Oleh I Wayan Redhana (Jurusan Pendidikan Kimia, FMIPA, Universitas Pendidikan Ganesha).
Permasalahan yang dihadapi mata kuliah Biofermentasi adalah rendahnya keterampilan pemecahan masalah dan hasil belajar mahasiswa. Permasalahan tersebut diatasi dengan menerapkan pembelajaran berbasis masalah. Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan keterampilan pemecahan masalah dan hasil belajar mahasiswa. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas, yang dilaksanakan dalam tiga siklus. Masing-masing siklus terdiri dari tahap perencanaan, pelaksanaan, observasi dan evaluasi, dan refleksi. Subjek penelitian adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA Universitas Pendidikan Ganesha Semester VIII yang memprogramkan mata kuliah Biofermentasi tahun akademik 2006/2007. Temuan-temuan penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan keteramplan pemecahan masalah dan hasil belajar mahasiswa. Pembelajaran ini juga dapat meningkatkan motivasi dan aktivitas belajar, pemahaman konsep, keterampilan berkomunikasi, dan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Mahasiswa berpendapat bahwa pembelajaran ini agar terus digunakan pada mata kuliah Biofermentasi dan juga mata kuliah lainnya. Dapat disarankan bahwa teman-teman dosen dapat menerapkan pembelajaran ini pada mata kuliah yang diampu.
Kata-kata kunci: pembelajaran berbasis masalah dan biofermentasi
Pendahuluan
Mata kuliah Biofermentasi merupakan salah satu mata kuliah konsentrasi kimia pangan yang diprogramkan oleh mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia di semester VIII. Mata kuliah ini mempelajari berbagai proses fermentasi dalam industri, baik industri kecil (rumah tangga) maupun industri besar. Mata kuliah Biofermentasi ini mempunyai aplikasi yang tinggi dalam kehidupan nyata mahasiswa. Untuk dapat mempelajari mata kuliah Biofermentasi ini mahasiswa harus sudah menguasai dasar-dasar metabolisme yang telah dipelajari pada mata kuliah Biokimia.
Setting pembelajaran yang sudah diterapkan oleh dosen pada mata kuliah Biofermentasi adalah dengan pemberian tugas kepada mahasiswa untuk membuat makalah tentang sub-sub materi pokok yang dipelajari pada mata kuliah Biofermentasi. Setiap mahasiswa mendapatkan tugas yang berbeda. Makalah yang dibuat, selanjutnya, dipresentasikan di kelas. Mahasiswa lain dapat menanyakan hal-hal yang belum dipahami. Dengan demikian, mahasiswa diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi temannya.
Namun kenyataannya, pembahasan yang dilakukan oleh mahasiswa kurang mendalam dan sering hanya menyalin dari buku-buku sumber. Demikian juga, pada saat presentasi, mahasiswa kurang percaya diri karena mahasiswa kurang menguasai materi dengan baik. Mahasiswa sering tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dari mahasiswa lain tentang konsep-konsep yang kompleks, seperti misalnya mengapa suatu mikroorganisme menghasilkan produk fermentasi yang spesifik. Apa yang diharapkan oleh dosen bahwa mahasiswa menjadi sumber informasi bagi teman-temannya tidak dapat berlangsung dengan baik. Tampak bahwa mahasiswa hanya menunggu penjelasan dari dosen dan lebih percaya pada penjelasan dosen dari penjelasan temannya. Akhirnya, dosen mengambil peran yang lebih banyak dalam menjelaskan suatu konsep tertentu. Akibatnya, pembelajaran dengan metode kapur dan tutur tidak dapat dihindari. Pembelajaran menjadi lebih terfokus pada penuangan pengetahuan kepada kepala mahasiswa, yang mengacu pada teori “tabula rasa”, dengan diskusi yang terbatas. Dengan pembelajaran semacam ini, mahasiswa merasa senang karena sebagian pekerjaannya sebagai sumber informasi diambil alih oleh dosen dan mahasiswa terdorong untuk menghafal apa yang diajarkan dan kurang memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang telah dipelajari. Akibatnya, mahasiswa mudah melupakan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang telah dipelajari.
