Profesionalisme Guru dan Sekolah Unggulan
PROFESIONALISME GURU DAN KEBERHASILAN SEKOLAH UNGGULAN
Rulam Ahmadi
rulam@unisma.ac.id
Sebelum mengupas lebih jauh tentang loyalitas guru alangkah sebaiknya apabila mengawali tulisan ini dengan memaparkan sekilas tentang apa itu sekolah unggulan. Terdapat ragam persepsi diantara pemerhati pendidikan, termasuk diantara mereka yang iri bahkan usil terhadap keberhasilan sekolah unggulan yang kian melecut. Semakin diiri dan semakin dikritik ternyata membuat sekolah-sekolah unggulan bukan semakin kerdil, melainkan banyak sekolah unggulan yang semakin berkibar. Sementara sekolah-sekolah biasa, yang tidak ada embel-embel unggulan dan sejenisnya, bahkan sekolah untuk kaum miskin sekalipun semakin suram – masyarakat tidak tertarik bersekolah dan sekolahnya sendiri tidak menarik dijadikan tempat belajar. Oleh karena masyarakat tidak tertarik untuk bersekolah dan sekolah tidak menarik bagi mereka yang mau bersekolah apalagi bagi yang tidak mau bersekolah, maka semuanya itu sama-sama menuju sakratul maut.
Keberhasilan pendidikan secara kualitatif sangat ditentukan oleh kualitas guru baik kualitas keilmuan maupun kepribadian. Keduanya menyatu dan melandasi pelaksanaan tugas sebagai guru. Keilmuan dalam kaitan dengan penguasaan materi pelajaran dan wawasan keilmuan yang semakin meluas, sedangkan kepribadian dalam kaitan hubungan sikap guru terhadap pelajaran, murid, dan lembaga. Guru yang profesional sudah merupakan tuntutan dunia pendidikan jaman sekarang dan mendatang yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, kecuali guru-guru yang sudah terbiasa bisnis pendidikan yang berakibat runtuhnya pendidikan baik disadari atau tidak.
Pendidikan di Abad Pengetahuan
Para ahli mengatakan bahwa abad 21 merupakan abad pengetahuan karena pengetahuan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan. Menurut Naisbit (1995) ada 10 kecenderungan besar yang akan terjadi pada pendidikan di abad 21 yaitu; (1) dari masyarakat industri ke masyarakat informasi, (2) dari teknologi yang dipaksakan ke teknologi tinggi, (3) dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia, (4) dari perencanaan jangka pendek ke perencanaan jangka panjang, (5) dari sentralisasi ke desentralisasi, (6) dari bantuan institusional ke bantuan diri, (7) dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris, (8) dari hierarki-hierarki ke penjaringan, (9) dari utara ke selatan, dan (10) dari atau/atau ke pilihan majemuk.
Berbagai implikasi kecenderungan di atas berdampak terhadap dunia pendidikan yang meliputi aspek kurikulum, manajemen pendidikan, tenaga kependidikan, strategi dan metode pendidikan. Selanjutnya Naisbitt (1995) mengemukakan ada 8 kecenderungan besar di Asia yang ikut mempengaruhi dunia yaitu;
- dari negara bangsa ke jaringan,
- dari tuntutan eksport ke tuntutan konsumen,
- dari pengaruh Barat ke cara Asia,
- dari kontol pemerintah ke tuntutan pasar,
- dari desa ke metropolitan,
- dari padat karya ke teknologi canggih,
- dari dominasi kaum pria ke munculnya kaum wanita, dan
- dari Barat ke Timur. Kedelapan kecenderungan itu akan mempengaruhi tata nilai dalam berbagai aspek, pola dan gaya hidup masyarakat baik di desa maupun di kota. Pada gilirannya semua itu akan mempengaruhi pola-pola pendidikan yang lebih disukai dengan tuntutan kecenderungan tersebut. Dalam hubungan dengan ini pendidikan ditantang untuk mampu menyiapkan sumber daya manusia yang mampu menghadapi tantangan kecenderungan itu tanpa kehilangan nilai-nilai kepribadian dan budaya bangsanya.
