Pendidikan Moral dalam Keluarga Modern:
Perspektif Ekologi Sosial
Fatchurrohman
STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) Salatiga
Email: artur.neno@yahoo.co.id
Abstract
Modernization, in fact, brings negative effect, i.e., the degradation of human values such as mechanization of human life. Humans have no more freedom. Technological values with their own calculation substitute human values. Capitalistic materialism unintentionally also brings the global advancement and parasitically infiltrates the human life. As the consequence, the moral relation among human being, environment and God also changes. In this condition, family takes a strategic role to fortify and solve the problem of children moral crisis. To solve the children moral crisis, the family needs to recognize some factors of the moral and behavior of the children and makes some efforts to control or demolish the pioneering factors affecting the negative behavior of children. The family should pay more attention to several influential elements such as climate in the family, school selection, peers, selection of mass media programs (television and radio), information and technology (hand phone and internet), and the condition of social environment.
Keywords: family, modern, moral
A. Latar Belakang Masalah
Gelombang kemajuan zaman yang melanda dunia sekarang ternyata membawa pengaruh ganda, bagai sisi mata uang yang selalu hadir bersamaan yaitu sisi positif dan sisi negatif. Sisi positif merupakan sisi dampak kemajuan zaman yang sengaja diciptakan untuk mewujudkan kesejahteraan kehidupan manusia, yaitu berupa berbagai kemudahan manusia dalam menjalani kehidupan. Sedangkan sisi negatif merupakan side effect atau dampak pengiring yang sebenarnya tidak diinginkan oleh innovator kemajuan zaman itu sendiri, yaitu pergeseran nilai-nilai moral luhur kemanusiaan.
Merujuk pada pemikiran Alvin Tofler, bahwa kemajuan zaman sekarang ini dipicu oleh kemajuan dalam tiga bidang kehidupan manusia, yaitu penemuan-penemuan dalam bidang pertanian, revolusi industri, dan kemajuan yang diakibatkan oleh perkembanan dalam bidang teknologi dan komunikasi. Penemuan-penemuan dalam tiga bidang kehidupan manusia tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan yang sangat besar dalam perilaku kehidupan manusia.
Masyarakat sekarang disebut sebagai masyarakat post industrial oleh Daniel Bell atau masyarakat informasi (information society) sebagai tahapan ketiga dari perkembangan peradaban manusia sebagaimana disebut oleh Tofler (Umiarso dan Makmur, H.F, 20 10:7) telah menjadikan manusia mengalami berbagai kemudahan teknologi dan perangkat komunikasi dan informasi.
Namun di sisi lain, kehidupan manusia justru sangat tergantung pada alat dan sistem yang mereka ciptakan sendiri. Kehidupan manusia menjadi sangat mekanik, manusia tidak memiliki kebebasannya lagi, manusia telah kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya dan digatikan dengan nilai-nilai teknologik yang memiliki kalkulasinya sendiri.
Kemajuan teknologi dalam berbagai bidang kehidupan manusia – sebagaimana di singguh di depan – ternyata mengubah pola relasi manusia beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Paham kapitalistik materialis ternyata secara tidak sengaja terbawa oleh arus kemajuan global dan melanda kehidupan manusia. Banyak orang tidak menyadari bahwa tatanan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi dasar bagi relasi manusia selama ini telah tergeser oleh nilai-nilai moral temporal dan profanik. Keyakinan akan kebenaran transcendental sedikit demi sedikit telah digeser oleh kebenaran yang empiric rationalistic yang dianggap mampu memenuhi kebutuhan hidup manusia dan menyelesaikan berbagai kegalauan hidup. Manusia merasa mampu mengatur dan menyelesaikan masalahnya sendiri dengan menciptakan pola aturan dan tata pergaulan yang dianggapnya match dengan gaya pergaulan global. Aturan tata pergaulan samawi yang mengatur relasi manusia secara vertical dan horizontal telah dibaikan dan diganti dengan nilai moral yang dianggap memiliki kebenaran universal sebagai hasil dari rekayasa pemikiran manusia yang mencoba mensinergikan antara logika dan emosinya, yaitu serangkaian etika pegaulan yang dianggap mampu menciptakan ketentraman hidup yang dapat diterima secara rasional.
Dampak nyata dari pola hidup demikian adalah manusia semakin teralienasi dari diri dan lingkungannya. Artinya manusia tidak dapat beraktivitas berdasarkan kehendak bebas dirinya, melainkan kehendak mekanisme teknologik yang telah diciptakannya sendiri dan manusia juga tidak bisa menciptakan relasi yang harmonis dengan lingkungan di sekitarnya. Akibatnya manusia tidak bisa menikmati kehidupannya bersama lingkungan yang ada di sekitarnya.
Manusia modern terkadang melihat sesuatu hanya didasarkan pada sudut pandang pinggiran eksistensi yaitu materialis empirik, sementara pandangan tentang spiritual atau pusat spiritualitas dirinya terabaikan. Oleh karenanya meskipun manusia secara material mengalami kecukupan, kemajuan yang spektakuler secara kuantitatif, namun secara kualitatif spiritualistik manusia mengalami krisis yang menyedihkan. Seharusnya manusia disadarkan dengan adanya berbagai krisis lingkungan sebagai akibat dari gaya hidupnya yang rasional materialistik, yang dapat mengancam kelangsungan kebahagiaan hidupnya.
Kalau dirunut, krisis eksistensial ini diawali dengan pemikiran Rene Descarter (1596 – 1650) melalui karyanya Doscourse on method of rightly conducting the reason and seeking the truth in the science. Dengan karyanya ini ia terkenal dengan jargon nya cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada), yang ingin mengungkapkan bahwa adanya keterpisahan antara manusia sebagai pemikir dan alam sebagai objek pikir (Umiarso dan Makmur, H.F., 2010: 75). Tidak ada yang tidak diketahui manusia, jika ia mau berpikir dengan akalnya, sebaliknya sesuatu itu tidak ada jika tidak mampu terpikirkan oleh akal manusia. Berbeda dengan sebelumnya, di mana alam selalu dikaitkan dengan ekeksistensi spiritualitas, yaitu kekuasaan Yang Maha Agung yang termanifestasi dalam berbagai form dan act.
