Prospek dan Hambatan Profesi KonselorOleh Agus Sukirno.
Urgensi Bimbingan Konseling
Dalam ranah dunia akademik khususnya dalam program jurusan Bimbingan dan Konseling Islam, istilah bimbingan dan konseling merupakan rangkaian kata yang saling kait mengkait, keduanya saling membutuhkan dan dibutuhkan (baca : simbiosis mutualisme). Pada hakikatnya konseling (counseling) merupakan bagian dari kegiatan bimbingan (guidance). Bimbingan menurut Donald G. Mortensen dan Alam M.Schmuller (1976) dalam Ahmad Juntika Nurihsan (2007) mendefinisikan, Guidance may be defined as that part of the total educational program that helps provide the personal opportunities and specialized staff services by which each individual can develop to the fullest of this abilities and capacities in term of the democratic idea. Sedangkan konseling menurut Shertzer dan Stone, Counseling is an interaction process which facilities meaningful understanding of self and environment and result in the establishment and/or clarification of goals and values of future behavior. Konseling adalah upaya membantu individu melalui proses interaksi yang bersifat pribadi antara konselor dan konseli agar konseli mampu memahami diri dan lingkungannya, mampu membuat keputusan dan menentukan tujuan berdasarkan nilai yang diyakininya sehingga konseli merasa bahagia dan efektif perilakunya. Dalam konseling sifatnya lebih khusus, artinya proses konseling sifatnya empat mata (face to face) antara konselor dan konseli.
Achmad Juntika Nurihsan (2007), menjelaskan beberapa faktor diperlukannya bimbingan dan konseling. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut : Filosofis, Latar belakang filosofis berkaitan dengan pandangan tentang hakikat manusia. Salah satu filsafat yang berpengaruh adalah adalah filsafat humanisme. Aliran filsafat ini berpandangan bahwa manusia memiliki potensi untuk dapat dikembangkan seoptimal mungkin. Aliran ini mempunyai keyakinan bahwa warga yang miskin dapat dientaskan melalui bimbingan pekerjaan (guidance vocational) sehingga pengangguran dapat dihapuskan. Psikologis, ini berkaitan erat dengan proses perkembangan manusia yang sifatnya unik, berbeda dari individu lain dalam perkembangannya. Implikasi dari keragaman ini adalah bahwa individu memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk memilih dan mengembangkan kompetensi yang dimilikinya. Dari sisi keunikan dan keragaman individu, diperlukan bimbingan untuk membantu setiap individu mencapai perkembangan yang sehat di dalam lingkungannya. Sosial Budaya, kehidupan sosial budaya suatu masyarakat adalah sistem terbuka yang selalu berinteraksi dengan sistem lain. Keterbukaan ini mendorong terjadinya pertumbuhan, pergeseran, dan perubahan nilai dalam masyarakat yang akan mewarnai cara berpikir dan perilaku inidividu. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, kesempatan kerja berkembang dengan cepat pula sehingga para siswa/klien/konseli memerlukan bantuan dari pembimbing untuk menyesuaikan minat dan kemempuan mereka terhadap kesempatan dunia kerja yang selalu berubah dan meluas. Demokratisasi dalam Pendidikan, kesempatan yang sama untuk semua orang telah menjadi kenyataan dalam berbagai bidang, baik di sekolah,universitas, perguruan tinggi lainnya, pabrik-pabrik dan industri, maupun di kalangan profesional. Sekolah-sekolah menampung murid-murid dari berbagai asal-usul dan latar belakang kehidupan yang berbeda. Hal ini menimbulkan bertumpuknya masalah yang dihadapi seseorang yang terlibat dalam kelompok campuran itu. Dalam kondisi demikian, pelayanan bimbingan merupakan salah satu cara untuk menanggulangi masalah tersebut. Perluasan Program Pendidikan, program ini memberi kesempatan kepada siswa untuk mencapai tingkat pendidikan setinggi mungkin sesuai dengan kemampuannya. Arah ini menimbulkan kebutuhan akan bimbingan, yaitu dalam memilih kelanjutan sekolah yang paling tepat, serta menilai kemampuan siswa yang bersangkutan, mungkinkah dia melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Lebih lanjutAchmad Juntika Nurihsan (2007), menjelaskan tentang diperlukannya bimbingan di Perguruan Tinggi. Belajar di Perguruan Tinggi memiliki beberapa karakteristik yang berbeda dengan sekolah lanjutan. Karakteristik utama dari studi pada tingkat ini adalah kemandirian, baik dalam pelaksanaan kegiatan belajar dan pemilihan program studi, maupun dalam pengelolaan dirinya sebagai mahasiswa. Pola berpikir mahasiswa pun tentunya berbeda dengan siswa pada sekolah lanjutan. Kalau di sekolah lanjutan para siswa cenderung lebih menurut, namun bagi mahasiswa cara berpikir lebih kritis, analitis dan argumentatif.
