By Alfan Zuhairi (Lecturer of FKIP UNISMA)
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah tersusunnya model oral language assessment dalam pembelajaran Bahasa Inggris di SMP. Penelitian tahun pertama ini bertujuan mengetahui pembelajaran Bahasa Inggris lisan (BIL) di SMP, kebutuhan guru mengenai asesmen, dan karakteristik siswa dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa observasi, angket, dan dokumentasi. Sebanyak 20 guru dan 505 siswa menjadi responden dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru telah melakukan pembelajaran keterampilan BIL secara integratif. Namun demikian, pembelajarn ini belum dibarengi dengan asesmen yang memadai karena guru mengalami kesulitan dalam melakukan asesmennya. Pada sisi lain, siswa merasa penilaian dan tugas-tugas dari guru berhubungan dengan motivasi belajarnya. Implikasi temuan-temuan ini adalah bahwa perlu segera dikembangkan model OLA yang bisa dipakai oleh guru dalam kegiatan asesmen di kelasnya.
Kata-kata kunci: OralLlanguage Assessment (OLA), keterampilan Bahasa Inggris Lisan (BIL), analisis kebutuhan.
Kurikulum nasional mata pelajaran Bahasa Inggris beorientasi pada hakikat pembelajaran bahasa, bahwa belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Inggris diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam Bahasa Inggris.
Kompetensi utama yang dituju oleh pendidikan bahasa adalah discourse competence atau kompetensi wacana. Artinya, jika seseorang berkomunikasi baik lisan maupun tulis, orang tersebut terlibat dalam suatu wacana. Yang dimaksud wacana adalah peristiwa komunikasi yang dipengaruhi oleh topik yang dikomunikasikan, hubungan interpersonal pihak yang terlibat dalam komunikasi dan jalur komunikasi yang digunakan dalam satu konteks budaya. Makna apapun yang ia peroleh dan ia ciptakan dalam komunikasi selalu terkait dengan konteks budaya dan konteks situasi yang melingkupinya. Berpartisipasi dalam percakapan, membaca, dan menulis secara otomatis mengaktifkan kompetensi wacana yang berarti menggunakan seperangkat strategi atau prosedur untuk merealisasi nilai-nilai yang terdapat dalam unsur-unsur bahasa, tata bahasa, isyarat-isyarat pragmatiknya dalam menafsirkan dan mengungkapkan makna menyatakan bahwa penggabungan pembelajaran beberapa keterampilan merupakan proses alami yang akan mampu saling memberikan dan menutupi kekurangnan antara keterampilan satu dengan yang lainnya. Pembelajar berbicara sering dapat mengambil manfaat dari apa yang pernah didapat dari hasil mendengar dan kita belajar menulis memperoleh bantuan dari hasil membaca. sejalan dengan pendapat Brown tersebut, (Rivers dalam Gebhard, 1996) menekankan mengatakan bahwa mendengar tidak akan pernah ada tanpa adanya orang yang berbicara dan sebaliknya berbicara tanpa adanya orang yang mendengar merupakan isyarat-isyarat yang kosong tanpa arti.
Lebih jauh menekankan bahwa ada dua isu yang sangat penting dalam pembelajaran oral communication atau kemunikasi lisan untuk pembelajar bahasa kedua (L2) ataupun bahasa asing (FL). Yang pertama adalah pengajaran bahasa yang menekankan pada elemen-elemen ketepatan aspek fonologi yang merupakan bagian dari pengembangan keterampilan mendengar dan berbicara dan yang kedua adalah aspek komunikasi antar personal yaitu kelancaran dalam berbicara. Siswa atau pembelajar bahasa asing sering memperoleh manfaat dari pengenalan pola-pola suara (phonology) dari memperlajari bahasa asing yang tidak bisa dihindarkan apabila kita mempelajari suatu bahasa. Kemudian pembelajar bahasa asing juga memerlukan latihan-latihan yang tidak kaku atau lebih bervariatif yang menjamin kebebasan dalam mengekspresikan pikiran dan pendapatnya secara lancar dan spontan melalui ungkapan atau wacana pengembangannya sendiri. Hal ini dilakukan dengan aktivitas-aktivas komunikatif lanjutan yang sangat fundamental dalam pengajaran bahasa di dalam kelas bahasa seperti: oral report, role plays, information gaps, sociodrama, project works, simulations dan person-to-person communications lainnya. Dengan kata lain, pengajaran yang hanya mengandalkan pada satu keterampilan bahasa atau satu aspek bahasa saja tidaklah cukup guna mengantarkan pembelajar bahasa asing sukses. Akan tetapi penggabungan antar beberapa aspek yang saling kait mengkait yang kemudian dengan dikembangkan dalam kegiatan komunikatif lanjutan dengan segala variasinya dalam kelas sangatlah diperlukan.
