Oleh Probo Harjanti (Guru SMPN 3 Gamping, Sleman). |
![]() |
MUTASI bagi pegawai negeri (tak terkecuali guru) adalah hal yang biasa dan lumrah, bahkan mungkin secara berkala dilakukan, untuk penataan yang lebih baik. Juga, untuk mendekatkan tempat tinggal dengan kantor. Dan, sebagai PNS memang harus siap ditempatkan di mana pun. Namun, mutasi terhadap guru bisa menyisakan permasalahan baru. Lebih-lebih lagi ketika guru tersebut adalah guru idola, panutan siswa baik dalam pembelajaran maupun dalam keseharian, siswa akan menjadi shock. Apalagi kalau mengajar kelas IX, mata pelajaran yang di UNAS-kan pula, di sini keberhasilan Unas-lah yang dipertaruhkan. Dan, lebih repot lagi kalau sang guru sedang terlibat ‘proyek’ yang menuntut kahadiran dan tanggung jawabnya. Mutasi di lingkup sekolah memang sering menyisakan masalah, baik bagi guru, siswa, maupun bagi sekolah itu sendiri. Apalagi mutasi tersebut tidak dimusyawarahkan dengan kepala sekolah, atau guru yang terkait. Tidak seperti beberapa tahun silam, guru-guru yang akan dirotasi dipanggil, dan diajak dialog. Tidak adanya dialog ini akhirnya hanya menguntungkan salah satu pihak, yakni pemohon mutasi. Permasalahan tersebut menjadi semakin banyak, ketika mutasi dilaksanakan setelah pembelajaran berlangsung. Maksudnya, siswa sudah sempat diajar oleh guru yang diidolakan, dan akan kaget ketika tiba-tiba sang idola harus pindah. Dan bagi guru yang dimutasi juga akan sangat shock, kalau ternyata di tempat baru tidak mengajar 24 jam, sementara dia sudah sertifikasi, dia akan kehilangan sebagian penghasilan. Jadi, ada kemungkinan tempat tugas menjadi lebih jauh, dan terancam kehilangan tunjangan sertifikasi. Alangkah baiknya mutasi dilaksanakan sebelum berlangsung pembelajaran. Dalam sebuah institusi (baca sekolah) selalu ada kelompok guru yang berdedikasi dan komitmen tinggi, serta ada yang rendah. Kalau yang dimutasi masuk kelompok pertama, sekolah akan sangat dirugikan, karena akan mengganggu stabilitas. Terlebih bagi sekolah pinggiran, yang berpotensi bentrok fisik tinggi, sementara guru prianya hanya sedikit, dan sebagian akan memasuki purna tugas. Saat dilaksanakan kegiatan kemah guru pria akan sangat dibutuhkan. Bisa dibayangkan guru-guru perempuan ketika akan melerai siswa berkelahi justru hanya berteriak-teriak ketakutan. q – o *) Probo Harjanti, Guru SMPN 3 Gamping, Sleman. Sumber: http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=205765&actmenu=43 |

Pendapat Guru: Mutasi dan Sisa Permasalahan


