Oleh Alise Nur Saadah, S.Pd, Npm : 2111030097
A.Pendahuluan
Kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antar peserta didik, peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian kompetensi dasar. Kegiatan pembelajaran memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik. Dalam hal ini, kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan utama sekolah dimana dalam kegiatan ini peserta didik membangun makna dan pemahaman dengan bimbingan guru. Kegiatan pembelajaran hendaknya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan hal-hal secara lancar dan termotivasi. Suasana belajar yang diciptakan guru harus melibatkan peserta didik secara aktif. Di sekolah, terutama guru diberikan kebebasan untuk mengelola kelas yang meliputi strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran yang efektif, disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik peserta didik, guru, dan sumber daya yang tersedia di sekolah. Kegiatan pembelajaran yang dimaksud dapat diwujudkan melalui penggunaan pendekatan pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada peserta didik.
Dengan demikian perlu adanya alternatif pendekatan dalam pembelajaran. Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) yang sering disingkat CTL merupakan salah satu model pembelajaran berbasis kompetensi yang dapat digunakan untuk mengefektifkan dan menyukseskan implementasi Kurikulum 2004.
Pembelajaran berbasis pendekatan kontekstual memungkinkan peserta didik untuk menguatkan dan menerapkan keterampilan yang mereka peroleh dari berbagai mata pelajaran, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Peserta didik dilatih untuk dapat memecahkan masalah yang mereka hadapi dalam suatu situasi. Bila CTL diterapkan dengan benar, diharapkan peserta didik akan terlatih untuk dapat menghubungkan apa yang diperoleh di kelas dengan kehidupan nyata yang dialami yang ada di lingkungannya. Tugas guru sebagai fasilitator memberikan pengarahan dan bimbingan kepada peserta didik sehingga pembelajaran di kelas berbasis kontekstual dapat diterapkan dengan benar agar peserta didik dapat belajar lebih efektif. Dalam hal ini tugas guru adalah membantu mencapai tujuan pembelajaran.
Pendekatan kontekstual terdiri dari tujuh komponen, yaitu: constructivism, inquiry, questioning, learning community, modeling, reflection, authentic assessment. Berikut akan dikemukakan tentang hakikat pendekatan kontekstual, tujuh komponen pendekatan CTL, dan pembelajaran menulis berbasis pendekatan kontekstual.
a)Rumusan Masalah
Dalam makalah ini agar tidak meluas maka penulis batasi pada apa hakikat pendekatan konstektual, tujuh komponen pendekatan CTL, bagaimana pendekatan kontekstual dalam pembelajaran.
b)Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah mendeskripsikan hakikat pendekatan konstektual, tujuh komponenya, mendeskripsikan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran.
B.Hakikat Pendekatan Kontekstual
Konsep dasar pendekatan kontekstual ini diperkenalkan pertama kali tahun 1916 oleh John Dewey, yang mengetengahkan bahwa kurikulum dan metodologi pembelajaran seharusnya erat berhubungan dengan minat dan pengalaman peserta didik. Proses belajar akan lebih efektif bila pengetahuan baru yang diberikan kepada peserta didik berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang sudah dimiliki peserta didik sebelumnya (Kasihani, 2003: 2).
Masalah-masalah pembelajaran yang melatarbelakangi diperkenalkannya konsep pembelajaran kontekstual kerena sebagian peserta didik tidak dapat menghubungkan apa yang telah mereka pelajari dengan cara pemanfaatan pengetahuan tersebut di kemudian hari. Berkaitan dengan hal itu, guru dihadapkan pada tantangan dan masalah bagaimana mencari cara yang terbaik untuk menyampaikan konsep-konsep yang mereka ajarkan sedemikian rupa tepatnya agar semua peserta didik dapat menggunakan dan menyimpan informasi tersebut. Gafur (2003: 275) mengatakan bahwa pembelajaran kontekstual memandang proses belajar benar-benar berlangsung hanya jika peserta didik mampu memproses atau mengonstruksi sendiri informasi atau pengetahuan sedemikian rupa tepatnya sehingga pengetahuan menjadi bermakna sesuai dengan kerangka pikir mereka. Pendekatan kontekstual dalam pembelajaran adalah kemampuan peserta didik mengonstruk sendiri pengetahuan dan memberikan makna pemahamannya dalam pengalaman nyata. Dengan kata lain, pemahaman berkembang dalam pengalaman belajar bermakna.
