Karya Putri Ace Riaula Ramadhona
LELAKI itu memimpin di depan. Ia berjalan agak pincang karena kaki kirinya pernah patah. Walau tertatih-tatih, lelaki itu berjalan cepat sehingga aku nyaris tertinggal jauh di belakang. Kuseka peluh yang bercucuran di leher dan seluruh wajahku dengan ujung kaos. Deru nafasku terdengar cepat dan tak karuan.
‘’Mang, apa kita sudah sampai?” Entah sudah berapa kali kulontarkan pertanyaan yang sama. Tapi Mang Ilman, begitulah nama laki-laki itu, terus saja berjalan mendahuluiku. Tidak digubrisnya pertanyaanku.
Tubuhnya boleh ringkih. Jalannya boleh terseok. Namun, sedari tadi tak sedikit pun kulihat Mang Ilman mendesah lelah. Raut wajahnya masih terlihat segar seolah-olah berjalan keliling kota hingga pelosok kampung terkecil selama berjam-jam bukanlah perkara sulit baginya.
Terkadang aku merasa malu. Aku, pemuda kampung yang sehat, sudah terbiasa naik turun gunung memetik cengkeh atau membajak sawah, tapi kalah dari lelaki tua yang baru kukenal selama tiga hari itu.
Kembali kulangkahkan kakiku menyusuri jalan setapak. Semakin lama kami berjalan, semakin kecil setapak yang kami lalui. Tak jarang kami jumpai lubang menganga di tengah jalan. Ah, jalanan di sini semakin buruk saja. Apa bagusnya tinggal di sini? Masih sejahtera dan indah tinggal di kampungku kalau begini. Gerutuku di dalam hati.
Angin yang bertiup lembut tak mampu mengeringkan keringat yang membasahi seluruh kaosku. Mengapa di sini panas sekali? Lagi-lagi aku menggumam pada batinku. Padahal matahari tidaklah seterik di kampungku.
Sudah tiga hari ini kami menyusuri jalanan yang sama. Mencari-cari sebuah tempat yang selalu diucapkan ibu dalam setiap ceritanya. Kukira, perjalanan yang akan kutempuh sebelum meninggalkan kampung halaman akan mudah. Tidak terbayang dalam benakku harus berjalan sejauh ini selama berjam-jam pula setiap harinya.
Kukira aku hanya perlu menaiki angkot menuju ke sebuah tempat yang sudah selama bertahun-tahun kudengar keberadaannya. Namun, kenyataannya berbeda. Bahkan sendal jepit pemberian ibu mulai menguarkan bau terbakar, akibat terlalu sering kugunakan di saat terik serta selalu beradu dengan panasnya aspal dan gersangnya tanah.
Senja mulai membayangi pepohonan yang kami lalui. Aku tertegun menyadari waktu berlalu begitu cepat. Ini sudah hari ketiga pencarianku. Haruskah aku kembali pulang dengan tangan kosong? Tanpa hasil apa pun. Betapa malunya aku jika pulang ke kampung tanpa melihat sejengkal tanah pun dari tempat yang kutuju. Tempat yang selama bertahun-tahun ini ibu dendangkan dalam dongengnya.
Mang Ilman ternyata sudah berhenti sedari tadi. Ia kini memandangi sehamparan lahan kosong. Sejauh mata memandang, pepohonan kayu telah terbakar dan menguarkan debu.Asap membumbung tinggi di udara. Tanah gosong, tak berumput selembar pun. Aku kaget bukan kepalang. Ibu memang berkata rimba itu tidaklah elok dipandang mata. Namun, tak terpikir olehku keadaannya akan separah ini.
Demi tempat inikah ayah rela meninggalkan aku dan ibu di kampung? Lagi, pertanyaan konyol bergaung di otakku. Belum habis kuresapi pemandangan di sekitarku,Mang Ilman kembali berjalan. Kebingunganku mulai memuncak. Sementara lidahku sudah gatal ingin bertanya kembali: kemana lagi kami akan melangkah? Bukan kah kita telah tiba di rimba itu? Tapi, kuurungkan niat. Tahu bahwa aku hanya akan diabaikan.
