Oleh M. Khoiri (Mahasiswa Program Pascasarjana UNISMA Malang).
BAB I
PENDAHULUAN
- A. Latar Belakang
Para ahli pendidikan umumnya sepakat bahwa jika ingin meningkatkan mutu pendidikan maka terlebih dahulu harus dilakukan adalah meningkatkan mutu tenaga guru (Ardiwinata, 1997:11). Hal ini dikarenakan guru memegang peranan penting yang berkaitan langsung dengan dunia pendidikan. Sehingga baik atau tidaknya hasil pendidikan bergantung pada kualitas dan kompetensi yang dimiliki guru.
Kenyataan tentang kualitas guru menunjukkan bahwa setidaknya ada 50% guru di Indonesia belum memenuhi kualitas sesuai dengan standarisasi pendidikan nasional (Sutijono. Dkk, 2011:2). Keadaan seperti ini dirasakan masih kurang. Sehingga mutu pendidikan kita belum menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Freire (dalam Suyatno, 2009:3-5) memberikan paradigma baru bagi pendidikan berdasarkan paradigma kritis. Dalam pandangannya pendidikan adalah proses memanusiawikan manusia kembali. Pendidikan dengan paradigma kritis menempatkan peserta didik sebagai subjek. Jika seseorang pasrah, tetap pada sistem dan struktur yang sebenarnya usang, dan mennyerah pada sistem tersebut, sesungguhnya ia sedang tidak manusiawi. Dengan demikian pendidikan haruslah berorientasi pengenalan realitas diri manusia dan diri sendiri.
Selain itu, Piaget (dalam Dahar, 2009:134) berpendapat bahwa metode ilmiah yang paling baik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan epistemologi adalah dengan mempelajari perkembangan pengetahuan dalam anak. Sehingga ia merumuskan konstruktivisme sebagai suatu hipotesis. Oleh karena itu, sudah selayaknyalah sekarang kita beralih dari pandangan bahwa guru sebagai pemberi ilmu pengetahuan, siswa sebagai penerima yang pasif menjadi siswa sebagai agen pembelajar yang aktif dan guru sebagai fasilitator dan mediator yang kreatif.
Berdasarkan pada pandangan di atas, saat ini terdapat suatu pendekatan mengajar yang disebut konstruktivisme. Konsep mendasar dari pendekatan ini adalah bahwa pengetahuan itu tidak dapat dialihkan dari pikiran guru ke pikiran siswa secara utuh, tetapi dibangun sendiri oleh pembelajar di dalam kepalanya. Lebih tepatnya di dalam struktur kognitifnya (Setiawan, 2004:28).
- B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut.
- Bagimanakah konsep pendekatan konstruktivisme?
- Bagaimanakah kedudukan siswa dan guru dalam pembelajaran?
- Bagaimanakah penerapan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran?
- C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut.
- Menjelaskan tentang konsep konstruktivisme dan prinsip-prinsip dasarnya.
- Menjelaskan kedudukan siswa dan guru dalam pembelajaran.
- 3. Menjelaskan penerapan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
- A. Pengertian Belajar dan Konstruktivisme
- 1. Belajar
Ada beberapa definisi tentang belajar. Gagne (dalam Dahar, 2009:2-3) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses di mana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Sebagai proses, hal ini berarti bahwa belajar membutuhkan waktu. Perilaku berbicara, menulis, bergerak, dan lain-lainnya memberi kesempatan pada kita untuk mempelajari perilaku-perilaku berpikir, merasa, mengingat, memecahkan masalah, berbuat kreatif, dan lain-lainnya. Selanjutnya sebagai suatu hasil pengalaman dibatasi pada macam-macam perilaku yang dapat dianggap mewakili belajar.
Selain itu, menurut Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa (2002:17), belajar juga dapat didefinisikan sebagai (1) usaha untuk memperoleh kepandaian atau ilmu, (2) berlatih, dan (3) berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman.
Ardiwinata (1997:51) menambahkan bahwa belajar adalah suatu proses atau kegiatan yang dilakukan dalam rangka untuk memperoleh pengetahuan atau keterampilan dan pandangan yang menghasilkan suatu sikap, tingkah laku pada waktu seseorang menghadapi suatu keadaan tertentu. Perubahan tingkah laku ini tidak berdasarkan naluri atau bersifat sementara, melainkan karena yang bersangkutan telah belajar lebih dahulu. Dengan kata lain, apa yang dicapainya itu merupakan hasil dari suatu proses yang dialaminya.