Secara keseluruhan, problema yang dihadapi oleh mahasiswa dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu :
- Problema Akademik
- Problema Sosial Pribadi
- Kesulitan dalam memilih program studi/konsentrasi/pilihan mata kuliah yang sesuai dengan kemampuan dan waktu yang tersedia.
- Kesulitan dalam mengatur waktu belajar disesuaikan dengan banyaknya tuntutan dan aktivitas perkuliahan, serta kegiatan mahasiswa lainnya.
- Kesulitan dalam mendapatkan sumber belajar dan buku-buku sumber.
- Kesulitan dalam menyusun makalah, laporan, dan tugas akhir.
- Kesulitan dalam mempelajari buku-buku yang berbahasa asing.
- Kurang motivasi atau semangat belajar.
- Adanya kebiasaan belajar yang salah.
- Rendahnya rasa ingin tahu dan ingin mendalami ilmu serta rekayasa.
- Kurangnya minat terhadap profesi.
- Kesulitan ekonomi/biaya kuliah
- Kesulitan berkenaan dengan masalah pemondokan
- Kesulitan menyesuaikan diri dengan teman sesama mahasiswa, baik di kampus maupun di lingkungan tempat tinggal.
- Kesulitan menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitar tempat tinggal mahasiswa, khususnya mahasiswa pendatang.
- Kesulitan karena masalah-masalah keluarga.
- Kesulitan karena masalah-masalah pribadi.
Adapun tugas bimbingan dan konseling secara umum adalah memberikan pelayanan kepada klien/konseli agar mampu mengaktifkan potensi fisik dan psikisnya sendiri dalam menghadapi dan memecahkan kesulitan-kesulitan hidup yang dirasakan sebagai penghalang atau penghambat perkembangan lebih lanjut dalam bidang-bidang tertentu. Hakikat bimbingan adalah membantu individu/klien/konseli agar dapat memahami dirinya sendiri dan dunianya sehingga bimbingan ini diberikan pada siswa yang relatif tidak mengalami masalah. Sedangkan konseling membantu individu agar dapat memecahkan masalahnya, yang dilakukan melalui wawancara atau face to face sehingga umumnya diberikan kepada siswa/klien/konseli yang bermasalah.
Sejarah Bimbingan Konseling
Bimbingan konseling berawal dari nagara Amerika Serikat. Andi Mapiare (1984), menjelaskan proses perkembangan bimbingan konseling terbagi dalam lima tahap.
Periode embrio (1898 – 1907)
Periode ini mulai dirintis oleh George Merril, yang menyelipkan bimbingan jabatan, pada ”The California School of Mechanical Arts” di San Fransisco, tahun 1895. Disusul munculnya upaya-upaya bimbingan jabatan oleh Jesse B. Davis yang memusatkan perhatian pada penyuluhan jabatan dan pendidikan jabatan di “Central High School”, Detroid, Michigan, pada tahun 1898 – 1907. Pada tahun 1907 J.B. Davis, yang waktu itu menjabat kepala dari “Central High School” di Grand Rapids, menyisipkan bimbingan bimbingan jabatan ke dalam mata pelajaran (Bahasa) Inggris dengan suatu dasar yang teratur.
