by Ali Mustofa (Dosen FBS-Universitas Negeri Surabaya)
Abstract:

Ali Mustofa
This article describes the issues of postcolonialism in one of contemporary Singaporean literatures, Batas Langit by Mohamed Latiff Mohamed. Postcolonial issues explored in the present paper are race, ethnicity, and identity. Latiff has successfully incorporated his views about Malay people and their culture. His views are somewhat skeptical and pessimistic. However, Latiff has been successfully transforming the existentialism views into his works, and it has made him one of the great authors of Singapore.
Key Words: race, ethnicity, gender, sexuality, Malay people, absurdity
Pendahuluan
Novel Batas Langit[1] (BL) merupakan salah satu karya sastrawan Singapura Mohamed Latiff Mohamed yang syarat nuansa absurditas. Kehidupan manusia dipotret secara ironis dalam balutan kekalutan, ketakutan, kecemasan dalam kekelaman kabut peperangan. Novel ini berlatar sekitar perpisahan Singapura dari Malaysia pada tahun 1965, yang telah menjadi koloni Inggris.
Judul novel ini sudah memberi isyarat adanya nuansa absurditas di dalamnya.
Dengan Menggunakan gaya bahasa overstatement/mengatakan sesuatu secara berlebihan melebihi kenyataan yang sebenarnya, judul novel ini memberikan kemuskilan sekaligus situasi yang paradoksikal. Novel ini merupakan salah satu karya sastra kontemporer Singapura yang ditulis dalam bahasa Melayu. Ditulis dalam bahasa Melayu, menjadikan novel ini dapat dianggap sebagai sastra nasional Singapura, serta kedudukannya dapat disejajarkan dengan sastra nasional lainnya yang ditulis dalam bahasa Cina, Tamil, dan Inggris (Darma, 2000:1-4) Makalah ini memerikan beberapa hal penting berkaitan dengan masyarakat Melayu; ras, kelas, etnisitas dan seksualitas, dengan pendekatan poskolonial.
Poskolonialisme dipilih karena novel Mohamed Latiff Mohamed termasuk dalam karya pascakolonial. etnisitas, dan identitas budaya (Budianta, 1994:56-66). BL merupakan bentuk respon dari semangat romantisme masa lalu. Maksudnya adalah semangat ingin kembali ke masa lalu, masa Melayu lampau. Karena hal tersebut tidak mungkin terjadi, maka kekecewaan dan rasa pesimis terhadap perubahan yang tejadi menjadi tema utama novel.
Hal ini dipertegas oleh Maaruf dan Shed Omar (2000:110-119) bahwa sastra Melayu Singapura yang ditulis oleh penulis-penulis pada akhir 1980-1990, menurut hemat penulis termasuk karya Mohammed Latiff Mohamed, mengarah pada keinginan untuk kembali ke masa lalu. Mereka menulis,”… the type of Malay literature we are discussing can be seen that discontent and maladjustment to the changing realities of Singapore Malays led some writers to the path of desiring a return to the past.” Keinginan kembali ke masa lalu tersebut dipicu oleh kekecewaan akan adanya perubahan sosial budaya di Singapura sejak perpisahannya dengan Malaysia.
Ras dan Etnisitas
Istilah ras, menurut Frakenberg, mengacu pada warna kulit putih dan selain putih (Prabasmoro, 2003:30). Istilah ras juga merujuk pada kelas dan dominasi. Sistem ras yang paling tua adalah pengurutan nama bangsa-bangsa. Oleh karenanya ras menunjuk pada ”tindak menamai kelompok-kelompok manusia” yang mengimplikasikan adanya hubungan kekuasaan dalam tindak menamai dan dinamai. Sementara itu, King mendefinisikan ras sebagai suatu konstruksi sosial (Prabasmoro, 2003:35-6). Maksudnya adalah bahwa ras merupakan ”proses identifikasi dan proses menjadi anggota suatu kelompok [ras] tertentu”.
Pemikiran King ini ada benarnya. Namun saya sependapat dengan Prabasmoro bahwa ras itu berkaitan dengan tubuh bukan dengan masalah latar belakang sosial budaya. Di dalam ras sendiri ada penerimaan tubuh dan penubuhan dengan konstruksi budaya. McLeod dalam Begining Postcolonialism mendefinisikan perbedaan ras sebagai ’political constructions’ yang diyakini oleh sekelompok orang (McLeod, 2000:110). Kedua istilah ras dan etnis itu bertumpang tindih. Keduanya untuk menunjukkan identitas individu. Ras sementara itu lebih menonjolkan fitur-fitur psikologi pemilik ras. Parameter etnis bisa jadi lebih luas lagi.