Akhirnya, dari kerangka teori tentang penggabungan antara ketrampilan listening dan speaking yang dikemas dalam classroom communicative activities akan mampu meningkatkan ketrampilan berbicara siswa yang mayoritas masih dikategorikan dalam pembelajar bahasa Inggris pemula. mengatakan bahwa pengajaran satu macro skill secara terpisah menjadi tidak rasional karena apa yang terjadi pada penggunaan bahasa banyak tergantung pada konteks dalam kehidupan sehari-hari yang sering kali pengertian bahasa itu memiliki arti yang berbeda untuk masing-masing discourse/ wacana. Mereka juga mengatakan bahwa pada situasi dimana pembicara dan pendengar melakukan interaksi dalam komunikasi, peranan listening menjadi sangat penting untuk membentuk pembicaraan.
Keterampilan berbahasa lisan (oral language) merupakan prasyarat untuk membangun keterampilan berbahasa tulis. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa didesain untuk membangun keterampilan berbahasa lisan terlebih dahulu. Menurut salah satu tanggungjawab guru bahasa adalah mengantarkan para siswa mampu berkomunikasi berbahasa lisan secara efektif.
Penelitian ini merupakan jawaban atas kesulitan belajar dan kesulitan dalam menilai kemampuan bahasa Inggris khususnya bahasa Inggris lisan (oral language) selama ini. Melalui model yang akan dikembangkan, penilaian oral language dilaksanakan menyatu dengan pelaksanaan pmbelajarn. Penilaian dilakukan dengan berbagai alat sehingga hasil penilaian memang benar-benar cerminan kemampuan siswa.
Model oral language assessment (OLA) ini dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip authentic assessment, yaitu: (1) proses penilaian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran, bukan bagian terpisah dari proses pembelajaran (a part of, not apart from, instruction), (2) penilaian mencerminkan masalah dunia nyata (real world problems), bukan masalah dunia sekolah (school work-kind of problems), (3) penilaian menggunakan berbagai ukuran, metode dan kriteria yang sesuai dengan karakteristik dan esensi pengalaman belajar, dan (4) penilaian bersifat holistik yang mencakup semua aspek komunikasi dari bahasa Inggris lisan. Dengan disusunnya seperangkat model penilaian seperti ini, maka penentuan terhadap tinggi rendah tingkat kemampuan siswa tidak semata-mata didasarkan atas hasil tes tulis semata, tetapi didasarkan pada data empirik hasil pengukuran mulai proses awal hingga akhir kegiatan pembelajaran.
Sebelum produk oral language assessment dikembangkan, perlu dilakukan studi pendahuluan untuk mengetahui kondisi pembelajaran bahasa Inggris selama ini di SMP. Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah yang hendak dikaji melalui penelitian ini adalah: (1) bagaimanakah pembelajaran bahasa Inggris selama ini di SMP?, (2) bagaimanakah analisis kebutuhan assessment guru SMP dalam pembelajaran bahasa Inggris?, (3) bagaimanakah karakteristik siswa SMP yang belajar bahasa Inggris?, (4) bagaimanakah model assessment yang cocok dengan kondisi pembelajaran, kebutuhan, dan karakteristik siswa SMP tersebut?
METODE
Pengembangan model oral language assessment (OLA) dalam pembelajaran Bahasa Inggris yang merupakan penelitian utuh dari penelitian ini menggunakan Model Alur. Melalui model ini, ditempuh langkah-langkah yang hierarkhis sehingga dihasilkan model assessment yang diinginkan. Khusus untuk penelitian pendahuluan ini, peneliti menggunakan metode survey.
Responden dalam penelitian ini meliputi 20 guru mata pelajaran Bahasa Inggris dan 505 siswa Sekolah Menengah Pertama di Jawa Timur yang dipilih berdasarkan keterjangkauannya yang berasal dari wilayah Kabupaten Ngawi, Tuban, Pamekasan, Lumajang, Probolinggo, dan Kota Malang.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik (1) dokumentasi, (2) angket, dan (3) observasi. Teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data berupa kurikulum pembelajaran dan informasi-informasi lain untuk keperluan pengembangan moedel asesmen. Untuk memudahkan dalam pelaksanaannya, teknik ini dilengkapi dengan instrumen penjaring data berupa panduan pokok-pokok materi yang akan dimanfaatkan. Teknik angket digunakan untuk mengumpulkan data kebutuhan guru dan karakteristik siswa. Teknik ini dilengkapi dengan instrumen berupa format angket. Teknik observasi digunakan untuk melihat kondisi awal evaluasi pembelajaran.