Ketika mahasiswa dihadapkan pada masalah-masalah terbuka (open-ended) yang berkaitan dengan kehidupan nyata, mahasiswa tidak dapat memecahkan masalah dengan baik. Pemecahan masalah yang dibuat mahasiswa tidak komprehensif dan konsep-konsep mahasiswa bersifat parsial. Beberapa mahasiswa belum mampu membuat hubungan antar konsep. Di samping itu, beberapa mahasiswa mengalami miskonsepsi. Hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa banyak mahasiswa mengalami miskonsepsi terhadap konsep-konsep dasar kimia (Redhana & Kirna 2004; Redhana & Kartowasono, 2006). Mahasiswa juga belum dapat menggunakan konsep-konsep yang telah dipelajari untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Kondisi ini sejalan dengan temuan penelitian sebelumnya (Redhana & Sastrawidana, 2002), yaitu mahasiswa belum mampu memecahkan masalah-masalah ill-structuted, kontekstual dan open-ended.
Rendahnya keterampilan mahasiswa dalam memecahkan masalah berpengaruh pada rendahnya hasil belajar mahasiswa. Hasil belajar mahasiswa untuk mata kuliah Biofermentasi pada tahun akademik 2005/2006 adalah sebagai berikut. Prosentase mahasiswa yang memperoleh nilai A, B, C, D, dan E berturut-turut adalah 0,0%, 40%, 40%, 20%, dan 0,0% dengan rerata 5,97 (kutipan daftar nilai Jurusan Pendidikan Kimia, FMIPA, Universitas Pendidikan Ganesha). Masalah utama yang berkaitan dengan rendahnya hasil belajar mahasiswa adalah mahasiswa tidak dapat menjelaskan jalur-jalur metabolik dengan baik. Mahasiswa juga tidak mampu mengelaborasi suatu konsep secara mendalam.
Berdasarkan permasalahan di atas, perlu dilakukan reorientasi terhadap pembelajaran pada mata kuliah Biofermentasi. Reorientasi pembelajaran yang perlu dilakukan bukan menyangkut perubahan konten kurikulum, tetapi menyangkut perubahan pedagogi. Hal ini diakui oleh Reigeluth (1983) yang menyatakan bahwa pada hakikatnya hanya variabel metode pembelajaran yang berpeluang besar untuk dapat dimanipulasi oleh setiap dosen dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran. Berkaitan dengan perubahan pedagogi ini, Rutherford dan Ahlgren (1990) menyatakan kepada peserta pada seminar Science for All Americans, Project 2061:
“Students should be given problems-at levels appropriate to their maturity-that require them to decide what evidence is relevant and to offer their own interpretations of what the evidence means. This puts a premium, just as science does, on careful observation and thoughtful analysis. Students need guidance, encouragement, and practice in collecting, sorting, and analyzing evidence, and in building arguments based on it. However, if such activities are not to be destructively boring, they must lead to some intellectually satisfyng payoff that students care about”.
Ini menunjukkan bahwa mahasiswa perlu diberikan pengalaman belajar otentik dan keterampilan memecahkan masalah. Tyler (dalam Karlimah, 1999) berpendapat bahwa pengalaman atau pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk memperoleh keterampilan pemecahan masalah dapat merangsang keterampilan berpikir kritis mahasiswa. Gerhard (1971) mendefinisikan bahwa berpikir kritis sebagai suatu proses kompleks melibatkan penerimaan dan penguataan, analisis, dan evaluasi data dengan mempertimbangkan aspek kualitatif dan kuantitatif serta melakukan seleksi atau membuat keputusan berdasarkan hasil evaluasi.
Reorientasi pembelajaran yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan menerapkan pembelajaran berbasis masalah. Pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa (student-centered). Pembelajaran ini menggunakan masalah-masalah kurang terstruktur (ill-structured), terbuka (open-ended), ambigu, dan kontektual untuk memulai pembelajaran (Barrows, 1996). Masalah merupakan alat untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah. Pada pembelajaran ini, dosen bertindak sebagai pelatih metakognisi yang membantu mahasiswa dalam mendefinisikan masalah, menentukan informasi, menganalisis dan mensintesis masalah, dan memilih interpretasi atau resolusi yang potensial (Barrows, 1988). Proses pemecahan masalah pada pembelajaran ini tidak mempunyai tahapan yang pasti. Fogarty (1997) mengusulkan tahapan pemecahan masalah terdiri dari mendefinisikan masalah, mengumpulkan fakta, merumuskan pertanyaan, merumuskan hipotesis, melaksanakan penelitian, merumuskan kembali pertanyaan, membuat solusi alternatif, dan menyarankan solusi terbaik. Sementara itu, Ommundsen (2001) mengusulkan tahapan pemecahan masalah adalah apa yang disebut dengan DENT (Define, Explore, Narrow, and Test), yaitu: Define the problem carefully, Explore possible solutions, Narrow choices, dan Test solution. Melalui proses ini, mahasiswa akan berpeluang menjadi pebelajar yang mandiri dan mampu memecahkan-masalah-masalah kompleks yang dihadapi (Gallagher, et al, 1995). Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan keterampilan pemecahan masalah dan hasil belajar mahasiswa.