Manusia dengan akalnya bahkan merasa bahwa ia mampu membedah alam semesta, kemudian manundukkannya untuk kepentingan hidupnya. Alam dianggap sebagai objek mati yang tidak memiliki relasi eksistensi, yang hanya dijadikan objek pikir manusia dengan ilmu pengetahuan sebagai hasil cipta pikirannya. Cara pikir tersebut kemudian memposisikan alam sebagai subordinasi dari manusia. Supremasi ilmu pengetahuan dan semangat aufklarung ini kemudian memunculkan semangat kapitalisme yang diikuti dengan imperialism, yang dalam perkembangannya kapitalisme dan imperialism ini juga merasuk ke dalam diri masing-masing manusia modern bukan hanya dalam dunia pasar global dan natural resources.
B. Permasalahan
Dampak nyata yang terasa di sekitar kehidupan kita adalah munculnya generasi-generasi kecil yang ternyata terpengaruh juga oleh gelombang besar dunia. Era sekarang yang sering disebut sebagai era globalisasi informasi ternyata mampu mengantarkan paham-paham modern tersebut ke seluruh pelosok negeri.
Sejalan dengan perkembangan era teknologi informasi yang begitu pesat, generasi anakanak sekarang telah menerima berbagai falsafah, cara pandang dan pola hidup masyarakat global. Gaya hidup rasional material begitu besar mempengaruhi pola pikir generasi sekarang. Mereka hanya percaya pada hal yang rasional dan hal-hal yang dapat dirasakan secara empirik inderawi, mereka kurang percaya lagi kepada hal-hal ghaib yang mengandung muatan nilai-nilai spiritualis. Eksistensi Tuhan yang ghaib, telah diganti dengan Tuhan yang tidak ghaib berupa materi, kekuasaan, dan relasi yang dianggap dapat membantu menyelesaikan masalah kehidupan manusia modern. Tuhan yang ghaib dianggap terlalu lamban dalam menangani masalah manusia modern. Relasi kepada Tuhan yang ghaib dilakukan hanya sebatas melestarikan warisan orang tua dan leluhur. Kepatuhan terhadap nilai-nilai moral diangap sebagai kewajiban kaum agamawan yang sampai saat ini masih kuat bertahan, bukan kewajiban yang bersifat fardhu ‘ain.
Relasi sosial dengan sesama manusia hanya didasarkan pada nilai profit ekonomis, bukan nilai luhur kemanusiaan seperti kebersamaan, persaudaraan, saling menghormati. Nilai-nilai tersebut dianggap menghambat perolehan nilai profit ekonomis. Nilai-nilai tata krama, sopan santun, toleransi, saling mencintai tidak lagi dilaksanakan dalam perspektif moral kemanusiaan universal transendental, namun didudukkan dalam kerangka nilai profit ekonomis, artinya seseorang akan mau melaksanakan nilai-nilai tersebut jika dapat mendatangkan keuntungan secara ekonomis bagi dirinya.
Sementara itu, etika tata kelola manusia modern terhadap alam lingkungan sekitar sudah sampai pada level yang memperihatinkan. Ketika alam dianggap sebagai subordinat dan objek kajian pikir manusia yang tidak dilandasi oleh kesadaran nilai transenden, maka akibatnya menjadi keserakahan dan kerakusan. Teknologi yang diciptakan manusia banyak yang tidak bersahabat dengan lingkungan manusia yang berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Menipisnya lapisan ozon merupakan efek dari banyaknya rumah kaca dan polusi udara yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik, kendaraan bermotor, hutan yang gundul, pantai yang mengalami abrasi, air sungai yang tercemar, sebagai dampak dari perilaku masyarakat modern. Dengan kata lain, tata keteraturan alam telah porak-poranda akibat eksploitasi manusia modern dengan dalih untuk kesejahteraan umat manusia. Umiarso (2010: 77), menyebutkan bahwa eksploitasi manusia modern yang tidak logis dan berimbang ini telah merusak relasi arif antara metacosmic, macrocosmic dan microcosmic yang dahulu saling berdialektika dalam suatu relasi interdependensi.
C. Pembahasan 1. Moral
Makna leksikal kata moral adalah susila, adat istiadat, batin (Partanto, 1994: 483). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 755), moral berarti hal-hal yang dikaitkan dengan baik dan buruk yang dapat diterima oleh umum baik berupa perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya.
Menurut Homby (Umiarso dan Makmur, H.F., 2010: 68), moral didefinisikan dalam beberapa makna yang saling terkait antar satu dan lainnya, yaitu:
- Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar salah (concerning principles of right and wrong).
- Baik dan buruk (good and virtuous).
- Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah (able to understand the difference between right and wrong).
- Aj aran atau gambaran tingkah laku yang baik (teaching or illustrating good behavior).
Dalam bahasa Yunani, istilah moral dikenal dengan istilah ethos yang berarti hukum, adat istiadat, budi pekerti atau kebiasaan. Dalam bahasa Latin, istilah moral berasal dari kata mores yang bermakna kesusilaan, adab, sopan santun, dan tradisi. Durkheim menjelaskan bahwa etika atau moral merupakan seperangkat aturan yang telah ditentukan tentang apa dan bagaimana seseorang harus berbuat dalam situasi tertentu (Umiarso dan Makmur, H.F., 2010: 69)
Dari berbagai definisi tersebut dapat dipahami bahwa moral merupakan etika, adab sopan santun, tata krama, budi pekerti, adat istiadat kebaikan, norma atau hukum susi la yang mengatur tata relasi dalam kehidupan manusia, baik relasinya kepada Tuhan, sesama, dan lingkungan agar tercipta kehidupan manusia yang bahagia, bermartabat, dan harmonis.
