Muhammad Turhan Yani
(Dosen jurusan PMP-KN FIS Universitas Negeri Surabaya, e-mail:Myani51@yahoo.co.id)
Abstract : In the religion (Islam) concept, children in the early age/kindergarten should have been trained to develop the positive aspect in order in the mature age are used to do the positive things and finally shaped the good personality. The purpose of this research is to describe and analyze the applied method by teachers of Anak Shaleh Education Kindergarten (TAPAS) in development of religious values on their pupil and also concrete examples. Data collection was done through observation and interview, the being critically analyzed, lending the Arief Furqan’s term is reflective thinking. The research result is the TAPAS teachers denoted the variation method in developing the religious valued to the students and also give the concrete examples, although there are something in the child development psychology review was less appropriate done, such as the teachers often give material to be memorized for example, short letters, prayers, even include in the material of exams.
Kata Kunci : Nilai-nilai Agama, Usia Dini/Taman Kanak-kanak
Masa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) antara lain Taman Kanak-kanak (TK) adalah masa yang sangat penting dan merupakan usia emas (golden age). Pada masa itulah kesempatan yang paling tepat untuk mengembangkan kepribadian anak. Mendidik anak pada masa itu tidaklah mudah. Ibarat memasuki hutan belantara, mendidik anak pada masa-masa itu sama dengan “babat alas”, artinya seseorang harus memulai dari nol dan penuh perjuangan untuk menyisir semak-semak yang masih lebat, sehingga seseorang harus bekerja keras. Demikian pula mendidik anak usia dini/TK, seorang pendidik perlu berjuang keras agar pendidikan yang ditanamkan dan dikembangkan pada diri anak dapat berhasil membentuk kepribadiannya. Mengapa harus berjuang keras ? Karena setiap anak memiliki keunikan dan karakteristik yang berbeda-beda. Realitas semacam itu menuntut para guru untuk dapat memahami karakteristik anak. Anak usia dini/TK dalam konteks agama (Islam) masih disebut dengan masa fitrah (suci dan belum mendapat beban untuk dimintai pertanggungjawaban atas perilakunya). Namun demikian dalam konsep agama pula pada masa usia dini//TK ini, anak sudah harus dilatih untuk dikembangkan aspek positifnya agar kelak dewasa terbiasa melakukan sesuatu yang positif dan akhirnya terbentuk kepribadian yang baik.
Pengembangan nilai-nilai keagamaan pada program usia dini/TK merupakan pondasi awal dan sangat penting keberadaannya. Jika hal itu telah tertanam dan terpatri dengan baik dalam setiap insan sejak dini, hal tersebut merupakan awal yang baik bagi pendidikan anak bangsa untuk menjalani pendidikan selanjutnya. Bangsa Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Nilai-nilai luhur ini pun dikehendaki menjadi motivasi spiritual bagi bangsa ini dalam rangka melaksanakan sila-sila dalam pancasila (Hidayat, 2007 : 7.9).
Ide perlunya pengembangan nilai-nilai agama sejak kecil yang dimulai pada anak usia dini/TK pada dasarnya diilhami oleh sebuah keprihatinan atas realitas anak didik dewasa ini yang sebagian belum mencerminkan kepribadian yang bermoral (akhlak al-karimah), yakni santun dalam bersikap dan berperilaku. Hal ini menunjukkan ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam sistem pendidikan, khususnya pada jenjang pendidikan yang paling dasar (pra sekolah). Oleh karena itu, sebagai upaya awal perbaikan sistem pendidikan di Indonesia, diperlukan adanya pengembangan nilai-nilai agama sejak dini sebagai upaya pengokohan mental-spiritual anak.
