Problematika Penerapan Kurikulum IPS Materi Sejarah Di SMP Piri Ngaglik Sleman
Oleh: Aman (Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FISE UNY)
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan kegiatan
belajar mengajar selama ini; mengetahui problematika dalam penerapan kurikulum IPS materi sejarah di SMP Piri Ngaglik Sleman. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengungkap berbagai informasi kualitatif dengan deskripsi-analisis yang teliti dan penuh makna. Pada tiap-tiap obyek akan dilihat kecenderungan, pola pikir, ketidakteraturan, serta tampilan perilaku dan integrasinya sebagaimana dalam studi ini genetik. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi interpretif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan kurikulum IPS materi sejarah di SMP Piri Ngaglik Sleman selama ini belum menunjukkan dinamika yang berarti baik secara substansi maupun teknis. Pembelajaran diselenggarakan sebatas untuk mencapai tujuan instruksional, sedangkan tujuan penyerta yang lebih penting masih terabaikan. Dalam hal ini, terdapat beberapa faktor yang menjadi kendala dalam implementasi kurikulum IPS untuk materi sejarah yakni: kompetensi guru IPS, materi pelajaran sejarah, metode pembelajaran, sarana pendukung, budaya akademik, sikap dan motivasi belajar siswa.
Kata Kunci: kurikulum, IPS, sejarah.
A. Pendahuluan
Dalam rangka pengembangan pengajaran IPS materi sejarah agar lebih fungsional dan terintegrasi dengan berbagai bidang keilmuan lainnya, maka terdapat berbagai bidang yang seyogianya mendapat perhatian, yaitu: pertama, untuk menjawab tantangan masa depan, kreativitas dan daya inovatif diperlukan agar bangsa Indonesia bukan sekedar manjadi konsumen IPTEK, konsumen budaya, maupun penerima nilai-nilai dari luar secara pasif, melainkan memiliki keunggulan kompetitif dalam hal penguasaan IPTEK. Oleh karenanya, kreativitas perlu dikembangkan melalui penciptaan situasi proses belajar mengajar yang kondusif di mana guru mendorong vitalitas dan
kreativitas siswa untuk mengembangkan diri. Siswa perlu diberi kesempatan
1 Dr. Aman, M.Pd. pengajar tetap pada Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu
Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta, HP. 085228890259.
untuk belajar dengan daya intelektualnya sendiri, melalui proses rangsangan- rangsangan baik yang berupa pertanyaan-pertanyaan maupun penugasan, sehingga siswa dapat melihat suatu hal dari berbagai sudut pandang dan dapat menemukan berbagai alternatif pemecahan masalah yang dihadapi.
Kedua, siswa akan dapat mengembangkan daya kreativitasnya apabila proses belajar mengajar dilaksanakan secara terencana untuk meningkatkan dan membangkitkan upaya untuk kompetitif. Oleh karena itu, proses belajar mengajar yang memberi peluang kepada siswa untuk menyelesaikan tugas secara kompetitif perlu disosialisasikan, kemudian juga perlu adanya penghargaan yang layak kepada mereka yang berprestasi. Hal ini akan berdampak positif terhadap terbentuknya rasa percaya diri pada siswa. Pada gilirannya, pengalaman ini selanjutnya dapat menjaga proses pembentukan kemandirian. Dalam hal ini siswa juga perlu dilibatkan dalam proses belajar mengajar yang memberikan pengalaman bagaimana siswa bekerja sama dengan siswa yang lain seperti dalam hal berdiskusi, membuat artikel kelompok, pengamatan, wawancara, dan sebagainya untuk dikerjakan secara kelompok. Pengalaman belajar seperti ini selanjutnya akan dapat membentuk sikap kooperatif dan ketahanan bersaing dengan pengalaman nyata untuk dapat menghargai segala kelebihan dan kelemahan masing-masing.
Ketiga, dalam proses pengembangan kematangan intelektualnya, siswa perlu dipacu kemampuan berfikirnya secara logis dan sistematis. Dalam proses belajar mengajar, guru harus memberi arahan yang jelas agar siswa dapat memecahkan suatu persoalan secara logis dan ilmiah. Oleh karena itu siswa perlu dilibatkan secara aktif dalam proses belajar mengajar melalui pemberian tugas. Tugas tidak terlalu berat tetapi dapat memacu daya berfikir siswa. Salah satu aspek yang penting adalah bagaimana siswa dapat terlatih berpikir secara deduktif-induktif. Artinya, dalam proses belajar mengajar siswa perlu diarahkan sedemikian rupa sehingga siswa dapat mempelajari materi pelajaran melalui pengalaman. Dengan cara seperti ini mereka dapat secara langsung dihadapkan pada suatu realita di lapangan. Seperti halnya siswa disediakan mata pelajaran yang bersifat khusus yang memberikan
pengalaman, berdiskusi, penelitian, yang diarahkan untuk menarik kesimpulan baik deduktif maupun induktif.
Keempat, siswa harus diberi internalisasi dan keteladanan, dimana siswa dapat berperan aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Fenomena ini dalam hal-hal tertentu dapat membentuk semangat loyalitas, toleransi, dan kemampuan adaptabilitas yang tinggi. Dalam hal pendekatan ini perlu diselaraskan dengan kegiatan proses belajar mengajar yang memberi peluang kepada mereka untuk berprakarsa secara dinamis dan kreatif. Dengan demikian akan tercapai kualitas proses dan hasil belajar yang berorientasi pada pencapaian tujuan yang jelas, dengan melibatkan siswa secara maksimal melalui berbagai kegiatan yang konstruktif, sehingga pengalaman tersebut dapat mengantar siswa dalam suatu proses belajar yang kondusif dan kreatif.
Dengan demikian penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan, mengingat pencapaian tujuan kurikulum IPS materi sejarah sangat jelas yakni menyangkut kecakapan akademik, kecakapan sosial, dan kecakapan personal. Selanjutnya penelitian ini mengkaji tentang problematika dalam implementasi kurikulum sejarah di Sekolah Menengah Pertama dalam hal ini di SMP Piri Ngaglik Sleman. Masalah yang diajukan adalah mengenai bagaimana perkembangan pembelajaran IPS materi sejarah di SMP Piri Ngaglik Sleman selama ini, dan apa kendala-kendala dalam penerapan kurikulum materi IPS sejarah di SMP Piri Ngaglik Sleman.
B. Metode Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, yang lebih mengutamakan pada masalah proses dan makna/persepsi, maka jenis penelitian dengan strateginya yang cocok dan relevan adalah penelitian kualitatif deskriptif. Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengungkap berbagai informasi kualitatif dengan deskripsi-analisis yang teliti dan penuh makna, yang juga tidak menolak informasi kuantitatif dalam bentuk angka maupun jumlah. Pada tiap-tiap obyek akan dilihat kecenderungan, pola pikir,
ketidakteraturan, serta tampilan perilaku dan integrasinya sebagaimana dalam studi ini genetik.