Moral merupakan elemen terpenting dalam kehidupan manusia karena manusia merupakan makhluq rasional yang mampu memahami tata krama dan sopan santun sebagai basis nilai dalam kehidupannya. Secara instinktif manusia memiliki kecenderungan untuk menciptakan kehidupan yang harmoni, nyaman, dan damai, sebagaimana dapat dij umpai dalam sejarah bahwa aturan-aturan hidup dalam kehidupan telah ada dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia guna mewujudkan kehidupan yang mereka citakan.
Manusia yang dapat menj alani hidup dengan bahagia tidak ada yang tidak menggunakan aturan kehidupan, karena aturan kehidupan tersebut merupakan pedoman dasar yang harus dijadikan landasan bagi anggota masyarakatnya dalam menjalani kehidupan sosialnya. Bangsa Bar-bar pun yang dianggap ‘tidak beradab’, mereka tetap memiliki aturan kehidupan, walaupun aturan kehidupan mereka mungkin tidak sejalan jika ditinjau dari perspektif aturan moral. Namun demikian, aturan kehidupan yang tidak sejalan dengan nilai moral lambat laun akan ditinggalkan karena tidak sejalan dengan kehendak fitri manusia itu sendiri. Kepatuhan manusia kepada aturan tersebut hanyalah kepatuhan yang semu karena kediktatoran pemimpin kelompok masyarakat tersebut.
Dalam perspektif moral, aturan kehidupan yang dipedomani sebagai landasan kehidupan harus didasarkan pada nilai-nilai kemanusian yang luhur. Nilai-nilai moral harus mencerminkan kebutuhan dasar manusia akan rasa keadilan, kebersamaan, toleransi, saling menghargai, saling menjaga, saling mengasihi, dan saling mencintai. Manusia menginginkan kehidupan yang damai dan harmoni dengan didasarkan pada nilai-nilai kehidupan yang manusiawi. Sementara itu, jika kehidupan manusia diwarnai dengan nilai-nilai yang bertolak belakang dengan nilai-nilai tersebut, akan menjadikan kehidupan manusia semakin terbelakang. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa nilai moral merupakan media transformatif, artinya moral mampu mengantarkan kehidupan manusia menjadi lebih baik, meningkatkan kehidupan manusia kepada taraf kehidupan yang lebih tinggi secara manusiawi.
2. Potret keluarga modern
Secara sederhana, keluarga modern dapat dikatakan sebagai keluarga yang hidup di tengah-tengah pengaruh arus modernisasi. Batasan keluarga modern tidak lagi oleh sekat-sekat geografis antara pedesaan dan perkotaan, namun lebih kepada gaya hidup dan pola pikir yang dianut keluarga yang bersangkutan. Gaya hidup dan pola pikir masyarakat yang secara geografis berada di pedesaan, dapat dikatakan sebagai keluarga modern manakala keluarga tersebut telah mengikuti gaya hidup orang modern.
Keluarga yang mengikuti pola kehidupan modern identik dengan keluarga yang hidup di dalam masyarakat metropolis perkotaan. Masyarakat perkotaan sangat beragam keadaannya dari aspek sosial ekonomi, pekerjaan, pola hidup, agama dan etnis. Keragaman keadaan sosial tersebut terjadi karena adanya mobilitas keluarga yang sangat tinggi dalam rangka pemenuhan kebutuhannya.
Suatu daerah bisa jadi memiliki daya tarik bagi berbagai kalangan dengan adanya berbagai kelengkapan fasilitasnya, seperti transportasi, pendidikan, hiburan, kesehatan, perbelanjaan, dan sebagainya. Bertemunya keinginan yang sama dari berbagai kalangan keluarga akhirnya membuat suatu komunitas tersendiri yang terdiri dari orang-orang yang memiliki latar budaya, pendidikan, etnis, agama yang beraneka ragam pula.
Menurut Shalahudin (1971:76), masyarakat modern perkotaan memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
- Masyarakat yang heterogen
Komposisi masyarakat modern perkotaan sangat heterogen, baik dari latar belakang pendidikan, ekonomi, sosial, agama, dan suku.
- Individualistis
Masyarakat perkotaan cenderung hidup sendiri-sendiri, tidak terlalu menggantungkan dan terikat kepada orang lain.
- Kontrol sosial yang tidak ketat
Dalam masyarakat perkotaan, masing-masing anggota masyarakat mengurusi dirinya sendiri dan tidak begitu mempedulikan urusan orang lain. Mereka tidak mau terlibat dalam urusan orang lain karena dianggap merepotkan.
- Dinamika sosial yang cepat
Tersedianya berbagai fasilitas di perkotaan mengakibatkan dinamika masyarakat begitu cepat. Hal itu juga didukung oleh karakter masyarakat perkotaan yang terbuka terhadap sesuatu yang baru.
Dilihat dari struktur keluarga, Hymovich (1980:16) mengklasifikasikan struktur keluarga masyarakat sekarang ke dalam nuclear families, extended families, communal families, dual career families, single parent families. Nuclear families sering disebut sebagai struktur keluarga tradisional, di mana dalam keluarga terdiri atas suami, isteri, dan anak yang tinggal dalam satu rumah tangga. Sebagian keluarga memperluas keanggotaan keluarganya, sementara sebagian yang lain mempertahankannya. Extended families merupakan gabungan dari dua atau lebih nuclear families yang tinggal dalam satu rumah, biasanya terdiri dari paman dan anak-anaknya. Communal families adalah struktur keluarga yang terdiri atas lebih dari satu pasangan monogami beserta anak mereka atau anggota keluarga yang dewasa lainnya. Mereka semua telah menikah antar satu dan lainnya, yang terdiri dari para orang dewasa yang ada di dalamnya dan dianggap sebagai orang tua bagai anak-anak mereka. Dual career families merupakan struktur keluarga di mana suami dan isteri keduanya bekerja di luar rumah. Single parent families merupakan struktur keluarga yang orang tuanya hanya satu, ayah atau ibu.