Menurut McLeod, etnisitas itu cenderung mengakomodasi macam-macam praktek sosial, ritual-ritual, tradisi yang ada pada kelompok-kelompok sosial (McLeod, 2000:111). Istilah ras dalam tulisan ini akan bertumpang kelindan dengan etnis. Pembauran ini disebabkan dalam BL tidak ada istilah ’ras’, namun yang ada adalah istilah ’keturunan’. Dengan demikian jelas bahwa ras yang dimaksud adalah masalah tubuh dan penubuhan yang berkaitan dengan warna kulit dan relasinya dalam masyarakat. Ras-ras yang ditampilkan dalam BL digambarkan hidup berdampingan dan tanpa konflik. Konflik yang muncul hanyalah dikarenakan adanya geng-geng yang berseteru yang dibentuk oleh partai-partai politik yang ingin memenangkan pemilu di Singapura.
Melalui nada penuturan yang sinis sekaligus ironis dengan mempergunakan teknik cerita berbingkai, narrator cerita membeberkan kemeluatan, kekalutan, kecemasan sekaligus kegelisahan para tokoh dalam novel. Melalui teknik penuturan dengan penggabungan dua sudut pandang first person/orang pertama dan limited omniscient/narrator dengan kemampuan terbatas meneropong jauh ke dalam lubuk sanubari tokoh, BL memusatkan narasinya pada tokoh Adi yang masih berumur sekitar sepuluh atau sebelas tahun, karena pada saat cerita dimulai ia masih duduk di bangku darjah lima (tingkat lima dalam pelajaran sekolah rendah Melayu (Iskandar, 1986:235)). Berangsur-angsur cerita bergerak perlahan namun pasti hingga Adi menginjak darjah enam dan “lulus periksa” untuk memasuki sekolah menegah Melayu. Kesan datar dan kurang adanya justifikasi yang mendalam terhadap para tokoh, terekam dari nada penuturan seorang Adi yang belum akil balik dan oleh karenanya membuat novel ini bernada naïf.
Mohamed Latiff Mohamed menganggap Adi masih terlalu kecil dalam memahami kemeluatan dunia politik, sehingga peran Adi sebagai “kamera bergerak”, sempat digantikan oleh narator ketika menceritakan kecarutmarutan suasana politik Singapura mengahadapi perpisahannya dengan Malaysia yang tergambarkan melalui diskusi politik antara Abang Dolah dengan orang partai cap kepala kambing, yang notabene adalah orang-orang Melayu sendiri (BL:107-115, bagian 13 “Kalau Roboh Kota Melaka”). Pemilihan latar cerita seputar masalah konfrontasi Indonesia dan Malaysia pada masa revolusi, memberikan gambaran yang jelas mengenai kondisi kehidupan rakyat Singapura pada masa itu.
Singapura yang multietnis terekam oleh Latiff dengan jelas melalui detil-detil keragamannya. Keragaman tersebut meliputi (1) keragaman ras, agama atau kepercayaan, tata cara peribadatan, adat istiadat, gotong royong sampai pada mitos-mitos etnis tersebut, (2) keragaman kepribadian serta tingkah laku masingmasing anggota etnis. Dua macam keragaman tersebut memberikan gambaran yang jelas mengenai kehidupan multietnis pada waktu itu; bahwa kehidupan mereka dibalut kesederhanaan dan juga penderitaan. Kesederhanaan dan penderitaan dalam mengais kehidupan yang ditanggung bersama-sama sebagai masyarakat multietnis, member kesan naïf serta ironis, karena setiap anggota etnis memiliki kebiasaan dan cara hidup serta bahasa yang bervariasi.
Anthias dan Yuval-Davis menegaskan bahwa kelompok-kelompok etnis itu cenderung memiliki kekhususan karakteristik. Menurut mereka
Ethnic groups involve the positing of boundaries in relation to who can and cannot belong
according to certain parameters which are extremely heterogeneous, ranging from the credentials
of birth to being born in the right place, conforming to cultural or other symbolic practices,
language, and very centrally behaving in sexual appropriate ways (Anthias dan Yuval-Davis
dalam McLeod, 2000:111)
Etnisitas mencakup berbagai praktek sosial, ritual dan tradisi dalam mengidentifikasi kelompok-kelompok yang berbeda. Istilah ras dan etnis tidak sinonim, namun keduanya dapat dipergunakan sebagai dasar pijakan bagi diskriminasi. Kehidupan masyarakat minoritas berbagai etnis dibalut kesederhanaan, penderitaan, dan keterpinggiran oleh kelompok yang lebih berkuasa merupakan tema besar novel ini. Di samping itu, tema tersebut memberi implikasi adanya nasib warga
etnis minoritas yang terkoyak jati dirinya. Mereka mempertanyakan identitas dirinya sebagai bangsa Singapura. Maksudnya adalah bangsa Melayu menggugat ke-Melayuannya maupun bangsa Cina mempertanyakan ke-Cina-annya. Keadaan ini diperparah oleh perpisahan Singapura dari Malaysia yang menimbulkan perasaan ”terpinggirkan dan termarginalkan”. Keadaan ini menimbulkan rasa sedih, pahit, marah, dan sakit. Hal-hal tersebut terbentang pada hampir
keseluruhan narasi novel.