Senja berganti gelapnya malam. Kini, Mang Ilman berjalan beriringan di sampingku. Tangannya menggenggam lampu templok yang dibawanya untuk persiapan apabila kami pulang kemalaman. Cahaya lampu memang tak cukup untuk menerangi jalanan. Sudah tak terhitung rasanya kakiku ini tersandung batu atau terjerembab ke lubang kecil.
Bergegas kubasuh seluruh kaki dan tanganku setibanya kami di pondok tempat Mang Ilman tinggal. Di sana, Sekar, istri Mang Ilman telah menanti di muka rumah dengan senyum simpul di bibirnya.
“Masih belum ketemu, Jup?” tanyanya ketika aku duduk bersandar melepas letih sembari mengurut pergelangan kakiku. Aku menggeleng. Pikiranku melayang ke kampung halamanku, memikirkan keadaan ibu. Dadaku terasa sesak karena rindu ibudan kenyamanan tinggal di sana.
“Ibu permisi dulu ke dalam. Mau tidur duluan.Besok harus bangun pagi-pagi sekali,” kataSekarsebelum bergegas memasuki pondok. Aku juga hendak bangkit. Ingin rasanya merebahkan badan selepas berjalan jauh seharian ini.
“Jupri,”langkahku terhenti kala kudengar Mang Ilman menyebut namaku. “Duduklah sebentar. Ada yang ingin aku bicarakan.” Aku duduk di atas dipan, di samping Mang Ilman. Ia menghisap rokok daun nipah.
Lama aku menunggu Mang Ilman mengatakan sesuatu. Ia tampak melamun sembari terus menghisap tembakau. Mata sendunya menyipit memandang rembulan. Setelah terbatuk kecil, akhirnya ia bersuara, “Sudah kau temukan rimba yang kau cari itu?”
“Belum, Mang. Bukannya kita mencari bersama-sama?” kataku ragu. Benar bukan? Dia lah seharusnya yang lebih tahu karena ia penunjuk jalanku selama ini.
Mang Ilman menggeleng kuat. “Pikir lebih keras lagi, Jup,” tukasnya sedikit keras. Apa mungkin aku melewatkan rimba itu ketika pikiranku sibuk mengeluh?Aku mengernyit, berusaha memutar ulang segala hal yang terjadi selama tiga hari ini; mencoba mengingat-ingat barangkali ada tempat yang luput dari pandanganku.
“Besok. Kau pulang saja,” jantungku berdegup kencang mendengar Mang Ilman mengusirku demikian. “Tampaknya kau masih belum mengerti,” sergahnya tajam.
Tak ingin ribut, aku hanya mengangguk lesu. Heningnya malam seolah menjadi penentu usainya percakapan kami. Mang Ilman beranjak dari dipan, meninggalkan aku termenung sendiri.
***
Sebulan sudah berlalu sejak terakhir kali aku meninggalkan kediaman Mang Ilman. Sudah kukubur harapan untuk menemukan tempat kemana ayah pergi bertahun-tahun lalu. Pertama kali aku kembali ke kampung, kukira ibu akan memarahiku karena pulang tanpa hasil. Sebaliknya, ibu malah melontarkan senyum maklum. Seolah ibu tahu hal itu mustahil.
Pagi ini, aku berniat berangkat ke sawah sedikit lebih siang daripada biasanya. Kuseruput kopi pahit bertemankan pisang goreng ketika teriakan ibu terdengar, “Jupri!” hampir aku tersedak karena kaget. Belum sempat aku berdiri, sosok ibu sudah muncul di ruang makan. Di tangannya tergenggam sebuah amplop. “Ini ada surat. Katanya kiriman untukmu,” terang ibu.
Kuterima surat itu walau tak yakin. Ibu telah duduk di sebelahku, menungguku membuka surat. “Dari siapa, Bu?” tanyaku.
“Ya ndak tau. Makanya langsung dibaca saja,” perintah ibu tak sabaran.
Ternyata surat itu dariMang Ilman. Dalam surat yang semrawut itu,Mang Ilman menjawab pertanyaanku. Seharusnya aku merasa lega. Namun, aku malah tak puas.
“Dari siapa?” desak ibu setelah bungkam sedari tadi, menungguku usai membaca surat.
“Dari Mang Ilman, Bu. Pria yang membantu Jupri mencari rimba pesakitan sebulan yang lalu.” Ibu juga tampak tak puas dengan jawabanku. “Lalu, apa katanya?”