Belajar dari pengalaman ini terjadi apabila seorang secara kebetulan belajar dari suatu yagn ia alami, atau ia jumpai dalam hidupnya. Dalam prakteknya belajar itu memiliki proses, pemusatan perhatian, mengikutsertakan seluruh kepribadian anak didik dan menciptakan tilikan atau pengamatan secara seksama.
Untuk memperjelas pengertian kita tentang belajar, Purwanto (1990:89-101) mengemukakan beberapa teori belajar, yakni:
- Teori Conditioning, mengatakan bahwa belajar itu adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions) yang kemudia menimbulkan reaksi (response). Hal yang terpenting dalam belajar adalah adanya latihan-latihan yang kontinu dan terjadi secara otomatis.
- Teori Connectionism, mengatakan bahwa belajar merupakan asosiasi belaka antara stimulus dan respons. Sehingga yang dipentingkan dalam belajar adalah memperkuat asosiasi tersebut dengan latihan-latihan, atau ulangan-ulangan yang terus menerus dank arena proses belajar berlangsung secara mekanistis, maka pengertian tidak dipandang sebagai suatu yang pokok dalam belajar.
- Teori menurut Psikologi Gestalt, mengatakan bahwa pertama, dalam belajar faktor pemahaman atau pengertian (insight) merupakan faktor penting. Dengan belajar dapat memahami/mengerti hubungan antara pengetahuan dan pengalaman. Kedua, dalam belajar, pribadi atau organism memegang peranan yang paling sentral. Belajar tidak hanya dilakukan secara reaktif-mekanistis belaka, tetapi dilakukan secara sadar, bermotif, dan bertujuan.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, Dalyono (2001:212-213) mengemukakan adanya beberapa elemen penting yang mencirikan pengertian belajar, yaitu bahwa:
- Belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku, di mana perubahan itu dapat mengarah kepada tingkah laku yang lebih baik, tetapi juga ada kemungkinan mengarah kepada tingkah laku yang lebih buruk.
- Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan atau pengalaman; dalam arti perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pertumbuhan atau kematangan tidak dianggap sebagai hasil belajar; seperti perubahan-perubahan yang terjadi pada diri seorang bayi.
- Untuk dapat disebut belajar, maka perubahan itu harus relatif mantap; harus merupakan akhir dari suatu periode waktu yang cukup panjang. Berapa lama periode waktu itu berlangsung sulit ditentukan dengan pasti, tetapi perubahan itu hendaknya merupakan akhir dari suatu periode yang mungkin berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan ataupun bertahun-tahun. Ini berarti kita harus mengenyampingkan perubahan-perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh motivasi, kelelahan, adaptasi, ketajaman perhatian atau kepekaan seseorang, yang biasanya hanya berlangsung sementara.
- Tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut berbagai aspek kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti: perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah/berpikir, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, ataupun sikap.
- 2. Konstruktivisme.
Menurut Piaget (dalam Dahar, 2009:2), konstruktivisme ialah hipotesis. Setiawan (2004:28) menambahkan bahwa dalam teori konstruktivisme, siswa lebih diberi tempat daripada guru. Artinya, dalam proses pembelajaran, siswa merupakan pusat pembelajara (student centre). Pandangan ini berangkat dari penelitian bahwa siswa pada hakikatnya terus-menerus melakukan interaksi dengan benda-benda atau kejadian-kejadian, serta berhubungan dengan lingkungan social dan alam sekelilingnya. Dari hasil interaksi tersebut, mereka memperoleh pemahaman tertentu. Pemahaman-pemahaman tersebut selanjutnya dibangun sebagai pengetahuan yang tersimpan di dalam otaknya.