Pada tahun 1901 di Boston, Meyer Bloomfield (putra seorang imigran Yahudi dan lulusan Harvard) telah membangun “Civic Service House”.
Pada tahun 1907, Eli W Weaver mulai berusaha bersama dengan serikat guru SMA di Brooklyn “The Brooklyn High School Teachers Association”, berkonsentrasi pada bimbingan jabatan dan penempatan kerja. Di tahun yang sama William Wheatly berupaya menyajikan bimbingan jabatan dalam ilmu pengetahuan social dan juga membuka mata pelajaran khusus dalam hal pekerjaan di SMA (Public High School), di Middletown, Connecticut.
Periode Pertumbuhan (1908 – 1918)
Gerakan bimbingan umumnya dikatakan mulai lahir pada tanggal 13 januari 1980, ketika Frank Parsons mulai mengelola (sebagai direktur pertama) ”Vocational Bureau” pada “Civic Service House” di Boston. Parson disebut sebagai Bapak Bimbingan (Father of Guidance). Sebelum ia meninggal sempat menulis buku “Choosing Vocational”, diterbitkan pada tahun 1909.
Pengaruh Parsons amat kuat kepada para ahli yang muncul kemudian, hal ini terkait khususnya tentang pentingnya analisa ilmiah dan memperhatikan pribadi-pribadi individu dalam bimbingan jabatan. Pengaruh ini masih jelas terasa sampai sekarang.
Pada tahun 1910 sekitar 35 kota telah menganjurkan program formal bimbingan sekolah atau mulai melaksanakannya. Di tahun ini pula sekitar seratus utusan dari 45 kota berangkat ke Boston untuk menghadiri ”First National Conference on Vocational Guidance”. Konferensi ini disponsori oleh Biro Jabatan pada “Civic Servitional Guidance”.
Hampir berbarengan dengan upaya-upaya di atas, Eli W. Weaver melakukan kegiatan (tahun 1907 – 1911) yang menarik perhatian dengan mendirikan lembaga bimbingan yang dikenal ”The New York City Vocational Guidance Survey” dalam serikat bimbingan yang bernama ”The New YorkCity Guidance Association” (1911). Pada tahun 1912 dilaksanakan konferensi kedua bimbingan jabatan “The Second National Conference on Vocational Guidance” di New York. Tahun 1913 dilaksnakan konferensi bimbingan jabatan ketiga di Grand Rapids, organisasi bimbingan professional pertama didirikan dan diberi nama “National Vocational Guidance Associations” (NVGA).
Sampai pada tahun 1913 masih memprioritaskan bimbingan jabatan. Usaha sungguh-sungguh dalam jenis bimbingan pendidikan dimulai tahun 1914, ketika Truman L. Kelly menyusun disertasi untuk mencapai gelar doktor, yang diajukan pada universitas Columbia. Namun demikian meskipun sudah diletakkan dasar-dasar bimbingan jabatan, tetapi bimbingan masih lebih dominan ke dunia kerja. Pengutamaan ini merupakan suatu refleksi wajar dalam era ini. Kebanyakan pemuda tidak berorientasi pada pendidikan tinggi tetapi lebih berorientasi pada dunia kerja.
Organisasi profesioanl bimbingan sekolah yang pertama adalah ”Vocational Guidance Association of Brooklyn) didirikan tahun 1908. Sedangkan NVGA yang bertaraf nasional baru berdiri tahun 1913.
Publikasi profesioanl pertama yang berskala luas di bidang ini dilakukan lewat media “The Vocational Guidance Newsletter” yang dimulai tahun 1911dan Pada tahun 1915, publikasi professional yang tadinya kecil, berubah menjadi jurnal bertaraf nasioanl yang diberi nama “Vocational Guidance Bulletin”. Namun sangat disayangkan tahun 1918 bulletin tidak lagi diteruskan karena keadaan perang. Adanya gejolak perang berimbas pada kegiatan bimbingan, karena disibukkan dengan urusan perang.
