Saatnya Sarjana Kembali ke Desa
- Oleh Bonnie Eko Bani
MAHASISWA memiliki tempat khusus dalam stratifikasi sosial. Karena berkesempatan lebih besar dalam belajar, seharusnya mahasiswa memanfaatkan waktu belajar dengan aktivitas yang mendukung untuk menghadapi proses kehidupan setelah lulus. Dengan harapan, tidak gagap atau kaget menghadapi realitas dalam kehidupan masyarakat.
Saat kuliah, mahasiswa bisa memilih dan melakukan banyak hal untuk mengaktualisasikan sekaligus mengembangkan potensi diri. Proses pengembangan diri itu tak diperoleh dari kuliah atau teori saja, tetapi mau dan berkomitmen aktif dalam organisasi kemahasiswaan.
Aktif di organisasi kemahasiswaan akan mengoptimalkan kemampuan berpikir, berkomunikasi, dan bertindak. Ide perlu dikomunikasikan dan diwujudkan. Ide sebagus dan sehebat apa pun, jika tak dikomunikasikan dan diwujudkan hanya akan ngendon di otak.
Dengan berorganisasi, mahasiswa menyiapkan “tabungan” soft skill untuk membantu menyelesaikan masalah sosial di daerah asal. Karena tak dapat dimungkiri, mayoritas mahasiswa dari pedesaan. Jadi mereka punya tanggung jawab moral untuk mengembangkan desa, tanah kelahiran.
Sentuhan Ide Kultur masyarakat desa yang statis dan minim akses informasi butuh sentuhan ide dari kaum terdidik. Sarjana bermodal intelektualitas hendaknya mau kembali ke desa dan memberikan sentuhan perubahan. Namun semestinya ide perubahan tak menimbulkan masalah baru. Artinya, tak dilakukan secara idealis, radikal, dan konfrontatif.
Ide perubahan juga tak destruktif, tetapi bersifat adaptif, konsisten, kontinu, mencerahkan, dan luwes. Artinya, perubahan disesuaikan dengan napas atau irama dan tatanan kehidupan desa. Karena itu, perlu seni dan pendekatan yang tak hanya mengandalkan teori saat kuliah.
Melakukan pendekatan di desa butuh keahlian yang harus dilatih. Saat mahasiswa merupakan masa yang bisa dioptimalkan untuk mengembangkan kemampuan berinteraksi dengan aneka individu, beragam kelompok, dan situasi sosial yang baru. Itu akan mempermudah mahasiswa ketika menyodorkan ide perubahan di masyarakat setelah lulus.
Bagus Sandi Tratama (2010) menyatakan para sarjana hendaknya tak hanya menambah penganggur terdidik di masyarakat. Namun dengan kapasitas intelektualnya, diharapkan mampu berkarya di tengah masyarakat desa yang minim informasi. Jangan hanya berorientasi jadi pekerja formal, orang kantoran, atau pegawai negeri bergaji besar dengan berbagai tunjangan.
Penganggur terdidik harus dikurangi agar tak membebani masyarakat. Penganggur terdidik 1.142.751 orang yang terdiri atas 441.100 orang lulusan diploma dan 701.651 sarjana (Kompas, 23/9/ 2010). Mereka menganggur karena terkungkung pola pikir jadi pegawai negeri atau orang kantoran. Mereka terlalu memilah dan memilih pekerjaan. Pola pikir itu harus diubah ketika lulus dan kembali ke desa.
Menjadi “Karyawan” Sarjana yang kembali ke desa harus bersiap jadi “karyawan dan karyawati” berparadigma baru bagi masyarakat desa. Artinya, mereka harus selalu berkarya (apa pun) dengan kelebihan ilmunya. Mereka harus berkarya dengan ide-ide segar demi perubahan desa ke arah lebih baik. Karena, sarjana merupakan agen perubahan di mana pun dan kapan pun.
Untuk mewujudkan peran itu, setidaknya mereka harus melakukan dua hal. Pertama, mengubah pola pikir (rekonstruksi pemikiran) dari linier menjadi siklik-terbuka. Sarjana berpikiran linier biasanya hanya berorientasi jadi pegawai negeri atau orang kantoran. Karena itu, mereka mesti berubah, saat kembali ke desa harus mampu berpikir terbuka dan melingkar.
Kedua, dengan berpikiran terbuka bisa melihat potensi desa yang dapat dikembangkan. Misalnya, potensi pertanian, peternakan, kreativitas penduduk. Dengan mengobservasi secara cermat, berdialog dengan tokoh masyarakat yang berpengaruh, sarjana akan mendapat banyak gagasan untuk melakukan perubahan.
Jadi ketika kembali ke desa, bisa menjadi pelopor dan perintis perubahan. Bukan sekadar pengekor. Karena banyak penduduk usia produktif memilih merantau dan bekerja di kota, kini di desa tinggal anak-anak, perempuan, dan kaum lanjut usia.
Jika bukan sarjana yang kembali ke desa untuk melakukan perubahan, pada siapa lagi desa mengharapkan perubahan untuk menjadi lebih baik? Ya, kini saatnya sarjana bali ndesa mbangun desa. (51)
– Bonnie Eko Bani, aktivis BEM ”Kabinet Mahasiswa Berjuang” UMS 2005-2006
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/01/29/135641/19/Saatnya-Sarjana-Kembali-ke-Desa