BAHASA Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang telah digunakan sebagai lingua franca untuk kepulauan Indonesia selama berabad-abad. Bahasa Melayu merupakan bahasa Austronesia atau Melayu-Polinesia.
Penggunaan bahasa Melayu di Nusantara sudah terjadi sejak tahun 683-686. Hal ini bisa dilihat pada terjemahan inskripsi yang ditemukan di Palembang dan Bangka, yang kini tersimpan di Museum Jakarta. Inskripsi ini ditulis dengan huruf Sanskerta atas perintah Raja Sriwijaya.
Kerajaan ini merupakan kerajaan Maritim yang pada masa itu, menguasai perdagangan Selat Malaka yang merupakan pintu antara China dan India. Dalam perdagangannya, mereka telah menggunakan bahasa serupa (bahasa Melayu).
Bahasa Melayu berkembang melalui jalur perdagangan sehingga meluas ke seluruh Nusantara.
Dari era bahasa Melayu Kuno tersebut, kemudian muncul bahasa Melayu Klasik. Bahasa ini berasal dari kebudayaan Budha serta Melayu Klasik dan akhirnya menjadi bahasa yang digunakan dalam kebudayaan Islam, setelah peradaban ini masuk ke Indonesia.
Seiring dengan perkembangan agama Islam yang berawal dari Aceh pada abad ke 14, bahasa Melayu Klasik lebih berkembang di Nusantara. Bahkan, pada saat itu orang-orang yang telah menggunakan bahasa Melayu Klasik dianggap telah masuk agama Islam.
Dari sini lah kemudian Bahasa Melayu terus berkembang hingga menjadi bahasa Ibu. Walaupun bahasa Melayu Klasik telah menjadi populer di ranah Nusantara, namun masih banyak pribumi yang menggunakan bahasa daerah. Pada saat itu, jumlah bahasa daerah mencapai 360 jenis di seluruh Indonesia.
Bahasa Melayu kemudian menjadi populer di era kemerdekaan. Tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928, seluruh pemuda Indonesia melakukan sumpah pada kongres nasional kedua di Jakarta. Sumpah tersebut kemudian dikenal dengan Sumpah Pemuda.
Dalam kongres tersebut, para pemuda Indonesia menyepakati pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa resmi guna mempersatukan seluruh daerah. Usulan ini disampaikan Muhammad yamin, salah satu politikus, sastrawan dan ahli sejarah Indonesia.
Dalam pidatonya pada Kongres Nasional tersebut, Muhammad Yamin mengatakan, “jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.”
Muhammad Yamin mengusulkan bahasa Melayu Riau dijadikan sebagai bahasa persatuan Republik Indonesia, dengan pertimbangan bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari. Apalagi, bahasa Jawa memiliki bahasa halus, biasa dan kasar yang kerap dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, atau pun pangkat.
Kata Yamin pada masa itu, bila salah atau pun tidak memahami budaya Jawa penggunaan bahasa daerah ini akan menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
Pertimbangan lainnya memilih bahasa Melayu Riau daripada bahasa Melayu Pontianak, atau Banjarmasin dan Samarinda serta Kutai, karena asal muasal suku Melayu yang berasal dari Riau.
Selain itu, Sultan Malaka yang terakhir lari ke Riau setelah Malaka direbut Portugis. Dilihat dari sisi lingua franca, bahasa Melayu Riau ditaksir lebih sedikit terkena pengaruh bahasa asing, seperti bahasa Cina Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.
Selain Indonesia, pada masa itu bahasa Melayu juga dipergunakan oleh masyarakat jajahan Inggris. Diantaranya adalah Brunei Darussalam, Malaysia dan Singapura. Karenanya, bahasa Melayu menjadi kandidat kuat dalam diri pemuda Indonesia untuk dijadikan bahasa persatuan, dengan harapan negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam bisa ikut serta memperkuat semangat patriotik dan nasionalisme diantara negara-negara lain di sekitar wilayah Asia Tenggara.
Bahasa Indonesia kemudian terus mengalami penyumparnaan seiring perkembangan zaman. Hingga teranyar, bahasa Indonesia di sempurnakan dengan Ejaan yang Disempurnakan (EYD) setelah sekian lama mempergunakan dialek penulisan ejaan Soemardi.sumber : DBS.
Sumber:http://atjehpost.com/read/2012/10/28/25631/0/39/Sejarah-28-Oktober-Proses-Terciptanya-Bahasa-Melayu-Klasik-Sebagai-Bahasa-Persatuan