Salah satu kritik yang paling menarik terhadap sistem pendidikan di Indonesia antara lain adalah bahwa pendidikan di Indonesia terlalu mementingkan aspek akademis saja, kurang diimbangi pendidikan karakter, akhlak, moral, budi pekerti, dan mental. Untuk apa menghasilkan anak didik yang pintar, tetapi tidak dilengkapi dengan akhlak, moral, dan mental yang baik? Sehingga perlu adanya perbaikan dalam sistem pendidikan nasional dengan tujuan mewujudkan dan mengantarkan anak didik agar nantinya mempunyai kemampuan intelektual yang dilandasi nilai-nilai agama. Dalam implementasinya, pengembangan nilai-nilai agama pada anak dapat dilakukan oleh semua institusi pendidikan mulai dari sekolah, keluarga sampai masyarakat dengan model atau pendekatan yang beraneka ragam, akan tetapi mempunyai tujuan yang sama yaitu mewujudkan generasi penerus bangsa yang bermoral (berakhlak mulia), sebab tanpa adanya modal utama “moralitas” ke depan bangsa Indonesia akan terus terpuruk. Dalam kaitan itu guru dituntut untuk menentukan suatu strategi yang tepat dalam pengembangan nilai-nilai agama yang sesuai dengan karakteristik anak usia dini/TK. Orientasi dan tujuan pengembangan nilai-nilai agama sejak dini adalah agar dalam diri anak kelak kemudian terbentuk kepribadian yang santun dan berakhlak mulia. Atas dasar itu maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) bagaimana metode guru dalam mengembangkan nilai-nilai agama pada anak usia dini/TK, (2) nilai-nilai agama macam apa yang dikembangkan oleh guru pada anak usia dini/TK. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis metode yang diterapkan guru dalam pengembangan nilai-nilai agama pada anak usia dini/TK sekaligus contoh-contoh konkritnya.
Metode
Penelitian ini dilakukan dari bulan November 2007 sampai Maret 2008 di Taman Pendidikan Anak Shaleh (TAPAS) Kedurus Surabaya dengan subjek para guru TAPAS Kedurus. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu mendeskripsikan data dan fakta apa adanya terkait dengan metode yang diterapkan oleh para guru TAPAS dalam mengembangkan nilai-nilai agama pada anak usia dini yang jumlahnya sebanyak 33 orang anak sekaligus contoh-contoh konkritnya. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi dan wawancara. Observasi dilakukan untuk melihat dan mengamati secara langsung metode yang diterapkan guru dalam pengembangan nilai-nilai agama pada anak beserta contoh-contoh konkritnya. Wawancara dilakukan untuk mengkonfirmasi data hasil observasi. Dalam penelitian kualitatif, instrumen penelitiannya adalah peneliti sendiri. Oleh karena itu dalam penelitian ini peneliti berupaya semaksimal mungkin dapat merekam aspek-aspek yang diteliti. Menurut Nasution, ketika observasi dan wawancara dilakukan peneliti melakukannya secara alami (natural), akan tetapi dengan tetap seksama dan mencatat hal-hal yang perlu mendapat perhatian (Nasution, 1996). Setelah data terkumpul selanjutnya dianalisis secara kritis menurut Arief Furqan disebut reflective thinking.
Hasil dan Pembahasan
Secara umum, para guru Taman Pendidikan Anak Shaleh (TAPAS) Kedurus Surabaya dalam mengembangkan nilai-nilai agama pada anak didiknya sudah baik dan menggunakan metode yang bervariasi, seperti bernyanyi, bermain, dan bercerita. Dalam kegiatan proses belajar-mengajar anak-anak juga terlihat antusias dan semangat mengikutinya walaupun terkadang sebagian anak ada juga yang lari-lari dan mengganggu temannya. Dalam konteks kehidupan anak, hal yang demikian merupakan sesuatu yang wajar.