Dari berbagai struktur tersebut yang perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan pendidikan moral anak dalam keluarga sekarang adalah communal families, dual career families dan single parent families. Communal families dapat ditemui dalam keluarga yang tinggal di apartemen di mana di dalamnya terdiri dari berbagai keluarga yang selalu berinteraksi dan saling mempengaruhi. Dual career families merupakan struktur yang banyak diidealkan oleh keluarga modern, di mana dalam keluarga ini kedua orang tuanya bekerja di luar rumah. Keluarga dengan struktur demikian dianggap dapat memenuhi kebutuhan keluarga secara optimal. Menurut Field (20 10:77), meningkatnya jumlah ibu yang bekerja di luar rumah, dalam waktu yang lama cenderung akan berpengaruh negatif, yaitu berkurangnya peran keluarga dalam pendidikan anak. Menurut Coleman, pengaruh pendidikan anak yang terkuat terpusat di lingkungan keluarga, baru kemudian masyarakat yang melingkupinya. Sedangkan single parent familes merupakan fenomena struktur keluarga yang terjadi akibat perceraian atau pilihan hidup bagi keluarga yang bersangkutan. Keluarga yang termasuk ke dalam kategori ketiga struktur tersebut sangat rentan mengalami masalah terkait dengan pendidikan moral anak-anaknya, jika dibandingkan dengan keluarga yang memiliki struktur lain. Hal ini terjadi karena terbatasnya intensitas relasi orang tua dan anak-anaknya atau terlalu besarnya pengaruh relasi dengan orang lain di sekitarnya selain orang tuanya.
3. Pendidikan moral dalam perspektif Ekologi Sosial
Menurut Bronfenber & Morries (1998) : ecology is the science of interrelationship between organisms and their environments for humans, it involves the consequent biological, psychological, social, and cultural process that develop over time. (Berns, 2004: 3). Selanjutnya dikatakan bahwa : environment or social change influenced by such forces as demographies, economics, politic, and technology, present challenges to human adaptation.
Dalam konteks pendidikan, ekologi berarti segala hal di sekitar peserta didik yang mempengaruhi perkembangan peserta didik, baik berupa lingkungan manusia, demografi, ekonomi, kultur, psikologis yang selalu mengalami perubahan. Berns (2004:14) mengidentifikasi faktor-faktor yang berkonfigurasi memberikan pengaruh terhadap proses pendidikan anak sebagaimana dalam gambar berikut.
Dari gambar di bawah terlihat bahwa performa anak (peserta didik) dipengaruhi oleh konfigurasi berbagai faktor yang ada diluar dirinya. Faktor-faktor tersebut antara lain lingkungan microsystem, mesosystem, exosystem, macrosystem, dan chronosystem. Masing-masing lingkungan tersebut terdiri dari komponen-komponen kecil yang bervariasi.
- Mikrosistem.
Lingkungan mikrosistem ini berkaitan dengan kegiatan-kegaitan yang berhubungan dengan pengalaman anak pada masa kecil, di lingkungan keluarga, sekolah, kelompok bermain, media massa, lingkungan tetangga. Lingkungan keluarga menyediakan latar alami untuk pembentukan sikap dan berbagai peluang pengembangan diri anak. Di dalam keluarga anak menerima sosialisasi yang pertama dan utama yang akan bepengaruh bagi perkembangan berikutnya. Perfoma anak dipengaruhi oleh berbagai interaksi yang dijumpainya di sekolah, keluarga, teman sebaya, dan juga interaksi diantara anggota-anggota dalam mikrosistem itu, misalnya hubungan guru dengan orang tua akan mempengaruhi sikap guru ketika memberikan treatment kepada anaknya ketika bermasalah.
- Mesosistem.
Lingkungan mesosistem merupakan intermediate yang terdiri dari hubungan dan interrelasi dua atau lebih dari lingkungan mikrosistem anak, misalnya keluarga dan sekolah, keluarga dan kelompok bermain, keluarga dan media, hubungan antar keluarga, keluarga dalam lingkungan sekitar. Pengaruh lingkungan mesosistem bagi anak tergantung dari besar dan kualitas interrelasi antar mikrosistem. Hubungan antar anak yang satu dengan anak yang lain dipengaruhi oleh lingkungan mikrosistem yang melingkupinya, anak tidak bisa dilihat sebagai anak yang berdiri sendiri, namun anak merupakan individu yang membawa pengaruh keluarga, sekolah, teman sebaya yang melingkupinya.
- Eksosistem
Dimaksudkan dengan lingkungan eksosistem adalah lingkungan di mana anak tidak berperan aktif di dalamnya, namun dapat mempengaruhi lingkungan mikrosistem, misalnya pekerjaan orang tua, ideologi politik, sistem ekonomi, city council, parental social support networks. Orang tua yang bekerja sebagai tentara dan guru akan melahirkan pola asuh dalam keluarga yang berbeda. Hasil studi menunjukkan bahwa income orang tua dan lingkungan pekerjaan mempengaruhi perkembangan anak. Keluarga yang berkecukupan, perlindungan anak, asuransi kesehatan, dan berbagai layanan pendukung lainnya akan berpengaruh terhadap perkembangan anak.
- Makrosistem
Lingkungan makrosistem terdiri dari lingkungan masyarakat dan budaya yang mengitari anak, seperti sistem kepercayaan, agama, gaya hidup, norma-norma sosial, perubahanperubahan yang terjadi di lingkungan sosial.
