(Staf Pengajar Program Studi Manajemen UNISRI Surakarta, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi UNTAG Surabaya)
Indonesia saat ini cukup terhantam keras dengan penyebaran covid-19. Sebenarnya tidak hanya berdampak terhadap kesehatan manusia, tetapi virus ini juga mengganggu kesehatan ekonomi di seluruh dunia. Hal ini diprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam skenario terburuk. Pertumbuhan ekonomi Indonesia berdasarkan assessment Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), diperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan turun ke 2,3 persen, bahkan dalam skenarionya yang lebih buruk, bisa mencapai negatif 0,4 persen.
Kondisi seperti sekarang ini akan berimbas pada menurunnya konsumsi rumah tangga yang oleh pemerintah diperkirakan 3,2 persen hingga 1,2 persen. Bahkan lebih dari itu, investasi juga akan merosot tajam. Padahal sebelumnya pemerintah cukup optimistis bahwa investasi akan tumbuh enam persen, tetapi dengan adanya penyebaran covid-19 diprediksi investasi akan merosot ke level satu persen atau terburuk bisa mencapai minus empat persen.
Pemerintah sudah mengeluarkan berbagai kebijakan, dengan pemberian stimulus kepada masyarakat tidak mampu yang terdampak. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo.
Dampak berikutnya adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berpotensi melemah hingga Rp 20.000 per dolar AS akibat wabah covid-19. Hal ini menjadi bagian dari salah satu skenario asumsi makro 2020 yang seluruhnya mengalami perubahan, seperti pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan 2,3 persen hingga minus 0,4 persen. Selain itu, inflasi 5,1 persen serta harga minyak mentah Indonesia yang anjlok menjadi USD 31 per barel.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menegaskan, pihaknya tidak akan membiarkan skenario nilai tukar rupiah Rp 20.000 per dolar AS terjadi. Bahkan, ia menyatakan, nilai tukar rupiah saat ini, yang berada pada kisaran Rp16.000 per dolar AS, sudah cukup stabil, namun demikian, BI akan terus berkomitmen menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Sebenarnya penyebab melemahnya rupiah karena investor panik sehingga terjadi apa yang disebut pembalikan modal atau capital outflow. Selama periode terjadinya pandemi ini antara Januari sampai dengan Maret 2020 telah terjadi capital outflow dalam portofolio investasi Indonesia yang jumlahnya mencapai Rp 167,9 triliun. Capital outflow ini yang kemudian terjadi di seluruh dunia termasuk di Indonesia, yang juga menjadi penyebab pelemahan nilai tukar rupiah, didorong oleh kepanikan global akibatnya cepat menyebarnya wabah covid-19 di berbagai dunia.
Dalam konteks ini, pemerintah menyediakan dolar, baik di spot dan juga di domestic non delivery forward maupun pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Sejauh ini pemerintah sudah membeli SBN dari pasar sekunder sejumlah Rp 166 triliun.
Langkah yang diambil BI untuk mengantisipasi dampak covid-19 adalah: pertama, menurunkan suku bunga dua kali, sehingga suku bunga BI menjadi 4,5 persen untuk merilis beban dunia usaha. Kedua, pemerintah terus melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah dengan mengintervensi di pasar spot, domestic non delivery forward, maupun pembelian SBN dari pasar sekunder.
Pandemi covid-19 bersamaan dengan penurunan harga komoditas dan gejolak pasar keuangan, akan berimplikasi buruk bagi perekonomian dunia dan Indonesia tahun ini, terlebih dengan memburuknya perekonomian sejumlah mitra dagang utama. Permintaan dalam negeri diperkirakan akan melemah seiring dengan menurunnya sentimen bisnis dan konsumen.
Laju inflasi diperkirakan akan naik, tekanan inflasi yang berasal dari ketatnya pasokan pangan dan depresiasi mata uang diperkirakan dapat diimbangi sebagian oleh penurunan harga bahan bakar non-subsidi, serta subsidi tambahan untuk listrik dan pangan. Sementara itu, pendapatan ekspor dari sektor pariwisata dan komoditas diperkirakan akan menurun, sehingga menyebabkan defisit transaksi berjalan 2,9 persen dari Produk Domestik Bruto pada 2020.
Prediski ADB
Asian Development Bank (ADB) juga mencatat pemerintah dan otoritas keuangan telah meluncurkan berbagai langkah fiskal dan moneter yang terkoordinasi dan terarah untuk memitigasi dampak pandemi covid-19 terhadap perekonomian dan mata pencaharian masyarakat. Berbagai langkah stimulus untuk menekan ketidakpastian itu antara lain penyaluran bantuan langsung tunai bagi kelompok miskin dan rentan, serta pemotongan pajak penghasilan dan kelonggaran pembayaran pinjaman bagi pekerja dan dunia usaha.