Beberapa hal yang dapat dikemukakan terkait dengan metode guru beserta contohnya dalam pengembangan nilai-nilai agama pada anak adalah sebagai berikut : (1) para guru TAPAS memperkenalkan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang terkandung dalam Asmaul Husna secara bertahap melalui metode bernyanyi dan bermain, yaitu melagukan dengan irama dan memainkan telapak tangan sambil bertepuk-tepuk dengan diimbangi gerakan tubuh ke kanan dan ke kiri, kemudian ditirukan oleh anak secara bersama-sama, (2) para guru TAPAS mengajak anak-anak untuk menyanyikan beberapa syair lagu anak yang sebagian bait lagunya dikembangkan secara variatif dan diselingi nilai-nilai agama, seperti syair lagu balonku ada lima, dikembangkan menjadi rukun Islamku ada lima; syair lagu buat apa susah, susah itu tak ada gunanya, dikembangkan menjadi buat apa cengeng, cengeng itu tak ada gunanya, dan lain sebagainya, (3) para guru TAPAS dengan penuh kesabaran selalu menasihati anak dengan cara menggunakan metode cerita tentang kisah-kisah dalam Islam, seperti kisah para nabi, kisah orang yang sukses, kisah orang yang durhaka, dan lain sebagainya, (4) para guru TAPAS senantiasa mengingatkan anak agar selalu berbuat baik kepada siapa saja dengan contoh-contoh konkrit yang ditunjukkan, (5) para guru TAPAS mengenalkan simbol-simbol dan praktek ibadah seperti shalat, manasik haji, dan lain sebagainya untuk selanjutnya dipraktekkan secara bersama-sama dengan bimbingan guru, (6) para guru TAPAS selalu mengajak anak untuk selalu berdoa ketika mengawali dan mengakhiri kegiatan, seperti kegiatan belajar, makan dan minum, masuk dan keluar rumah, doa untuk orang tua, doa naik kendaraan, dan lain sebagainya, (7) para guru TAPAS juga mengajarkan kepada anak-anak untuk mengenal kitab suci al-Qur’an melalui hafalan ayat-ayat pendek yang dituntun oleh guru untuk kemudian diikuti oleh anak secara bersama-sama.
Beberapa metode dan contoh pengembangan nilai-nilai agama pada anak yang telah dikemukakan tersebut sebagai upaya untuk menyiapkan kepribadian anak agar lebih awal mengenal ajaran Islam dan diharapkan kelak dewasa ajaran tersebut dapat diamalkan dalam kehidupannya. Dalam proses pembelajaran yang peneliti amati anak-anak tampak senang dan semangat mengikutinya. Namun terlepas dari sisi positif yang telah dikembangkan oleh para guru TAPAS tersebut, peneliti juga melihat beberapa sisi kurang baiknya, untuk tidak menyebut sisi negatif. Sisi kurang baik yang dimaksud adalah para guru sering memberikan tugas-tugas hafalan kepada anak, seperti menghafal beberapa Asmaul Husna, surat-surat pendek, dan doa-doa untuk selanjutnya dalam beberapa hari ke depan anak diminta oleh guru untuk menghafalkannya di sekolah, dan juga diagendakan ada ujian. Secara langsung atau tidak, tuntutan yang demikian akan dapat membuat anak merasa terbebani. Hal sama ternyata juga dirasakan oleh wali murid ketika dikonfirmasi oleh peneliti, bahwa anak-anak mereka karena dapat tugas dari gurunya, akhirnya wali murid ketika di rumah juga sering mengajari hafalan tersebut pada anaknya. Dan, dalam kenyataannya tidak semua anak mengikuti kehendak orang tua, sekalipun orang tua sudah mengingatkan bahwa guru mereka telah memberinya tugas.
Mendidik anak pada masa usia dini/TK harus tepat sebab anak usia dini memiliki keunikan dan karakter yang berbeda satu sama lain. Oleh karena itu diperlukan suatu metode atau strategi yang tepat dalam proses pembelajaran. Sebenarnya metode atau strategi pengembangan nilai-nilai agama pada anak usia dini/TK sangat sederhana. Pada usia dini/TK, anak membutuhkan sesuatu yang bersifat konkrit dan berkaitan dengan kehidupan riil mereka sehari-hari, misalkan tentang praktek ibadah, doa-doa, atau dengan bercakap-cakap saja mengenai sesuatu yang boleh diucapkan atau tidak boleh diucapkan, anak sudah bisa menangkap (maksudnya adalah mana bahasa yang sopan dan mana yang tidak). Bahkan dengan hanya memberikan contoh perbuatan, misal mencium tangan kedua orang tua atau guru, anak akan dengan mudah menirukannya. Hal ini menunjukkan bahwa belajar untuk melakukan atau mempraktekkan sesuatu (learning to do) secara langsung merupakan metode atau strategi yang tepat untuk diterapkan.
