Oleh Gustaf Naufan Febrianto AMd., SE., MM
(Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi UNTAG Surabaya)
Dengan mempertimbangkan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, dan kerugian material yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak. Kemudian, implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi (forward) rangka menjaga stabilitas sektor keuangan. Untuk itu, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial (social safety net), dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan yang ditandatangani pada 31 Maret 2020.
5 Poin penting tentang perpu tersebut diantaranya :
- Defisit Anggaran
Bab 2 bagian 1 Perpu ini mengatur penganggaran dan pembiayaan. Di antaranya, menurut Presiden, pemerintah mengantisipasi kemungkinan terjadinya defisit APBN hingga mencapai 5,07 persen sehingga dibutuhkan relaksasi kebijakan defisit APBN di atas 3 persen. Relaksasi defisit ini, lanjut Presiden, hanya untuk 3 tahun, yaitu tahun 2020, tahun 2021, dan tahun 2022. “Setelah itu, kita akan kembali kedisiplinan fiskal maksimal defisit 3 persen mulai tahun 2023,” kata Jokowi.
- Realokasi Anggaran
Masih di bab 2, pemerintah juga berwenang melakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram. Selain itu, pemerintah dapat menggunakan anggaran yang bersumber Sisa Anggaran Lebih (SAL), dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan, dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu, dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum; dan/atau dana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada BUMN. Dalam pernyataan resminya, Jokowi memutuskan total tambahan belanja dan pembiayaan APBN Tahun 2020 untuk penanganan Covid-19 adalah sebesar Rp405,1 triliun. Total anggaran tersebut akan dialokasikan Rp 75 triliun untuk belanja bidang kesehatan, Rp 110 triliun untuk perlindungan sosial, dan Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat. Kemudian, Rp150 triliun untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional, termasuk restrukturisasi kredit serta penjaminan dan pembiayaan dunia usaha, khususnya terutama usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah.
- Kebijakan Perpajakan
Untuk stimulus ekonomi bagi UMKM dan pelaku usaha, akan diprioritaskan untuk penggratisan PPh 21 untuk para pekerja sektor industri pengolahan dengan penghasilan maksimal Rp200 juta. Selain itu, pemerintah juga membebaskan PPN impor bahan baku untuk wajib pajak. Kepala Negara juga menyebutkan bahwa stimulus ekonomi juga diperuntukkan bagi percepatan restitusi PPN pada 19 sektor tertentu untuk menjaga likuiditas pelaku usaha. “Untuk penurunan tarif PPh Badan sebesar 3% dari 25% menjadi 22%. Serta untuk penundaan pembayaran pokok dan bunga untuk semua skema KUR yang terdampak Covid-19 selama 6 bulan,” .
- Kewenangan baru BI, LPS dan OJK
Pelaksanaan kebijakan stabilitas sistem keuangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Perpu ini, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan rapat melalui tatap muka atau melalui pemanfaatan teknologi informasi. Selain itu, KSSK juga dapat menetapkan skema pemberian dukungan oleh Pemerintah untuk penanganan permasalahan lembaga jasa keuangan dan stabilitas sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional. Menurut Perpu ini, Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki kewenangan yang diatur pada BAB III mengenai Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan pada Pasal 16 sampai dengan Pasal 23. Intinya, pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) dan Otoritas OJK mengoptimalkan bauran kebijakan moneter dan sektor keuangan untuk memberi daya dukung dan menjaga stabilitas pada perekonomian nasional. “Bank Indonesia telah mengeluarkan kebijakan stimulus moneter melalui kebijakan intensitas triple intervention, kemudian menurunkan rasio giro wajib minimum valuta asing bank umum konvensional,” kata Jokowi. (Baca: Mekanisme dan Syarat Pelanggan PLN Gratis Bayar Listrik selama Corona) Menurut Presiden, BI juga telah memperluas underlying transaksi bagi investor asing dan penggunaan bank kustodi global dan domestik untuk kegiatan investasi. Mengenai Peran OJK, Presiden menyampaikan bahwa Otoritas Jasa Keuangan telah menerbitkan beberapa kebijakan, yaitu keringanan dan/atau penundaan pembayaran kredit atau leasing sampai dengan Rp 10 miliar termasuk untuk UMKM dan pekerja informal maksimal 1 tahun. “Serta memberikan keringanan dan/atau penundaan pembayaran kredit atau leasing tanpa batasan plafon, sesuai dengan kemampuan bayar debitur dan disepakati dengan bank atau lembaga leasing.”
- Tidak Bisa Dituntut Kemudian,
sesuai Pasal 27 Perpu ini, biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. (Baca: Satu Bulan Corona di Indonesia, Separuh Kasus Tersebar di Jakarta) “Anggota KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana jika melakukan tugas sesuai Perppu. Sepanjang dilakukan bukan tindakan konflik kepentingan, korupsi, menghindari moral hazard,” kata Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, dalam konferensi pers paket stimulus, Rabu (1/4/2020).