- Kronosistem
Kronosistem merupakan perubahan ekologi sosial yang terjadi di sekitar anak yang menghasilkan individu baru sebagai produk dari pengaruh keadaan yang baru yang ada di sekitarnya. Misalnya perkembangan software komputer, perkembangan teknologi komunikasi akan berpengaruh pada gaya hidup, pola tingkah laku individu dan relasi antar individu. Jadi perubahan di makrosistem dapat mempengaruhi eksosistem, mesosistem, dan mikrosistem. (Berns, 2004:15)
Kalau dicermati secara mendetail, semua elemen ekologi sosial tersebut berpengaruh terhadap perilaku moral peserta didik. Namun uraian ini tidak berkompeten mengurai secara detail semua elemen. Bagian ini akan mengurai elemen-elemen ekologi sosial yang sekiranya dapat dikendalikan oleh keluarga agar dapat memperkuat pengaruh yang positif bagi perkembangan moral anak di lingkungan keluarga saat ini. Elemen-elemen yang dimaksud
adalah keluarga, sekolah, teman sebaya, media masa/televisi dan teknologi informatika/handphone, lingkungan sosial.
a. Lingkungan keluarga
Keluarga menduduki peran yang sangat sentral dalam pembinaan moral anak, sehingga keluarga harus senantiasa menjaga dan menunjukkan secara nyata kehidupan yang bermoral dengan seluruh anggota keluarga dalam segala relasinya. Satu hal yang harus diperhatikan dalam pembinaan moral dalam keluarga adalah pemilihan pendekatan pengasuhan kepada anak. Pendekatan pola asuh ini penting diperhatikan karena sangat mempengaruhi pola relasi antara anggota keluarga yang satu dan lainnya, yang pada akhirnya berpengaruh pada performa anak.
Salah satu pendekatan yang dapat dipilih keluarga dalam mengasuh anak adalah pendekatan otoritatif. Pendekatan pengasuhan ini dicirikan oleh tingginya hubungan kehangatan orang tua dengan anak. Orang tua otoritatif menetapkan dan menegakkan peraturan dengan tegas dan standar, secara konsisten memonitor perilaku dan menggunakan metode non-hukuman disiplin. Anak-anak diberi otoritas untuk menentukan perilakunya, sedangkan orang tua bertugas memberikan rambu-rambu perilaku yang baik dan tidak baik. Penelitian Baumrind & Black (1967), menunjukkan bahwa anak-anak dari orang tua otoritatif menunjukkan hasil yang paling positif. Mereka adalah anak-anak yang percaya diri dalam menyelesaikan tugas-tugas baru dan dalam penyesuaian emosional dan sosial. Remaja yang diasuh orang tua dengan pendekatan otoritatif menunjukkan perkembangan yang positif, mereka memiliki harga diri yang tinggi, kemandirian, kematangan moral dan sosial, keterlibatan dalam pembelajaran sekolah, nilai-nilai yang lebih baik, kepercayaan diri, berpikir dan bertanya dengan keyakinan diri (Than, 2004: 93).
Selain orang tua, pengasuh dalam keluarga juga perlu memperhatikan penanaman nilainilai moral anak dalam kehidupan sehari-hari. Banyaknya dual income family pada masa sekarang, memaksa keluarga untuk mengangkat pengasuh bagi anak-anaknya. Hal pokok yang perlu diperhatikan orang tua dalam hal ini adalah ketika memilih pengasuh, orang tua jangan hanya mempertimbangkan faktor ekonomis, namun juga faktor keteladanan pendidikan karena pengasuh akan menggantikan peran orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya di rumah selama ditinggal bekerja.
Menurut Abdullah Nashih Ulwan (1981: 2), ada lima metode dalam mendidik anak dalam keluarga agar memiliki moral yang baik, yaitu keteladanan, adat kebiasaan, nasihat, memberikan perhatian, dan hukuman.
1) Keteladanan
Dimaksudkan dengan keteladanan adalah pemberian teladan atau contoh perilaku yang baik dari orang dewasa kepada anak-anak dalam berbagai relasinya. Menurut Bronfenbrenner (Jones, V.F., and Jones, L.S., 1995:61), anak-anak belajar dengan melihat penampilan orang-orang dewasa yang ada di sekitarnya. Sebagian besar perilaku anak diperoleh melalui akumulasi berbagai tingkah laku yang dilihatnya dari orang dewasa yang berinteraksi dalam kehidupannya. Dalam teori belajar sosial dinyatakan bahwa anak-anak belajar dari berbagai hal pokok melalui pengamatan dan model yang ditampilkan orang lain di sekitarnya. Penelitian Bandura menyebutkan bahwa individu lebih suka tingkah laku yang mereka lihat dari orang yang memiliki kemampuan, memiliki kekuasaan, orang yang suka mensupport dan memberi penguatan kepadanya. Dengan kata lain, anak lebih mudah belajar dengan meneladani berbagai perilaku orangorang yang ada di sekitarnya.
Orang tua harus menyadari bahwa mereka adalah model teladan yang berkelanjutan bagi anak. Bronfenbrenner juga melaporkan bahwa anak-anak muda lebih suka meniru perilaku yang ditunjukkan oleh orang-orang dewasa, begitu juga para pemuda cenderung meniru perilaku orang dewasa yang mereka anggap menguntungkan baginya. Oleh karena itu orang-orang dewasa yang ada di rumah harus mampu menunjukkan perilaku atau skill yang dapat dijadikan model oleh anak-anaknya.
Tingkah laku seseorang merupakan alat yang sangat efektif untuk mempengaruhi orang lain. Dalam bahasa yang lain, perilaku seseorang merupakan bahasa tubuhnya (body language) bagi orang lain untuk mengkomunikasikan pesan-pesan moral kepadanya. Orang tua tidak perlu banyak berbicara, menasehati, memarahi atau memaksa anak untuk berperilaku yang baik sesuai dengan keinginan, karena cara demikian kurang efektif dalam pendidikan. Orang tua dapat menggunakan dirinya sebagai model bagi anak didiknya, yaitu dengan menampilkan performa sebagaimana yang diidealkan agar mudah terlihat oleh anak-anaknya sekaligus menjadi contoh teladan bagi mereka.
2) Pembiasaan
Orang tua dapat membentuk moral anak dengan memberikan pembiasaan yang baik kepada mereka. Pembiasaan merupakan alat permulaan dan pangkal dalam kegiatan pendidikan. Pembiasaan ini dapat diterapkan pada anak yang belum memahami dan menginsyafi akan hal yang baik dan buruk, yang pada akhirnya akan memunculkan reflek yang positif bagi anak dalam berperilaku. Pembiasaan penting bagi pembentukan moral dan juga untuk merubah moral.