Dengan memperhatikan pendapat Naisbitt di atas, Surya (1998) mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia di abad 21 mempunyai karakteristik sebagai berikut:
- Pendidikan nasional mempunyai tiga fungsi dasar yaitu; (a) untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, (b) untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil dan ahli yang diperlukan dalam proses industrialisasi, (c) membina dan mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi;
- Sebagai negara kepulauan yang berbeda-beda suku, agama dan bahasa, pendidikan tidak hanya sebagai proses transfer pengetahuan saja, akan tetapi mempunyai fungsi pelestarian kehidupan bangsa dalam suasana persatuan dan kesatuan nasional;
- Dengan makin meningkatnya hasil pembangunan, mobilitas penduduk akan mempengaruhi corak pendidikan nasional;
- Perubahan karakteristik keluarga baik fungsi maupun struktur, akan banyak menuntut akan pentingnya kerja sama berbagai lingkungan pendidikan dan dalam keluarga sebagai intinya. Nilai-nilai keluarga hendaknya tetap dilestarikan dalam berbagai lingkungan pendidikan;
- Asas belajar sepanjang hayat harus menjadi landasan utama dalam mewujudkan pendidikan untuk mengimbangi tantangan perkembangan jaman;
- Penggunaan berbagai inovasi Iptek terutama media elektronik, informatika, dan komunikasi dalam berbagai kegiatan pendidikan,
- Penyediaan perpustakaan dan sumber-sumber belajar sangat diperlukan dalam menunjang upaya pendidikan dalam pendidikan;
- Publikasi dan penelitian dalam bidang pendidikan dan bidang lain yang terkait, merupakan suatu kebutuhan nyata bagi pendidikan di abad pengetahuan.
Gambaran Pembelajaran di Abad Pengetahuan
Praktek pembelajaran yang terjadi sekarang masih didominasi oleh pola atau paradigma yang banyak dijumpai di abad industri. Pada abad pengetahuan paradigma yang digunakan jauh berbeda dengan pada abad industri. Galbreath (1999) mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran yang digunakan pada abad pengetahuan adalah pendekatan campuran yaitu perpaduan antara pendekatan belajar dari guru, belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri sendiri. Praktek pembelajaran di abad industri dan abad pengetahuan dapat dilihat pada Tabel berikut:
ABAD INDUSTRI
1. Guru sebagai pengarah 2. Guru sebagai smber pengetahuan 3. Belajar diarahkan oleh kuri- kulum. 4. Belajar dijadualkan secara ketat dgn waktu yang terbatas 5. Terutama didasarkan pada fakta 6. Bersifat teoritik, prinsip-prinsip dan survei 7. Pengulangan dan latihan 8. Aturan dan prosedur 9. Kompetitif 10. Berfokus pada kelas 11. Hasilnya ditentukan sebelumnya 12. Mengikuti norma 13. Komputer sebagai subyek belajar 14. Presentasi dengan media statis 15. Komunikasi sebatas ruang kelas 16. Tes diukur dengan norma
|
ABAD PENGETAHUAN
1. Guru sebagai fasilitator, pembimbing, konsultan 2. Guru sebagai kawan belajar 3. Belajar diarahkan oleh siswa kulum. 4. Belajar secara terbuka, ketat dengan waktu yang terbatas fleksibel sesuai keperluan 5. Terutama berdasarkan proyek dan masalah 6. Dunia nyata, dan refleksi prinsip dan survei 7. Penyelidikan dan perancangan 8. Penemuan dan penciptaan 9. Kolaboratif 10. Berfokus pada masyarakat 11. Hasilnya terbuka 12. Keanekaragaman yang kreatif 13. Komputer sebagai peralatan semua jenis belajar 14. Interaksi multi media yang dinamis 15. Komunikasi tidak terbatas ke seluruh dunia 16. Unjuk kerja diukur oleh pakar, penasehat, kawan sebaya dan diri sendiri. |
Berdasarkan uraian di atas tampak sekali betapa beratnya tugas guru dalam mengemban amanah mencerdaskan kehidupan bangsa dengan penuh tanggungjawab dan ketulusan, khususnya di abad pengetahuan ini.
Pengembangan Profesionalisme Guru
Prinsip-prinsip. Profesi guru menurut Undang-Undang tentang Guru dan Dosen harus memiliki prinsip-prinsip profesional seperti tercantum pada pasal 5 ayat 1, yaitu;
“Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional sebagai berikut:
- Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme.
- Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya.
- Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.
- Mematuhi kode etik profesi.
- Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas.
- Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya.
- Memiliki kesempatan untuk mengernbangkan profesinya secara berkelanjutan.