Dengan mengenal dan memahami karakter penelitian kualtatif, dapat mempermudah peneliti dalam mengambil arah dan jalur yang tepat dalam mengumpulkan data, menganalisis maupun mengembangkan laporan penelitian. Studi ini didasarkan pada teknik-teknik yang sama dalam kelaziman yang berlaku pada strategi historis-kritis, tetapi dengan menambah dua sumber bukti yang signifikan yaitu observasi langsung dan wawancara sistemik. Meskipun studi ini dan historis-kritis terjadi tumpang tindih, tetapi kekuatan yang unik dari studi ini adalah kemampuan untuk berkomunikasi dengan beragam sumber.
Secara sistematis, penelitian kualitatif ini mempunyai karakteristik pokok sebagai berikut: Pertama, riset kualitatif mempunyai latar alami karena yang merupakan alat penting adalah adanya sumber data yang langsung dari perisetnya, maksudnya data dikumpulkan dari sumbernya langsung, dan peneliti merupakan instrumennya; kedua riset kualitatif ini bersifat deskriptif; ketiga periset kualitatif lebih memperhatikan proses dan produk yang bermakna; keempat, periset kualitatif cenderung menganalisa datanya secara induktif, maksudnya data yang dikumpulkan bukanlah untuk mendukung atau menolak hipotesis, tetapi abstraksi disusun sebagai kekhususan yang telah terkumpul dan dikelompokan bersama; kelima, “makna” merupakan soal esensial perhatian utamanya.
C. Dinamika Kurikulum Sejarah
Dalam perkembangan sejarahnya, kurikulum sejarah belum mandapat porsi yang signifikan untuk dikembangkan menjadi kurikulum yang berbasis ilmu pengetahuan dan nilai. Oleh karena itu, indikator utama nation building yang ingin dicapai melalui pembelajaran sejarah menjadi bias jika tidak mau dikatakan gagal. Nation hood yang manjadi salah satu indikator nation building sudah tercerabut dari makna yang sesungguhnya. Bahkan banyak sejarawan yang secara frontal berteori bahwa pemerintah dan rakyat tidak
pernah mau belajar dari sejarah (Djoko Suryo, 2005: 4). Dampaknya, nationalism, nation hood dan seluruh inti nation building hanya berada di atas kertas saja, dan jauh dari realita yang sesungguhnya. Liberalisme telah merobek-robek sistem kemanusiaan, dan menjadikannya manusia Indonesia menjadi “budak teknologi” yang mengesampingkan prinsip-prinsip humanisme. Dengan perkataan lain, pembelajaran sejarah telah gagal dalam membentuk karakter bangsa.
Pada tahun 1945-1951, Sekolah Menengah menggunakan kurikulum warisan jaman Hindia Belanda (Asvi Warman Adam, 2005). Dampak dari penerapan kurikulum tersebut, maka pembelajaran sejarah berpola Eropa centris yang menjauhkan peserta didik dari prinsip-prinsip nation hood. Oleh karena itu, sejarah nasional yang diajarkan adalah sejarah orang-orang besar dan sejarah pemerintahan Belanda di Indonesia. Pengajaran sejarah kurang menampilkan peran sejarah orang-orang kecil atau peran rakyat yang turut memberikan nuansa terhadap dinamika sejarah bangsa. Namun demikian bukan berarti bahwa pembelajaran sejarah harus bercorak Indonesia-centris yang mengabaikan objektivitas kajian sejarah, melainkan tetap berprinsip pada paradigma objektivitas ilmu sejarah (MT. Aripin, 2005).
Pada tahun 1952, kurikulum sejarah berubah lagi menjadi kurikulum berbasis ilmu pengetahuan. Namun karena dianggap kurang memperhatikan aspek keterampilan siswa, dan bahkan dinilai terlalu bernuansa akademis, maka kurikulum ini pun tidak berlangsung lama. Kemudian pada tahun 1964, di mana kurikulum sejarah sangat sarat dengan nuansa politis, kurikulum sejarah menjadi semakin kaku. Kurikulum gaya “terpimpin” ini dijadikan ajang legitimasi kebijakan politik penguasa, yang berujung pada pembenaran- pembenaran sepihak terhadap teori kepemimpinan yang diterapkannya. Dengan demikian, maka kurikulum pendidikan sejarah tidak dapat mencapai sasaran yang sesungguhnya.
Pada masa awal Orde Baru, kurikulum sejarah berubah lagi yakni dengan menerapkan kurikulum 1968. Kurikulum ini juga tidak terlepas dari muatan politik, meskipun sistem pendidikan sudah diarahkan untuk
memperkuat keyakinan beragama. Pada kurikulum 1975, materi pendidikan sejarah dijiwai oleh moral Pancasila, dan menekankan pentingnya nilai-nilai
1945 bagi generasi penerus bangsa (Warman Adam, 2005). Kurikulum berbasis demokrasi ini juga hanya bartahan sembilan tahun, dan kemudian diganti dengan kurikulum 1984. Dalam kurikulum 1984, ditegaskan bahwa sektor pendidikan harus mendukung pembangunan bangsa di segala bidang.
Kurikulum sejarah tidak hanya menggariskan sejarah nasional dan dunia saja, tetapi juga secara terpisah dan khusus diselenggarakan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Tujuan diajarkannya PSPB adalah agar peserta didik meyakini bahwa: 1) penjajahan Belanda menyebabkan kemiskinan dan penderitaan di kalangan rakyat Indonesia; 2) kebenaran cara- cara yang dilakukan para pahlawan bangsa dalam mengusir penjajahan; 3) pemaksaan PKI untuk menghancurkan NKRI melalui aksi-aksi sepihak; 4) kesatuan-kesatuan aksi melawan PKI didorong dengan prinsip membela kebenaran dan keadilan; 5) Orde Baru mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat (Sunardi, 2001: 1). Kurikulum 1984 bertahan selama 10 tahun dan digantikan dengan kurikulum 1994.
Diterapkannya kurikulum 1994, bukan berarti permasalahan materi pelajaran sejarah selesai, melainkan justru permasalahan menjadi semakin kompleks. Kurikulum ini sarat dengan berbagai pengetahuan yang lebih makro, sehingga untuk situasi mikro bagi Indonesia dianggap kurang relevan. Kurikulum sejarah dengan nama Sejarah Nasional dan Dunia, di samping membahas sejarah nasional yang teramat luas, juga membahas sejarah dunia yang diakronismenya sangat panjang. Dalam kondisi ini, guru-guru sejarah mengeluh karena materi ajar terlampau banyak, sementara porsi waktu yang disediakan sangat terbatas, dianggap tidak cukup untuk membahas secara mendalam. Materi juga akhirnya kurang menarik karena hanya dapat disajikan sekilas-sekilas saja, sehingga tuntutan untuk menanamkan sikap kritis di kalangan peserta didik menjadi kabur (MT. Aripin, 2005). Pendidikan sejarah semakin kehilangan arah dan tujuan, sehingga menyisakan banyak permasalahan yang tidak harmonis bagi dinamika kependidikan di Indonesia.