Periode Pergolakan Pendidikan (1918 – 1929)
Setelah perang usai, pemerintahan Federal menyiapkan pusat-pusat rehabilitasi jabatan bagi para veteran. Gerakan bimbingan sekolah terus menerus dipacu oleh organisasi-organisasi dan yayasan-yayasan, antara lain oleh Commonwealth Fund. ”American Psychological Association” (APA), yang didirikan tahun 1892, dan secara resmi berbentuk badan hukum tahun 1925, berpengaruh secara tidak langsung dalam pengembangan baik terhadap kaum kependidikan maupun para petugas bimbingan dalam memperdalam kesadaran tentang pentingnya dasar-dasar psikologis pada setiap tahap program sekolah.
Pada tahun 924 NVGA mensponsori penelitian yang mengarah ke pengembangan standar pertama bagi pembuatann dan penilaian sarana pekerjaan.
Pada periode ini sudah mulai ditekankan perhatian pada bimbingan individual. Begitu pula dengan pendekatan studi kasus mulai diperkenalkan. Brewer (1926) orang pertama yang memperkenalkan proses studi kasus ini ke dalam jurusan-jurusan bimbingan di Universitas Harvard.
Pada tahun 1919 sebanyak 6 ”Dean of Men” dari berbagai perguruan tinggi mengadakan pertemuan membicarakan masalah-masalah umum, dan tahun berikutnya mereka secara resmi mendirikan organisasi ”national Association of Deans and Adviser of Men” atau NADAM. Tahun 1924 didirikan pula ”American College Personnel Association (ACPA) untuk mengkoordinadi penempatan . Tahun 1929 berubah nama “National Association of Placement and Personnel Officers”. Pada tahun 1921 NVGA menerbitkan majalah terbarunya yang diberi nama” The national Vocational Guidance Association Bulletin”. Dua tahun kemudian pengawasan penerbitan dialihkan pada Biro Bimbingan Jabatan dari “Graduate School of Education”, Universitas Harvard. Perubahan tersebut mengubah pula nama jurnalnya menjadi “The Vocational Guidance Magazine”.
Periode Ketaktentuan Ekonomi (1929 – 1945)
Pada periode ini, perkembangan bimbingan mengalami kelambatan disbanding periode sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh, (1) Sebagian besar kesempatan masuknya layanan bimbingan ke dalam sekolah-sekolah telah berlangsung pada periode-periode lalu. (2) Depresi ekonomi tahun 1929 menyebabkan pembiayaan sekolah mengalami kemunduran secara drastis.
Selama hari-hari suram, gerakan bimbingan mendapat bantuan dari ”Carnegie Corporation”, yang dalam 1933 membiayai ”National Occupational Conference” (NOC). Bantuan kedua bersumber dari Pemerintah Federal, yang dalam tahun 1938 mendirikan ”Occupational Information and Guidance Service” dalam ”Vocational Educational Devision” dari Kantor Pendidikan Amerika Serikat, yang waktu itu mengangkat seorang direktur (Harry A. Jager) dan dua orang spesialis.
Periode Modern (1945 – Sekarang)
Dampak dari perang dunia II adalah memberikan dorongan kuat perkembangan gerakan bimbingan. Selama masa perang Angkatan Darat meminta sekolah menengah dan perguruan tinggi untuk memberikan layanan bimbingan dalam penerimaan calon baru Angkatan Bersenjata.
Periode ini berhasil menggabungkan beberapa wadah asosiasi bimbingan menjadi ”American Personnel and Guidance Association”. Tujuannya adalah membantu meneruskan peningkatan dalam memajukan pandangan-pandangan personel dan menyebarluaskan falsafah, prinsip-prinsip, kebijakan-kebijakan, dan praktek-praktek bimbingan dalam pendidikan serta dalam perwakilan-perwakilan sosial dan pemerintahan.
Pada tanggal 1 April 1952 APGA memulai kegiatannya dengan pembagian kerja atas lima divisi. Divisi I, American College Personel Association (ACPA). Divisi II, National Association of Guidance Supervisor and Counselor Trainers (NAGSCT). Divisi III, National Vocational Guidance Association (NVGA). Divisi IV, Student Personnel Association for Teacher Education (SPATE). Divisi V, American School Counselor Association (ASCA). Tahun 1957 ditambah dengan adanya divisi VI, Rehabilitation Counseling.
