Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah global, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah “negara berkembang” biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang “miskin”1.
Kemiskinan merupakan hal yang kompleks. Kemiskinan berkaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia. Kemiskinan muncul karena sumber daya manusia yang tidak berkualitas, begitu pula sebaliknya. Membangun pengertian kemiskinan bukanlah perkara yang mudah karena kemiskinan mencakup berbagai macam dimensi. Dimensi kemiskinan dapat diidentifikasi menurut ekonomi, sosial, politik2. Kemiskinan secara ekonomi dapat diartikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan. Kemiskinan ini dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumber daya yang tersedia dan membandingkannya dengan ukuran baku. Kemiskinan sosial dapat diartikan sebagai kekurangan jaringan sosial dan struktur sosial yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat. Kemiskinan sosial dibedakan berdasarkan faktor yang menyebabkan kemiskinan itu terjadi3. Sedangkan kemiskinan politik menekankan pada akses terhadap kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud mencakup tatanan sistem sosial yang dapat menentukan alokasi sumber daya untuk kepentingan sekelompok orang atau tatanan sistem sosial yang menentukan alokasi penggunaan sumber daya.
Dari kenyataan seperti di atas, kemudian muncul beberapa ketentuan mengenai kemiskinan, yaitu4:
- Biro Pusat Statistik (BPS): tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah rupiah konsumsi berupa makanan yaitu kurang dari 2100 kalori per orang per hari (dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada di lapisan bawah), dan konsumsi nonmakanan (dari 45 jenis komoditi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antara wilayah pedesaan dan perkotaan). Patokan kecukupan 2100 kalori ini berlaku untuk susunan umur, jenis kelamin, dan perkiraan tingkat kegiatan fisik, berat badan, serta perkiraan status fisiologis penduduk.
- Sayogyo: tingkat kemiskinan didasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah tangga yang disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per tahun dan dibagi wilayah pedesaan dan perkotaan.
Daerah pedesaan:
- Miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 320 kg nilai tukar beras per orang per tahun.
- Miskin sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 240 kg nilai tukar beras per orang per tahun.
- Paling miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 180 kg nilai tukar beras per orang per tahun.
Daerah perkotaan:
- Miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 480 kg nilai tukar beras per orang per tahun.
- Miskin sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 380 kg nilai tukar beras per orang per tahun.
- Paling miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 270 kg nilai tukar beras per orang per tahun.
Bank Dunia: Bank Dunia mengukur garis kemiskinan berdasarkan pada pendapatan seseorang kurang dari US$1 per hari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN): mengukur kemiskinan berdasarkan kriteria Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS) dan Keluarga Sejahterara I (KS 1). Kriteria Keluarga Pra KS yaitu keluarga yang tidak mempunyai kemampuan untuk menjalankan perintah agama dengan baik, minimum makan dua kali sehari, membeli lebih dari satu stel pakaian per orang per tahun, lantai rumah bersemen lebih dari 80%, dan berobat ke Puskesmas bila sakit. Kriteria Keluarga Sejahtera 1 (KS 1) yaitu keluarga yang tidak berkemampuan untuk melaksanakan perintah agama dengan baik, minimal satu kali per minggu makan daging/telor/ikan, membeli pakaian satu stel per tahun, rata-rata luas lantai rumah 8 m2 per anggota keluarga, tidak ada anggota keluarga umur 10 sampai 60 tahun yang buta huruf, semua anak berumur antara 5 sampai 15 tahun bersekolah, satu dari anggota keluarga mempunyai penghasilan rutin atau tetap, dan tidak ada yang sakit selama tiga bulan.
Teori-teori Kemiskinan
Terdapat beberapa teori yang telah dielaborasi berkaitan dengan kemiskinan5. Secara ringkas, teori-teori tersebut dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu teori yang memfokuskan pada tingkah laku individu dan teori yang mengarah pada struktur sosial.