Akhirnya ketika arus reformasi muncul, dan memberi kritik yang cukup keras terhadap sejarah resmi Orde Baru, guru dan siswa menjadi bingung, mengikuti informasi dari buku, koran, atau media massa lain yang masih nampak sarat dengan berbagai kepentingan.
Pada tahun 1999, di mana diterapkan adanya suplemen tambahan dan revisi untuk kurikulum 1994, maka muatan sejarah yang diakronisnya terlampau panjang seperti pada materi tentang peradaban Amerika Latin dan perbandingannya dengan Yunani dan Romawi ditiadakan. Di samping itu sebagai penjabaran dari kurikulum, buku-buku sejarah yang diterbitkan dan mengacu pada suplemen GBPP 1999, maka banyak terdapat koreksi, dimana misalnya pembahasan mengenai G30S/PKI, nama PKI di belakang G30S hilang, yang ada hanya G30S. Dalam pembahasannya, tidak disebutkan bahwa PKI bersalah sebagai dalang G30S, melainkan bahwa dalam peristiwa tersebut ada beberapa kelompok yang bertanggung jawab, seperti PKI sendiri, Soekarno, Soeharto, Angkatan Darat, dan CIA Amerika Serikat. Namun ini juga bukan berarti bahwa PKI pasti tidak bersalah atau bukan dalang G30S. Kenyataan yang sesungguhnya masih memerlukan kajian kritis sampai ditemukannya fakta yang kuat seputar peristiwa tersebut (Sardiman AM,
2005).
Pada saat reformasi sudah berjalan sekitar lima tahun, Direktorat Sejarah dan Pusat Kurikulum Depdiknas bersama para pakar sejarah menyusun Kurikulum Berbasis Kompetensi, yang kemudian berganti nama menjadi Kurikulum 2004. Kurikulum sejarah 2004 lebih maju, menunjukkan objektivitas dan prinsip-prinsip keadilan. Kurikulum 2004 bukan hanya membahas materi sejarah sebagai “pelipur lara” dan menonjolkan peran dominan kelompok saja, melainkan membahas secara lebih luas dan komprehensif peristiwa-peristiwa nasional. Berbagai gerakan dan pemberontakan ditinjau dari berbagai perspektif yang lebih luas dan bernuansa. Dalam materi yang masih sangat krusial, peserta didik ditampilkan aneka pendapat seputar peristiwa, dampak sosial politik dari peristiwa tersebut, dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengajukan
pemikirannya sendiri seputar peristiwa-peristiwa sejarah nasional(MT.Aripin,
2005).
Dalam kurikulum baru yang masih sedang dirancang sebagai perbaikan dan pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi, maka kurikulum sejarah juga didesain lebih baik dan mudah dilaksanakan. Dengan demikian diharapkan tidak terjadi kebingungan di kalangan guru dalam melaksanakan kurikulum sejarah di sekolah. Bahkan diharapkan guru mampu mengembangkan kurikulum sejarah melalui proses persepsi dan partisipasi yang positif terhadap eksistensi kurikulum, sehingga guru menjadikan kurikulum tersebut sebagai sumber belajar yang memerlukan profesionalitas guru dalam implementasinya.
Perkembangan terakhir adalah diterapkannya kurikulum 2006 dengan baju KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang menyisakan banyak masalah terkhusus untuk mata pelajaran sejarah. Dalam konteks KTSP, setiap sekolah termasuk guru memiliki kewenangan untuk mengembangkan kurikulum, sehingga standar kurikulum atau isi mengacu pada Standar Nasional Pendidikan. Artinya bahwa sekolah harus menetapkan standar setidak-tidaknya sesuai dengan standar nasional. Tentunya lebih baik apabila standar yang ditetapkan daerah maupun sekolah di atas standar nasional, sehingga kemungkinan tercapainya standar nasional akan lebih besar. Untuk mata pelajaran sejarah yang materinya masih banyak yang kontroversif, maka pengembangan materi pembelajaran sejarah oleh sekolah dan guru jadi terhambat karena ketakutan dalam mengambil kesimpulan sehingga pembelajaran untuk materi kontroversif menjadi terhambat.
D. Pembelajaran Sejarah dan Hakikat IPS
Edward Hallet Carr (Maarif, 2006: 41) menjelaskan bahwa“ History is a continuous process of interaction between the historian and the his facs, and unending dialogue between the present and the past”. (Sejarah adalah sebuah proses interaksi tanpa henti antara sejarawan dan fakta-faktanya, sebuah dialog yang tak berujung antara masa sekarang dan masa lampau). Sejarah
mencerminkan nilai kemasakinian dan nilai kemasakinian dari sejarah itu adalah semangat yang sebenarnya berasal dari kepentingan mempelajari sejarah. Hanya melalui memproyeksikan peristiwa masa lampau ke masa kini maka kita baru akan dapat berbicara tentang makna edukatif sejarah. Dalam kemasakinianlah masa lampau itu benar-benar masa lampau yang penuh makna, the meaningful of past dan bukan masa lampau yang mati dan final, the final and dead of past.
Pembelajaran sejarah di sekolah, dilaksanakan dalam rangka untuk mencapai sasaran hasil pembelajaran yaitu academic skill (kecakapan akademik), historical consiousness (kesadaran sejarah), dan nationalism (nasionalisme), yang tentu harus dilandasi oleh kualitas proses pembelajaran yang memadai. Secara umum pembelajaran sejarah bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik, dan menyadarkan peserta didik untuk mengenal diri dan lingkungannya, serta memberikan perspektif historikalitas. Sejarah mengajarkan apa yang tidak dapat di lihat, untuk memperkenalkan kita pada penglihatan yang kabur sejak kita lahir. (Wineburg, 2006: 7).
Pertama, pembelajaran sejarah dalam rangka pengembangan academic skill ada tiga yaitu, mengajarkan konsep, mengajarkan keterampilan intelektual, dan memberikan informasi kepada peserta didik. Adapun langkah- langkah memahami pelajaran sejarah secara bermakna ada lima langkah yakni: pre-structural, uni-structural, multi-structural, relational, dan ektended (Ian Phillips, 2008: 17). Kecakapan ini diawali dengan tahap yang sifatnya sederhana sampai pada level yang sifatnya kompleks berupa kemampuan berpikir orisinil. Dimensi academic skill menurut Parinas, mencakup pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan meta-kognitif.