Konstruktivisme merupakan suatu pandangan mengenai bagaimana seseorang belajar, yaitu menjelaskan bagaimana manusia membangun pemahaman dan pengetahuannya mengenai dunia sekitarnya melalui pengenalan terhadap benda-benda di sekitarnya yang direfleksikannya melalui pengalamannya. Ketika kita menemukan sesuatu yang baru, kita dapat merekonstruksinya dengan ide-ide awal dan pengalaman kita, jadi kemungkinan pengetahuan itu mengubah keyakinan kita atau merupakan informasi baru yang diabaikan karena merupakan sesuatu yang tidak relevan dengan ide awal.
Peserta didik dalam belajar tidak sekedar meniru dan membentuk bayangan dari apa yang diamati atau diajarkan guru, tetapi secara aktif ia menyeleksi, menyaring, memberi arti, dan menguji kebenaran atas informasi yang diterimanya. Pengetahuan yang dikonstruksi peserta didik merupakan hasil interpretasi yang bersangkutan terhadap peristiwa atau informasi yang diterimanya. Selain itu, Paul Suparno (dalam Indrawati, 2009) mengemukakan bahwa menurut pandangan konstruktivis, belajar merupakan proses aktif siswa dalam mengkonstruksi arti (teks, dialog, pengalaman fisi, dan lain-lain). Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan.
Konstruktivisme menekankan bahwa mengakui otonomi serta mendorong inisiatif siswa merupakan bagian yang sangat penting dilakukan oleh seorang pendidik. Bodner mengatakan bahwa “… siswa membangun pemahaman sendiri. Mereka bukan sebagai cermin dan mencerminkan apa yang dilakukan atau apa yang dibaca, melainkan siswa akan mencari dan mencoba menemukan aturan-aturan sendiri dan menyusun kasus yang terjadi di dunia, bahkan tanpa diberikan bimbingan sekalipun.”
Dengan demikian, menurut Setiawan, terdapat beberapa hal yang dianggap prinsip sehubungan dengan konstruktivisme, yakni:
- Ditinjau dari segi waktu, belajar merupakan pendewasaan individu dalam rangka merefleksikan segala kebutuhan yang diperlukan, baik oleh pendidik maupun oleh siswa.
- Fokus utama proses pembelajaran adalah adanya pemahaman dan kinerja/hasil penampilan siswa yang diharapkan dari siswa.
- Belajar merupakan suatu proses sosial yang bias berbentuk dorongan untuk bekerja sama, menggunakan keterampilan berbahasa, melibatkan siswa dalam suasana alam yang sebenarnya, mendorong siswa utuk melakukan dialog dan komunikasi dengan guru dan sesame siswa.
- Belajar dalam keterkaitannya dengan masalah-masalah lain. Artinya belajar memiliki keterkaitan dengan segala sesuatu yang ada di sekitar lingkungan hidup, juga berhubungan dengan segala dugaan-dugaan dan kekhawatiran-kekhawatiran.
- B. Guru dan Siswa dalam Pembelajaran
- 1. Peranan Guru
Istilah guru ialah gabungan dua suku kata yaitu gu dan ru. Dalam bahasa Jawa, gu (diambil dari perkataan gugu) yang bermakna boleh dipercayai manakala ru (diambil dari perkataan tiru) yang bermaksud boleh diteladani atau dicontohi. Oleh karena itu, guru bermaksud seorang yang boleh ditiru perkataannya, perbuatannya, tingkah lakunya, pakaiannya, amalannya, dan boleh dipercayai bermaksud keamanahan yang dipertanggungjawabkan kepadanya untuk dilakukan dengan jujur.
Guru adalah suatu jabatan profesi. Karena itu seorang guru selain dituntut berdasarkan keahlian juga dituntut untuk pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik. Namun meskipun begitu dalam perjalanan selanjutnya profesi guru menjadi berbeda dari profesi yang lain. Kekhususannya adalah bahwa hakekatnya terjadi dalam suatu bentuk pelayanannya. Orang yang menjalankan profesi ini hendaknya menyadari bahwa ia hidup dari padanya, itu haknya; ia dan keluarganya harus hidup akan tetapi hakikat profesinya menuntut agar bukan nafkah hidup itulah yang menjadi motivasi utamanya, melainkan kesediaannya untuk melayani sesama.
