PENULISAN CERITA BERGAMBAR BERBASIS KEARIFAN LOKAL INDONESIA BAGI SISWA SEKOLAH DASAR KELAS RENDAH (7-9 TAHUN)
Ari Ambarwati
Universitas Islam Malang
ABSTRAK
Cerita bergambar adalah cerita yang disajikan dengan ilustrasi tertentu.Saat ini tidak sulit menjumpai buku cerita bergambar untuk anak-anak dengan ilustrasi dan cerita yang menarik, tetapi ilustrasi dan cerita tersebut tidak menampilkan identitas dan karakteristik sosial dan budaya Indonesiasecara tepat.Kearifan lokal Indonesia kerap disebut sebagai sebagai sumber pendidikan karakter baik bagi anak-anak, tetapi bagaimana mewujudkannya menjadi sebuah cerita bergambar bagi anak-anak, khususnya anak SD kelas rendah belum banyak diteliti.Cerita bergambar berbasis kearifan lokal Indonesia dapat menjadi bahan bacaan sekaligus bahan ajar untuk pembelajaran keterampilan berbahasa dan bersastra bagi siswa SD, dalam bingkai ke Indonesiaan yang majemuk.
Kata Kunci: cerita bergambar, kearifan lokal, siswa SD kelas rendah
THE WRITING OF PICTURE STORY BASED ON INDONESIAN LOCAL WISDOM FOR LOW GRADER OF ELEMENTARY SCHOOL (7-9 YEARS OLD)
Ari Ambarwati
Universitas Islam Malang
ABSTRACT
Picture story is the story presented with the attractive illustration. Nowadays, it is not difficult to find the interesting children picture story the book store, but the illustration and the story do not present the Indonesian social and cultural characteristic in the right way. The Indonesian local wisdom is frequently claimed could be the source of Indonesian good characters education for children, but the research how to concrete it in the children picture story, especially for low grader of elementary school, still rarely done. The picture story based on the Indonesian local wisdom could be the reading and teaching source for learning the skill of Indonesian literature and Bahasa Indonesia to the elementary students, in the frame of pluralism of Indonesia.
Key words:picture story, local wisdom, low grader elementary school
1. Hakikat Kearifan Lokal
Kearifan lokal dikonsepsikan sebagai kebijaksanaan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) dan juga kecerdasan setempat (local genious).Ketiga konsep tentang kearifan lokal tersebut bersumber dari pandangan hidup dan sikap perilaku masyarakatnya.Sikap dan pandangan hidup tersebut nampak jelas dalam budaya yang diusung oleh masyarakat pendukungnya.Menurut Alisjahbana sebagai sebuah sistem lambang, budaya berkenaan dengan kompleksitas hayatan, renungan, gagasan, pikiran, pandangan dan nilai yang pada hakikatnya merupakan ekspresi dan eksternalisasi kegiatan budi manusia dalam menjalani, mempertahankan dan mengembangkan hidup serta kehidupannya di dunia (Saryono, 2010:35).Budaya adalah lemari pajang atau etalase hidup bagi kearifan setempat yang dikembangkan oleh sekelompok masyarakat.Dari etalase tersebut dapat diketahui bagaimana konfigurasi, gambaran, pola pandang, sikap hidup serta nilai-nilai yang dikembangkan oleh masyarakat tertentu.
Kebijaksanaan setempat (local wisdom) dapat dipahami sebagai ide atau gagasan setempat yang tertanam, bernilai baik, arif, terwariskan kepada masyarakat secara turun temurun, tahan lama dan melembaga.Kebijaksanaan setempat adalah produk budaya yang dihasilkan di masa lalu dengan memadukan nilai, keyakinan serta kondisi geografis masyarakat setempat.Kebijaksanaan setempat juga bisa dimaknai sebagai identitas sebuah bangsa.Kebijaksanaan setempat tersebut mewujud dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, seperti makanan, tata nilai sosial, nilai ekonomi, arsitektur, sandang, pertanian, kelautan, dan lingkungan. Kebijaksanaan atau kearifan setempat yang bertumpu pada keselarasan alam menghasilkan pertanian model Subak di Bali, rumah adat, batik tulis Jawa yang sarat nilai filosofis, tumpeng, tradisi tana’ ulen yakni pengelolaan tanah (hutan, ladang) dilindungi oleh aturan adat, jamu dan lainnya.
Identitas Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kemajemukan adalah modal dasar pembangunan.Kemajemukan suku, budaya, agama maupun kepercayaan yang dianut harus disampaikan pada siswa bukan saja sebagai pengetahuan tetapi juga mampu menggerakkan siswa untuk mengalami sekaligus menyelami pengalaman bagaimana menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Pelibatan siswa untuk memperoleh pengetahuan sekaligus pengalaman tersebut bisa dilakukan melalui penulisan cerita bergambar berbasis kearifan lokal bagi siswa Sekolah Dasar kelas rendah (1-3), dengan rentang usia tujuh hingga sembilan tahun.