Kedua, kesadaran sejarah. Pembelajaran sejarah memiliki fungsi yang sangat fundamental yakni untuk menciptakan kesadaran nasional yang pada gilirannya memperkokoh solidaritas nasional. Sehubungan dengan itu pelajaran sejarah nasional amat strategis fungsinya bagi pembentukan kesadaran sejarah. Tanpa sejarah orang tidak akan mampu membangun ide-ide tentang konsekuensi dari apa yang dia lakukan dalam realitas kehidupannya
pada masa kini dan masa yang akan datang, dalam sebuah kesadaran historis. Dalam kaitan ini, Collingwood (Maarif, 2006: 38) sejarawan Inggris menyatakan sebagai berikut:
“…knowing your self means knowing that you can do; and since nobody knows what he can do untul he tries, the only clue to what man can do is what man has done. The value of history, then, is that it theachs us what man has done and then what man is…”
Dalam hal ini, mengenal diri sendiri itu berarti mengenal apa yang dapat seseorang lakukan, dan karena tidak seorang pun mengetahui apa yang bisa dia lakukan sampai dia mencobanya, maka satu-satunya kunci untuk mengetahui apa yang dia bisa perbuat seseorang adalah apa yang telah diperbuat. Nilai dari sejarah adalah bahwa sejarah telah mengajarkan tentang apa yang telah manusia kerjakan, dan apa sebenarnya manusia itu. Kemampuan seseorang untuk melaksanakan tugas tertentu akan mewujudkan perilaku yang diharapkan bisa menyelesaikan tugas kehidupan dengan baik (Michael Armstrong dan Helen Murlis, 2003: 50).
Ketiga, menanamkan sikap nasionalisme. Permendiknas No 22 Tahun
2006 merumuskan bahwa mata pelajaran sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Materi sejarah mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik; memuat khasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa, termasuk peradaban bangsa Indonesia. Pembelajaran sejarah sebagai sarana pendidikan bangsa, terutama dalam aplikasi sejarah normatif, memiliki tujuan, substansi, dan sasaran pada segi-segi yang bersifat normatif (Djoko Suryo (2005: 3). Pendekatan pembelajaran sejarah yang menekankan pada student centered, reflective learning, active learning, enjoyble dan joyful learning, cooperative learning, quantum learning, learning revolution, dan contectual learning, tentu akan menumbuhkan semangat nasionalisme dan integrasi nasional, terutama jika
menggunakan pendekatan yang cocok yakni pendekatan multiperspektif dan multikultural (Wiriaatmadja, 2004: 62).
Hans Kohn, seorang sejarawan yang cukup terkenal dan paling banyak karya tulisnya mengenai nasionalisme, memberikan terminologi yang sampai saat ini masih tetap digunakan secara relevan dalam pembelajaran di sekolah, yakni: “nationalism is a state of mind in which the supreme loyalty of individual is felt to be due the nation state”. Bahwa nasionalisme merupakan suatu faham yang memandang bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan (A Daliman, 2006: 53). Semangat nasionalisme dalam negara kebangsaan dijiwai oleh lima prinsip nasionalisme, yakni: 1) kesatuan (unity), 2) kebebasan (liberty, freedom, independence), 3) kesamaan (equality), 4) kepribadian (personality) dan identitas (identity), 5) prestasi (achievement) (Sartono Kartodirdjo, 1999: 7-8).
Keberhasilan program pembelajaran selalu dilihat dari hasil belajar yang dicapai. Sebenarnya evaluasi pembelajaran memerlukan data tentang pelaksanaan pembelajaran dan tingkat ketercapaian tujuannya. Evaluasi pembelajaran seringkali hanya didasarkan pada penilaian aspek hasil belajar, sementara kualitas proses pembelajaran yang berlangsung jarang tersentuh kegiatan penilaian. Fokus penilaian adalah individu, sedang fokus evaluasi adalah kelompok (Mardapi, 2005: 2). Komponen evaluasi program yang sifatnya kelompok terhadap kualitas pembelajaran mencakup kinerja guru, materi pembelajaran, metode, sarana, suasana kelas, sikap siswa, dan motivasi dalam belajar sejarah. Berdasarkan permasalahan itulah maka diperlukan penelitian pengembangan model evaluasi program pembelajaran sejarah di SMA yang fokusnya adalah sasaran evaluasi proses dan hasil belajar sejarah di SMA.
Sedangkan esensi atau hakekat IPS (social studies) adalah sebagai pengetahuan yang mengkaji hubungan antara manusia (human relationship) dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, dengan menggunakan ilmu politik, ekonomi, sejarah, geografi, sosiologi, antropologi, hukum, budaya maupun psikologi sebagai sumbernya. Hubungan
antara manusia mencakup hubungan individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, serta kelompok dengan lingkungan alam. Istilah kelompok diartikan kelompok menurut makna sosial, ekonomis, politis maupun budaya. Dalam pelaksanaannya, kegiatan pembelajaran IPS membahas manusia dengan lingkungannya, dari sudut ilmu politik, ekonomi, antropologi, budaya pada masa lampau, sekarang dan masa mendatang, pada lingkungan yang dekat dan yang jauh. Objeknya berupa pusat-pusat kegiatan hidup manusia. Sumber bahan IPS diseleksi dari ilmu-ilmu sosial sebagai mana tersebut di atas dan dalam penyajiannya dimodifikasi dan disederhanakan untuk disesuaikan dengan tingkat perkembangan psikologis siswa SD, SMP dan SMP. Penyederhanaan mengandung makna: a) menurunkan tingkat kesulitan ilmu-ilmu sosial yang biasanya dipelajari di pendidikan tinggi, menjadi pelajaran yang sesuai dengan kematangan berfikir para siswa sekolah dasar dan lanjutan; b) mempertautkan dan memadukan bahan yang berasal dari aneka cabang ilmu-ilmu sosial sehingga menjadi bahan pelajaran yang mudah dicerna oleh siswa sekolah dasar maupun sekolah lanjutan (Widoyoko, 2007).
E. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Data Umum Penelitian
Eksistensi Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) Yogyakarta, lahir dari Gerakan Ahmadiyan Indonesia (GAI) aliran Lahore yang diprakarsai oleh H. Minhadjurrahman Djojosugito yang pada akhirnya beliau dianggap sebagai peletak dasar Yayasan Piri. Adapun maksud dan tujuan didirikannya Yayasan Piri sebagaimana termaktub dalam Anggaran Dasar Yayasan Piri Pasal 4 yakni: ”Untuk menegakkan kedaulatan Tuhan agar umat manusia di Indonesia mencapai keadaan jiwa (state of mind), atau kehidupan batin (inner life) yang disebut salam atau damai”. Nampak jelas bahwa tujuan berdirinya yayasan ini sangat sarat dengan nuansa keIslaman, dan sebagai upaya pengembangan dakwah sesuai dengan prinsip-prinsip serta keyakinannya.
Dalam upaya mewujudkan tujuan tersebut, maka diupayakan berbagai cara dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, dengan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dan menjadi pedoman Yayasan Piri, yakni bertujuan untuk: membentuk manusia susila yang berjiwa cinta kasih dan berbakti kepada Allah swt, dan utusan-Nya nabi Muhammad saw, baik dalam bentuk ketaatannya maupun pembelaannya; dan membantu warga negara yang demokratis, yang berbakti kepada Allah swt, bertanggungjawab atas kebahagiaan dan keselamatan lahir dan batin (AD/ART Pasal 3, ayat 1a dan
1b).