Manusia Melayu
Novel BL juga konsisten terhadap konsep perputaran nasib yang dialami para tokohnya. Perputaran itu diciptakan sendiri oleh manusia dan bahkan bisa berlaku sebagai agen pemercepat nasib. Force (1966:9), mengadopsi pandangan Nietzche, menganggapnya sebagai “convention and law”. Di dalam hukum alam dan konvensi yang berlaku bagi kehidupan, manusia tidak dapat bergerak karena adanya daya tarik menarik yang berlaku memutar. Hal ini merupakan bentuk manifestasi yang paling ironis dalam kehidupan manusia. Konsep Force berlaku bagi dua orang tokoh dalam cerita yang dapat dijadikan sebagai bentuk penjabaran dari konsep yang dipegang pengarang novel ini. Dua tokoh tersebut adalah Pak Mat, ayah Adi, dan Bang Dolah, lelaki separuh baya, lulusan Senior Cambridge, sekolah Inggeris, namun malas bekerja. Dua orang tokoh ini digambarkan sebagai model manusia Melayu. Tipikal tokoh macam Abang Dolah, menurut narrator cerita, merupakan tipikal orang Melayu asli. Perkataan guru sastra Adi yang direkam dalam ingatannya ketika pelajaran sastra berlangsung, dapat memberikan bukti mengenai tipikal manusia Melayu:
“Orang Melayu malas, semenjak dahulu lagi, sukanya hanya hiburan, benda-benda seni, orang
Melayu hidup, asal ada makan cukup. Ada pakai sudah. Bangsa lain tidak, mereka kerja siang
malam cari kekayaan. Bila dia orang perintah negeri kita, kita marah. Tapi, kita yang malas, kita
tak sedar” (hlm. 157)
Selain itu, karakter tokoh macam Abang Dolah merupakan karakter orang Melayu yang
“bacut”, pengecut, pandai berucap tetapi tidak pandai berbuat. Meskipun ia lulusan
Senior Cambridge, tetapi ia malas bekerja. Ia hanya memainkan alat musik biola, akordion, mengedut rokok, dan mengerjakan “bokop”, yaitu guna-guna kepada orang lain (hlm. 78)
Gambaran tokoh Melayu yang kedua adalah Pak Mat, ayah Adi. Pak Mat bekerja di kilang minyak sebagai buruh kasar. Ia pun seorang pekerja dengan predikat pemalas. Kebiasaan tetapnya bermain judi, merokok, malas-malasan, mabuk-mabukan dan jarang pulang ke rumah.
Kemiskinan dan penderitaan keluarganya tidak bisa ditanggung dan dihadapinya, karena ia sendiri tidak bisa menghargai dirinya. Bang Dolah dan Pak Mat adalah dua tokoh yang banyak mempengaruhi perkembangan kejiwaan Adi. Pak Mat merupakan orang tua sekaligus tempat
bergantung Adi, sementara itu Bang Dolah adalah tempat meminta nasehat dan petunjuk (hlm. 105-6). Perjalanan hidup dua orang tersebut hampir sama, meskipun ada beberapa perbedaan. Bang Dolah merupakan orang Melayu yang terpelajar, pandai, cerdas, pintar bermain alat musik dan mengaji namun malas serta pendendam. Pak Mat adalah orang susah yang tidak pernah bersekolah dan karena keangkuhannya nasibnya terpuruk hanya sampai menjadi buruh kilang minyak.
Dari dua tokoh prototype manusia Melayu tersebut, nampaknya Latiff lebih memusatkan perhatiannya pada tokoh Bang Dolah. Dengan beberapa kelebihan yang dimiliki, tampaknya Bang Dolah merupakan tokoh kunci dalam rangkaian penggambaran nasib tragis manusia Melayu yang disebabkan karena sifat-sifat dasarnya. Jikalau Pak Mat setelah sepak terjangnya terhenti karena kematian akibat kencing manis dan serangkaian penyakit karena kebiasaan buruknya sebagai pemabuk dan perokok berat, maka Bang Dolah menemui nasib tragisnya karena sesuatu hal yang dianggap tidak wajar. Ia seolah dimatikan oleh Mohamed Latiff Mohamed dengan kekuatan deus ex machina untuk menyelamatkannya dari situasi yang tidak menguntungkan. Tokoh Bang Dolah seolah-olah memenuhi konsep keseimbangan yang digagas oleh Latiff. Kebiasannya membokop lawan-lawannya harus ia bayar dengan penderitaan. Punggung Bang Dolah seolah dimakan belatung hingga membusuk dan menimbulkan bau tidak sedap. Tokoh Bang Dolah juga memenuhi konsep Force; mati dalam lingkaran nasib yang diciptakannya sendiri, serta memenuhi kriteria manusia Melayu yang mistik, aneh dan tidak bisa dinalar akal sehat dalam kerangka Orientalisme Edward Said
”Orient is strange. Crucial to Orientalism was the stereotype of the Orient’s peculiarity. The
Orient is not just different; it is oddly different – unusual, fantastic, bizarre… If the Occident
was rational, sensible and familiar, the Orient was irrational, extraordinary, abnormal”
(McLeod, 2000:44)
Di samping tradisi dan kepercayaan sebagai bagian hidup Oriental, kegiatan malpraktik, perdukunan, juga dilakukan. Abang Dolah biasa melakukan “bokop” kepada orang lain yang dikehendakinya untuk membuat orang itu takluk padanya. Habsah, perempuan istri Omar keturunan Arab, juga takluk padanya dan menjadi selingkuhannya. Bang Dolah juga mampu membuat lawan-lawan politiknya menjadi sakit yang tidak kunjung sembuh sampai mati karenanya (hlm. 16-17). Hal ini dilakukan Bang Dolah karena ia telah “bersubahat dengan komunis” (hlm. 148-150). Karena persubahatan ini pula, Bang Dolah rela melakukan apa saja untuk mendapatkan keinginannya. Kegiatan malpraktik ini merupakan salah satu bentuk standard manusia Melayu menurut kacamata Orientalisme; aneh, abnormal, dan mistis.