Metode Penelitian
Penelitian ini mengikuti model penelitian tindakan kelas yang dikembangkan oleh Kemmis & McTaggart (2000). Penelitian ini dilakukan dalam tiga siklus, masing-masing siklus terdiri dari empat tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi dan evaluasi, dan refleksi. Subjek penelitian adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Pendidikan Ganesha yang memprogramkan mata kuliah Biofermentasi pada semester genap tahun akademik 2005/2006, berjumlah 16 orang. Objek penelitian adalah keterampilan pemecahan masalah dan hasil belajar mahasiswa. Konsep-konsep yang dipelajari pada mata kuliah Biofermentasi adalah pengertian fermentasi, mikroba yang berperan dalam fermentasi, media dan sterilisasi, biosintesis metabolit, bioreaktor, dan proses pembuatan produk-produk fermentasi.
Pada siklus I, tahap perencanaan merupakan tahap pembuatan perangkat pembelajaran (satuan acara perkuliahan dan LKM (lembar kegiatan mahasiswa)) dan instrumen penelitian (lembar observasi, rubrik, kuesioner, dan tes hasil belajar). Tahap pelaksanaan merupakan tahap pelaksanaan pembelajaran, berupa penerapan pembelajaran berbasis masalah, yang dilaksanakan sebagai berikut. Kepada mahasiswa dinformasikan tentang standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator hasil belajar, dan asesmen yang digunakan pada mata kuliah Biofermentasi. Mahasiswa dibagi ke dalam kelompok belajar, yang anggotanya 4 orang setiap kelompok. Selanjutnya, mahasiswa dibagikan LKM yang berisi masalah-masalah berifat ill-structured, open-ended, dan kontekstual. Masalah bersifat ill-structured berarti masalah mengandung data tidak lengkap, bersifat open-ended berarti tidak ada jawaban tunggal, dan bersifat kontekstual berarti masalah berkaitan dengan kehidupan nyata. Melalui diskusi kelompok, mahasiswa mendefinisikan masalah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan hipotesis. Mahasiswa, selanjutnya, melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan atau menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Setiap kelompok membuat laporan hasil pemecahan masalah untuk kemudian dipresentasikan pada diskusi kelas. Setiap kelompok mengumpulkan laporan kepada dosen untuk dinilai. Pada diskusi kelas, setiap kelompok mempresentasikan hasil pemecahan masalah yang dibuat. Mahasiswa atau kelompok lain diberi kesempatan bertanya atau memberi tanggapan. Dosen memberikan penjelasan terhadap konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang belum dipahami oleh mahasiswa dan sekaligus memperbaiki konsep-konsep mahasiswa yang keliru.
Tahap observasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan pembelajaran, bertujuan untuk mengetahui aktivitas belajar mahasiswa dan kendala-kendala dalam mengimplementasikan pembelajaran. Tahap evaluasi dilakukan pada akhir dari setiap siklus, bertujuan untuk mengetahui keterampilan pemecahan masalah dan hasil belajar mahasiswa, masing-masing menggunakan rubrik dan tes hasil belajar. Sementara itu, pendapat mahasiswa terhadap pembelajaran diukur dengan kuesioner dan dilakukan pada akhir dari seluruh siklus. Tahap refleksi dilakukan untuk mengkaji ketercapaian indikator keberhasilan dan kekurangan-kekurangan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan obervasi dan evaluasi berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh pada masing-masing siklus.