Di lain pihak profesi guru juga disebut sebagai profesi yang luhur. Dalam hal ini, perlu disadari bahwa seorang guru dalam melaksanakan profesinya adanya budi luhur dan akhlak yang tinggi. Mereka (guru) dalam keadaan darurat dianggap wajib pula membantu tanpa imbalan yang cocok. Atau dengan kata lain hakikat profesi luhur adalah pengabdian kemanusiaannya.
Sebagai profesi, guru juga tidak terlepas dari tuntutan. Menurut Sutijono (2011:15) ada dua tuntutan yang harus dipilih dan dilaksanakan guru dalam upaya mendewasakan anak didik. Tuntutan itu adalah:
1) Mengembangkan visi anak didik tentang apa yang baik dan mengembangkan self esteem anak didik.
2) Mengembangkan potensi umum sehingga dapat bertingkah laku secara kritis terhadap pilihan-pilihan. Secara konkrit anak didik mampu mengambil keputusan untuk menentukan mana yang baik atau tidak baik.
Menurut Dr. Karl Heinz Flaching (dalam Ardiwinata, 1997:26-35), bahwa seorang pendidik (guru) mempunyai beberapa fungsi, yakni:
- Fungsi komunikator
Sebagai komunikator guru memiliki peran yang berkaitan dengan informasi. Untuk ini seorang guru selain menyediakan sumber informasi yang diperlukan oleh para siswa, juga berupaya menyaring informasi tersebut agar yang diberikan kepada para siswa itu adalah informasi yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan siswa, serta mengevaluasi informasi yang tersedia di masyarakat dan mengolahnya dalam suatu bentuk yang cocok bagi kelompok penerima informasi tersebut sehingga kelompok ini memahami isi informasi tersebut.
- Fungsi inovator
Sebagai seorang inovator guru membangun dan mengembangkan dari sesuatu yang ada sebelumnya ke arah yang lebih baik lagi sesuai dengan tuntutan zaman. Hal yang demikian perlu dilakukan, karena di masa sekarang setiap orang menuntut pelayanan yang cepat dan efektif sehingga mereka merasa puas. Dengan demikian seorang guru mampu meramalkan tentang apa saja yang kira-kira dibutuhkan oleh masyarakat yang akan datang. Lebih dari hal-hal tersebut, terutama agar seorang guru tidak ditinggalkan oleh zaman yang dilaluinya.
- Fungsi emansipator
Dalam tugasnya seorang guru sebagai emansipator adalah guru membantu membawa perorangan atau kelompok orang kepada tingkat perkembangan kepribadian, segi pengetahuan, keterampilan, dan sikap-sikap yang lebih tinggi dari keadaan sekarang sehingga memungkinkan mereka mampu berdiri sendiri (mandiri). Dalam prakteknya, seorang guru tidak hanya menitikberatkan pada isi materi pelajaran, melainkan juga menitikberatkan pada peserta didiknya. Dengan fungsi ini, maka guru berupaya memberikan perlakuan yang adil dan merata terhadap semua siswanya, tanpa membedakan status sosialnya.
- Fungsi motivator
Telah banyak hasil penelitian yang dilakukan para ahli bahwa motivasi yang tinggi akan berpengaruh terhadap hasil belajar yang tinggi. Sebaliknya, motivasi yang rendah akan berpengaruh terhadap hasil belajar yang rendah pula. Sebagai seorang guru ingin agar apa yang diajarkannya dapat dicerna, dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh siswa. Hal yang demikian dapat terjadi apabila guru yang bersangkutan dapat memotivasi para muridnya untuk mempelajari dan mengikuti ajaran yang disampaikannya.
Berkenaan dengan pentingnya motivasi ini, telah banyak teori yang dikemukakan para ahli tentang cara-cara memotivasi yang efektif. Semua cara tersebut hendaknya dipelajari secara seksama dan dipraktekkannya sesuai dengan keadaan lingkungan sekolah. Salah satu motivasi tersebut adalah dengan menunjukkan manfaat atau keuntungan dari pelajaran yang dipelajarinya bagi kehidupannya.
- Fungsi fasilitator
Sebagai fasilitator guru menyediakan berbagai sarana dan kemudahan yang menyebabkan para siswa dapat mengikuti pelajaran dengan cara seksama. Berbagai fasilitas belajar diupayakan sedemikian rupa sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan sebagaimana mestinya.