C.Tujuh Komponen Pendekatan Kontekstual
Tujuh komponen CTL yang diterapkan dalam proses belajar-mengajar, yaitu: (1) konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), penilaian yang sebenarnya (authentic assessment). Ketujuh komponen tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
1) Konstruktivisme (Constructivism)
Constructivism merupakan landasan berpikir (filosofis) pendekatan CTL, yaitu pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas dalam konteks yang terbatas, kemudian berkembang. Manusia harus mengonstruksi pengetahuan itu sehingga hal itu mampu memberikan makna dalam pengalaman kehidupan sehari-hari, yaitu pengalaman nyata dalam bentuk berbahasa.
Secara riil guru tidak mampu memberikan semua pengetahuan kepada peserta didik. Oleh karena itu, peserta didik harus mengonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri dengan menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain yang akan menjadi miliknya sendiri. Misalnya, dari hal yang sederhana akan berkembang hingga ke hal yang rumit dengan penguasaan pengetahuan dan wawasan yang memadai. . Kemampuan peserta didik berkembang makin ‘dalam’ apabila selalu diuji dengan pengalaman baru, pemodelan, dan dengan timbulnya rasa ingin tahu.
Ciri khas paradigma pembelajaran konstruktivisme adalah keaktifan dan keterlibatan peserta didik dalam proses upaya belajar sesuai dengan kemampuan, pengetahuan awal, dan gaya belajar tiap-tiap peserta didik dengan bantuan guru sebagai fasilitator yang membantu peserta didik apabila mereka mengalami kesulitan dalam upaya belajarnya. Jadi, yang ditekankan dalam paradigma pembelajaran constructivistic adalah tingginya motivasi belajar peserta didik berdasarkan kesadaran akan pentingnya penguasaan pengetahuan yang sedang dipelajari, keaktifan dan keterlibatannya dalam merancang, melaksanakan, mengevaluasi kegiatan belajar sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang telah dimiliki serta disesuaikan dengan gaya belajar tiap-tiap peserta didik. Apabila paradigma konstruktivisme dipakai dalam proses pembelajaran, tujuan pembelajaran juga berubah dari orientasi hasil yang berupa penghafalan informasi faktual dan transfer informasi oleh guru ke peserta didik ke orientasi proses yang menekankan pengembangan keterampilan belajar, meniru gaya ilmuwan yang meliputi pengamatan, pengajuan pertanyaan kritis, pengajuan hipotesis, pengumpulan data untuk menguji hopotesis, trial and error, eksperimen, dan penarikan kesimpulan.
Menurut pandangan konstruktivis, strategi memperoleh pengetahuan lebih diutamakan dibandingkan dengan seberapa banyak peserta didik memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan cara: (1) menjadikan pengetahuan lebih bermakna dan relevan bagi peserta didik; (2) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan dan menerapkan idenya sendiri; dan (3) menyadarkan peserta didik agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam kegiatan belajarnya.
2) Menemukan (Inquiry)
Inquiry merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pembelajaran yang menggunakan inquiry menciptakan situasi yang memberikan kesempatan kepada peserta didik sebagai ilmuwan sehingga mereka betul-betul belajar. Peserta didik harus mampu mengamati dan mempertanyakan sebuah fenomena, mereka mencoba menjelaskan fenomena yang diamati, menguji kebenaran penjelasan mereka, kemudian menarik kesimpulan.
Kegiatan inquiry diawali dengan pengamatan, dilanjutkan dengan pertanyaan, baik oleh guru maupun oleh peserta didik. Berdasarkan pertanyaan yang muncul, peserta didik merumuskan semacam dugaan dan hipotesis. Untuk mengetahui apakah dugaan mereka benar, peserta didik mengumpulkan data yang akhirnya menyimpulkan hasilnya. Jika hasil kesimpulan belum memuaskan, mereka kembali ke siklus semula, mulai dari pengetahuan dan seterusnya. Inquiry memberikan kesempatan kepada guru untuk belajar memahami cara berpikir peserta didik mereka. Dengan pengetahuan yang mereka miliki, guru dapat menciptakan situasi pembelajaran yang sesuai dan mempermudah peserta didik memperoleh ilmu pengetahuan yang sudah ditargetkan dalam kurikulum.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa inti pendekatan kontekstual adalah menemukan (inquiry). Peserta didik diberikan kesempatan menjadi ilmuwan dengan melakukan kegiatan awal dalam pengamatan, pertanyaan, dugaan atau hipotesis, pengumpulan data, dan penyimpulan. Selain itu, dalam inquiry digunakan dan dikembangkan keterampilan berpikir kritis.