Selanjutnya pada bulan Juli 1983 APGA mengubah namanya menjadi AACD (American Association for Counseling and Development).
Program bimbingan secara umum berkembang pesat di Amerika Serikat. Dampak dari perkembangan tersebut, Indonesia juga mengadopsi ilmu bimbingan dan konseling yang disesuaikan dengan kondisi wilayah indonesia.
Sejarah Bimbingan dan Konseling di Indonesia
Sejarah lahirnya bimbingan dan penyuluhan/konseling di Indonesia tergolong unik. Terkesan dengan layanan bimbingan dan penyuluhan/konseling yang dilaksanakan di sekolah-sekolah Amerika Serikat sekitar tahun 1962. Beberapa pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menginstruksikan dibentuknya layanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah menengah sekembalinya ke tanah air. Awal mula kegiatan bimbingan dan penyuluhan di sekolah belum tersusun dengan baik
Kegiatan bimbingan dan konseling di Indonesia lebih banyak dilakukan di lembaga-lembaga formal (sekolah) baik negeri maupun swasta. Pada awal tahun 1960 di beberapa sekolah sudah melakukan bimbingan yang terbatas pada bimbingan akademis.
Pada tahun 1964, lahir kurikulum Gaya Baru, dengan keharusan melaksnakan program bimbingan dan penyuluhan. Tetapi, program ini kurang berkembang karena kurang persiapan prasyarat, terutama kurangnya tenaga pembimbing yang profesional. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka pada dasawarsa 60-an Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, dan diteruskan oleh Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (1963) membuka Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan yang sekarang di kenal Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dengan nama Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB).
Istilah bimbingan dan penyuluhan merupakan terjemahan dari guidance and counseling. Orang yang memperkenalkan istilah ini adalah Tatang Mahfud, MA., seorang pejabat di Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia. Pada tahun 1953, ia menyebarkan surat edaran untuk meminta persetujuan kepada beberapa orang yang dipandang ahli, untuk menerjemahkan istilah ”guidance and counseling” dengan kata bimbingan dan konseling. Pada waktu itu tidak ada yang menolaknya.
Mulai saat itu, populerlah istilah bimbingan dan penyuluhan sebagai terjemahan dari guidance and counseling. Pada masa era orde baru tahun 1970, istilah penyuluhan juga dipakai dalam berbagai kegiatan/bidang lain, seperti penyuluhan keluarga berencana, penyuluhan hukum, penyuluhan narkoba, penyuluhan gizi, dsb. Dalam hal ini, penyuluhan diartikan sebagai pemberian penerangan, bahkan kadang-kadang hanya dalam bentuk pemberian ceramah atau pemutaran film saja. Dapat disimpulkan bahwa istilah penyuluhan masih bersifat umum, belum terfokus pada masalah-masalah spesifik/khusus yang berkaitan dengan siswa/mahasiswa/konselor/konseli. Menyadari hal tersebut, sebagian ahli yang tergabung dalam Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) mulai merumuskan ketepatan arti counseling. Ada yang berpendapat agar istilah penyuluhan dikembalikan ke istilah awal konseling. Ada pula yang berpendapat kalau guidance diartikan dengan bimbingan, maka counseling harus dicarikan arti yang tepat dalam bahasa Indonesia. Ada yang mengartikan istilah counseling dengan wawanwuruk, wawanmuka dan wawancara. Namun dari sekian arti yang lebih populer adalah konseling.
Organisasi profesi bimbingan dan konseling awalnya bernama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia disingkat dengan IPBI. Berdiri pada bulan Desember 1975 di Malang. Untuk lebih meningkatkan kompetensi profesi serta untuk mendapatkan kepercayaan dan pengakuan publik pada tahun 2001 terjadi perubahan nama dari Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN). Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kompetensi profesi konselor. Pada tanggal 25 Agustus 2005 dalam rapat Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling (PB ABKIN) di Bandung di terbitkan Standar Kompetensi Konselor Indonesia (SKKI) yang di sahkan melalui surat keputusan nomor 0011 tahun 2005.