Walau demikian, secara eksternal, risiko terhadap proyeksi perekonomian Indonesia untuk 2020 dan 2021 ini adalah wabah covid-19 yang berkepanjangan, penurunan harga komoditas lebih lanjut, serta meningkatnya gejolak pasar keuangan. Dari sisi dalam negeri, proyeksi ini juga bergantung pada seberapa cepat dan efektif penyebaran wabah dapat teratasi karena keterbatasan sistem kesehatan dan kesulitan dalam menerapkan pembatasan sosial bisa memperburuk dampak pandemi terhadap ekonomi.
Asian Development Bank memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh 2,5% pada 2020 di tengah pandemi covid-19. Walau Indonesia memiliki landasan makro ekonomi yang kuat, namun wabah covid-19 yang tengah berlangsung telah mengubah arah perekonomian negara kita, dengan memburuknya kondisi lingkungan eksternal dan melemahnya permintaan dalam negeri.
Jika tindakan tegas dapat diterapkan secara efektif untuk menanggulangi dampak kesehatan dan ekonomi wabah tersebut, khususnya guna melindungi kelompok miskin dan rentan, perekonomian Indonesia diperkirakan dapat kembali secara bertahap ke jalur pertumbuhannya tahun depan.
Prediski ADO
Menurut Asian Development Outlook (ADO) 2020, pandemi covid-19 bersamaan dengan penurunan harga komoditas dan gejolak pasar keuangan, akan berimplikasi buruk bagi perekonomian dunia dan Indonesia tahun ini, terlebih dengan memburuknya perekonomian sejumlah mitra dagang utama Indonesia. Permintaan dalam negeri diperkirakan akan melemah seiring dengan menurunnya sentimen bisnis dan konsumen, namun sejalan dengan pulihnya perekonomian dunia tahun depan, pertumbuhan Indonesia diperkirakan akan memperoleh momentum. Dibantu dengan reformasi di bidang investasi yang dikeluarkan baru-baru ini.
Tekanan inflasi dari ketatnya pasokan pangan dan depresiasi mata uang diperkirakan akan dapat diimbangi sebagian oleh penurunan harga bahan bakar non-subsidi, serta subsidi tambahan untuk listrik dan pangan. Sementara itu, pendapatan ekspor dari pariwisata dan komoditas diperkirakan akan menurun, sehingga menyebabkan defisit transaksi berjalan mencapai 2,9% dari produk domestik bruto pada tahun 2020. Seiring pulihnya taraf ekspor dan investasi pada 2021, volume barang modal impor yang lebih besar akan menyebabkan defisit transaksi berjalan tetap sama seperti pada 2020.
Pemerintah dan otoritas keuangan telah meluncurkan berbagai langkah fiskal dan moneter yang terkoordinasi dan terarah untuk memitigasi dampak pandemi covid-19 terhadap perekonomian dan mata pencaharian masyarakat. Hal tersebut termasuk distribusi bantuan langsung tunai bagi kelompok miskin dan rentan, serta pemotongan pajak dan kelonggaran pembayaran pinjaman bagi pekerja dan dunia usaha.
Secara eksternal, risiko terhadap proyeksi perekonomian Indonesia ini adalah wabah covid-19 yang berkepanjangan, penurunan harga komoditas lebih lanjut, serta meningkatnya gejolak pasar keuangan. Dari dalam negeri, proyeksi ini bergantung pada seberapa cepat dan efektif penyebaran wabah dapat ditanggulangi. Keterbatasan sistem kesehatan dan kesulitan dalam menerapkan pembatasan sosial dapat memperburuk dampak pandemi terhadap ekonomi. ADB berkomitmen mencapai Asia dan Pasifik yang makmur, inklusif, tangguh, dan berkelanjutan, serta terus melanjutkan upayanya memberantas kemiskinan ekstrem. Didirikan pada 1966, ADB dimiliki oleh 68 anggota, 49 di antaranya berada di kawasan Asia dan Pasifik.
Prediksi Kondisi Ekonomi
Penyebaran covid-19 hingga saat ini belum bisa diatasi, penyebarannya masih terus meningkat dan dampaknya ke ekonomi berat. Demikian juga, dampak ke keuangan akan terus semakin berat. Untuk itu perlu ada formulasi langkah ekonomi dalam menekan dampak dari covid-19. Berdasarkan APBN 2020, maka pemerintah mengeluarkan langkah refocusing dan realokasi sesuai Inpres IV/2020. Dalam menekan dampak covid-19, pemerintah telah membentuk gugus tugas penanganan covid-19.