3) Bertanya (Questioning)
Questioning merupakan strategi utama pembelajaran berbasis CTL. Pembelajaran berbasis CTL dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir peserta didik.
. Bagi peserta didik, kegiatan bertanya merupakan bagian terpenting dalam melaksanakan pembelajaran berbasis inquiry, yaitu menggali informasi, mengonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Pada pendekatan CTL, baik guru maupun peserta didik harus mengajukan pertanyaan. Selain untuk mengggali informasi faktual dari peserta didik, guru juga bertanya untuk mendorong, membimbing, dan menilai mereka.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru diarahkan untuk: (1) mengetahui apa yang telah diketahui peserta didik; (2) membangkitkan rasa ingin tahu; (3) memusatkan perhatian peserta didik pada suatu objek pembelajaran; (4) merangsang respons peserta didik; (5) memicu pertanyaan-pertanyaan selanjutnya; (6) menyegarkan kembali apa yang telah dipelajari; dan (7) mengetahui apakah peserta didik sudah memahami materi yang disajikan.
4) Masyarakat Belajar (Learning Community)
Learning community adalah sekelompok orang yang terlibat dalam kegiatan belajar yang memahami pentingnya belajar, baik belajar secara individual maupun berkelompok agar mereka dapat belajar lebih mendalam. Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Masyarakat belajar, dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberikan informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya, sekaligus minta informasi yang diperlukan.
Pada kelas CTL, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Menurut Mukminatien (2003: 2) hakikat learning community adalah speak and share idea (berbicara dan berbagi gagasan) dan collaborative with others to create learning that is greater than if we work alone.
Dalam pelaksanaan speak and share idea (berbicara dan berbagi gagasan), berbicara dalam kelompok dimaksudkan untuk berbagi. Dengan langkah ini, learning community merupakan implementasi dari cooperative learning. Sebagai salah satu inovasi pendidikan yang terbukti sangat bermanfaat dalam memaksimalkan hasil belajar, learning community dapat berupa kegiatan-kegiatan berkelompok, melibatkan peserta didik bekerja bersama pada suatu tim demi mencapai tujuan tertentu.
Collaborative with others to create learning that is greater than if we work alone merupakan bentuk kerjasama dengan orang lain untuk mencapai hasil belajar yang tinggi (lebih besar) apabila dibandingkan dengan belajar sendiri. Hakikat kedua ini merupakan kaitan langsung mengapa learning community sangat penting. Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa belajar dengan orang lain untuk memecahkan masalah akan menghasilkan pencapaian yang lebih baik jika dibandingkan dengan bekerja sendiri.
Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Seorang guru yang mengajar peserta didiknya bukan contoh masyarakat belajar karena komunikasi hanya terjadi satu arah, yaitu informasi hanya datang dari guru ke arah peserta didik dan tidak ada arus informasi yang perlu dipelajari guru yang datang dari arah peserta didik. Dalam contoh ini, yang belajar hanya peserta didik bukan guru. Dalam masyarakat belajar, dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya. Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi apabila tidak ada pihak dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, dan semua pihak saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari. Kalau setiap orang mau belajar dari orang lain, setiap orang akan kaya dengan pengetahuan dan pengalaman.
Metode pembelajaran dengan teknik learning community ini sangat membantu proses pembelajaran di kelas. Praktiknya, dalam pembelajaran terwujud dalam pembentukan kelompok kecil, pembentukan kelompok besar, mendatangkan ‘ahli’ ke kelas (olahragawan, dokter, perawat polisi, dan sebagainya), bekerja dengan kelas sederajatnya, bekerja kelompok dengan kelas sederajat, bekerja kelompok dengan kelas di atasnya, dan bekerja dengan masyarakat.