Di samping hal itu, secara umum pengembangan nilai-nilai agama pada anak usia dini/TK juga terkait dengan pengenalan dan pemahaman tentang keberadaan Tuhan. Jadi sebagai guru pada program PAUD/TK hendaknya mampu mentransfer hal ini ke dalam diri anak. Misalnya guru mengenalkan Tuhan melalui makhluk-makhluk ciptaan-Nya seperti manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan lain sebagainya. Pertanyaan sederhana dapat diajukan kepada anak, misal : siapa yang menciptakan manusia ? Setelah anak menjawab, mungkin jawaban anak ada yang benar dan mungkin juga ada yang salah, selanjutnya guru berusaha menggiring jawaban anak pada upaya memperkenalkan Sang Penciptanya (Allah) dengan menunjukkan keistimewaan makhluk-makhluk ciptaan-Nya; misalkan manusia diberi akal pikiran yang tidak dimiliki makhluk-makhluk lainnya. Matahari bisa memberikan sinar ke bumi untuk kehidupan manusia, bulan dan bintang yang bisa memberikan cahaya penerang di malam hari, dan lain sebagainya.
Menurut Elis S (2005) dalam Hidayat, secara khusus pengembangan nilai-nilai keagamaan bagi anak usia dini/TK meliputi (a) peletakan dasar-dasar keimanan, (b) peletakan dasar-dasar kepribadian/budi pekerti yang terpuji, dan (c) peletakan kebiasaan beribadah sesuai dengan kemampuan anak. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala rutinitas anak dalam kehidupan sehari-hari hendaknya selalu diwarnai dengan nuansa keagamaan agar mereka kelak kemudian selalu ingat kepada Tuhannya. Selanjutnya terkait dengan metode atau strategi pengembangan nilai-nilai agama pada anak usia dini/TK secara sederhana Hidayat mengemukakan sebagai berikut : (1) anak diajak untuk melihat gambar dan bercerita tentang gambar yang dilihatnya dengan bimbingan guru, misalkan untuk melatih anak hidup tertib dan teratur dalam makan-minum, bangun tidur, bermain, dan lain-lain, anak bisa diajak komunikasi melaui gambar yang tunjukkan, (2) membacakan pertanyaan sederhana dan mendorong anak untuk menjawab berdasarkan gambar yang dilihatnya, misalkan gambar seseorang yang sedang beribadah, berjabat tangan, dan lain-lain, (3) memperagakan sesuatu yang diajarkan di hadapan anak, kemudian anak diajak langsung menirukannya.
Sementara itu terkait dengan sifat pemahaman anak usia dini terhadap nilai-nilai keagamaan pada saat proses belajar mengajar, menurut John Eckol (2005) dalam Hidayat di antaranya adalah sebagai berikut : (1) unreflective, yaitu pemahaman dan kemampuan anak dalam mempelajari nilai-nilai agama sering menampilkan suatu hal yang tidak serius. Mereka melakukan kegiatan ibadah pun dengan sikap dan sifat dasar yang kekanak-kanakan, tidak mampu memahami dan menghayati apa yang sedang dilakukannya. Artinya salah satu sifat anak dalam memahami pengetahuan ajaran agama sering dengan bahasa guyonan, main-main, dan asal mengikuti apapun yang diperintahkan kepadanya. Seperti ketika anak diminta oleh gurunya untuk mengerjakan ibadah bersama dengan tertib maka sangat manusiawi jika ada di antara mereka yang mengerjakannya dengan bercanda, main-main, dan kurang serius. Ketika anak belajar mengucapkan hafalan doa, kita juga dapat mendengarkan kemampuan vokalnya yang kurang maksimal, demikian pula dalam menirukan gerakan (misal gerakan dalam shalat, berdoa, dan lain-lain). Seyogyanya jangan dijadikan sebagai sebuah masalah ketidakberhasilan belajar, namun dijadikan sebagai hal yang objektif bahwa itulah hakikat anak dengan prestasi dan keadaan yang sesungguhnya, yang harus dihargai dengan baik. Namun terkadang banyak ditemui di lapangan, para guru kurang menyadari hal tersebut karena masih banyak di antara yang memaksakan kehendaknya dengan menggunakan pendekatan yang kurang bijaksana, seperti memaksa anaknya untuk mengikuti/mencontoh dengan tepat, persis apa yang diajarkan oleh guru. Sering dijumpai betapapun ketika anak dipaksa namun memang anak belum mampu menirukan seperti yang diinginkan guru, kemudian anak dimarahi. Hal tersebut dapat berdampak tidak baik bagi anak, malah bisa membuat anak menangis bahkan pesimis.