Bimbingan dan Konseling dalam Perspektif Islam
Islam merupakan ajaran yang sempurna. Konsep ajaran Islam bersifat totalitas dan finalitas. Artinya selurah ajaran Islam telah disampaikan oleh Muhammad Rasulullah SAW dan setelah Rasulullah wafat, tidak akan ada lagi wahyu dari Malikat Jibril.
Berdasarkan telaah heuristik terhadap 6666 ayat-ayat Al Qur’an ditemukan 290 ayat yang memiliki kandungan nilai konseling. Semua ayat yang ditemukan secara implisit menunjukkan adanya perubahan tingkah laku. Dalam ilmu bimbingan dan konseling, perubahan tingkah di sini adalah perubahan dari tingkah laku menyimpang (maladjustment) menuju tingkah laku yang baik/tidak menyimpang (adjusment).
Bimbingan dan konseling dalam arti sederhana dan hakiki sudah ada sejak dulu kala, Nabi Adam AS pernah merasa berdosa dan bersalah kepada Allah SWT, rasa dosa dan bersalah adalah diantara permasalahan yang ditangani oleh bimbingan dan konseling terhadap manusia. Dari kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa bimbingan dan konseling berfungsi sebagai kuratif dan developmental, yaitu memecahkan masalah yang sedang dihadapi (Nabi Adam AS dan Siti Hawa melanggar ketentuan Allah SWT), sedangkan developmental artinya memelihara agar kondisi yang sudah baik bisa bertambah semakin baik lagi. Lebih lanjut dijelaskan oleh Yahya Jaya, bahwa bimbingan dan konseling merupakan yang berkembang pada abad ke-20 M merupakan perpaduan antara filsafat dan pandangan hidup bangsa Romawi, Yunani, Mesir Klasik dan ajaran yang terdapat dalam agama kuno di Mesir dan Timur, seperti Hindu, Budha, dan Shinto. Pada Zaman Mesir Klasik (2850) misalnya, seorang tabib Mesir bernama Imhotep telah menggunakan tarian, musik, lukisan, dan mimpi untuk mengatasi gangguan kejiwaan yang dialaminya.
Pada masa Yunani kuno seorang filosof terkenal bernama Plato, berpendapat bahwa jiwa manusia terbagi dua bagian yaitu jiwa rohaniah dan jiwa badaniah. Jiwa rohaniah tidak pernah mati dan abadi. Jiwa badaniah dibagi dua bagian yaitu bagian jiwa yang disebut kemauan dan bagian jiwa yang disebut nafsu perasaan. Jiwa manusia sifat elastis artinya kadang perasaan seseorang merasa bahagia karena mendapat sesuatu yang menyenangkan. Disaat yang lain jiwa itu pun merasa sedih, tidak tenang karena jiwanya mengalami kegoncangan. Dalam kondisi kegoncangan inilah bimbingan dan konseling sangatlah dibutuhkan.
Bimbingan dan konseling Islam merupakan disiplin ilmu baru yang masih banyak membutuhkan sentuhan ilmiah untuk kesempurnaan disiplin keilmuan ini. Menurut Aunur Rahim Faqih (2004), bimbingan konseling Islami ialah proses pemberian bantuan terhadap individu agar dalam kehidupan keagamaannya senantiasa selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Konseling dalam Islam adalah salah satu dari berbagai tugas manusia dalam membina dan membentuk manusia yang ideal. Bahkan, bisa dikatakan bahwa konseling merupakan amanat yang diberikan Allah kepada semua Rasul dan Nabi-Nya. Dengan adanya amanat konseling inilah, maka mereka menjadi demikian berharga dan bermanfaat bagi manusia, baik dalam urusan agama, dunia, pemenuhan kebutuhan, pemecahan masalah dan banyak .hal ainnya.