Penyatuan Identitas: Sebuah Harapan Semu
Kerumitan masalah kehidupan dalam cerita menjadi semakin menumpuk ketika permasalahan perselingkuhan dan “kumpul kebo” juga dijabarkan. Ani, kakak Adi, juga telah hamil karena hasil hubungan gelapnya dengan pemuda India “berkulit gelap dan berhidung mancung”. Penyebutan kata-kata ’berkulit gelap’ dan ’berhidung mancung’ sudah menunjukkan ras tertentu.
Perkawinan antar ras pun terjadi secara terpaksa karena Ani, kakak Adi, telah mengandung benih pemuda India itu dan supaya tidak menanggung aib keluarga, perkawinan pun harus segera digelar. Perkawinan itu tidak disetujui oleh Pak Mat, Ayah Ani. Pak Mat menghardik Ani dari rumah. Perkawinan Ani tidak dihadiri oleh pihak keluarga Ani. Hingga beberapa waktu berselang, ketika ajal menjemput Pak Mat, Ani yang sudah menimang anak perempuan hasil hubungan gelap dengan pemuda India yang sudah menjadi suaminya itu. Pada saat ajal akan menjemput Pak Mat, barulah Ani meminta ampun kepadanya (hlm. 100-6).
Dari penggambaran situasi tersebut nampak bahwa perbedaan ras menjadi masalah dalam berhubungan sosial. Ras dalam BL memiliki konotasi yang sama dengan etnis. Latiff tidak menyebutkan kata etnis, selain keturunan, namun bisa dipahami bahwa etnis itu sendiri adalah berhubungan dengan kebangsaan. Perbedaan etnis dan kelas sosial menjadi satu paket dalam kegiatan ekonomi maupun seksualitas dalam novel Latiff. Fenomena kumpul kebo tokoh Salmah salah satu contohnya. Salmah dianggap sebagai perempuan ”sundal” dalam novel ini. Ia suka berganti-ganti pasangan mulai dari Serani, Cina, India, dan lainnya. Ada hal yang menarik mengenai persundalan Salmah. Ia tidak pernah melayani laki-laki dari etnis Melayu. Mengapa hal tersebut terjadi? Ada dua kesimpulan dari kejadian tersebut, pertama, adanya bentuk penjabaran kelemahan dari segi ekonomi orang Melayu, kedua adanya diskriminasi sosial terhadap masyarakat Melayu yang dilakukan oleh penduduk Cina, dalam hal ini diwakili oleh Salmah yang keturunan Cina Melayu.
Dari perselingkuhan Bang Dolah dengan Habsah ditangkap satu kenyataan bahwa Habsah yang bersuamikan Omar, pemuda keturunan Arab-India berbadan tinggi dan besar serta perangainya kasar, tidak pernah mendapatkan ketentraman dan kedamaian dalam hidup berumah tangga. Habsah akhirnya berselingkuh dengan Bang Dolah yang berdarah Melayu dan berbadan kurus kerempeng. Sementara itu pernikahan Habsah dan Omar tidak dikaruniai anak karena Omar mandul. Karena kemandulannya itulah Omar senantiasa menimpakan kemarahannya kepada Habsah yang dianggapnya tidak becus menjadi istri dan tidak bisa memberikan keturunan (hlm. 60-61).