Pendekatan semacam itu memang bertujuan untuk membuat anak dapat belajar dengan maksimal, namun sering dilupakan bahwa anak bukan orang dewasa. Jadi sangatlah keliru jika guru menginginkan dan mengharuskan anak memiliki kemampuan atau kompetensi belajar dengan kriteria dan parameter orang dewasa. Mereka adalah anak kecil yang belum matang dalam beberapa hal. Itulah yang patut direnungkan agar para guru tidak mengulangi kekeliruan dan memaksakan kemauan dan kehendaknya kepada anak dengan tidak memperhatikan kemampuan dan kebutuhan anak itu sendiri., (2) egocentris, sering dijumpai bahwa anak lebih mementingkan kemauannya sendiri, tidak peduli dengan urusan orang lain. Demikian pula dalam mempelajari nilai-nilai agama anak usia dini/TK terkadang belum mampu bersikap dan bertindak konsisten. Misalkan suatu ketika anak terlihat sangat rajin dan mau mengerjakan kegiatan ritual ibadah seperti kalau di sekolah belajar mengucapkan doa bersama, kalau di rumah seperti mengaji, pergi ke tempat ibadah, dan lain-lain, namun pada saat yang lain mereka berperilaku sebaliknya. Betapapun guru dan orang tua berulang kali mengingatkan dan menyuruh anak untuk melakukan kegiatan keagamaan, namun jika anak merasa malas dan lebih asyik bermain maka semua perintah dan anjuran tadi tidak dipedulikannya.
Memperhatikan sifat egosentris yang demikian maka sebagai guru sangatlah tepat apabila menganggap bahwa sifat tersebut merupakan hal yang wajar karena memang kondisi psikologis mereka yang masih labil dan belum matang. Para guru harus memaklumi hal itu, namun tidak berarti membiarkan tanpa upaya pada arah yang positif . Walaupun demikian guru tetap tidak boleh memaksakan kehendak sesuai dengan keinginannya sebab mereka boleh jadi pada kesempatan yang lain akan berubah sikapnya. Itulah labilitas psikologis anak yang perlu dipahami oleh guru dan juga orang tua, (3) misunderstand, yaitu anak akan sering mengalami salah paham/salah pengertian dalam memahami sesuatu dalam agama. Sebagai contoh berikut beberapa ilustrasi kasus anak yang mengalami kesalahpahaman dalam mempelajari ajaran agama. Kasus 1 : ketika anak mendengar bahwa Allah itu Maha Besar maka akan muncul dalam pemahaman keliru dalam diri anak yang membayangkan bahwa Allah itu seperti raksasa. Kasus 2: ketika anak mendapat penjelasan bahwa Allah itu Maha Pemberi/Penyayang maka anak pun akan membayangkan bahwa dia akan diberi kue, es krim langsung dari Allah jika melakukan permohonan melalui bacaan doa.
Kasus 3 : Ketika anak mendengar bahwa Allah itu Maha Melihat maka juga akan terbayang dalam diri anak, sebesar apa mata Allah itu.
Ilustrasi tersebut tentunya harus dijadikan sebagai keadaan yang objektif yang ada pada diri anak, oleh karena itu guru perlu memahaminya sambil mengarahkan pemahaman yang tepat dengan tanpa mencemooh pemahaman anak yang seperti itu, (4) Imitative, yaitu anak banyak belajar dari apa yang mereka lihat secara langsung. Mereka banyak meniru dari apa yang pernah dilihatnya sebagai sebuah pengalaman belajar. Memperhatikan realitas semacam itu maka guru dan orang tua harus siap ditiru anak, oleh karena itu perlu menunjukkan contoh atau keteladanan yang baik dalam setiap ucapan, gerak-gerik, dan perbuatan.