Teori yang memfokuskan pada tingkah laku individu merupakan teori tentang pilihan, harapan, sikap, motivasi dan human capital. Secara keseluruhan, teori ini tersajikan dalam teori ekonomi neoklasik, yang berasumsi bahwa manusia bebas mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dengan tersedianya pilihan-pilihan. Teori perilaku, singkatnya, meyakini bahwa sikap individu yang tidak produktif telah melahirkan lahirnya kemiskinan.
Teori kedua adalah teori strukturalis yang diwakili oleh teori kelompok marxis. Yaitu bahwa hambatan-hambatan struktural yang sistemik telah menciptakan ketidaksamaan dalam kesempatan, dan berkelanjutannya penindasan terhadap kelompok miskin oleh kelompok kapitalis6. Teori struktural melihat bahwa kondisi miskinlah yang mengakibatkan perilaku tertentu pada setiap individu, yaitu, munculnya sikap individu yang tidak produktif merupakan akibat dari adaptasi dengan keadaan miskin.
Selain dua teori di atas, terdapat pula teori yang tidak memihak. Teori yang paling terkenal adalah teori mengenai budaya miskin. Teori ini mengatakan bahwa gambaran budaya kelompok kelas bawah, khususnya pada orientasi untuk masa sekarang dan tidak adanya penundaan atas kepuasan, mengekalkan kemiskinan di kalangan mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Pendidikan dan Kemiskinan
Pada umumnya, permasalahan mengenai pendidikan dan kemiskinan di negara berkembang hampir serupa. Umunya, negara-negara ini menghadapi dilema; apakah pertumbuhan ekonomi yang lebih dahulu dipacu ataukah pendidikan yang lebih baik. Persoalan ini sukar dijawab, sehingga ia lebih merupakan sebuah lingkaran setan (vicious circle)7.
Keterkaitan kemiskinan dengan pendidikan sangat besar karena pendidikan memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu dan keterampilan. Pendidikan juga menanamkan kesadaran akan pentingnya martabat manusia. Mendidik dan memberikan pengetahuan berarti menggapai masa depan. Hal tersebut seharusnya menjadi semangat untuk terus melakukan upaya mencerdaskan bangsa. Tidak terkecuali, keadilan dalam memperoleh pendidikan harus diperjuangkan dan seharusnya pemerintah berada di garda terdepan untuk mewujudkannya. Penduduk miskin dalam konteks pendidikan sosial mempunyai kaitan terhadap upaya pemberdayaan, partisipasi, demokratisasi, dan kepercayaan diri, maupun kemandirian. Pendidikan nonformal perlu mendapatkan prioritas utama dalam mengatasi kebodohan, keterbelakangan, dan ketertinggalan sosial ekonominya. Pendidikan informal dalam rangka pendidikan sosial dengan sasaran orang miskin selaku kepala keluarga (individu) dan anggota masyarakat tidak lepas dari konsep learning society adult education experience yang berupa pendidikan luar sekolah, kursus keterampilan, penyuluhan, pendidikan dan latihan, penataran atau bimbingan, dan latihan8.
Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin padabulan Maret 2007 yang berjumlah 37,17 juta orang (16,58 persen), berarti jumlah penduduk miskin turunsebesar 2,21 juta orang. Selama periode Maret 2007-Maret 2008, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 1,42 jutaorang, sementara di daerah perkotaan berkurang 0,79 juta orang. Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2008, sebagian besar (63,47 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan9.
Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 1996-2007 berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta karena krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999. Persentase penduduk miskin meningkat dari 17,47 persen menjadi 23,43 persen pada periode yang sama. Pada periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38,70 juta pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta pada tahun 2005. Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 19,14 persen pada tahun 2000 menjadi 15,97 persen pada tahun 2005. Namun pada tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis, yaitu dari 35,10 juta orang (15,97 persen) pada bulan Februari 2005 menjadi 39,30 juta (17,75 persen) pada bulan Maret 2006. Peningkatan jumlah dan persentase penduduk miskin terjadi karena adanya kenaikan harga BBM yang menyebabkan naiknya harga berbagai barang sehingga inflasi mencapai 17,95 persen selama periode Februari 2005-Maret 2006. Akibatnya penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada disekitar garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar 37,17 juta (16,58 persen), turun 2,13 juta dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2006. Meskipun demikian, persentase penduduk miskin pada Maret 2007 masih lebih tinggi dibandingkan keadaan Februari 2005, dimana persentase penduduk miskin sebesar 15,97 persen10.