Dari kenyataan di atas dapat dijelaskan karakteristik perempuan dalam kehidupan masyarakat multietnis dalam BL. Perempuan tidak berhak mendefinisikan tubuh dan seksualitasnya. Dalam masyarakat mutlietnis, seksualitas terkait dengan ras dan gender. Omar yang keturunan Arab selalu memproklamirkan dirinya yang selalu identik dengan ’kekuatan dan kejantantanan’. Namun dalam BL kondisi itu dibalikkan oleh Latiff dengan menampilkan Omar sebagai lelaki mandul dan tidak jantan. Ia juga suka menganiaya perempuan. Dari sini dapat dijelaskan bahwa dalam pergulatannya, perempuan Melayu masih berkutat pada masalah kekerasan rumah tangga dan ketimpangan gender. Dalam standar Orientalisme, laki-laki Occident [dalam hal ini penguasa/yang berkuasa, ras dan kelas yang lebih tinggi] itu aktif, pemberani, kuat, jantan, sementara itu perempuan itu pasif, lemah, bermoral, dan pasrah (McLeod, 2000:45). Namun
keadaan ini dibuat berbeda dengan keadaan Omar yang keturunan Arab itu. Ia mandul, pemarah, aneh, dan suka memukul perempuan. Sedangkan Habsah digambarkan sebagai perempuan yang penurut, pemalu, lembut, dan penuh kasih sayang. Secara tersamar Latiff memasukkan unsur simpati kepada Habsah sebagai perempuan Melayu, serta menjadikannya pasangan kumpul kebo Bang Dolah. Kehidupan multikultur juga sering menimbulkan ancaman yang lain. Ancaman itu adalah munculnya anggota gengster-gengster dari etnis-etnis Cina, Arab, dan India. Para gengster tersebut adalah manifestasi dari keterkoyakan jati diri bangsa Singapura. Gengster-gengster tersebut juga merupakan bentuk kemunculan kelas-kelas sosial yang dominan. Mereka saling menghancurkan dan bertingkah laku brutal. Keadaan mereka terekam oleh Said sebagai tokoh-tokoh yang suka berbunuh-bunuhan, dan hidup dalam pertikaian tiada henti. Mereka digambarkan dalam Orientalisme sebagai
Assumptions were often made about the inherent ’racial’ characteristics of Orientals: stock
figures included the murderous and violent Arab, the lazy Indian, and the inscrutable Chinaman.
The Oriental’s ‘race’ somehow summed up what kind of person he or she was likely to be,
despite their individual qualities and failings. So racialising categories like ‘Arabian’, and
‘Indian’ were defined within the general negative representational framework typical of
Orientalism, and provided Orientalism with a set of generalized types (all Arab were violent, all
Indians were lazy) (McLeod, 2000:44)
Dari potret berbagai kehidupan berbagai macam etnis dan ras dalam BL, Latiff, nampaknya lebih memfokuskan perhatian pada dua etnis besar di Singapura, yaitu Melayu dan Cina. Kedua etnis tersebut dipotret dengan jeli oleh Latiff melalui tata cara dan tindakan dalam kehidupan beragama serta tingkah laku dalam kehidupannya. Di lorong tempat tinggal Adi dan keluarganya terdapat juga keluarga-keluarga etnis lainnya; Abang dolah (orang Melayu, dukun, lulusan Senior Cambridge, malas dan tidak mau bekerja pada orang putih), Cina Ketuk Sabut, Ah Kong taukeh cap ji ki yang mempunyai radiofussion yang biasa memperdengarkan lagu-lagu Cina lama, Tong Samboo yang suaminya sudah meninggal dan anak perempuannya telah diperkosa kakaknya sendiri serta menjadi gila, Cina Tong San yang berusia 70 tahun tetapi istrinya setiap tahun beranak, dan Mama Sulaiman orang tua Ali, teman Adi belajar di sekolah Inggeris.
Kehidupan penduduk yang multietnis tersebut juga memberikan gambaran mengenai cara hidup mereka sebagai makhluk yang bertuhan. Penduduk Cina mempercayai adanya peruntungan nasib dan ramalan, sehingga mereka selalu berdo’a dan membakar mi sau di bawah pohon jejawi. Mereka juga sering “menggoyang nombor” di bawah pohon jejawi untuk mendapatkan peruntungan. Tradisi penduduk beragama Islam, seperti halnya tradisi penduduk Islam di Indonesia, melakukan “kenduri” setelah anggota keluarganya meninggal. Mereka hidup rukun dan saling membantu. Kehidupan mereka dipersatukan oleh simbol-simbol seperti perigi air dari paip [pipa] kompeni tempat mereka menimba air untuk keperluan sehari-hari dan juga pohon jejawi di dekat rumah Adi. Baik perigi air maupun pohon jejawi, keduanya merupakan simbol kerukunan etnis. Kedua simbol ini dimanfaatkan oleh Latiff secara maksimal, dan oleh karenanya lebih dari hanya sekedar perigi air dan pohon jejawi. Keduanya dapat dianggap sebagai pemersatu budaya.
Selain kedua simbol di atas, terdapat simbol yang lain yang dipergunakan oleh Latiff secara tersamar. Simbol tersebut adalah si Pungut, anak Busuk putra Bibik. Pungut diberi nama demikian karena ia adalah anak angkat Mak Timah atas saran Bibik. Bibik pula yang memberikan sumbangan uang sebesar tigapuluh ringgit sebulan untuk membeli susu si Pungut. Bibik adalah orang melayu yang baik dan merupakan keturunan Baba/Cina (hlm. 175). Pungut mengalami cacat fisik yang parah. Ia tidak bisa merespon perkataan orang. Akhirnya Mak Timah tahu bahwa Pungut pekak [tuli] dan juga bisu, karena ia hanya mengeluarkan suara seperti nyamuk dan menggeleng-gelengkan kepala sebagai pertanda bahwa dia masih hidup (hlm. 121).