- Fungsi dinamisator
Dalam fungsinya sebagai dinamisator, seorang guru harus tampil sebagai yang menggerakkan terhadap kreativitas para siswa menutu keadaan di mana meraka satu dan lainnya saling berlomba-lomba untuk mencapai prestasi yang setinggi-tingginya. Mereka tidak puas dengan hasil yang dicapainya itu dan terus berupaya untuk meningkatkannya dari waktu ke waktu.
- Fungsi teladan
Fungsi sebagai teladan erat kaitannya dengan tugasnya sebagai pendidik yang akan terus berupaya mencitrakan kepribadiannya. Untuk menumbuhkan yang demikian itu tidak hanya cukup dengan kata-kata atau sekedar himbauan saja melainkan harus diikuti dengan contoh teladan yang baik. Hal sesuai dengan namanya yakni guru (digugu dan ditiru).
- Fungsi orang tua
Dalam menjalankan fungsinya sebagai orang tua, maka seorang guru harus memiliki ciri-ciri sebagai orang tua. Misalnya, harus bertanggung jawab atas keberhasilan anak didiknya, harus melindungi anak didiknya dari pengaruh negatif yang berkaitan dengan masa depan mereka, harus menunjukkan rasa kasih saying secara adil sebagaimana kepada anaknya sendiri. Dengan sifat yang demikian itu, seorang guru juga harus berjiwa besar dan lapang dada, tidak lekas putus asa, pemaaf, dan selalu berbesar hati.
- Fungsi sahabat
Dalam fungsinya sebagai sahabat, maka hubungan guru dan murid tidak akan berakhir ketika seorang anak menyelesaikan studinya atau keluar dari sekolah, melainkan terus dibina dan dilanjutkan ketika anak didiknya telah selesai studinya. Dengan posisinya yang demikian itu, maka seorang guru dapat menolong anak didiknya tidak hanya dalam keperluan belajar saja melainkan juga dalam bidang yang lainnya. Dengan cara persahabatan yang demikian itu, maka antara guru dan siswa akan terjadi kedekatan psikologis. Seorang siswa tidak merasa angker atau takut ketika melihat atau berhadapan dengan gurunya, dan gurupun tidak menganggap rendah atau hina ketika melihat keadaan muridnya. Namun demikian dalam hubungan sebagai sahabat ini hendaknya dilakukan dengan cara hati-hati sedemikian rupa tidak melampaui batas-batas yang kurang pada tempatnya/wajar.
- Fungsi penghibur
Pada umumnya siswa menyukai hiburan, karena sebagai manusia, siswa menyukai pada hal-hal yang indah dan menyenangkan hatinya. Kemampuan guru menghibur pada siswanya akan menyebabkan timbulnya kedekatan antara guru dan siswanya. Untuk ini, maka sebagai guru yang baik hendaknya memiliki rasa humor (sens of humor). Dengan cara demikian ia dapat menghidupkan suasana belajar mengajar yang lebih berhasil lagi.
- Fungsi ahli mengajar
Tidak cukup bagi seorang pengajar hanya memperhatikan bahan atau ilmu pengetahuan yang akan diajarkan pada para siswa, melainkan mereka itu semua harus mengetahui pula segi-segi didaktid dan metodik pengajaran dari ilmu tersebut. Dalam hubungan ini seorang pengajar tidak cukup hanya dengan mengutamakan penguasaan teknik, dan klasifikasi interaksi, apabila tidak mengetahui apa yang sedang, dan akan diajarkan. Bukan rahasia lagi, di kalangan peserta didik sering merasakan “kejemuan” atau “kurang sreg” saat mereka sedang belajar. Hal ini merupakan gejala yang cukup mengkhawatirkan karena muculnya sikap dan pandangan yang demikian itu cara penyajian dan metode pengajaran yang diterapkan kurang cocok.