5) Pemodelan (Modeling)
Komponen selanjutnya adalah modeling, maksudnya dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang dapat ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasionalisasikan sesuatu, cara melempar bola dalam olahraga, contoh karya tulis, cara menghafal bahasa Inggris, atau guru memberikan contoh cara mengerjakan sesuatu. Guru memberi model tentang bagaimana cara belajar. Sebagian guru memberikan contoh tentang cara bekerja sesuatu, sebelum peserta didik melakukan tugas.
Artinya, ada model yang bisa ditiru dan diamati peserta didik, sebelum mereka berlatih menemukan kata kunci. Dalam kelas CTL, guru bukan satu-satunya model. Misalnya, seorang peserta didik bisa ditunjuk untuk memberi contoh temannya cara melafalkan suatu kata. Jika kebetulan ada peserta didik yang pernah memenangkan lomba baca puisi atau memenangkan kontes berbahasa Inggris, peserta didik itu dapat ditunjuk untuk mendemonstrasikan keahliannya. Peserta didik contoh tersebut dikatakan sebagai model. Peserta didik lain dapat menggunakan model tersebut sebagai ‘standar’ kompetensi yang harus dicapai.
6) Refleksi (Reflection)
Reflection merupakan bagian terpenting dalam pembelajaran CTL. Reflection merupakan cara berpikir tentang hal yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang hal-hal yang sudah dikatakan pada masa yang lalu. Peserta didik memahami, menghadapi, menghayati, dan mengendapkan hal yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru yang merupakan pengayaan dan revisi dari pengetahuan sebelumnya.
Reflection merupakan respons terhadap kejadian, kegiatan, atau pengetahuan baru yang diterima. Misalnya, ketika pelajaran berakhir, peserta didik merenung, “Kalau demikian, cara saya mengungkapkan pendapat kurang tepat selama ini.” Mestinya dengan cara yang baru saya pelajari ini, ungkapan dengan menggunakan kata-kata akan lebih baik. Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari dalam sebuah proses. Pengetahuan yang dimiliki peserta didik diperluas dalam konteks pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Guru atau orang dewasa membantu peserta didik membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan demikian, peserta didik merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang hal yang baru dipelajarinya.
Kunci dari semua itu adalah bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak peserta didik. Peserta didik mencatat apa yang sudah dipelajari dan bagaimana merasakan ide-ide baru. Pada akhir pembelajaran, guru perlu menyisakan waktu sejenak agar peserta didik melakukan refleksi. Realisasinya berupa: (1) pernyataan langsung yang berkaitan dengan hal-hal yang diperoleh; (2) catatan atau jurnal di buku peserta didik; (3) kesan dan saran peserta didik mengenai pembelajaran hari ini; (4) diskusi; dan (5) hasil karya.
7) Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment)
Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang dapat memberikan gambaran perkembangan belajar peserta didik. Gambaran perkembangan belajar peserta didik perlu diketahui oleh guru agar dapat memastikan bahwa peserta didik mengalami proses pembelajaran yang benar (Diknas, 2002: 19). Apabila data yang dikumpulkan guru mengidentifikasi bahwa peserta didik mengalami kemacetan dalam belajar, guru segera mengambil tindakan yang tepat agar mereka terbebas dari kemacetan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, assessment tidak dilakukan pada akhir periode (cawu/semester), tetapi hal itu dilakukan bersama secara terintegrasi dengan kegiatan pembelajaran.
Data yang dikumpulkan dalam kegiatan penilaian (assessment) tidak untuk mencari informasi tentang belajar peserta didik. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu peserta didik agar mampu mempelajari (learning how to learn), tidak ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi pada akhir periode pembelajaran. Pendekatan kontekstual menuntut guru melakukan penilaian secara seimbang antara proses dan produk, secara terintegrasi. Karena assessment menekankan proses pembelajaran, data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan peserta didik pada saat melakukan proses pembelajaran. Data yang diambil pada saat peserta didik melakukan kegiatan belajar, baik di dalam kelas maupun di luar kelas disebut authentic. Kemajuan belajar dinilai dari proses, tidak hanya dari hasil.
Penilaian authentic menilai pengetahuan dan keterampilan (performansi) yang ditunjukkan oleh peserta didik. Penilai tidak hanya guru, tetapi dapat juga teman sesama peserta didik, atau orang lain. Authentic assessment adalah bagian dari pembelajaran kontekstual yang meliputi berbagai bentuk penilaian yang mencerminkan bagaimana peserta didik belajar, bagaimana prestasi belajarnya, bagaimana motivasi dan sikapnya dalam semua kegiatan pembelajaran di kelas. Authentic assessment digunakan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk penilaian yang dapat menggambarkan hasil pembelajaran peserta didik, motivasi, dan kegiatan pembelajaran di dalam kelas (Malley & Pierce, 1994: 4).
