seperti ini tidak hanya mengurangi waktu antara anak dan orang tua tetapi juga menyebabkan anak mencapai titik jenuh pada usia tertentu, yang mengakibatkan mereka bisa malas belajar bahkan tidak mau ke sekolah,” kata Nadia.
Fenomena lain, kata dia, seperti praktik penyalahgunaan narkoba dan free sex juga terjadi akibat lemahnya kontrol orang tua terhadap anak yang disebabkan tidak adanya kedekatan emosional dan psikologis antara orang tua dan anak.
“Sehingga anak tidak merasa hormat dan nyaman ketika dekat dengan orang tuanya. Padahal, bagi seorang anak kasih sayang adalah sentuhan batin dari orang tuanya.”
Untuk menerima murid baru, Sinar Mulia juga menerapkan sistem terbalik dari sistem pendidikan umum. Yang mereka tes dan wawancara adalah para orang tuanya. Orang tua diajak berdialog dengan memaparkan visi misi apa itu sebenarnya home schooling, bagaimana sistem pendidikannya, dan bagaimana proses belajar mengajar yang diterapkan. “Jadi di sini anak malah tidak dites, sehingga kalau ada anak yang tidak bisa menulis atau membaca tidak masalah. Di sini kita tidak hanya mengajarkan anak-anaknya tetapi juga memberikan ilmu parenting bagi orang tua,”
Home schooling yang didirikan Nadia sangat mengedepankan pembentukan karakter dari anak-anak didiknya. Setiap pelajaran karakter, orang tua diwajibkan untuk ikut supaya mereka bisa mengikuti perkembangan anak-anaknya. Artinya, melalui home schooling ini, kata Nadia, seolah ingin menegaskan bahwa orang tua tidak boleh melepas tanggung jawab sepenuhnya kepada sekolah dalam mendidik anak-anak mereka.
Berbeda dengan sekolah umum, Sinar Mulia hanya mewajibkan murid-muridnya seminggu tiga hari ke sekolah. Selebihnya mereka belajar di rumah dengan melibatkan orang tuanya. Ketika tidak ke sekolah, siswa akan diberi tugas yang akan dikerjakan bersama orang tuanya.
Metode belajar yang mereka terapkan adalah applied learning methode atau metode belajar terapan. Artinya, dalam menguasai materi pelajaran anak-anak dibentuk untuk menguasai pelajaran dengan cara mengobservasi, mampu memahami, mampu menganalisa, mampu mencari hubungan antara satu dengan yang lainnya dan mampu menarik kesimpulan. “Yang semua itu bersumber pada prinsip-prinsip pembelajaran yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW.”
Ketika dibentuk pada Juli 2010 lalu, Sinar Mulia sempat mengadakan bincang-bincang dengan sebuah sekolah taman kanak-kanak di Banda Aceh. Dari situlah mereka mendapatkan beberapa murid. Tetapi ada juga beberapa murid pindahan dari sekolah umum lainnya. Bahkan ada juga yang pindahan dari sekolah favorit di Banda Aceh, karena mengalami pelecehan mental oleh gurunya.
Para orang tua juga sempat khawatir karena Sinar Mulia hanya sekolah informal. Bahkan sampai saat ini belum tercatat di Dinas Pendidikan Aceh. “Mereka takut anak-anak mereka tidak bisa melanjutkan pendidikan ke sekolah selanjutnya karena tidak ada ijazah resmi dari sistem pendidikan informal ini.”
Namun, mengenai hal ini Nadia mengatakan bahwa untuk mendapatkan ijazah murid bisa mengikuti ujian paket A yang diselenggarakan di sekolah-sekolah umum. Atau kalaupun itu tidak ada, bisa ikuti kelas khusus yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan. Namun, bila kedua hal ini belum ada di Aceh, mereka akan melakukannya di Medan atau di Jakarta.
Bahkan, sebagaimana dituturkan Nadia, di Universitas Indonesia sendiri sudah menerima jalur khusus home schooling untuk bisa melanjutkan kuliah di sana. “Jadi orang tua tidak perlu khawatir mengenai hal ini,” katanya.
Setelah dua tahun berjalan para orang tua mulai melihat perubahan anak-anaknya, baik dalam hal pembentukan karakter dan dalam menguasai mata pelajaran umum. Bahkan sebagian besar orang tua mereka yang mayoritas para pengusaha, tidak terlalu mempermasalahkan perihal ijazah. “Karena mereka mempersiapkan anak-anak mereka untuk jadi pengusaha seperti orang tuanya,” jelas Nadia.
Meskipun menerapkan konsep bilingual kapada murid-muridnya, Nadia enggan menyebut sekolahnya bertaraf internasional. Karena menurut lulusan strata dua Monash University Australia ini standar sekolah internasional tidak bisa hanya diukur dari sistem komunikasi antara guru dengan murid yang menggunakan bahasa Inggris saja.
“Tetapi juga harus memperhatikan aspek lain seperti misalnya maksimal jumlah murid dalam satu kelas tidak boleh lebih dari enam orang, dan guru-gurunya minimal lulusan strata dua,” ujarnya.
Kurikulum yang diterapkan di sini juga mengadopsi sistem dari Cambridge Collage, Inggris. Buku-buku yang dipakai berasal dari singapura, Malaysia, Inggris, dan Australia.
Di sini murid-murid tidak hanya belajar di ruang kelas, tetapi juga menerapkan sistem belajar outdoor. Bahkan, kata Nadia, mereka pernah melakukan ujian di kolam renang, Taman Putroe Phang, dan Pantai Lampuuk.
Uniknya, dalam menentukan kenaikan kelas siswa, yang menentukan adalah orang tua masing-masing. Yaitu dengan menunjukkan rapor anak kepada orang tua. Sehingga orang tua bisa melihat di mana kelebihan dan kekurangan anak-anaknya apakah anak mereka pantas naik kelas atau tidak. “Tapi alhamdulillah selama ini tidak ada yang tinggal kelas,” kata Nadia.
Tak hanya pendidikan karakter, di sini juga diajarkan pendidikan umum tetapi hanya enam pelajaran saja seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Agama, PPKN, Sains, dan Matematika.
Selain itu juga ada program membaca atau reading programme,di mana setiap anak diharuskan membaca 80 judul buku dalam setahun. Tahun lalu ada enam anak yang lulus program ini, sebagai bentuk apresiasi mereka diberikan pin berbentuk bintang emas dan sertifikat yang ditandatangani oleh Muetia Dewi, istri wakil Gubernur Aceh saat itu. “Ini adalah salah satu bentuk penghargaan yang kami berikan kepada murid-murid berprestasi di sekolah ini,” kata Nadia.
Tak terasa waktu terus beranjak, dari dalam kelas murid-murid tampak serius belajar, di wajah mereka tidak ada beban, seolah mereka ingin mengatakan bahwa mereka juga berhak memilih ingin bersekolah di mana. []
— —
http://atjehpost.com/read/2012/03/16/4303/17/17/Sekolah-ini-Menggelar-Ujian-di-Kolam-Renang