Selain fungsi-fungsi guru di atas, Setiawan (2004:28) juga menyatakan beberapa hal tentang peran guru sebagai berikut.
a) Fasilitator; guru bertugas merencanakan dan mengorganisasikan proses pembelajaran dengan baik.
b) Pembimbing (guide); guru bertugas melakukan bimbingan dan penyuluhan, memberikan arahan-arahan untuk membantu siswa dalam proses pembelajaran.
c) Berpikir terbuka (open minded); guru diharapkan dapat mengakomodasikan sega cara untuk mencapai efektivitas pembelajaran.
d) Pendukung (supporter); guru diharapkan mampu memberikan saran, tantangan kreativitas, dan berpikir bebas.
e) Mengakui cara belajar individual. Guru harus mampu memperhatikan kemungkingan-kemungkinan, kekuatan, keperluan, dan perasaan setiap siswa.
- 2. Kedudukan Siswa
Sehubungan dengan kedudukan siswa, maka dalam proses pembelajaran yang dilakukan harus menempatkan siswa sebagai pusat pembelajaran. Berkaitan dengan hal ini terdapat beberapa prinsip penting berikut ini.
a) Pembelajaran yang dilakukan oleh seorang individu harus dilihat sebagai suatu proses. Prinsip ini menekankan perlunya mengakui otonomi siswa dalam mendapatkan informasi pembelajaran.
b) Motivasi adalah kunci dalam pembelajaran. Prinsip ini menekankan perlunya guru melakukan dorongan agar siswa selalu memiliki sikap ingin tahu, inisiatif, dan menemukan.
c) Meninjau pengalaman siswa sebagai suatu yang berperan penting dalam pembelajarn. Prinsip ini menekankan bahwa siswa selalu memiliki keyakinan, sikap, dan pengetahuan yang telah ada dalam dirinya yang telah tersimpan dalam otaknya.
d) Menyadari bahwa siswa memiliki kemampuan proses kerja otak. Prinsip ini menekankan bahwa siswa memiliki kemampuan untuk memiliki dan mentransformasikan informasi-informasi yang ada di sekeliling tempat hidupnya, dapat membangun dugaan-dugaan (hipotesis) dan mampu membuat pilihan-pilihan.
- C. Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas dapat dikatakan bahwa pembelajaran merupakan proses social yang aktif. Lingkungan pembelajaran perlu dikondisikan agar memiliki situasi yang mampu membuat murid dapat menciptakan pengetahuannya melalui aktivitasnya sendiri, baik fisik maupun mental.
Konstruktivisme menghendaki proses pembelajaran seperti berikut.
- Belajar adalah suatu proses pencarian makna. Karena itu, belajar harus dimulai dari hal-hal yang berada di sekitar siswa; siswa secara aktif mencoba member makna pada hal-hal atau kejadian-kejadian yang terjadi di sekitarnya.
- Proses pembelajaran hendaknya memberi pemahaman yang berfokus pada konsep dasar yang menyuruh, tidak berdasarkan pada bagian-bagian yang terpisah.
- Agar proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik, guru harus mengerti model mental yang digunakan siswa untuk mengamati dunia dan membuat asumsi untuk mendukung model mentalnya.
- Proses penilaian tidak hanya didasarkan pada unsur ingatan, melainkan harus didasarkan pada proses pembelajaran itu sendiri. Dalam konstruktivisme, penilaian adalah bagian dari proses pembelajaran.
Sebagaimana proses pembelajaran yang dikehendaki dalam konstruktivisme, maka kurikulum pun juga dikehendaki kurikulum yang bersifat standar. Konstruktivisme menginginkan penggunaan kurikulum yang disesuaikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Konstruktivisme juga menekankan agar penyelesaian masalah dilakukan berdasarkan keterampilan, bukan pada teori.
Selain itu, menurut pandangan konstruktivisme, seorang pendidik dalam melaksanakan pengajaran harus memunculkan kegiatan-kegiatan berikut ini.
1) Memfokuskan pengajaran pada keterkaitan antara fakta dan pemberian pemahaman baru kepada siswa.
2) Merancang strategi pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa.
3) Memberi semangat kepada siswa untuk menganalisa, menginterpretasi, serta meramalkan informasi yang diharapkan.
4) Memberikan open-ended question kepada siswa.
5) Mendorong siswa agar dapat bertukar pikiran dengan siswa lain.
Dengan adanya pandangan konstruktivisme, maka karakteristik iklim pembelajaran yang sesuai dengan konstruktivisme tersebut adalah sebagai berikut:
1) Peserta didik tidak dipandang sebagai suatu yang pasif melainkan individu yang memiliki tujuan serta dapat merespon situasi pembelajaran berdasarkan konsepsi awal yang dimilikinya.