Menurut Tim CTL-Star University of Washington (dalam Kasihani, 2003: 2), authentic assessment adalah penilaian untuk mengukur pengetahuan dan keterampilan peserta didik. Pengetahuan dan keterampilan peserta didik tersebut harus ada penerapannya, serta yang dinilai adalah produk atau kinerja peserta didik. Selain itu, yang dinilai hendaknya relevan dengan tujuan dan sesuai dengan konteksnya. Penilaian otentik ini mempunyai ciri-ciri tersendiri, yaitu: (1) melibatkan pengalaman dunia nyata; (2) memanfaatkan sumber daya manusia dan peralatan yang ada; (3) terbuka peluang untuk mendapatkan informasi; (4) menyibukkan peserta didik dengan hal-hal yang relevan; (5) ada usaha dan latihan; (6) memasukkan penilaian dari (self-assessment) dan refleksi; (7) mengidentifikasi kelebihan/kekuatan peserta didik; (8) kriteria penilaian menjadi lebih jelas; (9) jawaban yang konstruktif; (10) peserta didik berpikir pada tingkat yang lebih tinggi; (11) tugas-tugas bermakna dan penuh tantangan; (12) tugas-tugas terpadu antara keterampilan berbahasa, pengetahuan, dan keterampilan lainnya; (13) menuntut adanya kerja sama kolaborasi; dan (14) berfokus pada tujuan.
Pendekatan CTL menekankan penilaian otentik yang difokuskan pada tujuan pembelajaran, keterkaitan bahan, dan kolaborasi untuk memungkinkan peserta didik berpikir lebih tinggi. Penilaian otentik membuat peserta didik untuk menunjukkan penguasaan tujuan, kedalaman pemahaman, dan pada saat yang sama dapat meningkatkan pengetahuannya serta dapat menemukan cara untuk memperbaiki diri. Selain itu, penilaian semacam ini juga membuat peserta didik dapat menggunakan pengetahuan yang diperoleh di kelas sehingga mereka masuk dalam konteks dunia nyata.
Diknas (2002: 20) membagi karakteristik authentic assessment atas: (1) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung; (2) dapat digunakan untuk formatif maupun sumatif; (3) yang diukur keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta; (4) berkesinambungan; (5) terintegrasi; (6) dapat digunakan sebagai feedback. Adapun hal-hal yang dapat digunakan sebagai dasar menilai prestasi peserta didik adalah: (1) proyek/kegiatan dan laporannya; (2) PR; (3) kuis; (4) karya peserta didik; (5) presentasi atau penampilan peserta didik; (6) demonstrasi; (7) laporan; (8) jurnal; (9) hasil tes tulis; dan (10) karya tulis.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian yang sebenarnya adalah tidak hanya menekankan pada produk tetapi pada proses pembelajaran. Penilaian authentic adalah penilaian yang tidak hanya dilakukan oleh guru, tetapi dapat dilakukan oleh teman sesama peserta didik. Salah satu karakteristik authentic assessment adalah adanya refleksi (feedback), dan penajaman refleksi akan dapat dioptimalkan proses pembelajaran.
D.Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran
Tujuan pembelajaran kontekstual adalah membekali peserta didik dengan pengetahuan dan keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan untuk memecahkan berbagai masalah nyata yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan CTL dengan prinsip-prinsipnya bila dipahami dan dicermati dengan seksama sangat mungkin untuk diterapkan dalam proses pembelajaran. Peserta didik belajar untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi dengan berbahasa secara aktif, menghubungkan apa yang diperoleh di kelas dengan dunia nyata.
Dalam proses pembelajaran, peserta didik dilatih membangun sendiri pengetahuan mereka dalam keterlibatan aktif dalam proses belajar-mengajar. Pada pelaksanaan pembelajaran terdapat tujuh komponen CTL yang diterapkan dalam proses belajar-mengajar, yaitu: (1) konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), penilaian yang sebenarnya (authentic assessment).