Salah satu lembaga pendidikan yang didirikan oleh Yayasan Piri adalah jenjang SLTP dan salah satunya adalah SMP Piri Ngaglik Sleman. Dalam perkembangannya, SMP Piri mengalami pasang surut terutama menyangkut jumlah siswa. Saat ini, kepala SMP Piri adalah Drs. Ali Arie Susanto. Beliau dengan gigih mengembangkan SMP Piri hingga sekarang ini jumlah siswa SMP Piri mencapai tingkat yang signifikan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sekarang ini, jumlah siswa SMP Piri ada
409 siswa dimana 275 adalah siswa laki-laki, dan 134 orang adalah siswa perempuan. Rinciannya adalah baik kelas 1, 2, maupun 3, masing-masing memiliki 4 kelas dimana kelas I berjumlah 148 siswa, kelas II 124 siswa, dan kelas III berjumlah 137 siswa.
Fasilitas yang dimiliki oleh SMP Piri Ngaglik Sleman belum cukup memadai meskipun secara umum telah memiliki sarana penunjang yakni secara umum meliputi bangunan mesjid, gedung utama, taman, perpustakaan, dan laboratorium komputer. Dalam upaya menunjang peningkatan mutu di sebuah sekolah, SMP Piri Ngaglik Sleman terus berupaya menambah sarana dan prasarana pendidikan, antara lain menambah alat-alat perpustakaan IPA, buku-buku perpustakaan, alat keterampilan, komputer, foto grafis, sablon, dan lain-lain. Dengan harapan agar setelah lulus siswa dapat mandiri dengan bekal yang telah diterimanya dimasa sekolah, apabila mereka tidak melanjutkan ke sekolah lanjutan atas.
Berdasarkan hasil observasi tim peneliti, lingkungan fisik kelas baik ruangan maupun lingkungan sekitar belum sepenuhnya mendukung. Salah satu indikatornya adalah lokasi sekolah untuk kegiatan pembelajaran berada dekat jalan yang ramai dilalui kendaraan sehingga kebisingan jalan raya sangat mengganggu aktivitas belajar mengajar. Sedangkan sarana dan prasarana kelas juga belum cukup memadai, karena di setiap kelas meskipun sudah disediakan alat Bantu kelengkapan kelas, dan sekolah juga memiliki LCD beserta perangkatnya yang dapat dipakai untuk kegiatan pembelajaran, namun tingkat penggunaannya masih sangat minim.
Sedangkan masalah sumber belajar yang tersedia baik di sekolah maupun perpustakaan atau perpustakaan masih sangat terbatas. Perpustakaan belum memiliki cukup sumber belajar untuk peningkatan kualitas pembelajaran. Oleh karena itu, ketika siswa diminta untuk mencari sumber- sumber belajar, maka rata-rata siswa merasa kesulitan untuk mendapatkannya, sehingga harus mencari di luar sekolah, karena di sekolah juga sumber- sumber yang berkaitan dengan mata pelajaran IPS Sejarah masih sangat terbatas. Begitu pula dengan media pembelajaran yang masih terbatas kuantitasnya, sehingga tidak setiap guru dapat menggunakan alat dan media dalam waktu yang sama, karena digunakan oleh guru lain. Begitu pula dengan kepemilikan sumber oleh siswa masih sangat rendah jika tidak mau dikatakan miskin sumber.
Siswa menganggap bahwa faktor pendukung untuk diterapkannya metode tersebut masih sangat terbatas, sehingga proses pembelajaran kurang maksimal. Siswa menilai bahwa rendahnya kualitas pembelajaran IPS materi sejarah lebih banyak diakibatkan oleh minimnya sarana belajar. Contoh ini yang kasat mata seperti eksistensi perpustakaan yang lepas dari perhatian khalayak, menjadikan perpustakaan semakin kehilangan fungsinya, karena siswa lebih memilih untuk mencari sumber belajar di luar, sehingga perpustakaan terkesan hanya sebagai museum belaka. Kondisi inilah yang menjadi penyebab utama ketertinggalan pembelajaran ilmu-ilmu sosial dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya, termasuk pembelajaran IPS materi
sejarah. Di samping itu, substansi pembelajaran yang sesungguhnya, tentunya memerlukan keterlibatan siswa secara penuh dengan aktivitas dan kreativitas yang tinggi dan dalam bingkai kerja yang cermat.
2. Komponen Problematika Pembelajaran IPS Materi Sejarah
Dalam konteks filosofis, sejarah dan pendidikan pada dasarnya merupakan suatu kesatuan yang utuh dan menyeluruh. Pendidikan merupakan pembagian dari sejarah. Fenomena ini dapat dimafhumi karena sejarah berdimensi tiga waktu, yakni masa lalu untuk dapat membicarakan masa kini, dan masa kini untuk masa depan. Kepentingan terhadap masa lalu itu adalah mengungkapkan significance dan menerangkannya sesuai dengan kesadaran struktural, Imajinasi kesejarahan, serta menghapus cara berfikir anakronistik, yaitu cara berpikir yang mencampuradukkan dimensi waktu yang berbeda- beda dalam suatu penyederhanaan. Sementara itu pendidikan memiliki kadar relevansi dalam kehidupan. Pendidikan sejarah menyeimbangkan aspek kuantitas dan kualitas bahannya, menyajikan bahan mendalam dengan maksud memudahkan internalisasi nilai yang terkandung dalam bahan tersebut.
Untuk mengemas pendidikan sejarah sehingga dapat menghasilkan internalisasi nilai, diperlukan adanya pengorganisasian bahan yang beraneka ragam serta metode sajian yang bervariasi. Disamping itu gaya belajar subjek- didik juga perlu mendapat perhatian, agar tidak kehilangan bingkai moral dan apeksi dari seluruh tujuan pengajaran yang telah ada. Karena tanpa bingkai moral, pengajaran sejarah yang terlalu mengedepankan aspek kognitif tidak akan banyak pengaruhnya dalam rangka memantapkan apa yang sering disebut sebagai jati diri kepribadian bangsa. Untuk itu para pengajar sejarah ataupun para peminat sejarah harus mempunyai wawasan yang luas dan mendalam tentang hakekat suatu sejarah, sehingga tujuan pendidikan secara substansial dapat tercapai.
Dalam dinamika kehidupan masyarakat yang serba berubah, menuntut suatu perubahan dalam kurikulum pendidikannya. Pendidikan sejarah merupakan bagian integral dari usaha penanaman nilai-nilai yang fungsional
untuk menanamkan pengetahuan. Dalam pengembangan kurikulum pendidikan sejarah, perlu dilakukan sesuai dengan kriteria yang dikembangkan yang sesuai dengan ciri-ciri fleksibelitas, realistic, dan berorientasi pada kepentingan ke depan. Dalam kaitan ini, pendidikan sejarah perlu mentransfer nilai-nilai etik dan moral yang mendasari cara berpikir, cara bersikap, dan berperilaku seseorang untuk mewujudkan keharmonisan kehidupan individu, kelompok masyarakat atau bangsa dalam membangun perdamaian, toleransi dan kesediaan menerima perbedaan.