Tubuhku sedikit bergetar. Tak berani memberikan jawaban jujur. Aku takut ibu kecewa. Takut ibu akan mulai menyalahkan bapak yang tak jelas menghilang entah kemana. Satu hal yang aku yakin, bapak tidak pergi ke Rimba Pesakitan. Rimba yang selama ini ia katakan pada ibu sebagi tujuannyamengubah nasib, tempat yang ibu percaya dimanaia berada.
***
Jupri. Aku bukan marah kepadamu malam itu. Aku marah pada diriku sendiri yang tak kuasa menyampaikan kabar ini padamu. Jupri, berhentilah mencari Rimba Pesakitan itu. Kau tahu kenapa? Karena rimba itu tidak ada. Ia tidak pernah nyata. Tapi, jika kau masih ingin mencari tempat itu,maka, akan kuberi tahu dimana letaknya
Nak, perhatikan lah sekelilingmu. Adakah kau lihat orang yang berlalu lalang mengemis pertolongan? Namun, tak seorang pun bergerak membantunya apalagi untuk mendekat.Adakah kau lihat bagaimana gersangnya hutan, tapi tak ada yang menyadarinya? Mereka sibuk mengurusi diri sendiri hingga tak sadar keadaan di sekitarnya.
Adakah kau sadar bagaimana buruknya dan kumuhnya kampung kami? Namun, tak ada seorang warga pun yang mengeluh. Jupri, itu semua karena jiwa manusia telah sakit. Sakit akan penyakit dunia. Hingga mereka buta pada siapa dan apa yang berada di sekeliling mereka.
Sebagian mereka terlalu gemar menjilat sana-sini. Memuja demi kenyamanan dan kekayaan sendiri. Sedang yang miskin dan melarat seperti kami ini tak lagi perlu dipusingkan hidupnya. Kami akan selalu begini. Melarat dan susah.
Jupri,tiga hari perjalanan dan selama berjam-jam itu,kucoba sampaikan padamu, bahwa dimana pun, apa pun, dan siapa pun kita,kita berada di sebuah rimba, Nak,Rimba Pesakitan.
* Putri Ace Riaula Ramadhona, Mahasiswa Universitas Syiah Kuala
Karya Putri Ace Riaula Ramadhona
LELAKI itu memimpin di depan. Ia berjalan agak pincang karena kaki kirinya pernah patah. Walau tertatih-tatih, lelaki itu berjalan cepat sehingga aku nyaris tertinggal jauh di belakang. Kuseka peluh yang bercucuran di leher dan seluruh wajahku dengan ujung kaos. Deru nafasku terdengar cepat dan tak karuan.
‘’Mang, apa kita sudah sampai?” Entah sudah berapa kali kulontarkan pertanyaan yang sama. Tapi Mang Ilman, begitulah nama laki-laki itu, terus saja berjalan mendahuluiku. Tidak digubrisnya pertanyaanku.
Tubuhnya boleh ringkih. Jalannya boleh terseok. Namun, sedari tadi tak sedikit pun kulihat Mang Ilman mendesah lelah. Raut wajahnya masih terlihat segar seolah-olah berjalan keliling kota hingga pelosok kampung terkecil selama berjam-jam bukanlah perkara sulit baginya.
Terkadang aku merasa malu. Aku, pemuda kampung yang sehat, sudah terbiasa naik turun gunung memetik cengkeh atau membajak sawah, tapi kalah dari lelaki tua yang baru kukenal selama tiga hari itu.
Kembali kulangkahkan kakiku menyusuri jalan setapak. Semakin lama kami berjalan, semakin kecil setapak yang kami lalui. Tak jarang kami jumpai lubang menganga di tengah jalan. Ah, jalanan di sini semakin buruk saja. Apa bagusnya tinggal di sini? Masih sejahtera dan indah tinggal di kampungku kalau begini. Gerutuku di dalam hati.
Angin yang bertiup lembut tak mampu mengeringkan keringat yang membasahi seluruh kaosku. Mengapa di sini panas sekali? Lagi-lagi aku menggumam pada batinku. Padahal matahari tidaklah seterik di kampungku.
Sudah tiga hari ini kami menyusuri jalanan yang sama. Mencari-cari sebuah tempat yang selalu diucapkan ibu dalam setiap ceritanya. Kukira, perjalanan yang akan kutempuh sebelum meninggalkan kampung halaman akan mudah. Tidak terbayang dalam benakku harus berjalan sejauh ini selama berjam-jam pula setiap harinya.