- Cerita Bergambar dan Psikologi Perkembangan Anak
Cerita bergambar merupakan buku berisi cerita yang dilengkapi dengan ilustrasi gambar.Cullinan menyatakan bahwa klasifikasi buku cerita bergambar didasarkan pada formatnya, yakni cerita bergambar menghadirkan cerita melalui kombinasi unik antara teks dan ilustrasi sehingga makna yang disampaikan dalam teks diperluas oleh ilustrasi (1987:29). Gambar atau ilustrasi memandu anak-anak memahami teks cerita dengan lebih baik. Teks cerita yang mudah dipahami dan ilustrasi yang mengandung nilai estetis tertentu dapat menarik perhatian dan minat anak-anak untuk membaca.Anak-anak, seiring perkembangan usia mulai sensitif dan memberi perhatian pada bentuk, pola dan warna.
Buku cerita bergambar juga mendapat perhatian dari anak-anak karena teks cerita yang disampaikan.Anak usia tujuh tahun, yang sudah duduk di bangku kelas satu Sekolah Dasar masih membawa pengaruh perilaku egosentris dari bangku Taman Kanak-kanak. Mereka lebih tertarik dengan diri mereka sendiri, kebutuhan, kepentingan dan keperluan yang berkaitan diri sendiri.Kecenderungan tersebut terbentuk karena pengalaman primer dan mula mereka yang sangat bergantung pada orang tua, rumah dan keluarga masing-masing.Buku yang bisa membantu mereka menjelajahi dunia personal mereka yang unik, menjadi buku yang tepat untuk mereka baca.
Seiring berkembangnya usia dan kemampuan kognitif, sosial dan moral anak-anak, mereka mulai memperluas dunia di luar diri sendiri, keluarga, dan rumah. Mereka mulai melihat teman-teman, sekolah, dan lingkungan sekitar sebagai bagian integral dari relasi timbal balik dan kehidupan mereka.Mereka mulai mengembangkan ketertarikan mereka melampaui hal-hal yang sudah diketahuinya dan menunjukkan perhatiannya pada anak-anak dan orang dewasa di luar lingkungan mereka. Buku cerita yang berkaitan dengan dunia sosial anak-anak akan memenuhi kebutuhan anak-anak usia tujuh hingga sembilan tahun, sesuai dengan perkembangan kognitif, kepentingan dan ketertarikan mereka terhadap dunia di luar diri dan lingkungan anak-anak. Dapat dinyatakan bahwa seni (ilustrasi-gambar), teks cerita, psikologi perkembangan dan ketertarikan anak adalah tiga aspek penting yang harus diolah untuk menuliskan cerita bergambar.
2.1.Perkembangan Bahasa Anak Usia 7-9 Tahun
Linguis Noam Chomsky menyatakan bahwa semua manusia memiliki piranti akuisisi bahasa (language acquisition device) bawaan sejak lahir (Cox, 1988:58).Piranti ini memungkinkan manusia memahami dan memproduksi kalimat yang belum pernah didengar sebelumnya.LAD membuat manusia mampu menghasilkan kalimat yang tidak terbatas jumlahnya dari kata-kata yang terbatas jumlahnya. Manusia secara konstan tidak saja menirukan tuturan orang lain saat balita untuk memproduksi ucapan, tetapi juga menguji hipotesis tentang pemahaman perkembangan bahasa. Membuat kesalahan adalah bagian penting dari proses belajar bahasa karena manusia menguji apa yang sudah diketahuinya tentang bahasa terebut. Anak-anak menunjukkan bagaimana konseptualisasi dasar dan pokok mereka tentang bagaimana seharusnya bahasa bekerja dan berlaku.Dari pemahaman inilah teori Jean Piaget tentang perkembangan bahasa dan kognitif anak-anak lahir. Teori tersebut juga mengantarkan pemahaman bahwa mempelajari bahasa adalah proses aktif, dimana anak-anak membentuk hipotesis baru secara berulang, menguji, dan mengoreksi bahasa mereka sesuai yang diperlukan agar mampu mengontrol bahasa yang mereka kuasai.