Data dalam penelitian ini terdiri dari dua macam. Pertama, data penelitian berupa data kualitatif, yaitu informasi yang diperoleh dari hasil studi pendahuluan, hasil analisis kebutuhan, dan hasil analisis karakteristik siswa. Kedua, data penelitian berupa data kuantitatif, yaitu berupa informasi yang diperoleh dari angket dan perangkat instrumen lain yang diubah dalam bentuk persentase dan dijelaskan secara kualitatif.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pembelajaran Keterampilan Bahasa Inggris Lisan (BIL) di SMP
Data tentang pembelajaran keterampilan BIL ini berkenaan dengan hal-hal antara lain: (1) mengajarkan atau tidaknya, (2) terintegrasi atau tidaknya, (3) pendapat mengenai model pembelajaran BIL, dan 4) proporsi pembelajaran BIL.
Data menunjukkan bahwa di antara 20 responden penelitian, 90% menyatakan bahwa mereka melakukan kegiatan pembelajaran BIL secara khusus. Hanya 10% yang menyatakan bahwa mereka tidak melakukannya secara khusus. Di antara mereka itu, 70% menyatakan bahwa mereka melaksanakan pembelajaran BIL secara terintegrasi, sedangkan 30% menyatakan bahwa pembelajaran BIL yang dilakukan tidak terintegrasi, sehingga keterampilan menyimak (listening) dan berbicara (speaking) dilaksanakan secara terpisah. Model pembelajaran yang diterapkan ini sejalan dengan pandangan mereka tentang bagaimana melaksanakan pembelajaran BIL yang baik. Yaitu, 70% berpandangan bahwa BIL harus diajarkan secara terintegrasi, sedang 30% berpandangan bahwa BIL harus diajarkan secara terpisah.
Sedangkan mengenai proporsi pembelajaran BIL aspek menyimak, di antara responsden yang ada 25% menyatakan bahwa proporsi pembelajaran menyimak yang mereka lakukan kurang dari 25%, 60% responden menyatakan bahwa proporsi pembelajaran menyimak mereka antara 25% – 50% dan 15% responden menyatakan bahwa pembelajaran mereka berkisar antara 50% – 75%. Sedangkan untuk aspek berbicara, 10% responden menyatakan bahwa pembelajaran berbicara mereka kurang dari 25%, 60% responden menyatakan bahwa proporsi pembelajaran berbicara mereka antara 25% – 50% dan 30% responden menyatakan bahwa pembelajaran mereka berkisar antara 50% – 75%.
Kebutuhan Guru terhadap Model OLA
Analisis kebutuhan guru terhadap asesmen dalam pembelajaran keterampilan BIL diawali dengan analisis terhadap pemahaman guru tentang berbagai kegiatan dan jenis Oral Language Assessment (OLA), dan dilanjutkan dengan analisis terhadap pelaksanaan asesmen oleh guru, kesulitan yang mereka hadapi, dan bantuan yang mereka butuhkan .
Pemahaman Guru tentang Kegiatan OLA
Pada penelitian ini berbagai aktifitas penilaian yang dicakup antara lain oral interviews, picture-cued description/stories/map, video clips, information gap, story/text retelling, improvisation/releplyas/simulation, and oral report. Tingkat pemahaman guru terhadap berbagai kegiatan penelitian itu divisualisasikan pada Gambar 1.
Grafik pada Gambar 1 tersebut menunjukkan bahwa untuk aktifitas penilaian yang berupa oral interview, 30% guru ditemukan sudah mempunyai tingkat pemahaman yang baik sekali. Sedangkan yang pemahamannya ada pada kategori baik dan cukup masing-masing sebesar 35%.
Mengenai aktifitas penilaian yang berupa picture-cued description/stories/ map, didapatkan bahwa dari keseluruhan guru hanya 12% yang ditemukan mempunyai pemahaman yang sangat baik dan 47% mempunyai pemahaman yang baik. Sementara 35% mempunyai pemahaman yang cukup, dan hanya 6% mempunyai pemahaman yang kurang.
Gambar 1 Pemahaman Guru tentang Aktifitas OLA
Keterangan: OI = Oral Interviews
PCD = Picture-cued Description/stories/maps
VC = Video Clips
IG = Information Gaps
SR = Story/Text Retelling
RP = Role-plays, Improvisation/ Simulation
OR = Oral reports
Sementara itu, tentang aktifitas penggunaan video clips dalam penilaian keterampilan BIL, tidak ada guru yang mempunyai pemahaman dengan tingkat yang baik sekali. Dari jumlah guru yang ada, 30% mempunyai pemahaman dengan tingkat yang baik dan 18% mempunyai pemahaman yang cukup. Sementara itu, 48% mempunyai pemahaman yang kurang, dan bahkan terdapat 6% mempunyai pemahaman yang sangat kurang.