Kukira aku hanya perlu menaiki angkot menuju ke sebuah tempat yang sudah selama bertahun-tahun kudengar keberadaannya. Namun, kenyataannya berbeda. Bahkan sendal jepit pemberian ibu mulai menguarkan bau terbakar, akibat terlalu sering kugunakan di saat terik serta selalu beradu dengan panasnya aspal dan gersangnya tanah.
Senja mulai membayangi pepohonan yang kami lalui. Aku tertegun menyadari waktu berlalu begitu cepat. Ini sudah hari ketiga pencarianku. Haruskah aku kembali pulang dengan tangan kosong? Tanpa hasil apa pun. Betapa malunya aku jika pulang ke kampung tanpa melihat sejengkal tanah pun dari tempat yang kutuju. Tempat yang selama bertahun-tahun ini ibu dendangkan dalam dongengnya.
Mang Ilman ternyata sudah berhenti sedari tadi. Ia kini memandangi sehamparan lahan kosong. Sejauh mata memandang, pepohonan kayu telah terbakar dan menguarkan debu.Asap membumbung tinggi di udara. Tanah gosong, tak berumput selembar pun. Aku kaget bukan kepalang. Ibu memang berkata rimba itu tidaklah elok dipandang mata. Namun, tak terpikir olehku keadaannya akan separah ini.
Demi tempat inikah ayah rela meninggalkan aku dan ibu di kampung? Lagi, pertanyaan konyol bergaung di otakku. Belum habis kuresapi pemandangan di sekitarku,Mang Ilman kembali berjalan. Kebingunganku mulai memuncak. Sementara lidahku sudah gatal ingin bertanya kembali: kemana lagi kami akan melangkah? Bukan kah kita telah tiba di rimba itu? Tapi, kuurungkan niat. Tahu bahwa aku hanya akan diabaikan.
Senja berganti gelapnya malam. Kini, Mang Ilman berjalan beriringan di sampingku. Tangannya menggenggam lampu templok yang dibawanya untuk persiapan apabila kami pulang kemalaman. Cahaya lampu memang tak cukup untuk menerangi jalanan. Sudah tak terhitung rasanya kakiku ini tersandung batu atau terjerembab ke lubang kecil.
Bergegas kubasuh seluruh kaki dan tanganku setibanya kami di pondok tempat Mang Ilman tinggal. Di sana, Sekar, istri Mang Ilman telah menanti di muka rumah dengan senyum simpul di bibirnya.
“Masih belum ketemu, Jup?” tanyanya ketika aku duduk bersandar melepas letih sembari mengurut pergelangan kakiku. Aku menggeleng. Pikiranku melayang ke kampung halamanku, memikirkan keadaan ibu. Dadaku terasa sesak karena rindu ibudan kenyamanan tinggal di sana.
“Ibu permisi dulu ke dalam. Mau tidur duluan.Besok harus bangun pagi-pagi sekali,” kataSekarsebelum bergegas memasuki pondok. Aku juga hendak bangkit. Ingin rasanya merebahkan badan selepas berjalan jauh seharian ini.
“Jupri,”langkahku terhenti kala kudengar Mang Ilman menyebut namaku. “Duduklah sebentar. Ada yang ingin aku bicarakan.” Aku duduk di atas dipan, di samping Mang Ilman. Ia menghisap rokok daun nipah.
Lama aku menunggu Mang Ilman mengatakan sesuatu. Ia tampak melamun sembari terus menghisap tembakau. Mata sendunya menyipit memandang rembulan. Setelah terbatuk kecil, akhirnya ia bersuara, “Sudah kau temukan rimba yang kau cari itu?”
“Belum, Mang. Bukannya kita mencari bersama-sama?” kataku ragu. Benar bukan? Dia lah seharusnya yang lebih tahu karena ia penunjuk jalanku selama ini.
Mang Ilman menggeleng kuat. “Pikir lebih keras lagi, Jup,” tukasnya sedikit keras. Apa mungkin aku melewatkan rimba itu ketika pikiranku sibuk mengeluh?Aku mengernyit, berusaha memutar ulang segala hal yang terjadi selama tiga hari ini; mencoba mengingat-ingat barangkali ada tempat yang luput dari pandanganku.