Dalam kondisi terburuk, pemerintah memperkirakan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar 2,3 persen karena covid-19, namun skenario terburuknya ekonomi RI minus hingga 0,4 persen. Penyebab anjloknya pertumbuhan ekonomi ini karena konsumsi rumah tangga, investasi dan konsumsi pemerintah yang turun. Konsumsi rumah tangga bisa menurun menjadi 3,2 persen hingga 1,6 persen.
Pandemi covid-19 di masyarakat kian hari semakin menjangkiti perekonomian Indonesia. Dampak ekonomi akibat virus ini semula hanya menggerus sisi eksternal perekonomian Indonesia melalui kenaikan sejumlah komoditas impor dari China. Ternyata seiring dengan penyebaran virus yang sangat cepat. stabilitas perekonomian pun terkena dampak.
Nilai tukar rupiah terus melemah tajam, sementara pasar bursa pun meradang seiring laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terkoreksi dalam. Pertumbuhan ekonomi pun diperkirakan akan melambat drastis, terkikis oleh penjalaran dampak virus ke berbagai sektor di perekonomian.
Pandemi memang akan menurunkan pertumbuhan ekonomi, namun tanpa upaya sigap dari pemangku kebijakan untuk selamatkan nyawa penduduk Indonesia, maka optimisme perekonomian tidak akan pernah datang. Optimisme dan sentimen positif ekonomi baru akan terjadi jika pandemi covid-19 dapat diatasi, setidaknya menunjukkan tanda-tanda terkendali dan akhirnya dapat diselesaikan.
Jadi kemampuan Pemerintah dan para pemangku kepentingan ekonomi untuk secara bersama-sama mengalokasikan sumber daya secara optimal menangani masalah kesehatan ini akan sangat menentukan jalannya roda perekonomian ke depan. Tanpa ini sepertinya beberapa jurus stimulus perekonomian pun tidak akan mempan menggeliatkan perekonomian.
Guncangan terhadap Sisi Demand dan Supply
Praktik social distancing membuat shock pada sisi supply yang terlihat dari penutupan pabrik dan kegiatan produksi. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak terelakan dan akan menurunkan daya beli masyarakat, akibatnya konsumsi barang menurun. Jika guncangan (shock) berasal dari sisi demand maka praktik social distancing membuat keleluasaan untuk mengonsumsi barang akan menurun yang berimplikasi pada menurunnya permintaan barang tersebut. Akibatnya perusahaan tidak mendapatkan pendapatan yang maksimal dan cenderung menurun. Tindakan selanjutnya adalah perusahaan akan menurunkan biaya produksinya dan gelombang PHK terjadi.
Stimulus Ekonomi
Pemerintah telah mengumumkan dua paket stimulus ekonomi yang bernilai Rp 405,1 triliun. Di antaranya adalah penambahan nilai manfaat kartu sembako dari Rp 150.000 menjadi Rp 200.000 per bulan dan pembebasan tarif listrik bagi pelanggan listrik 450 VA dan diskon 50% bagi pelanggan listrik 900 VA bersubsidi.
Sebenarnya pandemi covid-19 seperti sekarang ini, tidak hanya golongan kelas miskin saja yang keuangannya terdampak, namun juga kelas menengah, dan kelas rentan miskin, atau mereka yang sedang menuju ke golongan kelas menengah dari kelas ekonomi bawah. Kelompok yang berada di tengah ini rentan kembali ke kelas miskin jika ada bencana alam atau masalah penyakit kesehatan dengan skala yang luas seperti pandemi covid-19 ini. Stimulus yang diberikan itu memang terasa kurang sekali dan tidak sensitif terhadap yang rentan miskin.
Sekilas pandangan kami, Pemerintah kurang sensitif dan hanya fokus ke level bawah, mestinya pemerintah memberikan transfer uang langsung kepada kelas menengah yang terdampak kelesuan ekonomi akibat covid-19. Dengan harapan mereka tidak jatuh ke jurang kemiskinan karena hilangnya pendapatan dalam satu sampai dua bulan terakhir pasca covid-19,
Menurut Bank Dunia, pandemi covid-19 akan menambah jumlah penduduk miskin di kawasan Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia, hingga 11 juta orang. Sementara itu, Organisasi Buruh Dunia (ILO) memperkirakan pandemi global ini mengakibatkan hilangnya 5 sampai 25 juta lapangan pekerjaan, dan pendapatan warga dunia akan berkurang sampai USD 3,4 triliun.
www.infodiknas.com