Information gap sebagai aktifitas penilaian juga dipahami oleh guru secara berbeda. Temuan penelitian menunjukkan bahwa 12% mempunyai pemahaman yang baik sekali dan 35% mempunyai pemahaman yang baik. Juga, terdapat 35% yang mempunyai pemahaman yang cukup. Sementara itu, 18% ternyata mempunyai tingkat pemahaman yang kurang.
Pemahaman tentang story/text retelling juga cukup bagus. Dari keseluruhan guru, 21% guru mempunyai pemahaman tentang story/text retelling yang bagus sekali dan 47% mempunyai pemahaman yang baik. Juga ditemukan bahwa 26% guru mempunya pemahaman yang cukup. Dan hanya 5% yang mempunyai pemahaman tentang story/text retelling yang kurang.
Sedangkan tentang improvisation/role plyas/simulation, data menunjukkan bahwa terdapat 59% guru mempunyai tingkat pemahaman yang baik sekali dan 26% guru mempunyai pemahaman yang baik. Semnetara itu, terdapat 25% guru dengan tingkat pemahaman yang cukup.
Dan terakhir, tentang aktifitas oral report, data menunjukkan bahwa 26% guru mempunyai tingkat pemahaman yang baik sekali dan 42% mempunyai tingkat pemahaman yang baik. Di samping itu, jumlah yang sama, yaitu 16%, mempunyai pemahaman yang cukup dan kurang.
Pemahaman Guru tentang Jenis OLA
Pemahaman guru tentang berbagai jenis alat asesmen juga beragam. Dalam penelitian ini jenis alat asesmen yang dicakup meliputi tes dan non tes yang terdiri atas performance (kinerja), portofolio, asesmen diri (self-assessment), asesmen teman sejawat (peer assessment), dan rubrik. Temuan tentang pemaham-an guru atas berbagai jenis alat asesmen ini diilustrasikan pada Gambar 2.
Gambar 2 tersebut menunjukkan bahwa untuk jenis alat asesmen yang berupa tes, pemahaman guru merentang mulai dari cukup baik hingga baik sekali dengan komposisi 54% sangat baik, dan masing-masing 23% baik dan cukup baik. Sedangkan terhadap jenis alat asesmen non-tes yang berupa kinerja (performance), 24% sudah mempunyai pemahaman yang baik sekali dan 65% sudah mempunyai pemahaman yang baik. Hanya 12% saja yang tingkat pemahamannya ada pada tingkat yang cukup.
Keadaannya agak berbeda untuk jenis asesmen yang berupa portofolio. Dari jumlah guru yang menjadi sumber data, 12% mempunyai pemahaman yang masih kurang, sementara sisanya sudah mempunyai pemahaman yang merentang mulai dari cukup (35%), baik (47%) dan baik sekali (6%).
Gambar 2 Pemahaman Guru tentang Jenis OLA
Pemahaman terhadap jenis asesmen yang berupa self-asssessment kurang lebih sama dengan pemahaman terhadap portofolio. Terdapat 12% guru yang juga mempunyai pemahaman yang kurang. Selebihnya mempunyai pemahaman dengan tingkat cukup (29%), baik (47%), and baik sekali (12%).
Pemahaman guru terhadap jenis penilaian teman sejawat (peer assessment) juga hampir sama. Walaupun ada sebagian guru (13%) yang mempunyai pemahaman kurang, tetapi sebagian besar sudah baik (53%). Sementara persentase guru yang mempunyai pemahaman sangat baik hanya 7% dan yang cukup baik 27%.
Tampaknya, di antara berbagai jenis penilaian non-tes yang ada, penggunaan rubrik merupakan jenis asesmen yang paling kurang dipahami. Dari keseluruhan sumber data, 19% kurang memahami rubrik penilaian dan juga 19% diketahui mempunyai pemahaman yang cukup. Sementara mencapai 50% yang pemahamannya sudah baik, dan hanya 13% saja yang mempunyai pemahaman yang sangat baik.
Penilaian Keterampilan BIL
Walaupun tidak semua responden menyatakan bahwa mereka melakukan pembelajaran keterampilan BIL secara khusus, tetapi semua (100%) mengaku bahwa mereka melakukan asesmen keterampilan BIL secara khusus dengan tujuan antara lain: mengetahui hasil belajar (27%), menentukan keterampil;an berbahasa siswa (62%), menentukan nilai rapor (8%), dan tujuan lain-lain (3%).
Berkaitan dengan penggunaan bentuk OLA dalam melakukan asesmen keterampilan BIL yang berupa tes, 65% responden mengaku menggunakan bentuk tes tersebut, dan 25% menyatakan tidak menggunakan bentuk tes. Dalam hal ini, terdapat 10% responden yang tidak memberikan jawaban. Sedangkan mengenai penggunaan bentuk non-tes, semua (100%) responden menyatakan bahwa mereka menggunakan bentuk non-tes tersebut dalam OLA. Bentuk non-tes yang digunakan meliputi observasi (35%), angket (12%), skala nilai (24%), check list (26%), dan kinerja (3%).
