Oleh Andi Andrianto
TANPA menafikan peran kampus umum, kampus berbasis agama Islam berperan starategis dalam memberikan solusi atas kekerasan yang kerap mengatasnamakan agama Islam, seperti di Pandeglang, Banten, dan pembakaran tempat ibadah di Temanggung, belum lama ini.
Di Pandeglang, sekelompok orang yang menyebut diri Islam radikal menyerang jamaah Ahmadiyah secara membabi buta. Mereka merusak rumah, melakukan kekerasan fisik, dan membunuh tiga anggota Ahmadiyah. Di Temanggung, mereka membakar rumah ibadah atas dalih sentimen agama.
Bagaimana respons perguruan tinggi (PT) berbasis Islam melihat fenomena itu? UIN, IAIN, dan STAIN semestinya menjawab persoalan sentimen keagamaan yang acap berujung kekerasan. Paling tidak, dalam kasus ini, ada dua poin penting dapat dicatat dan direspons. Pertama, apakah benar kekerasan dilegalkan dalam ajaran Islam? Kedua, bagaimana PT menyikapi keberadaan kelompok Islam radikal yang tumbuh subur di kampus dan jadi embrio kemunculan kelompok Islam garis keras di masyarakat?
Tanggung Jawab Sosial Tak mudah menjawab persoalan itu. Namun PT Islam mesti menyikapi sebagai wujud tanggung jawab sosial religius, baik di hadapan masyarakat maupun sang Pencipta. PT Islam secara kelembagaan dapat bersikap tegas dan menjelaskan pada publik secara terbuka bahwa kekerasan yang mengatasnamakan agama tak dibenarkan.
Namun, selama ini PT berbasis Islam di seluruh Indonesia kurang dapat menunjukkan taring dalam merespons kekerasan atas nama agama. Ketika terjadi kekerasan atas nama agama, sulit kita temui kampus Islam merespons dengan mengadakan pertemuan kolektif, lalu menghasilkan semacam “fatwa” perang terhadap kekerasan atas nama agama, dan melakukan aksi nyata. Paling banter melakukan seminar, yang acara selesai, usai pula gemanya.
Hingga kini belum muncul gerakan besar dari kampus Islam untuk menandingi wacana gerakan Islam radikal. Padahal, gerakan radikal itu kerap merugikan citra Islam yang cinta damai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian serta toleran terhadap perbedaan dalam berkeyakinan.
Itulah problemnya. PT Islam memiliki massa besar, sehingga memiliki kekuatan memproduksi atau menandingi wacana kelompok Islam radikal. Kampus Islam tampak rapuh karena tak dapat melahirkan gerakan massal secara kelembagaan dalam mencegah tindakan Islam radikal.
Tumbuh Subur Kelemahan lain PT Islam dalam merespons kemunculan kelompok Islam kanan yang normatif-tekstual adalah belum ada tindakan tegas pemangku kebijakan kampus. Akibatnya, kelompok Islam dengan paham keagamaan kaku tumbuh subur di kampus Islam.
Disadari atau tidak, dari kampus itulah pemahaman keagamaan Islam yang normatif berkembang luas di masyarakat. Mereka menyebarkan agama Islam yang mereka yakini kebenarannya melalui cara yang rapi, baik membentuk forum keagamaan, mengajari orang lain mengaji, maupun menguasai masjid di masyarakat.
Alhasil, dokrin, ajaran, dan dogma kelompok Islam yang mengesampingkan aspek substansi dan lebih mengedepankan ritual merebak dalam kehidupan masyarakat dewasa kini.
Perubahan juga tampak pada pola berpikir mereka yang kaku, antikritik, intoleran dengan komunitas luar. (51)
– Andi Andrianto, mahasiswa KPI Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
.
Sumber: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/02/19/137377/19/PT-Islam-Sikapi-Kekerasan