Vygotsky mengingatkan bahwa interaksi komunikatif dengan orang lain juga bagian penting dari perkembangan bahasa (Cox, 1988:58). Bayi mendengar bahasa yang digunakan di sekitarnya dan mulai menggunakan bahasa tersebut untuk berkomunikasi seiring bertambahnya usia dan kemampuan kognitifnya. Orang dewasa di sekeliling anak-anak berperan penting mengantarkan bahasa yang sedang mereka pelajari dan memastikan bahwa mereka memahami bahasa tersebut.Orang dewasa harus menyediakan dan mengkondisikan lingkungan dimana anak-anak mau menguji hipotesisi baru mereka tentang struktur bahasa dan mempraktekkannya melalui interaksi sosial yang mendorong mereka menemukan kebutuhan untuk bernegosiasi dan menyusun makna.
Perkembangan bahasa bukan saja merupakan proses aktif dan sosial, tetapi juga proses individual. Secara mendasar, anak-anak di usia lima tahun mengetahui bagaimana menggunakan bahasa yang sudah dipelajarinya, tetapi mereka terus membangun kemampuan mereka menggunakan dan mengontrol bahasa selama belajar di Sekolah Dasar (Loban, 1976:21). Di bangku Sekolah Dasar (SD), anak-anak memiliki pengalaman lebih intensif dengan buku (cetak).Anak-anak SD kelas rendah (1-3) mulai terlibat aktif dengan buku secara individual.Bissex dalam Cox menyebutkan bahwa anak-anak yang dibacakan buku dan membaca buku secara mandiri mengalami kemajuan yang pesat dalam tahapan perkembangan linguistiknya (Cox, 1996:59).Mereka menguasai kosa kata lebih banyak dan mulai mengembangkan kesukaannya membaca dengan menunjukkan minat yang tinggi terhadap beragam jenis dan topik buku bacaan.
Menurut Piaget di usia tujuh hingga sembilan tahun, anak-anak berada pada tahapan operasi konkrit (concrete operations) (Cox, 1996:60). Pada usia tersebut anak-anak sudah mampu menggunakan bahasa simbolik, memahami konsep waktu dan musim, menggunakan kata penghubung dan mengartikulasikan kata dengan benar. Menurut Heather dan Lacey, di SD kelas rendah, anak-anak sudah memiliki daya konsentrasi lebih panjang, memiliki penghargaan akan humor situasi dan verbal, lebih tertarik pada fakta, menjadi pembaca mandiri, tumbuh menjadi penulis mandiri, dan melanjutkan keterampilan berbahasanya (1988:33). Pada masa ini anak-anak sudah memiliki kebutuhan untuk menjelajahi dunia yang lebih luas di sekitarnya, maka pengenalan dan pengetahuan tentang kearifan lokal Indonesia bisa dimulai.
3. Penulisan Cerita Bergambar Berbasis Kearian Lokal
Cerita bergambar dapat dibuat untuk kepentingan pembelajaran tematik integratif sekaligus melatihkan apresiasi sastra kepada anak-anak.Pengajaran berbasis sastra di sekolah, beberapa tahun terakhir ini, menjadi isu menarik yang penting untuk dicermati.Beberapa sastrawan kondang Indonesia, seperti Taufik Ismail menginisiasi gerakan “Sastrawan Masuk Sekolah”.Gerakan tersebut berusaha mendekatkan dunia sastra dengan anak sekolah, khususnya mereka yang ada di jenjang SMP dan SMU.Indonesia memiliki sastrawan handal yang karyanya melampaui batasan waktu dan zaman sehingga layak untuk dibaca oleh siswa.Wajah manusia Indonesia berikut segala problematikanya muncul dalam sastra dan dapat digunakan sebagai referensi bagaimana memperlakukan manusia Indonesia dan menjalani laku kehidupan sebagai manusia Indonesia dalam bingkai keIndonesiaan yang majemuk.
Penulisan cerita bergambar berbasis kearifan lokal bagi siswa SD kelas rendah dapat dilakukan untuk mengenalkan konsep kearifan lokal Indonesia yang beragam.Wujud kearifan lokal yang muncul dalam cerita bergambar hendaknya bisa dan ditemui siswa dalam kehidupannya sehari-hari.Anak-anak yang tinggal di wilayah pesisir tentu mendapatkan cerita bergambar yang berbeda cerita sekaligus ilustrasi yang berbeda pula.Bagaimana mengembangkan penulisan cerita bergambar berbasis kearifan lokal yang sesuai dengan konteks kehidupan anak-anak?Mari cermati hal-hal sebagai berikut.
1. Lingkungan terdekat: Lingkungan yang paling dekat dengan anak harus menjadi pertimbangan utama dalam sebelum menulis cerita bergambar berbasis kearifan lokal. Anak-anak bisa jadi sering diajak bepergian ke luar daerahnya, tetapi lingkungan terdekatlah yang paling dikenali dan dipahami anak-anak. Lingkungan terdekat membentuk pola sikap, perilaku, pola pikir, budaya dan bahasa anak-anak. Identifikasikan benda-benda, kekayaan alam, budaya, dan tata nilai setempat dengan cermat.