Angka-angka diatas belum diperhitungkan lagi dari sisi penduduk yang seharusnya masuk usia sekolah namun tidak mampu masuk sekolah karena faktor kemiskinan. Sumber tahun 1978 misalnya menyebutkan bahwa dari 58.458.893 penduduk usia sekolah, hanya 24.076.348 orang yang dapat menikmati pendidikan, sisanya terpaksa tidak sekolah, drop-out, atau mencari pekerjaan untuk menyambung hidup mereka. Kenyataan ini menunjukkan bahwa dalam lingkungan sosial yang miskin tingkat pendidikan yang mampu diraih sangat rendah11. Azra menilai bahwa kenyataan yang ada di indonesia sekarang ini merupakan akibat dari sisa-sisa penjajahan. Dalam rangka melanggengkan kekuasaan, pemerintah kolonial Belanda tidak memberikan porsi kepada rakyat jelata Indonesia untuk memperoleh akses pendidikan yang memadai. Pendidikan hanya ditujukan kepada rakyat Indonesia yang mampu menunjukkan loyalitas kepada Belanda. Kenyataan seperti inilah yang kemudian menciptakan feodalisme baru pasca feodalisme pemerintah kolonial. Struktur masyarakat yang ada hanyalah struktur yang didominasi oleh golongan borjuasi birokrasi. Struktur feodal borjuis ini kemudian melembaga. Anak-anak kaum borjuis menjadi borjuis di kemudian hari, sementara anak-anak miskin tetap bergelut dalam kejelataan.
Sesuai dengan UUD 1945, rakyat Indonesia tidak lagi terstruktur dalam kelas yang didasarkan pada sistem feodal atau borjuasi (setidaknya dalam teori/termaktub dalam undang-undang, walaupun pada kenyataannya tidak demikian). Sistem pendidikan nasional yang dirumuskan pemerintah masih cenderung menciptakan ketimpangan struktur masyarakat seperti yang terlihat dalam praktek pendidikan masyarakat kolonial. Maka jangan heran kalau kemudian muncul kritikan terhadap model pendidikan. Ivan Illich misalnya, melucuti kemapanan sekolah yang menurutnya hanya mempertajam ketimpangan masyarakat12. Pada saat ini memang sangat disadari bahwa sebagian besar porsi pendidikan – terutama pendidikan bermutu – hanya dapat diakses oleh kalangan the have. Dalam kenyataan yang demikian maka kecil harapan bagi rakyat miskin untuk dapat mengakses pendidikan, apalagi pendidikan bermutu. Mereka akan tetap bergulat dalam kemelaratan.
Kemiskinan yang dihadapi, membuat mereka akan terbelenggu dalam kebudayaan kemelaratan (culture of poverty), Paulo Freire dengan tegas menyatakan bahwa pada akhirnya penduduk yang miskin terjebak dalam kebudayaan bisu (culture of silence)13. Kebudayaan bisu ini membentuk pandangan hidup si miskin baik dalam memandang tata nilai, sikap mental dan tingkah laku yang pasrah, karena mereka sendiri sudah tidak peduli lagi terhadap kemiskinan yang mereka alami. Keadaan ini membuat rakyat miskin seakan-akan orang bisu yang tidak mempunyai apa-apa.