- Memperoleh perlindungan hukurn dalam rnelaksanakan tugas profesisionalnya.
- Memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum”.
Pengembangan. Untuk mengantisipasi tantangan dunia pendidikan yang semakin berat, maka profesionalime guru harus dikembangkan. Beberapa cara yang dapat ditempuh dalam pengembangan profesionalitas guru menurut Balitbang Diknas antara lain adalah:
- “Perlunya revitalisasi pelatihan guru yang secara khusus dititikberatkan untuk memperbaiki kinerja guru dalam meningkatkan mutu pendidikan dan bukan untuk meningkatkan sertifikasi mengajar semata-mata.
- Perlunya mekanisme kontrol penyelenggaraan pelatihan guru untuk memaksimalkan pelaksanaannya.
- Perlunya sistem penilaian yang sistemik dan periodik untuk mengetahui efektivitas dan dampak pelatihan guru terhadap mutu pendidikan.
- Perlunya desentralisasi pelatihan guru pada tingkat kabupaten/kota sesuai dengan perubahan mekanisme kelembagaan otonomi daerah yang dituntut dalam UU No.22/1999.
- Perlunya upaya-upaya alternatif yang mampu meningkatkan kesempatan dan kemampuan para guru dalam penguasaan materi pelajaran.
- Perlunya tolok ukur (benchmark) kemampuan profesional sebagai acuan pelaksanaan pembinaan dan peningkatan mutu guru.
- Perlunya peta kemampuan profesional guru secara nasional yang tersedia di Depdiknas dan Kanwil-Kanwil untuk tujuan-tujuan pembinaan dan peningkatan mutu guru.
- Perlunya untuk mengkaji ulang aturan/kebijakan yang ada melalui perumusan kembali aturan/kebijakan yang lebih fleksibel dan mampu mendorong guru untuk mengembangkan kreativitasnya.
- Perlunya reorganisasi dan rekonseptualisasi kegiatan Pengawasan Pengelolaan Sekolah, sehingga kegiatan ini dapat menjadi sarana alternatif peningkatan mutu guru.
- Perlunya upaya untuk meningkatkan kemampuan guru dalam penelitian, agar lebih bisa memahami dan menghayati permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam proses pembelajaran.
- Perlu mendorong para guru untuk bersikap kritis dan selalu berusaha meningkatkan ilmu pengetahuan dan wawasan.
- Memperketat persyaratan untuk menjadi calon guru pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
- Menumbuhkan apresiasi karier guru dengan memberikan kesempatan yang lebih luas untuk meningkatkan karier.
- Perlunya ketentuan sistem credit point yang lebih fleksibel untuk mendukung jenjang karier guru, yang lebih menekankan pada aktivitas dan kreativitas guru dalam melaksanakan proses pengajaran.
Loyalitas Guru
Loyalitas guru merupakan salah satu penentu keberhasilam penyelenggaraan pendidikan baik yang ditangani oleh pemerintah (sekolah negeri) maupun masyarakat (sekolah swasta). Betapapun pemerintah, kepala sekolah, atau ketua yayasan lembaga pendidikan (khusus sekolah swasta) telah melakukan berbagai upaya dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, semua itu akan sia-sia apabila loyalitas guru pada lembaga pendidikan rendah, bahkan mungkin tidak memiliki loyalitas sama sekali – yang penting mengajar semaunya dan mengambil gaji tepat waktu.
Sekolah itu, khususnya sekolah unggulan, ibarat sebuah kapal laut yang sangat besar yang sedang berlayar menuju suatu pelabuhan dengan melintasi lautan yang penuh tantangan dan hambatan. Di dalam kapal ada nahkoda yang bertanggung jawab untuk menjalankan kapal itu, dan di dalamnya ada pedoman sebagai petunjuk yang harus dipatuhi para anak kapal (karyawan), dan semua mereka berbuat sesuai dengan tugasnya masing-masing. Selama perjalan melintasi laut, maka selamat atau tidak kapal itu bukan hanya ditentukan oleh sang nahkoda, melainkan juga oleh semua petugas di bawah nahkoda. Sehebat-hebat nahkoda akan mungkin sekali gagal mengendalikan kapal jika diantara para anak kapal (karyawan) melakukan pengingkaran terhadap peraturan yang berlaku. Sama halnya juga dalam rumah tangga, sehebat-hebat kepala keluarga dalam memimpin perjalan hidup yang dicita-citakan mungkin sekali fatal apabila diantara anggota keluarga tidak mematuhi nilai-nilai atau norma-norma dalam keluarga. Intinya adalah loyalitas anggota keluarga terhadap pemimpin keluarga sangat mentukan apakah keluarga itu akan menjadi sakinah atau sebaliknya menjadi sumber fitnah.