Mengenai pembuatan alat asesmen, data menunjukkan bahwa 43% responden menyatakan bahwa mereka membuat sendiri alat asesmen, 20% mengambil dari soal-soal sebelumnya, 29% mengambil dari buku pegangan, dan 37% mengambil dari buku-buku selain buku pegangan. Sedangkan waktu pelaksanaan asesmen, 68% responden menyatakan bahwa mereka melaksanakannya secara menyatu dengan proses pembelajaran dan 32% menyatakan bahwa mereka melaksanakan asesmen keterampilan BIL setelah proses pembelajaran selesai.
Dari segi kecukupannya dalam melakukan asesmen keterampilan BIL, 55% responden menyatakan bahwa asesmennya sudah cukup, sedang 45% menyatakan bahwa asesmennya masih kurang. Selanjutnya, data mengenai kualitas asesmen yang dilaksanakan selama ini menunjukkan bahwa 60% telah merasa bahwa asesmen yang mereka lakukan sudah baik, 35% merasa cukup, dan hanya 5% yang merasa bahwa kualitas asesmennya masih kurang.
Bentuk asesmen yang biasa dipakai untuk mengukur keterampilan BIL aspek menyimak antara lain tes tulis (29%), tes lisan (29%), tes perbuatan (12%), portofolio (15%), dan kinerja (15%). Sedangkan untuk BIL aspek berbicara, bentuk asesmen yang biasa dipakai antara lain tes tulis (9%), tes lisan (32%), tes perbuatan (24%), portofolio (9%), dan kinerja (26%).
Cakupan Ranah Asesmen Keterampilan BIL
Responden melaporkan bahwa dalam OLA yang mereka laksanakan 77% menyatakan bahwa mereka mencakup ranah afektif dan psikomotor dalam asesmennya, dan hanya 23% yang menyatakan bahwa mereka tidak melakukan asesmen keterampilan BIL pada ranah afektif dan psikomor. Penilaian ranah afektif didasarkan pada hal-hal seperti keaktifan siswa, sikap siswa, ketekunan, kerajinan, kedisiplinan, kerja sama, penghormatan terhadap guru, hasil kerja siswa, dan motivasi belajar siswa. Sedangkan, penilaian atas ranah psikomotor didasarkan pada nilai tugas, kerajinan, kemampuan anak dalam mengungkapkan ide, kinerja, hasil karya, dan praktik komunikasi.
Kesulitan dalam Melakukan OLA
Data menunjukkan bahwa semua responden (100%) menyatakan bahwa mereka mengalami kesulitan dalam melaksanakan OLA. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi antara lain berkenaan dengan pelaksanaan asesmen untuk menilai proses pembelajaran (82%), dan hanya 18% yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan asesmen untuk mengukur hasil belajar.
Sedangkan kesulitan dalam melaksanakan asesmen yang berkenaan dengan ranah penilaian, 90% menyatakan bahwa mereka kesulitan dalam melaksanakan asesmen p[ada ranah psikomotor, dan hanya 10% yang menyatakan mengalami kesulitan dalam melakukan asesmen ranah afektif.
Selanjutnya, menyangkut alat asesmen, 81% responden menyatakan bahwa mereka mengalami kesulitan dalam mengembangkan alat asesmen yang berupa non-tes dan hanya 19% yang menyatakan bahwa mereka mengalami kesulitan dalam mengembangkan alat asesmen yang berupa tes.
Bantuan yang Dibutuhkan tentang Pembelajaran dan Asesmen Keterampilan BIL
Untuk kepentingan pembelajaran keterampilan BIL, responden menyampaikan bahwa mereka membutuhkan buku-buku pegangan pendukung yang relevan, CD, LCD, dan media pembelajaran lain yang sesuai, contoh-contoh materi menyimak dan berbicara, dan rekaman pita suara untuk pembelajaran menyimak dan berbicara.
Sedangkan untuk kepentingan asesmen keterampilan BIL, responden menyatakan bahwa mereka membutuhkan informasi mengenai sistem penilaian yang baku dan teknik penilaian yang sesuai, kriteria penilaian yang berstandar, model penilaian yang terintegrasi, dan rubrik penilaian yang fixed dan relevan.
Sikap terhadap Pengembangan Model OLA
Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman responden dalam melaksanakan asesmen keterampilan BIL, 75% responden menyatakan bahwa mereka sangat setuju jika ada peneliti yang mengembangkan model OLA. Di samping itu, 25% menyatakan bahwa mereka setuju. Tidak satu pun responden menyatakan bahwa mereka kurang setuju atau bahkan tidak setuju.