Di bidang pendidikan, salah satu masalah kunci adalah tingginya angka putus sekolah di masyarakat miskin pada saat mereka melanjutkan pendidikan dari SD ke SMP. Yang menjadi masalah utama adalah kurangnya akses masyarakat miskin untuk melanjutkan dari SMP ataupun SMK, baik bersifat fisik maupun finansial. Akses finansial terbatas akibat tingginya biaya menciptakan halangan bagi pendidikan masyarakat miskin pada tingkat pendidikan menengah pertama. Sekitar 89 persen anak dari keluarga miskin menyelesaikan sekolah dasar, tetapi hanya 55 persen yang menyelesaikan sekolah menengah pertama. Diagnosa menunjukkan bahwa manfaat pendidikan (return to education) meningkat seiring dengan dengan meningkatnya pendidikan. Pada tahun 2002, peningkatan upah pekerja pria di perkotaan (pedesaan) akibat dari tambahan satu tahun pendidikan untuk seseorang yang hanya mengecap satu tahun pendidikan dapat mencapai 8,3 persen (dan 6,0 persen untuk pedesaan); setelah lima tahun pendidikan, manfaat yang didapat (return)-nya adalah 10,0 persen (dan 7,6 persen untuk pedesaan), serta setelah delapan tahun pendidikan adalah 11,1 persen (dan 8,8 persen untuk pedesaan)14.
Investasi di bidang pendidikan harus dilakukan dengan fokus pada perbaikan akses dan keterjangkauan sekolah menengah serta pelatihan ketrampilan bagi masyarakat miskin, sambil terus meningkatkan mutu dan efisiensi sekolah dasar. Untuk memperbaiki pendidikan masyarakat miskin pada tingkat sekolah menengah diperlukan intervensi dari sisi penawaran dan permintaan. Pada sisi penawaran, perlu disediakan lebih banyak ruang kelas dan gedung sekolah menengah. Hal ini dapat dilakukan dengan mengkonversi gedung sekolah dasar bila terjadi kelebihan persediaan. Pada sisi permintaan, sekolah menengah dan sekolah menengah kejuruan dapat dibuat lebih terjangkau bagi masyarakat miskin dengan mentargetkan bantuan kepada siswa miskin melalui beasiswa atau bantuan tunai bersyarat (CCT). Untuk memperbaiki mutu pendidikan dasar, prioritas tindakan yang bisa diambil adalah melaksanakan program untuk memperbaiki manajemen guru sehingga jumlah guru di sekolah berkurang tetapi mutunya meningkat dan jumlah yang ditempatkan di wilayah terpencil bertambah.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi, Pendidikan Nasional versus Kemiskinan dalam Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Berita Resmi Badan Pusat Statistik, Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2008, No. 37/07/Th. XI, 1 Juli 2008. Dapat diakses di http://www.bps.go.id/releases/files/kemiskinan-01jul08.pdf
Effendi, Tadjuddin Noer, Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja dan Kemiskinan, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1995, cet. II.
Fakih, Mansour, et. al., Pendidikan Populer : Panduan Pendidikan untuk Rakyat, Yogyakarta: Read Books, 2000.
………………………., Tuhan tidak Mengubah Nasib Kaum Miskin Kalau Mereka tidak Merebutnya, Prolog untuk buku Bebas dari Neoliberalisme, Yogyakarta: Insist Press, 2003.
Freire, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta: LP3ES, 1985.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan
Illich, Ivan, Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah, diterjemahkan dari Deschooling Society, oleh Sony Keraf, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000.
Nitiprawiro, Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan: Antara Kompetisi dan Keadilan, Yogyakarta: Insist Press, 2001.
Sherraden, Michael, Aset untuk Orang Miskin; Perspektif Baru Usaha Kemiskinan, diterjemahkan dari Assets and The Poor: A New American Welfare oleh Sirojuddin Abbas, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Supriatna, Tjahya, Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan, Bandung: Humaniora Utama Press, 1997.
Suryawati, Chriswardani, Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional, JMPK Vol. 08/No.03/September/2005.