2) Guru hendaknya melibatkan proses aktif dalam pembelajaran yang memungkinkan peserta didik mengkonstruksi pengetahuannya.
3) Pengetahuan bukanlah sesuatu yang datang dari luar, melainkan melalui seleksi secara personal dan sosial.
- D. Tahap-Tahap Pembelajaran Konstruktivisme
Pengajaran dengan menggunakan model konstruktivisme ini berlangsung dalam tiga tahap, yaitu tahap eksplorasi, tahap pengenalan konsep, dan tahap aplikasi konsep. Ketiga tahap inilah yang disebut dengan siklus belajar (learning cycle).
Tahap proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme dapat diuraikan sebagai berikut.
- 1. Apersepsi
Dalam apersepsi, pelajaran dimulai dengan hal-hal yang diketahui dan dipahami siswa. Motivasilah siswa dengan bahan ajar yang menarik dan berguna bagi siswa. Selain itu, siswa perlu didorong agar tertarik untuk mengetahui hal-hal yang baru.
- 2. Eksplorasi
Pada tahap eksplorasi, materi atau keterampilan baru diperkenalkan. Kaitkan pengenalan materi baru tersebut dengan pengetahuan yang sudah ada pada siswa. Untuk itu, carilah metodologi yang paling tepat dalam meningkatkan penerimaan siswa akan materi baru tersebut.
- 3. Konsolidasi pembelajaran
Pada tahap konsolidasi ini, libatkan siswa secara aktif dalam menafsirkan dan memahami materi ajaran baru serta dalam kegiatan problem solving. Letakkan penekanan pembelajaran pada kaitan struktural, yaitu kaitan antara materi ajar yang baru dengan berbagai aspek kegiatan/kehidupan di dalama lingkungan. Cari juga metodologi yang paling tepat sehingga materi ajar dapat terproses menjadi bagian pengetahuan siswa.
- 4. Pembentukan sikap
Dalam membentuk sikap dan perilaku siswa, dorong siswa untuk menerapkan konsep yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, ajak siswa untuk membangun sikap dan perilaku baru dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan pengertian yang sudah dipelajari. Di sini perlu dicari metodologi yang paling tepat agar terjadi perubahan pada sikap dan perilaku siswa.
- 5. Penilaian formatif
Dalam melakukan penilaian formatif, kembangkan cara-cara untuk menilai hasil pembelajaran siswa. Gunakan hasil penilaian tersebut untuk melihat kelemahan atau kekurangan siswa dan masalah-masalah yang dihadapi guru. Untuk itu, juga perlu dicari metodologi yang paling tepat yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
BAB III
PENUTUP
- A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan hal-hal berikut.
- Konstruktivisme merupakan suatu pandangan mengenai bagaimana seorang belajar, yaitu menjelaskan bagaimana menusia membangun pemahaman dan pengetahuannya mengenai dunia sekitarnya melalui pengenalan terhadap benda-benda di sekitarnya yang direfleksikannya melalui pengalamannya.
- Implementasi dari pendekatan ini adalah diperlukan keyakinan bahwa ketika peserta didik datang ke kelas, otaknya tidak kosong dengan pengetahuan, mereka datang ke dalam situasi belajar dengan pengetahuan, gagasan, dan pemahaman yang sudah ada dalam pikiran mereka.
- Pendekatan konstruktivisme dapat diterapkan berdasarkan prinsip relevansi masalah, struktur pembelajaran yang esensial, dan perspektif siswa merupakan awal untuk berpikir/menalar.
- B. Saran
Adapun hal-hal yang disarankan berkaitan dengan pembahasan adalah sebagai berikut.
- Sebaiknya dalam pembelajaran guru melibatkan proses aktif yang memungkinkan siswa mengkonstruksi pengetahuannya.
- Sebaiknya guru melakukan seleksi secara personal dan sosial untuk memberikan pengetahuan.
- 3. Berdasarkan kondisi pendidikan yang dinamis saat ini, sebaiknya guru dapat menciptakan iklim pembelajaran yang lebih baik.
DAFTAR RUJUKAN