Karakteristik Siswa
Dalam penelitian ini identifikasi karakteristik siswa berkenaan dengan sikap dan motivasi siswa dalam belajar keterampilan BIL, sikap terhadap OLA, dan sikap terhadap asesmen yang dilakukan oleh guru.
Sikap dan Motivasi Siswa dalam Belajar Keterampilan BIL
Sikap siswa terhadap keterampilan BIL diukur dalam beberapa aspek, yaitu kebanggaan terhadap keterampilan BIL, kesenangan dalam belajar BIL, pendapat mengenai kewajiban belajar BIL, dan motivasi belajar BIL. Data untuk keempat aspek ini dipaparkan pada Tabel 1.
Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagaian besar siswa merasa bangga bila memiliki keterampilan BIL dengan baik. Dari keseluruhan responden tersebut, 55% menyatakan sangat bangga, dan 37% menyatakan bangga. Hanya 8% yang menyatakan kurang bangga, dan bahkan 1% menyatakan tidak bangga. Rasa bangga terhadap kemampuan BIL ini sejalan dengan sikap belajarnya. Dalam hal ini 33% siswa menyatakan bahwa mereka sangat senang belajar BIL dan 59% menyatakan senang. Hanya 7% yang menyatakan kurang senang dalam belajar BIL, dan tidak ada yang menyatakan tidak senang belajar BIL.
Tabel 1. Sikap Siswa terhadap Pembelajaran Keterampilan Bahasa Inggris Lisan
No. |
Pernyataan |
Sikap/Jumlah/Persentase |
|||
SS |
S |
KS |
TS |
||
1. |
Saya bangga bila mampu berbahasa Inggris lisan dengan baik. |
276 55% |
185 37% |
38 8% |
6 1% |
2. |
Saya senang belajar Bahasa Inggris lisan. |
168 33% |
299 59% |
36 7% |
2 0% |
3. |
Bahasa Inggris lisan merupakan keterampilan yang wajib dipelajari. |
222 44% |
196 39% |
80 16% |
7 1% |
4. |
Saya ingin belajar keterampilan Bahasa Inggris lisan dengan sungguh-sungguh. |
238 47% |
217 43% |
48 10% |
2 0% |
Keterangan: SS = sangat setuju
S = setuju
KS = kurang setuju
TS = tidak setuju
Seiring dengan ini pula, mayoritas siswa merasa bahwa BIL merupakan keterampilan yang wajib dipelajari. Dari responden yang ada, 44% menyatakan sangat setuju dan 39% menyatakan setuju bahwa BIL merupakan keterampilan yang wajib dipelajari. Sementara itu, 16% menyatakan kurang setuju dan hanya 1% tidak setuju bila BIL dipandang sebagai keterampilan yang wajib dipelajari.
Temuan yang menunjukkan bahwa mayoritas siswa memandang secara positif terhadap pembelajaran keterampilan BIL sejalan dengan motivasi belajar mereka. Terdapat 47% responden menyatakan bahwa mereka mempunyai motivasi yang sangat kuat untuk belajar BIL dengan sungguh-sungguh, dan 43% menyatakan bahwa motivasi mereka kuat. Hanya ada 10% siswa yang menyatakan bahwa motivasi belajarnya kurang kuat, dan 0% siswa yang menyatakan tidak mempunyai motivasi belajar sama sekali. .
Sikap terhadap Oral Language Assessment (OLA)
Sikap siswa terhadap OLA diukur dalam tiga butir, yang meliputi sikap mereka terhadap penilaian proses belajar, asesmen yang berupa non-tes, pelaksanaan asesmen secara terintegrasi. Data atas ketiga aspek ini dipaparkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Sikap Siswa terhadap Asesmen Keterampilan Bahasa Inggris Lisan
No. |
Pernyataan |
Sikap/Jumlah/Persentase |
|||
SS |
S |
KS |
TS |
||
1. |
Penilaian keterampilan Bahasa Inggris lisan sebaiknya tidak hanya berdasarkan hasil ujian, tetapi juga proses belajar. |
237 47% |
206 41% |
48 10% |
14 2% |
2. |
Penilaian keterampilan Bahasa Inggris lisan sebaiknya tidak hanya dengan tes, tetapi juga dengan non-tes seperti tugas-tugas dll. |
156 31% |
225 45% |
100 20% |
24 4% |
3. |
Penilaian keterampilan Bahasa Inggris lisan sebaiknya dilakukan secara terpadu (terintegrasi). |
111 22% |
266 53% |
117 23% |
11 2% |
Keterangan: SS = sangat setuju
S = setuju
KS = kurang setuju
TS = tidak setuju
Tabel 2 tersebut menunjukkan bahwa salah satu alat ukur sikap siswa terhadap OLA adalah pendapat mereka tentang penilaian hasil dan proses belajar. Dari keseluruhan responden, 47% menyatakan sangat setuju dan 41% menyetakan setuju bila asesmen keterampilan BIL tidak hanya didasarkkan pada hasil belajar saja, melainkan juga didasarkan pada proses belajar. Hanya 10% saja yang menyatakan kurang setuju dan 2% menyatakan tidak setuju bila penilaian keterampilan BIL didasarkan pada hasil dan proses belajar.