Setelah ditetapkannya perpu diatas semakin hari korban positif covid 19 semakin bertambah hingga Data yang diumumkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 pada Minggu sore, 19 April 2020 menunjukkan total jumlah kasus positif corona di Indonesia telah sebanyak 6.575 pasien.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan Indonesia cukup terhantam keras dengan penyebaran virus Corona. Tidak hanya kesehatan manusia, virus ini juga mengganggu kesehatan ekonomi di seluruh dunia. Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK), kata Ani, memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam skenario terburuk bisa minus 0,4 persen.
“Pertumbuhan ekonomi kita berdasarkan assessment yang tadi kita lihat, BI, OJK, LPS, dan kami memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan turun ke 2,3 persen, bahkan dalam skenarionya yang lebih buruk, bisa mencapai negatif 0,4 persen,” ungkapnya dalam telekonferensi di Jakarta, Rabu (1/4).
Kenapa hal ini bisa terjadi? Sri Mulyani menjelaskan, kondisi sekarang ini akan berimbas pada menurunnya konsumsi rumah tangga yang diperkirakan 3,2 persen hingga 1,2 persen. Lebih dari itu, investasi pun akan merosot tajam. Sebelumnya, pemerintah cukup optimistis bahwa investasi akan tumbuh enam persen. Namun, dengan adanya COVID-19, diprediksi investasi akan merosot ke level satu persen atau terburuk bisa mencapai minus empat persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan ekonomi Indonesia bisa tumbuh negatif akibat pandemi Covid-19. Ekspor pun diperkirakan terkoreksi lebih dalam, mengingat sudah satu tahun belakangan ini pertumbuhannya negatif. Begitu juga dengan impor yang, menurut Ani, juga akan tetap negatif pertumbuhannya.
Sektor UMKM, adalah sektor yang paling pertama terdampak wabah COVID-19. Berkaca pada krisis tahun 1998, sektor ini cenderung aman. Namun, sekarang situasinya berbeda.
“Sektor UMKM adalah sektor yang juga terpukul. Padahal, selama ini biasanya menjadi safety net. Sekarang mengalami pukulan yang sangat besar, karena adanya restriksi kegiatan ekonomi dan sosial yang memengaruhi kemampuan UMKM, yang biasanya resilient, bisa menghadapi kondisi. Tahun 97-98, justru UMKM masih resilience. Sekarang ini dalam COVID ini, UMKM terpukul paling depan karena ketiadaan kegiatan di luar rumah oleh seluruh masyarakat,” jelasnya.
Pemerintah, kata Sri Mulyani sudah mengeluarkan berbagai kebijakan, dengan pemberian stimulus kepada masyarakat yang terdampak. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo. Dalam Perppu ini, salah satu stimulusnya adalah jaring pengaman sosial yang diperuntukkan bagi masyarakat yang tidak mampu.
“Oleh karena itu kita di Indonesia, harus memusatkan perhatian pada tiga hal. Pertama, kesehatan dan masalah kemanusiaan harus ditangani. Kedua, menjamin kondisi masyarakat terutama jaring pengaman sosial kepada masyarakat terbawah dan bagaimana kita melindungi sedapat mungkin sektor usaha ekonomi supaya mereka tidak mengalami damage atau bisa bertahan dalam situasi sulit. Dan dalam hal ini kita juga melindungi stabilitas sektor keuangan,” papar Sri Mulyani.
Rupiah Berpotensi Tembus Rp20.000 per Dolar AS
Dalam kesempatan tersebut, Sri Mulyani juga mengumumkan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berpotensi melemah hingga Rp20.000 per dolar AS akibat wabah COVID-19. Untuk perkiraan moderatnya berada di kisaran Rp17.500 per dolar AS.
Hal ini menjadi bagian dari salah satu skenario asumsi makro 2020 yang seluruhnya mengalami perubahan, seperti pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan 2,3 persen hingga minus 0,4 persen. Selain itu, inflasi 5,1 persen serta harga minyak mentah Indonesia yang anjlok menjadi USD 31 per barel.
Pemerintah akan menerbitkan “recovery bond” untuk membantu pengusaha yang sedang kesulitan akibat wabah virus corona.
Meskipun asumsi makro kali ini begitu menakutkan, Sri Mulyani menegaskan, pemerintah tidak akan membuat hal itu terlaksana. Justru, hal ini dijadikan patokan jangan sampai skenario terburuk itu terjadi.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menegaskan, pihaknya tidak akan membiarkan skenario nilai tukar rupiah Rp20.000 per dolar AS terjadi. Bahkan, ia menyatakan, nilai tukar rupiah saat ini, yang berada pada kisaran Rp16.000 per dolar AS, sudah cukup stabil.
“Skenario terberat kurs Rp17.500 per dolar AS atau yang sangat berat Rp20.000 itu akan kita anitisipasi supaya tidak terjadi. Dalam hal ini saya sebagai Gubernur BI menyatakan bahwa tingkat rupiah saat ini sudah memadai. Yang tadi saya sampaikan skenario adalah sebagai forward looking yang kita akan cegah supaya tidak akan terjadi. Oleh karena itu BI akan terus berkomitmen menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,” ujar Perry.