2. Bahasa daerah/setempat: Bahasa mengonstruk pola pikir manusia. Menyelipkan kosa kata bahasa daerah yang dekat dan dikuasai anak ke dalam teks cerita bergambar, berikut pelafalannya dalam bahasa Indonesia dapat membuat anak ikut ‘terlibat’ dalam cerita tersebut. ‘Keterlibatan’ tersebut penting bagi anak karena mereka tidak saja mendapatkan pajanan suara atau pelafalan suatu kata diucapkan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga pengalaman membaca kosa kata cetak dalam cerita bergambar mengukuhkan pemahaman mereka bahwa orang lain (dalam cerita tersebut) juga memiliki pengalaman yang sama.
3. Sosok tokoh dalam gambar: Tokoh animasi dunia yang menciptakan bermacam karakter kartun, Walt Disney, menggambar ratusanversi karakter kartun yang berbeda untuk satu karakter yang sama. Ia menyebar gambar berbagai versi karakter kartun pada anak-anak untuk mendapatkan karakter kartun yang paling disukai anak. Penulis dan illustrator cerita bergambar berbasis kearifan lokal sudah saatnya mengintepretasikan sosok tokoh cerita dalam gambar bersama anak-anak, sehingga menghindari tafsir tunggal yang hanya disukai penulis dan illustrator tetapi tidak disukai oleh anak-anak.Penampilan sosok tokoh tersebut juga harus dekat dengan anak-anak, seperti Unyil dengan sarungnya, Lupus kecil dengan rambut berjambul, dan Ipin-Upin dengan kepala pelontos dan wajah riang mereka.
4. Amanat atau pesan jelas: Penulis cerita anak seringkali merasa memiliki kewajiban harus mampu mengubah perilaku dan sikap anak-anak setelah mereka membaca buku cerita. Pesan yang ingin disampaikan penulis dalam menulis cerita berbasis kearifan lokal haruslah bersumber pada nilai kearifan lokal setempat yang sudah dapat diidentifikasi anak-anak, seperti makanan atau kudapan, kebiasaan bekerja bakti, mengantar makanan pada tetangga saat ada pesta di rumah, atau melakukan ritual budaya tertentu.
5. Kesesuaian gambar dengan teks cerita: Ilustrator dan penulis cerita anak sebaiknya duduk bersama untuk mendiskusikan tampilan cerita bergambar yang akan mereka hasilkan. Diskusi tersebut juga harus memperhatikan karakter budaya setempat sehingga mampu ditampilkan dalam cerita bergambar yang sesuai dengan tingkat perkembangan koginitif dan bahasa anak-anak usia SD kelas rendah.
6. Simpulan
Cerita bergambar berbasis kearifan lokal dapat digunakan sebagai media pembelajaran bahasa dan sastra bagi anak Sekolah Dasar kelas rendah. Cerita bergambar tersebut perlu dibuat untuk mengenalkan kearifan lokal yang dimiliki oleh Indonesia sebagai upaya melestarikan keraifan lokal kepada anak-anak dengan cara yang simpatik. Penulisan cerita bergambar berbasis kearifan lokal dibuat dengan memperhatikan lima aspek utama yakni lingkungan terdekat, bahasa setempat atau bahasa daerah, sosok tokoh dalam gambar, amanat atau pesan jelas, dan kesesuaian gambar dengan teks cerita.
Selain lima aspek utama tersebut di atas, penulisan cerita bergambar harus mempertimbangkan tahapan perkembangan bahasa anak. Bahasa yang dimengerti anak-anak sesuai dengan tahapan perkembangannya akan memudahkan mereka mengaitkan cerita dan gambar dengan pengalaman yang meraka alami sehari-hari. Pelibatan pengalaman tersbut menjadi penting bagi anak-anak karena mereka mendapatkan pengalaman serupa atau bahkan berbeda dengan tokoh dalam cerita sehingga mereka dapat mengembangkan pengetahuan mereka terhadap dunia di luar diri dan lingkungan sehari-hari.
DAFTAR RUJUKAN
Cox, Carole. 1988. Teaching Language Arts. California State University, Long Beach.
Cullinan, B. (Ed). 1987: Literature in the Reading Programme. Newark, DE. International Reading Association.
Chatfield, Heather dan Shirley Lacey. 1988. Let’s Read: A Literature Program for Primary Schools. Melbourne: Longman Cheshire.
Loban, W. 1976: Language Development: Kindergarten through Grade Twelve. Urbana, IL: National Council of Teachers of English.
Saryono, Djoko. 2010:Menafsir Puitika Indonesia Menemu Tilas Budaya Jawa. Malang: A3.