Agar pembiasaan berhasil, maka perlu diperhatikan hal berikut.
a) Pembiasaan harus dimulai sedini mungkin
b) Pembiasaan hendaknya terus menerus
c) Pembiasaan harus tegas, jangan memberi peluang anak untuk melanggar pembiasaan.
d) Pembiasaan yang semula mekanis, harus diarahkan kepada kesadaran diri.
Para penganut behaviorisme dan psikologi individu sangat menekankan pentingnya pembiasaan bagi anak dalam dalam pendidikan. Mereka berpandangan bahwa pembawaan itu tidak ada, performa anak ditentukan oleh pendidikan melalui pembiasaan. Bagi mereka bakat itu sangat kecil kontribusinya bagi pengembangan diri anak, masih kalah dibandingkan dengan pendidikan.
3) Nasehat
Nasehat merupakan petuah yang dimaksudkan agar seseorang gemar melakukan kebaikan dan mencegah kemunkaran. Pemberian nasehat orang tua kepada anak dilakukan untuk menjaga anak agar tidak melakukan keburukan atau karena anak melanggar aturan moral.
Orang tua perlu memberi nasehat kepada anak sedini mungkin dalam segala urusannya, karena anak belum memahami dengan baik akan kebaikan. Nasehat yang diberikan orang tua kepada anaknya meliputi tata krama kepada diri, orang lain, lingkungan alam dan kepada Tuhannya.
Orang tua dalam memberi nasehat kepada anaknya sebaiknya tidak dilakukan dalam kondisi marah, karena kurang mengena. Ketika orang marah kondisi emosinya tidak stabil, dalam keadaan demikian akalnya tidak dapat berfungsi secara maksimal. Oleh karena itu, dalam memberi nasehat orang tua perlu mengkondisikan iklim sosio emosional stabil sehingga nasehat diberikan dan diterima dengan senang dan penuh kesadaran.
4) Memberikan Perhatian
Pemberian perhatian orang tua kepada anak ini dilakukan sebagai bentuk ekspresi kasih sayangnya kepada anak-anak. Bagi anak, perhatian yang diberikan orang tua kepadanya merupakan daya dorong baginya untuk mengekspresikan diri dan tumbuh sewajarnya. Dengan demikian orang tua perlu memberikan perhatian yang penuh kepada anak-anaknya.
Pemberian perhatian orang tua kepada anaknya dapat dilakukan dengan memperhatikan keadaannya, memenuhi kebutuhannya, membantu segala kesulitannya, meluruskan kesalahannya, menerima keadaannya, mendengarkan keluhannya, menanggapi ceritanya dengan sungguh-sungguh, dan selalu mendampinginya. Orang tua yang mampu memberikan perhatian kepada anaknya dengan cara-cara tersebut secara hangat, memungkinkan baginya untuk dapat mengendalikan anaknya dengan mudah. Namun jika yang terjadi sebaliknya, di mana orang tua tidak memberikan perhatian yang cukup kepada anak-anaknya, maka mereka akan sangat kesulitan untuk mengarahkan anak-anaknya. Anak justru mencari perhatian dan kasih sayang di luar. Orang tua harus memiliki visi dan bersedia menyediakan waktu, energi, pikiran, dan materi untuk mewujudkan anak yang bermoral (Munif, 2010: 14).
5) Memberikan Hukuman
Dalam pendidikan, hukuman (punishment) merupakan penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh guru kepada siswa karena yang bersangkutan melanggar tata tertib. Dalam konteks keluarga, yang bertindak sebagai guru adalah orang tua, sedangkan anak berperan sebagai murid.
Orang tua dalam memberikan hukuman hendaknya merupakan jawaban atas pelanggaran, selalu bersifat tidak menyenangkan, dan bertujuan ke arah perbaikan, dan hukuman hanya untuk kepentingan anak itu sendiri. Oleh karena itu sarat hukuman yang baik dalam kerangka pendidikan adalah :
a) Dapat dipertanggung jawabkan
b) Besifat memperbaiki
c) Tidak boleh berupa ancaman dan balas dendam
d) Jangan menghukum kalau sedang marah,
e) Hukuman diberikan dengan penuh kesadaran dan diperhitungkan
f) Hukuman bersifat individual
g) Bukan hukuman badan
h) Tidak merusak hubungan pendidik dengan terdidik
i) Pendidik bersedia memaafkan kesalahan terdidik
j) Hukuman relevan dengan kesalahan
Menurut Nasih Ulwan (1981: 166), yang perlu diperhatikan orang tua ketika menghukum anaknya adalah :
a) orang tua jangan terburu-buru menggunakan metode pukulan atau hukuman kecuali telah mencoba metode yang lain dan tidak berhasil
b) orang tua jangan memukul ketika dalam keadaan marah
c) ketika menghukum atau memukul, hindari bagian-bagian yang peka, misalnya kepala, muka, dada, perut.
d) pukulan pertama untuk hukuman jangan terlalu keras, pada tangan atau kakinya.
e) jangan memukul anak sebelum berusia sepuluh tahun
f) jika dia berbuat salah baru pertama kali, hendaklah diberi kesempaan untuk bertaubat
g) memukul anak dengan tangannya sendiri
h) jika sudah dewasa, boleh memukul lebih dari sepuluh kali sampai jera.
Sementara pendapat lain, menurut An Nahlawi (1995: 204) pendidikan moral anak dalam keluarga dapat dilakukan dengan dialog, kisah, perumpamaan, keteladanan, praktik perbuatan, ‘ibrah dan mau ’idzah, targhib dan tar hib. Sedangkan Siswoyo (2005:72), mengatakan bahwa untuk anak usia dini pendidikan moral dapat dilakukan melalui pendekatan indoktrinasi, klarifikasi nilai, teladan atau contoh, dan pembiasaan dalam perilaku.
b. Sekolah
Orang tua perlu memilih sekolah yang mengedepankan pembentukan moral, bukan hanya sekolah yang mengejar prestasi akademik (being smart) namun mengabaikan moral (being good). Hasil riset menunjukkan bahwa IQ hanya menyumbang sekitar 20% bagi kesuksesan anak, yang lain (80%) adalah faktor kecerdasan yang lain, seperti kejujuran, disiplin, setian kawan, komitmen, tanggung jawab, yang semuanya itu masuk dalam kawasan moral. Orang tua sebaiknya menggunakan pespektif multipel inteligensi dalam mengawal perkembangan anak agar anak dapat berkembangan sesuai dengan potensi awal yang dimilikinya.