Selanjutnya yang perlu diketahui bersama adalah bahwa dalam sejarah peradaban manusia eksistensi agama merupakan kebutuhan primer bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu secara akal sehat disepakati bahwa agama sangat perlu ditanamkan dan dikembangkan sejak dini kepada anak-anak didik dalam berbagai institusi pendidikan, seperti institusi formal, nonformal, dan informal (Yani, 2007). Program PAUD/Taman Kanak-kanak merupakan lembaga pendidikan yang pertama dalam lingkungan sekolah, keberadaannya sangat strategis untuk menumbuhkan jiwa keagamaan anak-anak agar mereka menjadi orang-orang yang taat, terbiasa berbuat baik, dan peduli terhadap segala aturan agama yang diajarkan kepadanya. Dalam kaitan ini guru dan orang tua harus terampil menyampaikan hal ini kepada anak didiknya agar tertanam dalam jiwa mereka kebutuhan akan nilai-nilai agama (Hidayat, 2007 : 7.3).
Menurut Abdullah Nasih Ulwan, esensi pengembangan nilai-nilai agama di antaranya meliputi (1) pendidikan iman dan ibadah, artinya sejak usia dini/TK masalah keimanan sudah harus tertanam dengan kokoh pada diri anak, demikian pula praktek-praktek ibadah juga sudah mulai dibiasakan oleh pendidik dilatihkan pada anak, (2) pendidikan akhlak (moral), artinya sejak dini/TK anak sudah harus dikenalkan dan dibiasakan untuk bertutur kata, bersikap, dan berperilaku secara sopan serta dikenalkan keutamaan-keutamaan sifat terpuji (Yani dkk, 2002 : 118).
Program pembentukan perilaku merupakan kegiatan yang secara terus-menerus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari anak di Taman Kanak-kanak. Melalui program ini diharapkan anak dapat melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Pembentukan perilaku melalui pembiasaan yang dimaksud adalah meliputi pembentukan moral-agama, pancasila, perasaan/emosi, hidup bermasyarakat, dan disiplin. Adapun tujuannya adalah untuk mempersiapkan anak sedini mungkin dalam mengembangkan sikap dan perilaku yang didasari oleh nilai-nilai moral-agama dan pancasila. Sedangkan kompetensi yang ingin dicapai pada aspek pengembangan nilai-nilai agama adalah kemampuan melakukan ibadah, mengenal Tuhan, percaya akan ciptaan Tuhan, dan mencintai sesama (Hidayat, 2007 : 5.13).
Dalam konteks agama, setiap anak yang lahir dalam keadaan suci (fitrah), status fitrah ini berlangsung sampai ia dinyatakan telah habis masa usia anak-anaknya (kira-kira umur 12 tahun/usia tuntas SD), pada masa itu mereka belum memiliki beban kewajiban menjalankan ajaran agama. Namun demikian, tidak berarti pada masa itu anak dibiarkan saja pendidikan moral dan agamanya, malah pada masa itu ajaran agama menganjurkan agar anak sudah mulai dilatih untuk menjalankan sesuatu yang baik dan meninggalkan kebiasaan yang tidak baik, termasuk latihan menjalankan ritual ibadahnya. Jika dikaitkan dengan tujuan pengembangan nilai-nilai agama maka diharapkan akan tertanam benih-benih positif dalam diri anak, misalkan terbiasa bertutur kata secara sopan, berperilaku santun, menghargai dan menghormati orang lain, terbiasa menjalankan ajaran agama yang diyakini, dan lain sebagainya.
Menurut Badudu Zein dalam Hidayat (2007), anak adalah keturunan pertama setelah ibu dan bapak. Anak-anak adalah manusia yang masih kecil yang belum dewasa dan memiliki berbagai potensi laten untuk tumbuh dan berkembang. Potensi yang pertama adalah potensi jasmani yang berkaitan dengan fisik (motorik), dan yang kedua adalah potensi rohani yang berkaitan dengan kemampuan intelektual dan spiritual, termasuk di dalamnya nilai-nilai agama. Oleh karena itu menurut hemat peneliti, para pendidik (guru dan orang tua) pada jenjang pendidikan prasekolah perlu mengenali dengan baik potensi-potensi yang ada pada diri anak, khususnya potensi intelektual dan spiritual. Manakala guru atau orang tua mengetahui dari sisi moralitas, anak memiliki kecenderungan berbuat tidak baik maka seyogyanya segera mengingatkan anak dengan bahasa kasih-sayang. Potensi positif hendaknya selalu dikembangkan dan potensi yang kurang baik diupayakan semaksimal mungkin segera hilang dari anak.