Jika ditinjau dari segi kurikulum yang terakhir, pengajaran sejarah di Indonesia mempunyai kedudukan yang cukup pasti. Kurikulum pendidikan sejarah di perguruan tinggi telah menggariskan dan mengarahkan peserta didik untuk berpikir komprehensif dan kritis. Tetapi, akhir-akhir ini tampaknya pengajaran sejarah yang dilaksanakan di berbagai jenjang pendidikan tinggi memberi kesan yang kuat hanya bersifat kognitif dan cenderung bersifat hapalan. Pendidikan sejarah dilakukan secara terisolasi dari kenyataan kekinian. Dalam hal ini setidaknya ada empat komponen yang saling berkait yang menjadi penyebab mengapa pengajaran sejarah itu tidak atau kurang
efektif.
Pertama, adalah komponen tenaga pengajar sejarah yang pada umumnya miskin wawasan kesejarahan. Salah satu penyebab utama dari kemiskinan wawasan ini adalah kemalasan intelektual untuk menggali sumber sejarah, baik yang berupa benda-benda, dokumen, maupun literatur, Pengajar sejarah harus kaya informasi, tidak saja tentang masa lampau yang sarat dengan berbagai tafsiran, tetapi juga tentang masa kini yang penuh dinamika dan serba kemungkinan, konstruktif maupun destruktif (Syafii Maarif, 1995:
9). Pengajar sejarah yang baik adalah mereka yang mampu merangsang dan mengembangkan daya imajinasi peserta didik sedemikian rupa hingga cerita sejarah yang disajikan, dirasakan senantiasa menantang rasa ingin tahu. Karena sejarah adalah panorama kehidupan yang penuh warna. Namun demikian, di SMP Piri ngaglik sleman kompetensi guru belum menunjukkan kompetensi yang distandarkan pemerintah. Ini masih menjadi salah satu
kendala bagi pengembangan pembelajaran IPS materi sejarah. Guru berdasarkan pembicaraan dan observasi serta suvervisi di dalam kelas, penguasaan materinya masih agak kurang. Begitu pula dengan keterampilan didaktik metodik masih didominasi oleh pola lama yang belum melibatkan siswa secara aktif dan kreatif, sehingga terkesan pembelajaran sejarah masih kurang impresif. Guru tidak memiliki inisiatif untuk menyampaikan materi pelajaran yang masih bersifat kontroversif, melainkan masih terpaku pada paradigma pemerintah. Akan lebih baik manakala guru memiliki keberanian untuk menyampaikan fakta apa adanya, namun kemudian menanamkan nilai yang bermanfaat bagi para siswa. Karena pada dasarnya, siswa dapat belajar tidak saja pada peristiwa-peristiwa yang baik, melainkan dapat pula pada peristiwa buruk.
Kedua, adalah komponen peserta didik . Sikap maupun persepsi yang kurang positif peserta didik terhadap pengajaran sejarah, akan sangat berpengaruh terhadap hasil tujuan pembelajaran. Tidak sedikit peserta didik yang hanya mengejar nilai dan popularitas, untuk kegunaan sesaat. Padahal substansi yang sesungguhnya adalah khasanah keilmuan yang ia pelajari untuk dikembangkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, shingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat diinternalisasikan. Sejarah adalah guru kebijaksanaan yang sejati.
Ketiga, adalah metode pengajaran sejarah yang pada umumnya kurang menantang daya intelektual peserta didik. Untuk melibatkan subjek- didik dalam tataran intelektual dan emosional dalam pengajaran sejarah adalah barang tentu bukan jamannya lagi dengan menggunakan metode dongeng yang diselimuti oleh pelbagai peristiwa ajaib, mistis, dan supranatural. Kalau metode itu yang digunakan justru bertentangan dengan tujuan pengajaran sejarah itu sendiri. Memang dengan menggunakan metode dongeng peserta didik banyak yang tertarik, tetapai metode itu justru tidak menjadikan dirinya sebagai sosok manusia yang menyejarah, karena menganggap bahwa pelbagai pengaruh sejarah berada di luar dirinya.
Keempat, adalah komponen buku-buku sejarah dan media pengajaran sejarah. Untuk sejarah Indonesia, telah ada sejarah nasional yang jumlahnya enam jilid itu. Buku itu sebenarnya dapat menolong, sekalipun di sana sini masih ada celahnya yang perlu dilengkapi dengan sumber-sumber lain. Tetapi pendekatan yang terlalu Indonesia-sentris seperti yang terdapat dalam buku sejarah nasional itu, harus disikapi secara hati-hati. Pendekatan itu dapat menimbulkan kecenderungan “memberhalalkan” masa lampau suatu bangsa, apalagi bila anyaman masa lampau itu sarat oleh mitos yang bisa saja melumpuhkan daya kritis peserta didik. Sebenarnya buku-buku teks lainnya telah bermunculan, tetapi hampir-hampir tidak ada yang menggunakan pendekatan moral-saintifik terhadap perjalanan sejarah bangsa. Dalam pada itu, literature tentang sejarah umum masih amat sedikit, padahal fungsinya sangat penting. Sejarah nasional khususnya dianggap mempunyai nilai didaktif-edukatif bagi pembentukan jati diri bangsa dan pemersatu berdasarkan atas pengalaman kolektif bernegara dan berbangsa.
Kelima budaya akademik dalam kegiatan belajar mengajar yang belum sepenuhnya kondusif dalam mendukung kegiatan pembelajaran. Padahal, proses pembelajaran erat sekali kaitannya dengan lingkungan atau suasana di mana proses itu berlangsung. Meskipun prestasi belajar juga dipengaruhi oleh banyak aspek seperti gaya belajar, fasilitas yang tersedia, pengaruh budaya akademik masih sangat penting. Hal ini beralasan karena ketika para peserta didik belajar di ruangan kelas, lingkungan kelas, baik itu lingkungan fisik maupun non fisik kemungkinan mendukung mereka atau bahkan malah mengganggu mereka. Budaya akademik yang kondusif antara lain dapat mendukung: (1) interaksi yang bermanfaat di antara peserta didik, (2) memperjelas pengalaman-pengalaman guru dan peserta didik, (3) menumbuhkan semangat yang memungkinkan kegiatan-kegiatan di kelas berlangsung dengan baik, dan (4) mendukung saling pengertian antara guru dan peserta didik (Widoyoko, 2007). Di samping itu budaya akademik atau suasana kelas dan lingkungan kelas mempunyai pengaruh yang penting terhadap kepuasan peserta didik, belajar, dan pertumbuhan/perkembangan
pribadi. Kedua pendapat itu sangat beralasan karena hal-hal tersebut di atas pada gilirannya akan mempengaruhi prestasi belajar peserta didik. Namun demikian, di SMP Piri Ngaglik Sleman, budaya akademik tampaknya masih perlu dibangun agar kondusif. Sosialitas antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dan bahka antara guru dengan guru masih menunjukkan keanekaragam pencerminan. Masih ada kelompok-kelompok pada guru misalnya antara guru DPK dengan guru yayasan, dan bahkan dengan GTT. Begitu pula di dalam kelas adanya sikap sosial siswa yang apatis terhadap pembelajaran sejarah karena dianggap kurang menyenangkan.
