Oleh Fathur Rahman.
Rasa sakit samar-samar di antara perut dan paha memaksa saya berkonsultasi pada dokter. Tampaknya semua baik-baik saja sampai akhirnya saya melihat hasil pengujian air seni. Ada sisa-sisa darah dalam air seni saya. “Sebaiknya Anda ke rumah sakit dan menjalani beberapa tes fungsi ginjal, sitologi …,”katanya dengan nada datar. Saya tidak memperhatikan apa kata-kata selanjutnya. Pikiran saya terpaku pada kata Sitologi. KANKER.
Ingatan orang tersebut entah pergi ke mana ketika sang dokter menjelaskan kapan dan di mana ia bisa menjalani tes-tes diagnostik tersebut. SITOLOGI. Kata itu tak dapat dienyahkannya. Ia merasa dirampok di depan pintu rumahnya sendiri. Di sinilah awal mula depresi berkepanjangan pada dirinya.
(Daniel Goleman, 1997)
Adalah suatu hal yang menakjubkan bahwa rintisan riset dan upaya-upaya klinis telah fokus pada peran dukungan psikososial terhadap pasien-pasien kanker, yaitu mereka yang memiliki level distress tinggi akibat dari diagnosis dan proses perawatan kanker. Dukungan psikososial ini terdiri dari komponen informatif, instrumental, emosional, affirmation, dan penilaian. Studi yang dilakukan oleh Sandin dan kawan-kawan (de Groot, 2002) menjelaskan bahwa para wanita, terutama pada kasus kanker payudara lebih memiliki pengalaman dan perasaan takut serta kekhawatiran yang lebih besar. Fakta ini didukung oleh riset-riset lainnya. Colegrave et. al (2002, 303) menjelaskan bahwa terdapat peningkatan level kecemasan dan depresi pada wanita-wanita dengan kasus kanker payudara, bahkan level distress emosional-nya telah sampai pada fase klinis-patologis.
Beberapa riset lainnya juga menyimpulkan bahwa (Barnes et al., 2002) pada orang tua/dewasa yang berhadapan dengan penyakit-penyakit yang mengancam kehidupan dan kondisi kesehatan kronis ternyata ditemukan pengalaman-pengalaman kecemasan (anxiety), depresi (depression), dan kesulitan-kesulitan emosional lainnya. Berdasarkan hasil riset ini, wanita-wanita yang terdiagnosis memiliki penyakit kanker menghadapi banyak keputusan-keputusan yang sulit. Distress psikologis semakin potensial dan aktual jika bersinggungan langsung dengan faktor lain seperti bagaimana cara memberikan penjelasan terhadap anggota keluarga terutama anak di bawah usia 21 tahun. Ada kecenderungan wanita-wanita tersebut terkesan menghindari anak-anak dan menyembunyikan kecemasan-kecemasan. Situasi seperti ini hanya akan mengarah pada pola komunikasi yang menjadi semakin tidak berarti.
Salah satu penjelasan kausal yang dapat dijadikan asumsi hipotetik sementara terhadap problem-problem psikologis yang diakibatkan oleh kondisi-kondisi fisik kronis tadi adalah “di dunia orang sakit, emosi-lah yang menjadi raja; pikiran kita disibukkan oleh rasa takut” (Goleman, 1997). Secara emosional, seseorang dapat menjadi begitu hancur bila terkena sakit, karena kesejehteraan mental kebanyakan orang awam didasarkan pada ilusi tidak dapat sakit. Sakit, terutama sakit berat, menghancurkan ilusi tersebut, menyerang anggapan dunia pribadi yang aman dan sejahtera. Sekonyong-konyong seseorang lalu merasa lemah, tidak, berdaya, rentan, dan kehilangan kekuatan mental.
Pada sakit kanker dan penderitaan kronis lainnya memang tidak dapat dipahami secara pendekatan skema-kognitif semata, tetapi persoalannya menjadi semakin kompleks manakala sistem medis mengabaikan potensi dan reaksi emosional pasien. Tiadanya kepedulian pada realitas emosi si pasien berarti tidak menghiraukan bukti-bukti yang semakin menumpuk yang menunjukkan bahwa keadaan emosi dapat memainkan peran yang kadang-kadang amat berarti dalam mengatasi kekhawatiran terhadap penyakit dan dalam arah menuju kesembuhan. Perawatan medis modern terlampau sering kehilangan kecerdasan emosional.