Hambatan Bimbingan dan konseling
Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan instruktur (UU No. 20 Tahun 2003 pasal 1 Ayat 6). Namun masih banyak ditemukan hambatan-hambatan yang dihadapi konselor.
Secara garis besar hambatan bimbingan dan konseling dalam dikelompokkan dalam dua hal, yaitu hambatan internal dan hambatan eksternal.
Hambatan internal ini berkaitan dengan kompetensi konselor. Kompetensi konselor meliputi kompetensi akademik dan kompetensi profesional. Kompetensi akademik konselor yakni lulusan S1 bimbingan konseling atau S2 bimbingan konseling dan melanjutkan pendidikan profesi selama 1 tahun. Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa masih banyak di temukan diberbagai sekolah SMP, MTs, MA, SMA, dan SMK guru BK non BK, artinya konselor sekolah yang bukan berlatar pendidikan bimbingan konseling. Mereka diangakat oleh kepala sekolah karena dianggap bisa atau mereka yang berasal dari sarjana agama. Meskipun secara keilmuan mereka tidak mendalami tentang teori-teori bimbingan konseling. Kompetensi profesional terbentuk melalui latihan, seminar, workshop. Untuk menjadi konselor profesional memerlukan proses dan waktu. Konselor profesional membutuhkan jam terbang yang cukup matang. Di samping itu masih juga ditemukan dilapangan, adanya manajemen bimbingan dan konseling yang masih amburadul. Uman Suherman (2008), lebih lanjut menjelaskan mengenai manajemen bimbingan dan konseling, layanan bimbingan dan konseling perlu diurus, diatur, dikemudikan, dikendalikan, ditangani, dikelola, diselenggarakan, dijalankan, dilaksanakan dan dipimpin oleh orang yang memiliki keahlian, keterampilan, serta wawasan dan pemahaman tentang arah, tujuan, fungsi, kegiatan, strategi dan indikator keberhasilannya.
Hambatan Eksternal, merupakan tantangan yang berasal dari luar. Dalam menangani kasus demi kasus, masih sering ditemukan adanya beberap tenaga konselor yang belum lihai dalam memanfaatkan teknologi modern (media internet). Padahal kalau konselor mau kreatif, diantara beberapa permasalahan yang dihadapi konselor dapat ditemukan solusinya dari media dunia maya tersebut. Selain itu, eksistensi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia perlu lebih ditingkatkan lagi. Harus diakui bahwa keberadaan ABKIN belum semua pelaku konseling belum mengetahuinya. Oleh karena itu, perlu juga didukung dari semua pihak agar ABKIN dapat berperan secara maksimal.
Daftar Pustaka
Achmad Juntika Nurihsan, Bimbingan dan Konseling Dalam Berbagai Latar Kehidupan, Refika Aditama: Bandung, 2007.
H.M. Arifin, Teori-Teori Konseling Agama dan Umum, PT. Golden Terayon Press: Jakarta, 1996.
Elfi Mu’awanah dan Rifa Hidayah, Bimbingan Konseling Islami di Sekolah Dasar, Bumi Aksara: Jakarta, 2009.
Andi Mapiare, Pengantar Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Usaha Nasional: Surabaya, 1984.
Sunaryo Kartadinata, dkk, Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal, Departemen Pendidikan Nasional: 2008, Jakarta.
Anas Salahudin, Bimbingan dan Konseling, Pustaka Setia: Bandung, 2010.
Yahya Jaya, Bimbingan Konseling Agama Islam, Angkasa Raya: Padang, 2004.
W.A Gerungan, Psikologi Sosial, Refika Aditama: 2009, Bandung.
Aunur Rahim Faqih, Bimbingan dan Konseling Dalam Islam, UII Press: Yogyakarkata, 2004.
Musfir bin Said Az-Zahroni, Konseling Terapi, Gema Insani: Jakarta, 2005.
http://jyuwono.blogspot.com/2009/11/bimbingan-dan-konseling-di-indonesia
Uman Suherman, Manajemen Bimbingan dan Konseling, Rizki Press, Bandung, 2009.