Keenam komponen alat dan media pembelajaran yang masih terbatas. Kegiatan pembelajaran akan dapat berlangsung dengan lancar apabila didukung sarana dan sumber pembelajaran yang memadai. Sarana dan sumber pembelajaran meliputi segala sesuatu yang memudahkan terjadinya proses pembelajaran, meliputi tempat atau ruang kegiatan pembelajaran beserta kelengkapannya. Media pembelajaran yang perlu disediakan untuk kepentingan efektivitas pembelajaran di kelas dapat dikelompokkan menjadi 4 macam, yaitu: a) media pandang diproyeksikan, seperti: OHP, slide, projector dan filmstrip; b) media pandang yang tidak diproyeksikan, seperti gambar diam, grafis, model, benda asli; c) media dengar, seperti piringan hitam, pita kaset dan radio; d) media pandang dengar, seperti televisi dan film (Widoyoko, 2007). Keberadaan dan pemanfaatan media pembelajaran merupakan hal yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Namun demikian di SMP Piri Ngaglik Sleman sarana pendukung belum sepenuhnya memadai. Jumlah OHP misalnya masih sangat terbatas dan media-media lain belum sebanding dengan jumlah guru maupun siswa. Media mutakhir misalnya, SMP Piri Ngaglik Sleman hanya memiliki 1 laptop dan 1 LCD. Karena terkait dengan kompetensi guru juga maka hampir belum pernah dimanfaatkan.
Ketujuh adalah komponen sikap dan motivasi belajar IPS materi sejarah. Terhadap IPS materi sejarah, siswa menunjukkan sikap yang belum positif. Berdasarkan wawancara terhadap X1, X2, X3, dan X4, maka dapat
disimpulkan bahwa mereka belum memiliki sikap yang positif terhadap pelajaran IPS materi sejarah. Padahal, sikap siswa dalam kegiatan pembelajaran mempunyai peran yang cukup dalam menentukan keberhasilan belajar siswa. Sikap siswa terhadap IPS materi sejarah dimaksudkan sebagai tendensi mental yang diaktualkan atau diverbalkan terhadap mata pelajaran IPS materi sejarah yang didasarkan pada pemahaman dan keyakinan serta perasaannya terhadap IPS materi sejarah. Objek yang disikapi adalah mata pelajaran IPS sejarah yang meliputi: pembelajaran IPS sejarah dan materi pembelajaran IPS sejarah.
Tidak berbeda dengan sikap siswa terhadap pelajaran IPS materi sejarah, motivasi siswa juga masih rendah untuk mempelajari IPS materi sejarah. Menurut X1, X2, X3, X4, mereka merasa motivasi belajarnya rendah karena didaktik dan metodik yang diterapkan oleh guru tidak menyenangkan, dan bahkan terkesan membosankan. Begitu pula karena kurangnya pemahaman akan arti penting materi sejarah juga menimbulkan rendahnya motivasi belajar sejarah. Sejarah dianggap tidak penting dan berguna bagi kehidupannya. Padahal, motivasi belajar siswa memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap keberhasilan proses maupun hasil belajar siswa. Salah satu indikator kualitas pembelajaran adalah adanya semangat maupun motivasi belajar dari para
siswa.
F. Analisis
Sebagai proses identifikasi dan pemaknaan dari tahapan penelitian yang mengarah pada substansi pembelajaran, maka dapat diinterpretasikan bahwa proses pembelajaran IPS Sejarah untuk materi sejarah adalah lebih banyak kepada teori-teori umum tentang pembelajaran. Dalam teori belajar- mengajar yang menunjukkan bahwa keberhasilan pembelajaran sangat dipengaruhi oleh keterampilan didaktik-metodik guru sangat terbukti dalam penelitian di SMP Piri Ngaglik Sleman ini. Guru di samping sebagai fasilitator sebagaimana konsep baru dalam proses pembelajaran, guru juga sebagai dinamisator dan sumber inspirasi. Ini juga tidak menafikan prinsip studentcentered learning yang mengharuskan pembelajaran yang berpusat pada siswa, melainkan lebih dari itu, bahwa dalam konsespi yang substantif, guru berperan sejak awal sehingga ada pembelajaran yang berimbang´antara peran guru sebagai pendidik dan pengajar, dan peran siswa sebagai pebelajar. Keseimbangan peran inilah yang menunjukkan adanya kontinum pembelajaran yang bergerak dari strategi ekspositori yang melibatkan peran penuh guru dalam proses pembelajaran maupun bimbingan, hingga pada strategi inkuiri yang melibatkan peran siswa secara penuh.
Pembelajaran harus ditopang oleh kompetensi guru yang memadai termasuk dalam implementasi metode, sumber-sumber pembelajaran yang mendukung, alat dan media yang lengkap, budaya akademik yang kondusif, dan sikap serta motivasi belajar yang tinggi. Sikap positif siswa dalam kegiatan pembelajaran IPS sejarah mempunyai sumbangan positif terhadap peningkatan kualitas pembelajaran IPS sejarah yang pada akhirnya akan mampu meningkatkan hasil belajar IPS sejarah siswa. Hal ini terjadi karena siswa yang memiliki sikap positif selama kegiatan pembelajaran berlangsung pada umumnya akan diikuti dengan semangat dan motivasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang mempunyai sikap negatif, dengan motivasi belajar yang tinggi akan diikuti instensitas belajar yang lebih baik sehingga pada akhirnya akan mampu meraih prestasi belajar yang lebih tinggi. Dengan demikian kualitas pembelajaran IPS sejarah juga dipengaruhi sikap siswa terhadap pelajaran IPS sejarah selama berlangsungnya proses pembelajaran dalam kelas.