Pungut tidak lain adalah simbol pemersatu budaya. Mak Timah dipersatukan dengan Bibik, Busuk, suami Busuk, Kak Habsah, Bang Dolah karena keberadaan Pungut. Namun, Pungut juga merupakan ”bocah manis semanis cempaka” dalam puisi Latiff; yaitu suatu makhluk yang tidak memiliki tulang belakang [kekuatan dan jati diri, interpretasi penulis] karena itu lunglai tersapu oleh perubahan jaman (Darma, 2003:10-15). Di sinilah letak penyatuan identitas Singapura yang dipotret Latiff. Keragaman etnis dan ras di Singapura dipotret dengan jelas bersama detil kemeluatan masyarakatnya namun nampaknya menyuarakan satu perasaan, absurd. Nampak sekali bahwa simpati Latiff jatuh pada masyarakat etnis Melayu. Hal ini karena pada kenyataannya, etnis Melayu-lah yang tertinggal jauh dalam perubahan dan ekonomi. Latiff sendiri yang keturunan Melayu melihat bahwa masyarakat Melayu masih rendah jika dibandingkan dengan kaum-kaum lain. Inilah yang dipotret oleh Rahmat dalam salah satu eseinya ”Sastera dan Manusia Melayu Baru” dalam kumpulan esei dan wawancara Sastra dan Manusia Melayu Baru (1998:119-163). Menurutnya
Sungguhpun banyak kemajuan sudah dicapai sejauh ini, namun masalah jurang pencapaian
antara kaum ini masih membelenggu dan menghantui kesedaran. Biarpun begitu masyarakat
Melayu di sini masih terus mencuba dan berusaha untuk meningkatkan pencapaian dan maruah
diri.
Mengapa masyarakat Melayu menjadi perhatian utama Latiff? Hal ini didasarkan pada kenyataan sejarah bahwa jaman dahulu kaum Cina dan India didatangkan oleh Inggris dalam jumlah yang besar ke Malaysia dengan tujuan mendesak kaum Melayu Nusantara yang menjadi penduduk pribumi. Kaum-kaum tersebut juga didoktrin dengan primordialisme ala Inggris sehingga mereka bersepaham untuk menghancurkan Melayu (Daery, 2008)[2]. Ada kesan bahwa Latiff juga tidak
menyukai Inggris sebagai penjajah. Semangat itu terekam dari nada sinis Latiff ketika menilai sekolah Inggris yang tidak menumbuhkan rasa kebangsaan kecuali membangun rasa dan semangat penuh kebencian.
Paradoks dan Absurditas BL
Sebagai prosais kontemporer Singapura, Latiff merupakan penulis yang mengikuti alur pemikiran eksistensialis. Dalam dua prosanya; novel Dalam Keasingan dan cerpen ”Ibu”, Latiff memotret ”rasa alienasi pada seseorang yang mau tidak mau harus terlibat dalam perubahan jaman” (Darma, 2003:10-15). Nada ini sama halnya dengan isi novel BL yang lebih banyak menyuarakan rasa kehilangan, rasa sakit, rasa pedih, nada bimbang dan ragu, nostalgia dan romantisme masa lalu, kecemasan, keterpinggirkan, serta ”usaha keras untuk menyesuaikan diri dengan perubahan jaman” (Darma, 2003:10-15). Adi, yang sebenarnya merupakan kepanjangan tangan Latiff, duduk di sekolah menengah Melayu begitu menggemari pelajaran sastera karena guru sasteranya baik, murah senyum dan lemah lembut. Menurut guru sasteranya di sekolah, ‘Sajak Harapan’ karya Masuri S.N merupakan sajak yang menggambarkan tipikal pemuda macam Adi.
Puncak dari ketekunannya belajar sastera, membuahkan beasiswa tujuhpuluh lima
ringgit setahun. Mak Timah dipanggil ke sekolah untuk menerima beasiswa Adi dari
pejabat pengetua (hlm. 163). Keadaan Mak Timah bukan semakin baik dengan beasiswa itu, uang itu harus ia pergunakan beli obat dan mencari rumah sewa baru. Kerusuhan antar gengster terus berlanjut dan kehilangan tempat tinggal juga harus dialami oleh Adi dan keluarganya. Hal inilah yang tercermin pula pada puisi dan prosa Latiff secara umum. Rasa kehilangan akan ke-Melayu-an dialami Latiff sebagai manifestasi dari kekecewaannya terhadap bangsa Melayu yang tidak mau beranjak dari tempatnya berdiri. Bangsa Melayu juga mempertahankan jati dirinya sebagai ras-ras yang bekelompok dalam kantung-kantung tersembunyi. Salah satu bait puisi Latiff dapat menggambarkan keadaan tersebut:
…
Melayuku adalah bulan purnama
Harum cempaka wangi cendana
Melayuku adalah pelamin yang patah
Pusara yang legam
Dan malam yang pasrah
[dikutip dari ”Melayuku, Melayumu” karya Latiff (dalam Rahmat, 1998:119-163)]
Bait puisi di atas menggambarkan betapa kecewa dan putus asanya Latiff mendapati masyarakat Singapura yang lemah dan buruk hubungan sosialnya (pelamin yang patah). Mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengubah nasib. Hal tersebut di atas diperparah dengan keadaan ekonomi mereka yang semakin terpuruk. Chua Beng Huat dan Kwok Kian Woon mendeskripsikan keadaan mereka sebagai berikut, ”Secara spasial, komunitas-komunitas etnis hidup terisolir dari satu sama lain dalam kantong-kantong mereka sendiri” (Beng Huat dan Kian Woon, 2007:147-198). Dengan perubahan yang tidak dapat dibendung tersebut, ironisnya, banyak warga Melayu Singapura yang merindukan persatuan dengan Malaysia, bahkan rasa kekaguman terhadap bangsa Indonesia.