Saat dikaitkan dengan bentuk asesmen yang berupa tes dan non-tes, 31% siswa meneyatakan sangat setuju dan 45% siswa menyatakan setuju bila asesmen tidak hanya dilakukan dengan tes semata, tetapi juga dengan non-tes. Pada sisi lain, terdapat 20% siswa yang menyatakan kurang setuju dan 4% tidak setuju atas penggunaan non-tes sebagai alat asesmen di samping tes.
Dalam hal apakah OLA perlu dilaksanakan secara terpisah atau secara terintegrasi, sebagaian besar siswa berpandangan positif terhadap model asesmen yang integratif. Hal ini ditunjukkan dengan temuan bahwa 22% menyatakan sangat setuju dan 53% menyatakan setuju bila asesmen keterampilan BIL dilaksanakan secara integratif. Sebaliknya, 23% menyatakan kurang setuju dan 2% menyatakan tidak setuju jika asesmen dilaksanakan secara integratif.
Sikap terhadap Penilaian yang Dilakukan oleh Guru
Sikap terhadap asesmen yang dilakukan guru juga diukur dalam tiga aspek, yaitu sikap terhadap penilaian yang berupa tes, sikap terhadap penilaian yang berupa non-tes, dan sikap terhadap penggunaan berbagai ragam alat asesmen. Data atas ketiga aspek ini dipaparkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Sikap Siswa terhadap Asesmen yang Dilakukan Guru
No. |
Pernyataan |
Sikap/Jumlah/Persentase |
|||
SS |
S |
KS |
TS |
||
1. |
Tes yang diberikan guru mendorong saya untuk belajar keterampilan Bahasa Inggris lisan dengan lebih baik. |
253 50% |
201 40% |
45 9% |
6 1% |
2. |
Tugas-tugas yang diberikan guru mendorong saya untuk belajar keterampilan Bahasa Inggris lisan dengan lebih baik. |
218 43% |
241 48% |
39 8% |
7 1% |
3. |
Keterampilan Bahasa Inggris lisan perlu dinilai dengan berbagai alat sehingga hasilnya benar-benar menggambarkan kemampuan saya. |
261 52% |
170 34% |
56 11% |
18 3% |
Keterangan: SS = sangat setuju
S = setuju
KS = kurang setuju
TS = tidak setuju
Pada aspek yang pertama, yaitu sikap terhadap alat asesmen yang berupa tes, 50% siswa menyatakan bahwa tes yang diberikan berpengaruh sangat kuat dan 40% menyatakan berpengaruh kuat terhadap motivasi untuk belajar keterampilan BIL dengan lebih baik. Sebaliknya, hanya 9% siswa yang menyatakan bahwa tes yang diberikan oleh guru kurang berpengaruh terhadap motivasi belajarnya dan hanya 1% yang menyatakan bahwa tes tersebut tidak berpengaruh sama sekali.
Gambaran yang sama didapatkan berkenaan dengan pengaruh alat asesmen yang berupa non-tes terhadap motivasi belajar siswa. Yaitu, 43% menyatakan sangat setuju dan 48% menyatakan setuju bahwa tugas-tugas yang diberikan guru berpengaruh terhadap motivasi untuk belajar keterampilan BIL dengan lebih baik. Hanya 8% yang menyatakan bahwa tugas-tugas itu kurang berpengaruh terhadap motivasi belajarnya, dan 1% menyatakan tidak ada pengaruh sama sekali.
Dan terakhir, siswa diminta pandangannya tentang kemungkinan penggunaan alat asesmen yang beragam sehingga hasil penilaian akan benar-benar menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Data menunjukkan bahwa 52% sangat setuju dan 34% setuju dengan penggunaan berbagai alat asesmen dalam penialaian keterampilan BIL. Sebaliknya, hanya 11% yang menyatakan kurang setuju dan 3% menyatakan tidak setuju.
HASIL PENELITIAN DAN IMPLIKASI TEMUAN
Studi pendahuluan ini menunjukkan bahwa sebagian besar guru telah melakukan pembelajaran keterampilan BIL secara khusus dan terintegrasi dengan proporsi antara 25% hingga 50% dari keseluruhan alokasi waktu untuk pembelajaran bahasa Inggris. Hal ini berimplikasi bahwa mereka juga perlu melakukan penilaian secara terintegrasi pula.