Pada tahun 1974 (Goleman, 1997), sebuah temuan di Laboratorium School of Medicine and Dentistry, University of Rochester, menulis ulang peta biologis tubuh. Robert Ader, seorang ahli psikologi, menemukan bahwa sistem kekebalan tubuh, seperti halnya otak, mampu belajar. Hasilnya amat mengejutkan pandangan umum yang berlaku dalam dunia kedokteran (hanya otak dan sistem saraf pusat yang mampu menanggapi pengalaman dengan mengubah perilaku mereka). Temuan Ader menjurus pada penyelidikan tentang apa yang kemudian diketahui sebagai ribuan cara komunikasi antara sistem saraf pusat dan sistem kekebalan, yaitu jalur biologis yang membuat otak, emosi, dan tubuh tidak terpisah, melainkan terjalin dengan eratnya.
Hingga saat Ader mengumumkan temuannya yang mengejutkan itu, setiap ahli anatomi kedokteran, dokter, dan ahli biologi masih berkeyakinan dengan teori konservatif tentang otak dan sistem kekebalan tubuh adalah satuan yang terpisah, satu sama lainnya tidak saling mempengaruhi. Begitulah persangkaan orang-orang selama satu abad. Bertahun-tahun sejak publikasi temuan itu, akhirnya muncul pandangan baru tentang hubungan antara sistem kekebalan tubuh dan sistem saraf pusat. Bidang yang mempelajari tentang psikoneuroimunologi merupakan ilmu kedokteran yang sangat penting. Sebutan itu mengakui adanya hubungan tersebut: psiko atau pikiran; neuro atau sistem neuroendokrin (yang termasuk golongan sistem saraf dan sistem hormon); imunologi atau sistem kekebalan. Dengan demikian, potensi emosi dalam urusan penyakit memiliki besaran yang cukup ekstensif.
Walaupun banyak hasil penelitian yang menunjukkan pengaruh kanker terhadap kondisi psikologis pasien yang mengalami kondisi distress (dalam hal ini; depresi), Hann dan kawan-kawan (de Groot, 2002) mengungkapkan temuan penelitian dalam skala yang cukup besar bahwa pasien-pasien kanker yang senantiasa memperoleh dukungan sosial ternyata berhubungan positif dengan berkurangnya depresi.
Demikian pula halnya dengan dukungan psikososial yang luas pada penderita kanker payudara. Dukungan ini ini ternyata membantu perbaikan kesehatan dan hubungannya dengan kualitas kehidupan penderita kanker payudara. Bahkan beberapa literatur menyebutkan bahwa (de Groot, 2002) terdapat hubungan konsisten antara dukungan sosial yang rendah dengan penurunan kesehatan fisik dan mental seseorang.
Komunikasi memainkan peranan penting dalam pembentukan rasa percaya diri dan ketegaran seorang penderita kanker. Pada kasus penderitaan payudara (Barnes et. al., 2002), ketika anak-anak diceritakan tentang penderitaan yang dihadapi oleh orang tuanya, ternyata terdapat bukti bahwa level kecemasan orang tua menurun dan komunikasi dalam keluarga mengalami perbaikan yang cukup signifikan.
REFERENSI
de Groot, Janet M., (2002). The Complexity of the Role of Social Support in Relation to the Psychological Distress Associated with Cancer, Journal of Psychosomatic Research, 52, 277 – 278.
Colegrave, S., Holcombe, C., & Salmon, P. (2001). Psychological Characteristics of Women Presenting with Breast Pain, Journal of Psychosomatic Research, 50, 303 – 307.
Barnes, J., Kroll, L., Lee, J., Burke, O., Jones, A., & Stein, A. (2002). Factors Predicting Communication about the Diagnosis of Maternal Breast Cancer to Children, Journal of Psychosomatic Research, 52, 209 – 214.
Goleman, Daniel. (1997). Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional; Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ), Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.