Dalam pada itu, siswa perlu memiliki sikap positif terhadap mata pelajaran IPS sejarah, karena dengan sikap positif, dalam diri siswa akan tumbuh dan berkembang minat belajar, akan lebih mudah diberi motivasi, dan akan lebih mudah menyerap materi pelajaran yang disajikan. Siswa juga perlu memiliki sikap positif terhadap guru yang mengajar suatu mata pelajaran. Siswa yang tidak memiliki sikap positif terhadap guru, akan cenderung mengabaikan hal-hal yang disampaikan guru. Dengan demikian, siswa yang memiliki sikap negatif terhadap guru yang mengajar, akan sukar menyerap materi pelajaran yang disajikan. Siswa juga perlu memiliki sikap positif terhadap proses pembelajaran yang berlangsung. Proses pembelajaran dalam hal ini mencakup, suasana pembelajaran, strategi dan teknik pembelajaran yang digunakan. Tidak jarang siswa yang merasa kecewa atau tidak puas terhadap proses pembelajaran yang berlangsung, namun mereka tidak mempunyai keberanian untuk menyatakan. Akibatnya mereka terpaksa mengikuti proses pembelajaran yang berlangsung dengan perasaan yang kurang nyaman. Hal ini dapat mempengaruhi tarap penyerapan dan atau penguasaan materi yang disajikan atau kompetensi yang dikembangkan. Berdasarkan ungkapan tersebut di atas berdasarkan objeknya, sikap siswa dalam pembelajaran dapat dibedakan antara sikap terhadap guru, sikap terhadap mata pelajaran, sikap terhadap sesama siswa, sikap terhadap strategi pembelajaran yang digunakan guru, dan sikap terhadap proses pembelajaran yang dilaksanakan.
Kemudian sesuai dengan kompleksitas dan globalnya kecenderungan dan perkembangan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya, maka sudah pada tempatnyalah apabila persepektif pengajaran IPS sejarah berorientasi pada masa depan. Hal ini berarti akan memerlukan orientasi, atau mungkin lebih tepat perluasan wawasan pengajaran sejarah, yaitu dari orientasi pengajaran IPS sejarah yang menekankan aspek masa kelampauannya (past oriented), perlu diperluas kearah orientasi pengajaran sejarah berwawasan masa depan (future oriented). Penekanan wawasan pengajaran sejarah pada masa depan ini, pada dasarnya juga sesuai dengan hakekat tujuan pendidikan yang mempersiapkan kehidupan masa depan bagi generasi penerus. Konsep masa lampau adalah guru terbaik bagi masa depan, dapat menjadi salah satu perspektif yang strategis dalam menempatkan konsep wawasan masa depan dalam pengajaran sejarah yang dinamis (Djoko Suryo: 2005: 3).
G. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran IPS materi sejarah di SMP Piri Ngaglik Sleman sebagai implementasi kurikulum nasional selama ini belum menunjukkan kualitas yang berarti. Masih banyak indikator-indikator yang perlu dibenahi sehingga pembelajaran IPS untuk materi sejarah dapat diselenggarakan secara optimal. Indikator-indikator itu dapat bersifat internal maupun eksternal, yang berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap keberhasilan output. Dengan demikian diperlukan cara pikir sistem yang mengevaluasi penerapan KTSP IPS materi sejarah secara cermat, yakni berdasarkan sudut pandang sistem yang meliputi konteks, input, proses, dan output.
Indikator-indikator yang menjadi kendala dalam implementasi KTSP materi sejarah meliputi: rendahnya kompetensi guru baik yang menyangkut kompetensi akademik, pedagogik, sosial, maupun kepribadian; terbatasnya sarana pembelajaran yang dimiliki oleh sekolah; atsmospir atau budaya akademik yang belum kondusif; kurang positifnya sikap siswa terhadap pelajaran IPS materi sejarah; dan rendahnya motivasi siswa dalam belajar sejarah. Dengan demikian, indikator-indikator tersebut perlu dibenahi oleh seluruh komponen sekolah secara sinergis, agar segala kelemahan-kelemahan tersebut menjadi indikator pendukung untuk keberhasilan kegiatan atau program pembelajaran.
KEPUSTAKAAN
A. Syafii Maarif. (2006). “Harmonisasi antara nasionalisme dalam kehidupan bernegara dan beragama”, dalam kearifan sang profesor. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta Press.
A. Daliman. (2006). “Harmonisasi antara nasionalisme dalam kehidupan bernegara dan beragama”, dalam kearifan sang profesor. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta Press.
Amstrong Michael and Helen Murlis. (2003). Reward management: a hand book of remuneration strategy and practice. Jakarta: Gramedia.
Djemari Mardapi.(2005). “Pengembangan sistem penilaian berbasis kompetensi”.
Dalam himpunan evaluasi Indonesia (HEPI). Yogyakarta: Program
Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Djoko Suryo.(2005). ”Paradigma sejarah di Indonesia dan kurikulum sejarah”, dalam makalah seminar nasional dan temu alumni program studi pendidikan sejarah Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Surakarta: PPS UNS.
Eko, Budi Sucipto. (2001). Inquiry as a Method of Implementing Active Learning.
Dalam Jurnal Ilmu Pendidikan, No.8. Vol.3., hlm.27.
Freire, Paulo. (1999). Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan
Pembebasan. Terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hariyono. 1992. Pengajaran Sejarah dan Egenwelt Subjek-Didik. Historika. No.1
Vol 1. Surakarta: PPs Pendidikan Sejarah IKIP Jakarta KPK UNS.
Ian Phillips. (2008). Teaching history: Developing as a reclective secondary teacher. London: Sage.
Rochiati Wiriaatmaja. (2004). “Multicultural perspective in teachhing history to the Chinese Indonesian Studies”, dalam historia: jurnal pendidikan sejarah, no.9 vol.v. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah UPI.
Soewarso. (2000). Cara-cara Penyampaian Pendidikan sejarah Untuk Membangkitkan Minat Peserta Dikid Mempelajari sejarah Bangsanya. Jakarta: Dirjen dikti Depdiknas.
Surakhmad, Winarno. (2000). Metodologi Pengajaran Nasional. Jakarta: UHAMKA.
Sam Wineburg. (2006). Historical thingking and other unnatural acts charting the future of teaching the fast. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sartono Kartodirdjo. (1999). Multidimensi pembangunan bangsa etos nasionalisme negara kesatuan. Yogyakarta: Kanisius.
S. Eko Putro Widoyoko. (2007). Pengembangan model evaluasi pembelajaran IPS di SMP. Yogyakarta: Disertasi Program Pasca Sarjana Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.
Suharsimi Arikunto. (2001). Dasar-dasar evaluasi pendidikan. Jakarta: Penerbit
Bumi Aksara.
Suharsimi Arikunto. & Cepi Safruddin AJ. (2004). Evaluasi program pendidikan, panduan teoritis praktis bagi praktisi pendidikan.. Jakarta: Bumi Aksara.
Zainul Asmawi. (2000). Pelajaran Sejarah Di Mata Anak sekolah. Historia, No.2.
Vol.1., hlm.iv.
Zamroni. (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bayu Indra
Grafika.
Tentang Penulis:
Dr. Aman, M.Pd. Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FISE UNY. Menamatkan Program S-1 pada Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Tahun 1999, dan menyelesaikan Program Pascasarjana S-2 Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta Tahun 2002, serta menamatkan Program Doktoral S-3 pada Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan PPS Universitas Negeri Yogyakarta Tahun
2011.