Dalam pengembangan nilai-nilai agama pada anak usia dini menurut Doe dan Walch (1998) ada 10 (sepuluh) prinsip yang harus diperhatiksn oleh guru dan orang tua yang disebut dengan istilah Spiritual Parenting. Sepuluh prinsip tersebut adalah (1) ketahuilah bahwa Tuhan memperhatikan kita, (2) percaya dan ajarkan bahwa semua kehidupan berhubungan dan bertujuan, (3) simak apa kata anak, (4) gunakan kata-kata dengan hati-hati, (5) izinkan dan berilah dorongan terhadap impian, keinginan, dan harapan anak, (6) berilah sentuhan keajaiban pada hal-hal biasa, (7) jadilah cermin positif bagi anak, (8) ciptakan peraturan dalam struktur yang luwes, (9) lepaskan pergulatan yang menekan, (10) jadikan setiap hari sebagai sebuah awal yang baru (Winda dkk, 2008 : 3.7-3.10).
Sementara itu menurut Hidayat, nilai-nilai agama akan tumbuh dan berkembang pada jiwa anak melalui proses pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya sejak kecil. Seorang anak yang tidak memperoleh pendidikan dan pengetahuan nilai-nilai keagamaan sebagai pengalaman belajarnya akan dimungkinkan menimbulkan ketidakpedulian yang cukup tinggi dalam mengahayati apa yang dipelajarinya, seperti merasa tidak butuh, kurang tertarik, dan malas mempelajarinya. Lain halnya dengan anak yang mendapatkan pendidikan agama yang cukup dalam keluarganya, tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat agamis, kawan sebayanya rajin beribadah, ditambah dengan pengalaman-pengalaman keagamaan di sekolah dan di tempat-tempat ibadah maka dengan sendirinya anak itu akan memiliki kecenderungan untuk hidup dengan warna dan kebiasaan nilai-nilai agama yang dianutnya. Anak juga akan terbiasa menjalankan ritual ibadah keagamaan dan merasa kecewa jika suatu saat tanpa unsur kesengajaan mereka tidak dapat menjalankan ibadah.
Rasa keagamaan dan nilai-nilai agama akan tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan psikis dan fisik anak itu sendiri. Oleh karena itu sebagai guru atau orang tua seyogyanya saat melakukan aktivitas apapun perlu diwarnai dengan nilai-nilai agama. Misalkan kegiatan apapun di sekolah harus dimulai dan diakhiri dengan berdoa. Perhatian anak terhadap nilai-nilai dan pemahaman agama akan muncul manakala mereka sering melihat dan terlibat langsung dalam upacara-upacara keagamaan, melihat dekorasi dan keindahan tempat ibadah, rutinitas ritual orang tua dan lingkungan sekitarnya ketika menjalankan peribadatan. Sikap tersebut muncul pada diri anak seiring dengan berfungsinya pendengaran, penglihatan, dan organ tubuh yang bisa mereka gerakkan untuk meniru apa yang mereka lihat dan ingin lakukan. Kita sering melihat anak menirukan sebuah kegiatan ritual yang dicontohnya dari orang dewasa, bertanya tentang sesuatu dari ajaran agama, dan ingin ikut dalam sebuah kegiatan ritual keagamaan (Hidayat, 2007 : 8.5).