Dijelaskannya, penyebab melemahnya rupiah karena investor panik sehingga terjadi apa yang disebut pembalikan modal atau capital outflow. Selama periode terjadinya pandemi ini antara Januari dan Maret 2020 telah terjadi capital outflow dalam portofolio investasi Indonesia, yang jumlahnya mencapai Rp167,9 triliun.
“Capital outflow ini yang kemudian terjadi di seluruh dunia termasuk di Indonesia, yang juga menjadi penyebab pelemahan nilai tukar rupiah, didorong oleh kepanikan global akibatnya cepat menyebarnya wabah COVID-19 di berbagai dunia. Dalam konteks ini, kami menyediakan dolar, baik di spot dan juga di domestic non delivery forward maupun pembelian SBN di pasar sekunder. Sejauh ini kami sudah membeli SBN dari pasar sekunder sejumlah Rp166 triliun,” jelas Perry.
Sejauh ini, BI telah melakukan beberapa langkah untuk mengantisipasi dampak COVID-19 ini, antara lain, dua kali menurunkan suku bunga acuan BI.
“Kami di BI berkoordinasi dengan pemerintah untuk melakukan aspek-aspek yang berkaitan dengan stabilitas moneter maupun stimulus moneter dimana kami telah menurunkan suku bunga dua kali sehingga suku bunga BI menjadi 4,5 persen untuk merilis beban dunia usaha. Yang kedua, kami terus melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah dengan mengintervensi di pasar spot, domestic non delivery forward, maupun pembelian SBN dari pasar sekunder,” ungkap Perry.
Center of Reform on Economics (CORE) memperkirakan jumlah pengangguran terbuka bisa melonjak hingga 9,35 juta pada kuartal II 2020. Kondisi itu bisa terjadi dalam skenario terberat dampak wabah virus corona.
“Jika pandemi ini berlangsung lebih lama, CORE Indonesia mengingatkan akan potensi lonjakan jumlah pengangguran yang sangat tinggi dalam tahun ini,” tulis CORE dalam keterangan resmi, Rabu (15/4). Skenario berat dibangun dengan asumsi bahwa penyebaran covid-19 tak terbendung lagi dan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan secara luas baik di pulau Jawa maupun luar Jawa, dengan standar yang sangat ketat.
Apabila terealisasi, proyeksi tersebut lebih besar dari skenario terberat pemerintah di mana tambahan pengangguran mencapai 5,2 juta orang. Lembaga riset ekonomi ini memperkirakan peningkatan jumlah pengangguran terbuka dalam tiga skenario. Selain skenario berat, ada skenario ringan dengan tambahan pengangguran mencapai 4,25 juta orang di mana 3,4 juta di antaranya berada di Pulau Jawa.
Skenario ini mengasumsikan penyebaran virus corona semakin meluas pada Mei 2020, tetapi tidak sampai memburuk sehingga kebijakan PSBB hanya diterapkan di wilayah tertentu di Pulau Jawa dan satu dua kota di luar Pulau Jawa. Dalam skenario sedang, tambahan pengangguran mencapai 6,68 juta orang di mana 5,06 juta orang berada di Pulau Jawa. Pada skenario ini, asumsi penyebaran covid-19 lebih luas lagi dan kebijakan PSBB diberlakukan lebih luas di banyak wilayah di pulau Jawa dan beberapa kota di luar pulau Jawa. Dalam skenario berat tambahan jumlah pengangguran meningkat lebih dua kali lipat dari posisi angka pengangguran terbuka Agustus 2019 yang mencapai 7,05 juta orang. Konsekuensinya, tingkat pengangguran meningkat dari 5,28 persen menjadi 11,47 persen. Sekitar 6,94 juta tambahan pengangguran berasal dari Pulau Jawa.
Berdasarkan riset tersebut, penambahan jumlah pengangguran terbuka yang signifikan bukan hanya disebabkan oleh perlambatan laju pertumbuhan ekonomi melainkan juga disebabkan oleh perubahan perilaku masyarakat terkait pandemi Covid-19 dan kebijakan pembatasan sosial, baik dalam skala kecil maupun skala besar.Sebagai catatan, CORE memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini berada di kisaran -2 persen hingga 2 persen.
Menurut CORE, selain PHK pada sektor formal, dampak pandemi Covid-19 terhadap hilangnya mata pencaharian di sektor informal perlu lebih diwaspadai. Pasalnya, daya tahan ekonomi para pekerja di sektor informal relatif rapuh, terutama yang bergantung pada penghasilan harian, mobilitas orang, dan aktivitas orang-orang yang bekerja di sektor formal. Terlebih lagi jumlah pekerja di sektor informal di Indonesia lebih besar dibanding pekerja sektor formal, yakni mencapai 71,7 juta orang atau 56,7 persen dari total jumlah tenaga kerja. Mayoritas dari mereka bekerja pada usaha skala mikro.
www.infodiknas.com