Kabar dilepaskannya Bang Dolah dari penjara tidak membawa angin segar karena semuanya sudah terlambat. Bang Dolah mengidap penyakit aneh yang menjijikkan; tulang punggungnya berlubang melebar seperti dimakan ulat-ulat. “…Keadaan Bang Dolah semakin parah. Tilam yang dia aring sudah lembab oleh air kencing, sudah banyak bekas-bekas najis Bang Dolah. Luka di tulang punggungnya semakin merebak. Dia mengerang siang malam berjuang dengan sakitnya” (hlm. 184). Bang Dolah harus menderita setelah dirinya berubah menjadi manusia baru. Hal ini merupakan konsekwensi dari hukum alam [menurut istilah Force “convention and
law”] yang telah ia perbuat sendiri di masa lalunya. Pernyataan Bang Dolah sebelum meninggal menjadikan kesan absurd BL semakin terasa, “.. Gelap… lah… masa… depan kau… kau… tidak… ada… masa…depan… lagi… “(hlm. 188). Kesan absurd sepanjang novel ini terekam jelas dalam setiap dialog tokoh dengan tokoh lain. Penderitaan dan ketakutan dalam ancaman
perang dan pertempuran saudara senantiasa mengintai. Setiap penduduk, oleh karenanya, berada dalam kekalutan dan ketakutan. Mereka senantiasa hidup dalam kecemasan dan keterasingan (outcasted).
Ada persamaan nuansa absurditas novel BL dengan novel Sampar [terjemahan dari Lé Peste, oleh Apsanti Djoko Sujatno] Albert Camus (1988). Masyarakat Perancis diliputi kekalutan dan ketakutan akan merebaknya wabah pes yang dibawa oleh tikus-tikus yang tadinya dibunuh beramai-ramai. Wabah pes semakin menggejala dan menelan korban jiwa. Rasa kalut, cemas, takut, dan terasing menyelimuti kota. Kamatian hanyalah suatu pilihan yang indah untuk ditunggu daripada menanggung hidup yang penuh beban derita. Bisa juga dikatakan bahwa ketika membaca karya Mohamed ini, terlintas satu kesimpulan bahwa terdapat kemiripan alur antara novel Batas Langit karya Mohamed Latiff Mohamed ini dengan novel Awal dan Akhir karya Naguib Mahfouz (edisi berbahasa Indonesia terbitan tahun 2000, oleh Yayasan Obor Indonesia, dengan kata pengantar Sapardi Djoko Damono). Judul Awal dan Akhir juga memberi kesan paradoksal antara permulaan dan penutupan suatu lembaran kehidupan dan masingmasing
daripadanya berhimpitan namun tidak berbatas.
Dari perbandingan keduanya, melalui alur maju, kedua novel bergerak maju perlahan namun pasti menuju keciutan nasib tokoh-tokohnya. Kematian Kamel Effendi bisa disamakan dengan kematian Pak Mat, ayah Adi. Kedua novel tersebut, juga, memotret kisah sedih penderitaan keluarga dalam deraan konflik moril, materiil dan spirituil, yang menghiasi perjalanan hidup manusia dalam mencari ketentraman dan kedamaian demi menjalani desah nafas kehidupan. Nampaknya, sebagai novel dari dunia ketiga, ada konvensi yang diikuti oleh penulis-penulis dari negara bekas jajahan, termasuk Mohamed Latiff Mohamed. Di samping menyuarakan isu pascakolonialisme, kesan absurditas dan kekecewaan yang meradang akibat perubahan jaman juga menjadi masalah utama. Mohamed Latiff Mohamed berhasil memadukan isu pascakolonialisme dan eksistensialisme secara seimbang. Latiff berhasil menampilkan genre bersastra bagi masyarakat Singapura, khususnya sastra kontemporer Singapura, yang menjadikannya sastrawan yang garda depan Singapura.