Untuk konteks asesmen ini, secara teoretik pemahaman guru mengenai berbagai kegiatan asesmen seperti oral interviews dan story/text retelling sudah baik Kegiatan penilaian yang belum banyak dipahami adalah video clips, information gaps, dan oral report. Pemahaman guru yang sudah baik juga ditemukan terhadap jenis OLA. Hanya sebagian kecil saja yang mempunyai pemahaman yang kurang terhadap jenis-jenis asesmen yang ada.
Namun demikian, walaupun secara teoretis guru telah mempunyai pemahaman yang baik tentang kegiatan dan jenis asesmen dan mereka mengaku telah melakukan asesmen atas keterampilan BIL siswa, ternyata tidak berarti guru tersebut tidak mengalami kesulitan dalam melaksanakannya. Bahkan, semua guru menyetakan bahwa mereka kesulitan dalam melakukan asesmen tersebut. Kesulitan yang dirasakan terutama menyangkut bentuk asesmen proses, asesmen ranah psikomotor, dan pengembangan asesmen non-tes. Sehubungan dengan masih dialaminya kesulitan-kesulitan dalam melakukan asesmen BIL, semua guru menyatakan sangat setuju atau setuju jika ada peneliti yang mengembangkan model OLA.
Hal ini berimplikasi bahwa model OLA perlu segera dikembangkan untuk membantu guru dalam mengatasi kesulitannya. Model OLA yang dikembangkan harus menekankan pada pengukuran proses belajar, bukan sekedar hasil belajar dengan menyentuh ranah psikomotor. Dengan demikian, validitas dan reliabilitas nilai yang diberikan oleh guru akan semakin baik pula.
Karakteristik siswa juga mendukung dikembangkannya model OLA. Sebagaimana yang dipaparkan di depan, sebagian besar siswa berpandangan bahwa mereka bangga bila terampil berbahasa Inggris lisan, dan oleh karenanya mereka senang dalam belajar keterampilan BIL. Ini berimplikasi bahwa perlu ada model asesmen yang benar-benar mampu mengukur keterampilan BIL mereka. Model OLA yang akan dikembangkan harus mempunyai tingkat validitas dan reliabilitas yang tinggi sehingga akan berpengaruh secara positif terhadap motivasi belajar siswa. Hal ini merupakan suatu keharusan karena ternyata siswa mengaku bahwa tes-tes dan tugas-tugas yang diberikan guru berpengaruh dalam meningkatkan motivasi mereka dalam belajar keterampilan BIL.
SIMPULAN DAN SARAN
Secara ringkas penelitian ini menunjukkan bahwa guru telah melakukan pembelajaran keterampilan Bahasa Inggris lisan (BIL) secara terintegratif yang berarti mereka perlu melakukan asesmen secara integratif pula. Di samping itu, ternyata para guru juga sudah mempunyai pemahaman teoretis yang relatif bagus mengenai OLA. Hanya saja, pemahaman ini tidak disertai dengan pelaksanaan asesmen yang memadai. Hal ini tidak lain karena ternyata guru masih mengalami kesulitan dalam mengembangkan OLA, terutama jenis non-tes. Pada sisi lain, siswa merasa bangga jika mampu berbahasa Inggris lisan. Keinginan siswa untuk mampu berbahasa Inggris lisan dengan baik itu akan terpenuhi jika proses pembelajaran dan proses asesmen atas keterampilan BIL itu dilakukan dengan baik pula.
Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran Bahasa Inggris di SMP, guru hendaknya melakukan analisi kebutuhan pembelajaran Bahasa Ingris sebagai dasar pengembangan model pembelajaran tepat dan benar
Dalam kerangka membantu guru untuk bisa melakukan asesmen keterampilan BIL dengan baik inilah maka model OLA perlu dikembangkan melalui kegiatan penelitian ini.
DAFTAR RUJUKAN
Brown, H. D. 2004. Language Assessment: Principles and Classroom Practice. New York. Longman.
Burns, A. and Joyce, H. 1997. Focus on Speaking. Sydney. National Centre for English Language Teaching and Research (NCELTR) Macquarie University.
Gebhard, J. G. 1996. Teacher English as a Foreign or Second Language: A Teacher Self-Development and Methodology Guide. Michigan. The University of Michigan Press.
Murphy. 1991 Oral Communication in TESOL:Integrating Speaking, Listening,and Pronunciation. TESOL Quarterly. Vol. 25, No. 1, Spring 1991
O’Malley, J. M. and Lorraine, V. P. 1996. Authentic Assesment for English Language Learners. New York: Addison – Wesley Publishing Company.