Konsep CTL dalam pembelajaran menekankan kreativitas peserta didik, pembelajaran di dalam kelas bernuansa kontekstual, dan guru lebih banyak terlibat dalam strategi daripada memberikan informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama dengan peserta didiknya untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (peserta didik). Guru harus dapat mengatasi rasa bosan pada diri peserta didik dan membangkitkan kembali motivasi belajar mereka. Media dapat juga dijadikan sebagai alat agar peserta didik lebih mengerti atau memahami materi yang disampaikan, meningkatkan aktivitas, dan mengundang interaksi peserta didik dalam pembelajaran.
Adapaun pelaksanaan pembelajaran berbasis kontekstual sebagai berikut.
1. Mengonstruksi atau Membangun Pengetahuan Sendiri (Constructivism)
Kemampuan peserta didik untuk mengonstruk sendiri pengetahuan dengan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran dengan langkah-langkah seperti berikut.
a) Pengetahuan dan keterampilan peserta didik diperoleh dari proses menemukan sendiri: peserta didik mencermati dengan seksama materi pembelajaran.
b) Peserta didik mengonstruk pengetahuan yang dimilikinya.
c) Dalam pembelajaran terdapat kegiatan menemukan: kegiatan menemukan dan menentukan tema yang menarik dan menemukan data-data hasil pengamatan.
2. Menemukan Pengetahuan Sendiri (Inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta didik bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, melainkan hasil dari menemukan sendiri. Kemampuan peserta didik untuk menemukan pengetahuan sendiri dalam pembelajaran menulis berbasis pendekatan kontekstual dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
a) Peserta didik mengamati objek: kegiatan mengamati objek yang menarik di lingkungan sekolah, yaitu mencari dan mengumpulkan data hasil pengamatan.
b) Peserta didik berani mengajukan pendapat tentang materi pembelajaran.
c) Kegiatan pembelajaran dipusatkan pada peserta didik.
d) Pemberian tugas secara individual.
3. Bertanya (Questioning)
Dalam pembelajaran di kelas, guru mengajukan pertanyaan untuk menggali informasi, merangsang peserta didik berpikir, mengevaluasi pembelajaran, memperjelas gagasan, dan meyakinkan apa yang diketahui peserta didik. Aspek positif kegiatan bertanya yang terjadi di dalam kelas sebagai berikut.
a) Peserta didik berani bertanya dan mengemukakan pendapat mengenai materi yang diberikan.
b) Untuk menyelesaikan masalah, peserta didik bertanya kepada peserta didik yang lain selain guru.
c) Peserta didik bertanya tentang bagaimana cara mempelajari sesuatu daripada bertanya yang hanya meminta informasi.
4. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Penerapan masyarakat belajar atau belajar berkelompok dalam pembelajaran telah memberikan kontribusi pada proses pembelajaran. Dalam masyarakat belajar, kegiatan masyarakat belajar ditandai dengan kegiatan seperti berikut.
a) Peserta didik terlibat aktif belajar bersama, berbagi informasi dan pengalaman, saling merespons, dan saling berkomunikasi sesama teman untuk mengemukakan pendapatnya. Hal ini tampak pada saat presentasi pengumpulan data hasil pengamatan di lingkungan sekolah.
b) Pembagian kelompok secara heterogen memberikan pengaruh positif, terutama sharing keilmuan atau pengetahuan di antara peserta didik.
c) Peserta didik belajar berkelompok untuk mendiskusikan materi yang diberikan.
5. Memodelkan atau Melakukan Observasi (Modeling)
Kegiatan pemodelan sangat mendukung dalam kegiatan pembelajaran. Realisasi kegiatan ini berupa hal-hal sebagai berikut.
a) Pemodelan dilakukan sesama peserta didik..
b) Peserta didik mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas.
c) Peserta didik giat, serius, dan antusias dalam memperloleh data seoptimal mungkin melalui kegiatan pengamatan.
d) Peserta didik lain mencontoh teman atau kelompok yang melakukan pengamatan secara mendalam.
e) Guru memberikan contoh hasil pengamatan.
f) Peserta didik meniru dari hasill pengamatan yang mereka lakukan sendiri.