The World Bank Jakarta, Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia, dapat diakses di http://indopov.org/files/Ikhtisar.pdf
Topatimasang, Roem, Sekolah Itu Candu, Yogyakarta: Insist Press, 2007.
1 Pengertian ini diambil dari ensiklopedi online wikipedia berbahasa Indonesia. Dapat diakses di http://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan
2 Tadjuddin Noer Effendi, Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja dan Kemiskinan, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, hal. 249-254. cet. II.
3 Mengacu pada teori kemiskinan, kemiskinan yang dimaksud Tadjuddin adalah kemiskinan versi teori struktural.
4Chriswardani Suryawati, Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional, JMPK Vol. 08/No.03/September/2005.
5Michael Sherraden, Aset untuk Orang Miskin; Perspektif Baru Usaha Kemiskinan, diterjemahkan dari Assets and The Poor: A New American Welfare oleh Sirojuddin Abbas, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hal. 46.
6Dari teori inilah kemudian muncul istilah kemiskinan struktural. Mansour Fakih mengistilahkan kemiskinan jenis ini sebagai “pemiskinan”. Ia menyatakan bahwa saat ini, bangsa Indonesia tengah menyaksikan proses dehumanisasi dan pemiskinan. System social dan budaya yang tengah didirikan ternyata merupakan suatu system yang secara sistematis sanggup meruntuhkan kemanusiaan manusia. Dengan gamblang ia mencontohkan penggusuran, pengusiran anak-anak jalanan dan kekayaan Negara yang dijual dengan dalih privatisasi, merupakan representasi dari apa yang disebut sebagai proses pemiskinan. Lebih jelas lihat Mansour Fakih, Tuhan tidak Mengubah Nasib Kaum Miskin Kalau Mereka tidak Merebutnya, Prolog untuk buku Bebas dari Neoliberalisme, Yogyakarta: Insist Press, 2003, terutama bab 2.
7 Azyumardi Azra, Pendidikan Nasional versus Kemiskinan dalam Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hal. 157.
8Tjahya, Supriatna, Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan, Bandung: Humaniora Utama Press, 1997.
9 Berita Resmi Badan Pusat Statistik, Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2008, No. 37/07/Th. XI, 1 Juli 2008. Dapat diakses di http://www.bps.go.id/releases/files/kemiskinan-01jul08.pdf
10 Berita Resmi Badan Pusat Statistik, Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2008, No. 37/07/Th. XI, 1 Juli 2008. Dapat diakses di http://www.bps.go.id/releases/files/kemiskinan-01jul08.pdf
11Azyumardi Azra, Pendidikan Nasional versus Kemiskinan dalam Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, hal. 158.
12Ivan Illich, Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah, diterjemahkan dari Deschooling Society, oleh Sony Keraf, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000. Kritik serupa juga didengung-dengungkan oleh beberapa praktisi pendidikan Indonesia. Lebih jelas lihat Francis Wahono Nitiprawiro, Kapitalisme Pendidikan: Antara Kompetisi dan Keadilan, Yogyakarta: Insist Press, 2001, Roem Topatimasang, Sekolah Itu Candu, Yogyakarta: Insist Press, 2007.
13Azyumardi Azra, Pendidikan Nasional versus Kemiskinan dalam Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, hal. 161. Lebih jelas tentang pemikiran Paulo Freire, lihat Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta: LP3ES, 1985. Tentang bagaimana seharusnya pendidikan memanusiakan dan membebaskan manusia dari keterkungkungan budaya bisu yang diakibatkan oleh kemiskinan, lihat Mansour Fakih, et. al., Pendidikan Populer : Panduan Pendidikan untuk Rakyat, Yogyakarta: Read Books, 2000.
14 The World Bank Jakarta, Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia, dapat diakses di http://indopov.org/files/Ikhtisar.pdf
This entry was posted on May 13, 2009 at 4:26 am and is filed under makalah. Tagged: BBM, BPS, ekonomi, freire, kemiskinan, keuangan, miskin, pedesaan, pendidikan, perkotaan, poverty, statistik. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.