Riset dan Interaksi Sosial Perguruan Tinggi
- Oleh M Zainal Arifin
DALAM tridarma perguruan tinggi (PT) termaktub jelas peran yang harus dijalankan PT, yakni pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Namun selama ini pengabdian PT berkesan buttom up, layaknya ada garis koordinatif yang kental antara atasan-bawahan.
Itu berarti, kampus begitu saja mengejawantahkan pengabdian pada masyarakat berupa bakti sosial, donor darah, atau sumbangan materi.
Namun semua itu tanpa pendekatan dari kampus untuk peduli dan mendalami apa kebutuhan masyarakat. Tak ayal, bentuk pengabdian itu pun sekadar lewat, tanpa pengaruh berarti.
Sebenarnya ketiga darma itu berkesinambungan.
Aktivitas pengajaran berupa transfer pengetahuan dari dosen ke mahasiswa berkait dengan pengabdian pada masyarakat. Sebab, masyarakat telah memercayakan anak-anak mereka untuk dididik di PT.
Sementara itu, riset atau penelitian kurang dioptimalkan sebagai jalan lain implementasi pengabdian pada masyarakat. Banyak riset dilakukan PT, bahkan dengan anggaran sangat besar. Namun bagaimana dampak riset itu?
Berapa banyak karya dosen, peneliti, bahkan profesor yang hanya terbit berupa artikel penelitian ilmiah, terpampang di jurnal, terjejer rapi di rak perpustakaan? Berapa ribu karya hanya berakhir jadi tumpukan berdebu?
Sayang memang. Pada tataran akademis, karya itu dapat menambah khazanah keilmuan. Namun pada tataran praktik, belum seluruh karya itu membantu meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Padahal, segala persoalan di masyarakat selayaknya bisa diselesaikan PT secara ilmiah. Di sinilah sebenarnya PT bisa menjadi pusat pengetahuan.
Karena itu, perlu membuka keran regulasi antara PT dan masyarakat. Jadi masyarakat tak merasa asing dengan PT dan ewuh pekewuh atau bahkan menganggap PT “sakral”. PT pun harus membuka diri dan peduli pada kebutuhan nyata masyarakat. Masyarakat pun tak semestinya menutup diri pada PT.
Tak Hanya Promotif Katup kesenjangan itu bisa dibuka dengan pendekatan dari PT ke masyarakat. Bukan hanya pendekatan promotif saat membuka pendaftaran mahasiswa baru, melainkan berupa kepedulian dan kepekaan terhadap kondisi riil di masyarakat. Misalnya, saat PT mengadakan penelitian sebisa mungkin keluaran dan hasilnya berguna bagi masyarakat. Itu menuntut PT terjun ke lapangan dan mengobservasi kondisi sekitar. Jadi bisa mengetahui apa sebenarnya kebutuhan masyarakat.
PT perlu membuat pusat kajian tentang problem terkini di masyarakat, sehingga bisa mengambil langkah keilmuan untuk membantu menjawab permasalahan. Bentuk lembaga itu tak harus formal dan teknis, yakni mempunyai infrastruktur tersendiri dan berbentuk fisik. Yang penting forum itu bisa menjadi pencair kebekuan antara PT dan masyarakat.
Itu tentu butuh kesadaran dari PT dan masyarakat sekitar. Karena tanpa sambung rasa, tak akan terwujud sinergitas. Bagaimanapun PT hanya fasilitator transformasi sosial menghadapi masalah terkini. Maka, peran dan keterbukaan masyarakat pada PT sangat dibutuhkan. Beruntung jika masyarakat mau mendekati PT setelah kesenjangan diatasi sehingga mempermudah PT menjalankan tridarma.
Intinya, pengabdian pada masyarakat adalah terlibat penyelesaian persoalan riil di masyarakat. Dan, itu hanya bisa dilakukan jika kesenjangan antara PT dan masyarakat ditiadakan.
Dalam pandangan Deni Andriana (2010), PT selain jadi pusat pengetahuan juga harus bisa menempatkan diri sebagai pusat solusi masalah sosial. Dari sinilah istilah agen perubahan, agen inovasi, dan lain sebagainya berfungsi dengan baik.
Akhirnya, dengan ketiadaan kesenjangan dan ada niatan secara optimal mewujudkan tridarma, PT bisa melahirkan karya penelitian yang dibutuhkan masyarakat. Dan, pengabdian pada masyarakat pun menjadi maksimal. Semoga! (51)
– M Zainal Arifin, peneliti pada Paradigma Institute Kudus
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/01/29/135640/19/Riset-dan-Interaksi-Sosial-Perguruan-Tinggi