6. Merefleksi (Reflection)
Merefleksi kegiatan pembelajaran dengan jalan memberikan respons terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang diterima merupakan bagian penting dalam pembelajaran kontekstual. Aspek merefleksi materi dalam pembelajaran menulis laporan, sebagai berikut.
a) Peserta didik memberikan respons terhadap pembelajaran yang dihubungkan dengan pengalaman nyata peserta didik itu sendiri, terutama pengetahuan yang mengendap dalam diri peserta didik sebagai struktur pengetahuan baru.
b) Peserta didik mampu merefleksi dan memberikan respons terhadap pembelajaran yang sedang berlangsung dan pada akhir pembelajaran.
c) Sebagian refleksi muncul dari peserta didik.
7. Keautentikan Penilaian (Authentic Asssessment)
Penilaian pembelajaran menulis tidak hanya terpaku pada penilaian dalam bentuk tes saja, namun penilaian nyata dilakukan juga pada saat proses pembelajaran berlangsung. Aspek penilaian ini, sebagai berikut.
a) Pada proses pembelajaran peserta didik mampu menjawab pertanyaan yang diberikan
guru selama pembelajaran.
b) Selama proses pembelajaran peserta didik aktif dalam proses pembelajaran.
c) Peserta didik mampu melakukan penilaian terhadap hasil pengamatan temannya.
E.Kesimpulan
Pembelajaran kontekstual memiliki berbagai keunggulan di antaranya: (1) peserta didik terlatih untuk bernalar dan berpikir secara kritis terhadap materi, (2) peserta didik penuh dengan aktivitas dan antusias untuk menemukan inti materi, (3) peserta didik berani mengajukan pertanyaan dan informasi atau hal-hal yang tidak sesuai dengan pendapat mereka, (4) peserta didik terlatih untuk belajar ’sharing ideas’ saling berbagi pengetahuan dan berkomunikasi, (5) peserta didik dapat memberikan contoh melakukan pengamatan terhadap suatu objek di lingkungan sekolah secara giat, serius, dan antusias untuk memperoleh data seoptimal mungkin, (6) refleksi yang dilakukan, baik selama pembelajaran berlangsung maupun dalam setiap akhir pembelajaran berlangsung, (7) penilaian menekankan pada proses dan hasil pembelajaran.
Pembelajaran kontekstual merupakan upaya yang ditempuh guru untuk memberikan motivasi pada peserta didik agar peserta didik lebih aktif, kreatif, dan dapat memberdayakan kemampuan dirinya dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Dalam pembelajaran kontekstual peserta didik akan mengalami satu atau lebih bentuk pembelajaran berikut: 1) belajar dalam konteks mencari hubungan pengetahuan baru dangan pengalaman sehari-hari, 2) belajar dalam konteks penyelidikan, penemuan, dan penciptaan, 3) belajar dalam konteks bagaimana pengetahuan atau informasi dapat digunakan dalam situasi lain, 4) belajar dalam konteks bekejasama, toleransi, dan komunikasi, 5) belajar dalam konteks menggunakan atau memperkuat pemahaman yang telah dikuasai.
Dengan demikian, peserta didik menjadi kreatif, aktif, dan terbiasa praktik secara langsung serta meningkatkan kemampuan mereka dalam pembelajaran semua bidang studi.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.
Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Contekstual Teaching and Learning Dan Model-Model Pembelajaran. Jawa Timur Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal PMPTK Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Jawa Timur.
Gafur, Abdul. 2003. Penerapan Konsep dan Prinsip Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) dan Desain dalam Pengembangan Pembelajaran dan Bahan Ajar. Artikel: Cakrawala Pendidikan, Jurnal Ilmiah Pendidikan. November 2003: Tahun XXII. No. 3 Universitas Negeri Yogyakarta: LP3M UNY.
Kasihani, E.K. dan Suyanto. 2003. Contextual Teaching and Learning (CTL): dalam Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa. Makalah disajikan pada TOT ‘Contextual Teaching and Learning’ Bidang Studi Bahasa Inggris di Universitas Negeri Malang.
Malley, Michael J., Pierce Loirraine. 1994. Authentic Assessment for English Language Learners: Practical Approaches for Teacher. USA: Addison-Wesley Publishing Company.
Mukminatien, Nur. 2003. Learning Community dalam Pembelajaran Bahasa Inggris: dalam Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa. Makalah disajikan pada TOT ‘Contextual Teaching and Learning’ Bidang Studi Bahasa Inggris di Universitas Negeri Malang.