MOH. AFIF AMRULLOH. PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT SUBUH MENURUT DEPARTEMEN AGAMA DAN ALIRAN SALAFI.
Kata Kunci: Fajar Shadiq, Astronomical Twilight, Badan Hisab Rukyat, Aliran
Salafi
Masuknya waktu shalat menjadi syarat sahnya shalat. Jika shalat tidak dilaksanakan tepat pada waktunya, maka shalatnya tidak sah. Penentuan awal waktu-waktu shalat itu sangat dipengaruhi oleh peredaran matahari, yaitu saat matahari terbit, berkulminasi, dan tenggelam. Penghitungan kapan matahari menempati posisi-posisi tersebut dimulai pada saat matahari berkulminasi. Pada dasarnya matahari ketika kulminasi dapat diobservasi dengan mudah walaupun dengan menggunakan alat sederhana seperti tongkat istiwa’ atau
miqyas. Berkaitan dengan polemik bahwa awal waktu subuh diduga terlalu cepat untuk wilayah Indonesia, penulis menemukan ada dua kelompok yang berbeda pendapat dalam penentuan awal waktu shalat subuh, yaitu Badan Hisab Rukyat Departemen Agama dan Aliran Salafi. Penentuan waktu-waktu shalat untuk wilayah Indonesia selama ini berpedoman pada Buku Pedoman Penentuan Jadwal Shalat Sepanjang Masa yang diterbitkan oleh Badan Hisab Rukyat Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama). Dalam buku itu, BHR merujuk pada kitab-kitab falak dan Ahli falak H. Saadoeddin Jambek, Abd. Rachim. Menurut mereka fajar shadiq muncul pada saat posisi matahari berada pada sudut 20º di bawah ufuk. Karena itu, BHR menetapkan bahwa fajar shadiq muncul pada saat matahari berposisi 20º di bawah ufuk. Sedangkan Aliran Salafi yang diwakili oleh Tim Qiblati dan Qiblatuna telah mengadakan observasi fajar shadiq di beberapa Negara yang selama ini menerbitkan penanggalan waktu-waktu shalat. Seperti ISNA, Ummul Qura, Mesir, The British Royal. Dari hasil observasi itu, Salafi menetapkan bahwa penetapan awal waktu shalat subuh yang ditandai dengan kemunculan fajar shadiq saat ini mengalami kesalahan. Pertama,posisi matahari pada saat awal subuh adalah -15º di bawah ufuk. Kedua, astronomical twilight merupakan fajar kadzib, bukan fajar shadiq.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan dalam beberapa hal. Perbedaan perspektif dalam penentuan awal subuh antara BHR Depag dan Aliran Salafi. BHR Departemen Agama menganggap masalah ini adalah masalah ijtihadiyah. BHR Depag berangkat dari sudut pandang astronomi, sedangkan Salafi berangkat dari sudut pandang syar’i. Dan perbedaan ini menjadi hal yang wajar saja, karena berangkat dari sudut pandang yang berbeda.Interpretasi terhadap ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi saw khususnya yang berkaitan dengan fajar shadiq; perspektif yang digunakan juga oleh kedua organisasi itu, BHR Depag berangkat dari perspektif astronomi, sedangkan aliran Salafi menggunakan perspektif Syar’i. Pengertian astronomical twilight yang berbeda; BHR Depag menganggap astronomical twilight sebagai fajar shadiq, sedangkan Salafi menganggapnya sebagai fajar kadzib.