“Besok. Kau pulang saja,” jantungku berdegup kencang mendengar Mang Ilman mengusirku demikian. “Tampaknya kau masih belum mengerti,” sergahnya tajam.
Tak ingin ribut, aku hanya mengangguk lesu. Heningnya malam seolah menjadi penentu usainya percakapan kami. Mang Ilman beranjak dari dipan, meninggalkan aku termenung sendiri.
***
Sebulan sudah berlalu sejak terakhir kali aku meninggalkan kediaman Mang Ilman. Sudah kukubur harapan untuk menemukan tempat kemana ayah pergi bertahun-tahun lalu. Pertama kali aku kembali ke kampung, kukira ibu akan memarahiku karena pulang tanpa hasil. Sebaliknya, ibu malah melontarkan senyum maklum. Seolah ibu tahu hal itu mustahil.
Pagi ini, aku berniat berangkat ke sawah sedikit lebih siang daripada biasanya. Kuseruput kopi pahit bertemankan pisang goreng ketika teriakan ibu terdengar, “Jupri!” hampir aku tersedak karena kaget. Belum sempat aku berdiri, sosok ibu sudah muncul di ruang makan. Di tangannya tergenggam sebuah amplop. “Ini ada surat. Katanya kiriman untukmu,” terang ibu.
Kuterima surat itu walau tak yakin. Ibu telah duduk di sebelahku, menungguku membuka surat. “Dari siapa, Bu?” tanyaku.
“Ya ndak tau. Makanya langsung dibaca saja,” perintah ibu tak sabaran.
Ternyata surat itu dariMang Ilman. Dalam surat yang semrawut itu,Mang Ilman menjawab pertanyaanku. Seharusnya aku merasa lega. Namun, aku malah tak puas.
“Dari siapa?” desak ibu setelah bungkam sedari tadi, menungguku usai membaca surat.
“Dari Mang Ilman, Bu. Pria yang membantu Jupri mencari rimba pesakitan sebulan yang lalu.” Ibu juga tampak tak puas dengan jawabanku. “Lalu, apa katanya?”
Tubuhku sedikit bergetar. Tak berani memberikan jawaban jujur. Aku takut ibu kecewa. Takut ibu akan mulai menyalahkan bapak yang tak jelas menghilang entah kemana. Satu hal yang aku yakin, bapak tidak pergi ke Rimba Pesakitan. Rimba yang selama ini ia katakan pada ibu sebagi tujuannyamengubah nasib, tempat yang ibu percaya dimanaia berada.
***
Jupri. Aku bukan marah kepadamu malam itu. Aku marah pada diriku sendiri yang tak kuasa menyampaikan kabar ini padamu. Jupri, berhentilah mencari Rimba Pesakitan itu. Kau tahu kenapa? Karena rimba itu tidak ada. Ia tidak pernah nyata. Tapi, jika kau masih ingin mencari tempat itu,maka, akan kuberi tahu dimana letaknya
Nak, perhatikan lah sekelilingmu. Adakah kau lihat orang yang berlalu lalang mengemis pertolongan? Namun, tak seorang pun bergerak membantunya apalagi untuk mendekat.Adakah kau lihat bagaimana gersangnya hutan, tapi tak ada yang menyadarinya? Mereka sibuk mengurusi diri sendiri hingga tak sadar keadaan di sekitarnya.
Adakah kau sadar bagaimana buruknya dan kumuhnya kampung kami? Namun, tak ada seorang warga pun yang mengeluh. Jupri, itu semua karena jiwa manusia telah sakit. Sakit akan penyakit dunia. Hingga mereka buta pada siapa dan apa yang berada di sekeliling mereka.
Sebagian mereka terlalu gemar menjilat sana-sini. Memuja demi kenyamanan dan kekayaan sendiri. Sedang yang miskin dan melarat seperti kami ini tak lagi perlu dipusingkan hidupnya. Kami akan selalu begini. Melarat dan susah.
Jupri,tiga hari perjalanan dan selama berjam-jam itu,kucoba sampaikan padamu, bahwa dimana pun, apa pun, dan siapa pun kita,kita berada di sebuah rimba, Nak,Rimba Pesakitan.
* Putri Ace Riaula Ramadhona, Mahasiswa Universitas Syiah Kuala