Orientasi loyalitas guru itu adalah pada tugas yang diembannya (mengajar). Ini adalah yang pertama dan utama. Mengapa demikian? Karena guru adalah orang yang paling terdepan dan berhadapan secara langsung dengan siswa dalam proses pembelajaran. Guru yang loyal senantiasa berusaha memberikan yang lebih baik pada para muridnya untuk keberhasilan masa depan mereka. Ini membawa konsekuensi pada guru untuk senantiasa meningkatkan kualitas dirinya dengan berbagai sacara yang mungkin. Selain itu guru senantiasa mengejar informasi terkini kemudian menularkannya pada para muridnya dan membantu mereka agar mereka termotivasi untuk mengejar sendiri informasi-informasi terkini dalam rangka memperluas cakrawala pemikirannya. Selanjutnya, guru adalah bagian dari institusi. Sebagai bagian dari institusi maka guru sudah menjadi kewajiban yang melekat dengan peran dan tugasnya sebagai guru yang dipilih dan diberi tugas oleh institusi bersangkutan. Dalam kaitan dengan keberhasilan institusi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka loyalitas guru tentu tidak lepas dari keberhasilan pencapaian tujuan itu. Tingkat loyalitas guru terhadap institusi akan menentukan tingkat keberhasilan instituasi dalam emncapai tujuannya.
Guru yang loyal terhadap institusi senantiasa berusaha menjaga dan memelihara nama baik (citra) institusi dengan lebih cenderung mengkomunikasikan sisi-sisi kemajuan dan mengurangi bahkan menutup kelemhan ke dunia luar namun tetap terbuka dalam urusan ke dalam (internal) dengan niat tunggal, yakni mencapai tujuan lembaga. Jadi, di tanagn guru institusi (sekolah) itu maju, dan di tangan guru jua institusi itu gagal mencapai cita-cita. Oleh karena itu guru yang profesional adalah guru yang memiliki loyalitas yang tinggi terhadap institusi khususnya di sekolah unggulan.
DAFTAR RUJUKAN
Adiningsih, NU. Kualitas dan Profesionlisme Guru, Pikiran Rakyat (Online) Oktober, 2002. (http://www.pikiranrakyat.com)
Balitbang Diknas, Peningkatan Kemampuan Profesional dan Kesejahteraan Guru, Departemen Pendidikan Nasional, (Online) http://www.diknas.go.id
Degeng, I N. S. 2001. Kumpulan Bahan Pembelajaran; Menuju Pribadi Unggul Melalui Perbaikan Proses Pembelajaran, Malang: LP3, UM,
Degeng, I N. S. Strategi Pembelajaran Mengorganisasi Isi dengan Model Elaborasi. Malang: IPTPI-IKIP MALANG
Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 2001. Pedoman Pengembangan Profesi Guru Kejuan, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional .
Geist, J.R. 2002. Predictors of Faculty Trust in Elementary Schools: Enabling Bureaucracy, Teacher Professionalism, and Academic Press. Disertation of The Ohio State Universty, diakses dari http://www.osu.edu.com
Greenlaw, S.A and DeLoach, S.B. 2003. Teaching Critical Thinking with Electronic Discussion, Economic Education Journal, diakses dari: http://www.susan.uits.indiana.edu.
Hasan, A.M. 2003. Pengembangan Profesionalisme Guru di Abad Pengetahuan, Artikel Pendidikan Network (Online)
Meter, Gede I. 1999. Hubungan antara Kemampuan Akademik, Moivasi Kerja dan Minat Menjadi Guru dengan Profesionalisme Guru pada Sekolah Dasar Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng. Thesis Malang. PPS – UM.
Mulyasa, E. 2005. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Undang-Undang no 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen sebagai Tenaga Profesi.
——————-
*)Makalah ini disampaikan pada Diklat Peningkatan Profesionalisme Guru Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Unggulan Amanat Bangsa Surabaya pada tanggal 8 September 2006.