Dalam rangka membentuk anak yang bermoral melalui sekolah, orang tua harus proaktif melibatkan diri dalam kegiatan pendidikan anaknya di sekolah. Sayangnya hal ini tidak mudah, karena beberapa orang tua mempunyai pemahaman yang keliru ketika anak-anak mereka masuk sekolah, mereka melepaskan tanggung jawab dan membiarkan sekolah mengambil alih sepenuhnya tanggung jawab mendidik anak-anak mereka. Mereka kurang menyadari bahwa keluarga dan sekolah harus bekerja sama dalam kemitraan untuk mengembangkan sepenuhnya potensi anak-anak. Ketika seorang anak pergi ke sekolah, ia memperoleh nilai-nilai, sikap, dan pengetahuan baru yang harus diperkuat oleh keluarga. Ketika keluarga gagal mensupport pembelajaran hal-hal yang baru, anak mungkin akan terperangkap di antara nilai-nilai yang berbeda dan menjadi bingung.
Tidak selayaknya jika orang tua menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah atas urusan pendidikan anaknya dengan alasan apapun, karena orang tua bersama anggota keluargalah yang memiliki pengaruh besar dalam pembentukan performa anak.
c. Teman sebaya
Teman sebaya harus dikontrol dan dikendalikan karena teman sebaya sangat besar pengaruhnya bagi perilaku anak. Anak akan sangat mudah terpengaruh oleh teman sebaya dari pada elemen yang lain, karena kepatuhan pada teman sebaya akan menjadikan dia diterima dalam kelompok teman sebaya. Jika mereka tidak patuh pada teman sebaya, dia khawatir ditinggalkan teman sebaya, dan ini merupakan hukuman yang palng berat bagi anak. orang tua harus selalu mengontrol dan mengawasi, dan mengecek perilaku baru yang diperoleh anak setelah dia bermain dengan teman sebaya. Tingkah laku yang tidak baik harus segera dinetralisir agar tidak tersimpan dalam memori panjangnya yang pada akhirnya berpengaruh pada perilaku anak selanjutnya.
Dalam kaitannya dengan pembentukan performa peserta didik, peran sekolah ternyata hanya sedikit, masih kalah dibandingkan dengan peran orang-orang yang ada di sekitarnya terutama teman pergaulan yang sebaya dengannya. (John Field, 2010:36). Dalam sebuah Hadits, rasulullah SAW bersabda :
Artinya: Seseorang yang berada dalam tuntunan temannya, maka hendaklah salah seorang dari kamu melihat siapa yang menjadi temannya (HR. At-Tirmidzi)
d. Media masa
Media masa kini telah menjadi kebutuhan bagi setiap orang. Media masa manyajikan beragam informasi yang dapat menjadi alat komunikasi, pendidikan dan hiburan. Dalam kaitan ini, sebagai orang tua harus mengontrol waktu anak bersama media hiburuan, misalnya televise karena jika dicermati, prosentasi hiburan dan pendidikannya lebih banyak hiburannya, dan terkadang banyak hiburan yang kurang memperhatikan nilai-nilai moral edukatif. Media hiburan terkadang hanya mengedepankan sisi estetika dan kurang mengindahkan sisi etika. Anak belum bisa menyeleksi tontonan yang bermoral dan tontonan yang kurang bermoral, dia menganggap bahwa yang ditampilkan di televisi adalah baik dan layak untuk ditiru. Orang tua dapat memediasi anak-anak menonton televisi dengan : (1) mengendalikan jumlah jam tayang televisi, (2) mengevaluasi acara-acara yang dilihat anak, (3) mendampingi anak menonton televisi, (4) mengatur kegiatan-kegiatan keluarga selain menonton televisi (Berns, 2004: 347).
Anak perlu didampingi orang tua di dalam menonton televisi karena anak tidak menonton televisi dengan cara yang sama sebagaimana yang dilakukan orang tua. Menurut Marieli Rowe (Berns, 2004: 349), direktur eksekutif dari American council for better broadcasts, dampak televisi bagi pemirsanya sebagian besar bergantung pada pemirsanya itu sendiri. Pemirsa dewasa mampu menganalisis isi tayangan, mengevaluasi kesesuaiannya dengan realitas di sekitarnya dan mampu menyerap intisari cerita dari kisah yang ditayangkan. Sementara pemirsa anak-anak belum mampu melakukan hal itu. Anak kecil belum mampu membedakan antara fantasi dan kenyataan, mereka cenderung memahami apa yang ditayangkan itu sebagai kebenaran.
Sebagian penyedia tayangan televisi sebenarnya telah mempersiapkan tayangan-tayangan untuk anak usia tertentu. Misalnya Sesame street, Shaun the sheep, Spongebob adalah tayangan yang dirancang untuk anak-anak usia prasekolah. Wishbone, Si Bolang, Laptop Si Unyil adalah tayangan yang dirancang untuk anak usia sekolah. Scientific American Frontiers, Ranking 1 adalah tayangan yang dirancang untuk anak usia remaja. Selain itu, setiap tayangan juga telah diinformasikan tentang usia ideal yang boleh menonton tayangan tersebut dengan kode A (untuk anak-anak) SU (untuk segala umur), R (untuk remaja, D (untuk dewasa), A-BO (untuk anak dan remaja dengan bimbingan orang tua). Namun terkadang tidak semua pemirsa memperhatikannya.
