Oleh : M Fathurahman S.PdI (Guru MTs Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta) |
![]() |
PERTANYAAN di atas barangkali selalu terulang di tiap tahunnya, apalagi dalam setiap peringatan Hari Sarjana Indonesia (29 September). Ini tentu tidak berlebihan, mengingat pengangguran tingkat sarjana (baca: tenaga terdidik) ternyata relatif tinggi. Data Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional, BPS) per Februari 2007 menunjukkan, bahwa tingkat pengangguran terbuka dari kalangan perguruan tinggi mencapai 740.206 orang, atau setara dengan 7,02 persen dari angkatan kerja tahun 2007. Padahal, pada bulan Agustus 2006 tingkat pengangguran dari kalangan terdidik (hanya) 6,16 persen. Itu berarti dalam setahun perjalanannya, pengangguran terdidik bertambah sebanyak 66.578 orang. Boleh jadi, setiap tahun dan entah sampai kapan ujungnya, antrean pengangguran akan semakin panjang oleh sarjana-sarjana yang lulus setelahnya. Jika sampai tahun 2012 saja keadaan masih tetap sama, kita bisa membayangkan akan ada berapa ratus ribu sarjana menganggur di bumi pertiwi Indonesia. Inilah kenyataan ironi dunia pendidikan kita. Dengan demikian, hal yang pantas dipertanyakan di belakangnya adalah, ada apa dengan dunia pendidikan kita? Untuk menjawab ini setidaknya terdapat tiga poin sebagai penyebab tingginya pengangguran terdidik di kalangan kita. Pertama, lulusan sarjana tidak sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja. Program studi (prodi) yang dibuka oleh berbagai perguruan tinggi (PT) tidak sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Banyak prodi di PT yang masih diminati, padahal sesungguhnya lowongan kerjanya sudah mengalami kejenuhan. Sebagai contoh saja, Prodi Kesehatan sudah mengalami tingkat kejenuhan sebesar 10 persen, prodi Teknik 20 persen, MIPA 5 persen dan Pertanian 15 persen. Prodi yang paling tinggi tingkat kejenuhannya adalah ilmu-ilmu sosial, yakni sebesar 50 persen (Irwandi: 2008). Sementara, pada realitasnya masyarakat umum atau calon mahasiswa tidak memiliki informasi yang lengkap tentang masalah ini. Kedua, rendahnya motivasi mahasiswa untuk menguasai ilmu pengetahuan secara bersungguh-sungguh pada saat perkuliahan. Dengan begitu, fakta ini semakin melengkapi adanya anggapan, bahwa mahasiswa kuliah sekadar untuk mendapatkan selembar ijazah sebagai bentuk legalitas formal. Kalaupun kemudian mendapatkan ilmu pengetahuan, sayangnya tidak dikuasai sepenuhnya. Padahal sebaliknya, dunia kerja benar-benar menginginkan keahlian (skill). Sehingga menjadi mafhum, kepercayaan dunia kerja pada lulusan sarjana akhirnya menjadi merosot. Ketiga, rendahnya kreativitas (ide) sarjana untuk bekerja sendiri. Ironisnya, banyak sarjana yang justru ingin bekerja menjadi buruh alias bekerja dengan orang lain (perusahaan mapan). Semakin tinggi pendidikan seseorang, semestinya menjadikannya semakin berpengalaman, dan akhirnya mampu menciptakan lapangan kerja sendiri. Namun dalam tataran praktik masih minim, menjadikan sarjana tersebut hanya bisa menunggu. Hal yang seyogianya dilakukan menurut penulis adalah kerja sama apik antara pihak pemerintah dan birokrasi kampus. Pemerintah tak segan memberikan informasi lengkap atau bahkan prediksi tentang potensi kebutuhan tenaga kerja, sebab informasi ini tentu sangat dibutuhkan. Sementara, birokrasi kampus berupaya meningkatkan kualitas guna membentuk lulusan yang kredibel. Di samping itu, mampu memotivasi mahasiswa untuk lebih mandiri dan percaya diri. q – k *) Penulis, Guru MTs Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta. Sumber: http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=205867&actmenu=43 |

Pendapat Guru: Mengapa Sarjana Menganggur?