Simpulan
Novel Batas Langit karya Mohamed Latiff Mohamed memotret sisi gelap kehidupan multikultural di Singapura. Ras, etnisitas, dan identitas menjadi tumpang tindih dalam dimensi yang digagas Mohamed Latiff Mohamed. Mohamed Latiff Mohamed nampaknya sengaja tidak membeda-bedakan masalah ras dan etnisitas sebagai dua entitas yang berbeda. Hal tersebut terekam dari nada penuturan Mohamed Latiff Mohamed bahwa penulis ini mengingikan identitas Singapura yang utuh seperti sedia kala ketika masih menjadi satu dengan Malaysia. Tidak ada pemisahan dalam bentuk nama ras, kelas, dan etnisitas. Latiff menginginkan satu identitas yang jelas, yaitu Singapura. Kehidupan manusia Melayu dipotret gelap dan sekaligus disesali dalam suasana dan nuansa penceritaan yang tegang, lambat, dan pesimis. Mohamed Latiff Mohamed berhasil membaurkan sebuah epik kepahlawanan tanpa mempergunakan ikon dan simbol
kepahlawanan, dengan isu pascakolonial yang absurd.
Daftar Rujukan:
Budianta, Melani. 1994. “Yang Memandang dan Dipandang: Potret Orang Kecil dan Wacana Postkolonial” dalam Kalam: Jurnal Kebudayaan No. 2. 1994, hlm. 56-66
Beng Huat, Chua, Kwok Kian Woon. 2007. “Pluralisme Sosial Singapura” dalam Politik Multikulturalisme: Menggugat Realitas Kebangsaan, editor Robert W. Hefner. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 147-198
Daery, Viddy D. 2008. Menuju ’Deklarasi Sastra’ Indonesia-Malaysia” dalam lembar Wacana harian Republika, Ahad, 2 Maret 2008, hlm. A7
Darma, Budi. 2000. “General Introduction: Modern Literature of ASEAN”, kata pengantar untuk Modern Literature of ASEAN, Jakarta: …hlm. 1-4
Darma, Budi. 2003. “Sebuah Dunia Mohamed Latiff Mohamed”, dalam Horison:Majalah Sastra, XXXVI/7/2003, hlm. 10-15
Force, Lorraine. M. 1966. Notes on Hardy’s Tess of D’Urbervilles. Nebraska: Cliff’s Notes, Inc.
Knickerbocker, K.L, Reninger, H.W. 1969. Interpreting Literature (fourth edition). New York: Holt, Rinehart and Winston Inc.
Maffouz, Naguib. 2000. Awal dan Akhir (diterjemahkan dari Bidaya wan nihayamenjadi The Beginning and the Ends, dan terjemahan ini merupakan
terjemahan dari edisi Inggris oleh Anton Kurnia dan Anwar Holid). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
McLeod, John. 2000. Beginning Postcolonialism. Oxford: Manchester University Press
Mohamed, Mohamed Latiff. 2002. Batas Langit. (edisi kedua) Singapura: Pustaka Nasional Pte, Ltd.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2003. Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Feminitas, dan Globalitas dalam Iklan Sabun. Bandung: Jalasutra
Rahmat, Hadijah. 1998. “Sastera dan Manusia Melayu Baru” dalam Sastera dan Manusia Melayu Baru: Kumpulan Esei dan Wawancara. Singapura:Malaysia Press SDN Berhad, hlm. 119-163
Biodata singkat penulis:
Ali Mustofa adalah staf pengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya. Ia menyelesaikan studi S1 Sastra Inggris pada tahun 1998, S2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Unesa pada 2002, dan S3 Pendidikan Bahasa dan Sastra Unesa pada 2008. Sehari-hari bertugas di jurusannya di Kampus Lidah Wetan Surabaya. Menulis dan membaca adalah hobinya sejak kecil.
[1] Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1997 dan kemudian dicetak ulang pada tahun 2002
[dengan beberapa pembetulan] oleh Kerjaya Printing Industries Pte Ltd Singapura, dan diterbitkan oleh
Pustaka Nasional Pte Ltd Singapura. Novel yang sedang dianalisis ini adalah terbitan yang kedua.
Dalam tulisan ini Batas Langit disingkat BL.
[2] dikutip dari esei Viddy AD Daery dalam Harian Republika, Ahad, 2 Maret 2008, hlm. A7 yang
berjudul “ Menuju ‘Deklarasi Sastra’ Indonesia-Malaysia”. Menurut Daery, karena desakan etnis Cina
dan India itulah timbul pemisahan diri Singapura yang membentuk negara baru yang mayoritas disesaki
oleh etnis Cina dan India. Hubungan yang buruk antara Indonesia-Malaysia juga karena banyak
dicampuri oleh aktifis-aktifis politik Singapura yang menyogok wartawan dan aktifis Indonesia untuk
menumbuhkan kebencian terhadap Malaysia. Dalam BL, Latiff juga menyesalkan hubungan yang buruk
antara Indonesia (yang dipimpin Soekarno) dengan Malaysia, yang menurut Latiff masih bersaudara.