Pada masa usia dini, pengembangan nilai-nilai agama menurut Ulwan juga dapat dilakukan dengan cara mengajak anak untuk membaca kalimat tauhid (ke-Esa-an Allah) secara bersama-sama, mengenalkan hukum halal dan haram sambil menjelaskan alasan-alasan dengan bahasa yang mudah ditangkap anak, menyuruh anak untuk beribadah, mendidik anak untuk mencintai rasul, keluarganya, dan membiasakan untuk mengaji al-Qur’an. Hal tersebut perlu dilakukan agar anak terikat dengan dasar-dasar keyakinan dan rukun Islam, dan agar anak selalu taat pada aturan-aturan agama seperti menjalankan shalat, dan lain-lain (Ulwan, 1992 : 10-11 ; Komarudin Hidayat, 2002).
Menurut Masitah dkk, pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan, baik kondisi motorik, kecerdasan emosi, kecenderungan jamak (multi intelegence) maupun kecerdasan spiritual (Masitah dkk, 2007: 1.9). Dalam kaitan ini guru perlu mencari saluran-saluran yang dapat memenuhi kecerdasan-kecerdasan tersebut agar potensi anak dapat tumbuh dan kembang secara maksimal.
Sementara itu menurut Akbar dan Hawadi, masa kanak-kanak dalam konteks pendidikan di Indonesia dewasa ini sangat penting sebab gejala yang semakin umum dan meluas pada pendaftaran murid baru kelas 1 sekolah dasar (SD) perlu menyertakan raport TK/sejenisnya. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan prasekolah termasuk kegiatan pendidikan yang dipentingkan oleh penyelenggara pendidikan pada jenjang berikutnya. Di samping hal tersebut, pendidikan prasekolah juga membantu untuk pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik di luar lingkungan keluarga sebelum memasuki jalur pendidikan sekolah (Akbar dan Hawadi, 2006 : 1-2).
Dengan demikian, mengacu pada tujuan pendidikan pada masa prasekolah tersebut yang di dalamnya terdapat tujuan peletakan dasar perkembangan sikap dan perkembangan rohani anak didik maka metode dan materi yang berkaitan dengan pengembangan nilai-nilai agama pada anak sejak usia dini/TK sangat penting dilakukan agar kelak mereka memiliki kepribadian yang kokoh dan terbiasa untuk menjalankan sesuatu yang positif dalam interaksi sosialnya.
Simpulan dan Saran
Para guru TAPAS Surabaya sudah menunjukkan metode yang bervariasi dalam pengembangan nilai-nilai agama pada anak didiknya sekaligus memberikan contoh yang konkrit, sekalipun ada beberapa hal yang dalam kajian psikologi perkembangan anak kurang tepat dilakukannya. Dengan penggunaan metode yang variasi tersebut anak-anak juga merasa senang dan ceria dalam mengikuti proses pembelajaran.
Disarankan kepada para guru yang menangani anak usia dini/TK agar meningkatkan pemahamannya lagi mengenai didaktik-metodik, khususnya pada tahap perkembangan anak usia dini/TK. Di samping itu, dalam menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai agama pada anak usia dini cara-cara yang menyenangkan agar lebih ditingkatkan lagi.
Daftar Acuan
Akbar, Reni dan Hawadi. 2001. Psikologi Perkembangan Anak Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia.
Daradjat, Zakiyah. 1995. Ilmu Jiwa Perkembangan. Jakarta : Bulan Bintang.
Hidayat, Komarudin, dkk. 2002. Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan. Jakarta : Departemen Agama RI.
Hidayat, Otib Satibi. 2007. Metode Pengembangan Moral dan Nilai-nilai Agama. Jakarta : Universitas Terbuka.
Masitah, dkk. 2007. Strategi Pembelajaran TK. Jakarta : Universitas Terbuka.
Nasution, S.1996. Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Bandung : Tarsito.
Ulwan, Abdullah Nasih. 1992. Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam (Pendidikan Anak Menurut Islam). Ter. Khalilullah Ahmas. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Winda, dkk. 2008. Metode Pengembangan Perilaku dan Kemampuan Anak Usia Dini. Jakarta : Universitas Terbuka.
Yani, Muhammad Turhan. 2007. Pendidikan Berbasis Moral dalam Lingkungan Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat. Jurnal Pelangi Ilmu No.1, Vol. 2, UNESA.
Yani, Muhammad Turhan, dkk. 2002. Islam Rahmatan Lil ‘Alamin. Surabaya : UNESA Press.