Selain media masa, merebaknya kepemilikan teknologi informasi di seluruh lapisan masyarakat juga membawa pengaruh ganda, positif dan negatif. Teknologi informasi yang paling merakyat adalah handphone dan internet. Kehadiran perangkat komunikasi handphone di berbagai lapisan masyarakat sangat berpengaruh bagi perilaku individu apalagi handphone yang telah memiliki fasilitas internet yang merupakan fasilitas swalayan bagi individu untuk mendapatkan informasi apa saja yang dia inginkan tanpa ada yang membatasi dan mengawasi. Informasi yang diperoleh dari internet juga sangat berpengaruh bagi perilaku individu yang bersangkutan, baik yang positif maupun negatif. Dalam konteks pendidikan moral yang perlu diperhatikan adalah orang tua perlu memiliki mekanisme yang tepat untuk dapat mengontrol pemakaian handphone dan internet bagi anak-anaknya.
Orang tua tidak selayaknya memberikan kebebasan tanpa batas kepada anaknya dalam penggunaan handphone dan internet dengan alasan apapun. Orang tua perlu membuat kesepakatan dengan anaknya dalam hal penggunaannya agar dampak positif yang diperoleh lebih banyak dari pada dampak negatifnya. Orang tua juga perlu mengontrol secara berkala atas penggunaan media-media komunikasi tersebut agar tidak berlebihan, karena penggunaan handphone dan internet yang tidak terkendali akan berdampak secara psikologis dan fisiologis. Dampak psikologis akan dirasakan berupa kegelisahan jiwa anak jika ia menemukan kesenjangan yang jauh antara ralitas dengan informasi yang diperolehnya, sedangkan dampak fisiologis akan dirasakan anak berupa gangguan neurologis akibat terlalu lama berdekatan dengan gelombang elektromagnetik dari sinyal media komunikasi tersebut.
e. Lingkungan sosial
Lingkungan sosial juga termasuk salah satu elemen sosial yang mempengaruhi performa moral anak. Sebagaiana telah disinggung di bagian awal, bahwa anak akan terpengaruh dengan segala interaksi yang dijumpainya. Anak menganggap apa yang disaksikan di sekelilingnya sebagai kebenaran yang harus diikutinya. anak belum memiliki daya selektif yang tinggi terhadap berbagai hal yang ada di sekitarnya.
Para orang tua perlu memperj uangkan penciptaan lingkungan sosial yang baik, yang dapat mengapresiasi nilai-nilai kebaikan dalam pergaulan. Mereka juga perlu berusaha untuk menghilangkan faktor-faktor pemicu yang dapat munculkan perilaku amoral dalam lingkungan sosialnya. Usaha penciptaan lingkungan sosial yang baik ini dilakukan sebagai perwujudan tanggung jawab bersama dalam pendidikan antara keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah.
Kesepakatan penciptaan lingkungan yang baik ini dapat diwujudkan dalam bentuk aturanaturan sosial yang dimaksudkan untuk melindungi anak-anak dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik. Misalnya pemberlakuan jam belajar malam antara jam 19.00 – 21.00, pendirian sanggar belajar di lingkungan, poster-poster moral, sosialisasi pendidikan anak pada berbagai pertemuan lingkungan, gerakan sosial untuk keluarga kurang mampu, dan sebagainya.
D. Kesimpulan
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mengantarkan kehidupan manusia dalam kehidupan modern, kehidupan yang diwarnai dengan berbagai kemudahan hidup. Namun di sisi lain, modernisasi yang melanda manusia sekarang mengakibatkan perubahan tata nilai moral dalam kehidupan masyarakat yang jika dibiarkan akan menjerumuskan manusia dalam dehumanisasi.
Perubahan tata nilai moral tersebut terjadi dalam segala relasi kehidupan manusia, baik relasi pada diri orang lain, lingkungan sekitar dan kepada Tuhannya. Nilai-nilai humanis religius yang telah mentradisi sementara ini dalam masyarakat tradisional telah tergantikan dengan nilainilai kehidupan yang pragmatik kapitalistik.
Dalam keadaan demikian, keluarga memiliki peran yang sangat strategis untuk mengatasi masalah moral yang melanda generasi sekarang ini. Keluarga perlu memahami faktor ekologi sosial yang mempengaruhi perilaku anak dan kemudian mengkondisikannya agar pengaruh positif yang diberikan lebih kuat dari pada pengaruh negatifnya. Beberapa elemen yang kiranya dapat dikendalikan keluarga adalah pendidikan dalam keluarga itu sendiri, pemilihan sekolah yang mengedepankan pendidikan moral, pemilihan teman sebaya, pemilihan tontonan televisi atau media masa lainnya, pengendalian penggunaan handphone dan internet, dan pengkondisian lingkungan sosial di sekitarnya.
Wallahu a ’lam
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Nashih Ulwan. 1981. Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam. (terjemahan Saifullah
Kamali dan Hery Noer Ali). Semarang: Asy-Syifa’ (buku asli terbit tahun 1981)
An Nahlawi, A. 1995. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat. (terjemahan Shihabuddin) Jakarta: Gema Insani. (buku asli terbit tahun 1983)
Berns, R.M, 2004. Child, Family, School, and Community. Colonia Polanco: Thomson Learning.
Debra P. Hymovich and Robert W. Chamberlin. 1980. Child and Family Development: Implications for Primary Health Carre. Optima: McGraw-Hill. Inc.
Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Field, J., 2010. Modal Sosial. (Terjemahan Nurhadi). Bantul: Kreasi Wacana. (Buku asli terbit tahun 2003).
Jones, F.J and Jones, L.S. 1995. Comprehensive Classroom Management. Nedham Heights: Allyn & Bacon.
Munif, A. 2010. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Pedagogia. Partanto, PA., 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola. Shalahuddin, M. dan Kadir, A. 1991. Ilmu Alamiah Dasar. Surabaya: Bina Ilmu.
Siswoyo, D., dkk. 2005. Metode Pengembangan Moral Anak Prasekolah. Yogyakarta: FIP UNY.
Than, E. 2004. Conceling in School: Theory, Processes, and Technique. Singapore: McGraw Hill Education.
Umiarso dan Makmur, H.F., 2010. Pendidikan Islam: Krisis Moralisme Masyarakat Modern. Yogyakarta: IRCiSoD.