Hasil-hasil yang dicapai pada siklus I menunjukkan bahwa indikator keberhasilan keterampilan pemecahan masalah dan hasil belajar mahasiswa belum tercapai. Rendahnya keterampilan pemecahan masalah mahasiswa ini paling tidak disebabkan oleh tiga hal. Pertama, mahasiswa terbiasa dengan pembelajaran “tutur dan kapur”. Ke-dua, mahasiswa kurang memahami proses-proses fermentasi dan mikrorganisme yang terlibat pada fermentasi alkohol. Ke-tiga, mahasiswa kekurangan waktu untuk memecahkan masalah-masalah dalam LKM. Hasil belajar mahasiswa pada siklus I menunjukkan bahwa mahasiswa masih mengalami kesulitan dalam menjelaskan reaksi-reaksi kimia yang berlangsung dalam proses fermentasi alkohol. Kesulitan ini rupanya bersumber dari kesulitan yang dihadapi mahasiswa ketika memecahkan masalah-masalah ill-structured, open-ended, dan kontekstual dalam LKM.
Tindakan tambahan yang dilakukan pada siklus II adalah dengan dengan memberikan waktu lebih banyak kepada mahasiswa untuk mendiskusikan masalah-masalah yang terdapat dalam LKM. LKM dibagikan tiga hari sebelum pembelajaran sehingga mahasiswa mempunyai waktu yang lebih banyak untuk mengumpulkan informasi, mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dipecahkan, berdiskusi, dan membuat laporan. Di samping itu, selama diskusi kelompok dan diskusi kelas, dosen menanyakan kesulitan-kesulitan yang dialami oleh mahasiswa. Semantara itu, tindakan-tindakan lain yang sudah baik tetap dipertahankan.
Pada siklus II, indikator keberhasilan berkaitan dengan keterampilan pemecahan masalah mahasiswa sudah tercapai. Mahasiswa sudah dapat menggambarkan reaksi-reaksi kimia yang berlangsung pada proses fermentasi berikut dengan enzim-enzim yang terlibat serta menyebutkan mikroorganisme yang berperan pada fermentasi alkohol.
Kondisi berbeda terjadi pada hasil belajar mahasiswa. Pada siklus II, hasil belajar mahasiswa sedikit mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam tes hasil belajar pada siklus II sedikit lebih sulit dibandingkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam tes hasil belajar pada siklus I. Mahasiswa tidak dapat menjelaskan dengan baik proses-proses kimia yang terjadi pada pembentukan tempe “bosok” dan cara pecegahannya. Demikian juga, mahasiswa tidak dapat menjelaskan dengan baik proses-proses kimia pada pemanfaatan ampas tahu.
Tindakan tambahan yang dilakukan pada siklus III adalah dengan memberikan waktu lebih banyak untuk mengakses sumber-sumber informasi, misalnya dari internet atau studi lapangan ke industri kecil yang memanfaatkan teknologi fermentasi. Untuk itu, LKM dibagikan seminggu sebelum pembelajaran. Di samping itu, selama diskusi kelompok dan diskusi kelas, dosen secara aktif menanyakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh mahasiswa, tidak menunggu pertanyaan dari mahasiswa, seperti pada tindakan pada siklus II.
Pada siklus III, hasil belajar mahasiswa mengalami peningkatan dan sudah melampaui indikator keberhasilan yang ditetapkan dalam penelitian ini. Di samping itu, keterampilan pemecahan masalah mahasiswa juga mengalami peningkatan.
Data keterampilan pemecahan masalah mahasiswa dianalisis dengan menghitung reratanya, kemudian dibandingkan dengan kriteria berikut: 0,0 – 0,9: sangat kurang; 1,0 – 1,9: kurang; 2,0 – 2,9; baik; 3,0 – 4,0: sangat baik. Data hasil belajar mahasiswa dianalisis secara deskriptif dengan menghitung rerata dan simpangan bakunya. Data pendapat mahasiswa terhadap pembelajaran berbasis masalah dianalisis secara deskriptif.
Keberhasilan dari penelitian ini ditentukan dari skor rerata keterampilan pemecahan masalah dan skor rerata hasil belajar mahasiswa. Penelitian ini dianggap berhasil jika: 1) skor rerata keterampilan pemecahan masalah mahasiswa minimal tergolong baik (minimal skor rerata 3,0 pada skala 4); 2) skor rerata hasil belajar mahasiswa minimal 7,0 pada skala 11.
Hasil dan Pembahasan
1. Keterampilan pemecahan masalah
Keterampilan pemecahan masalah mahasiswa pada siklus I, II, dan III berturut-turut adalah 2,8 ± 0,3; 3,3 ± 0,2; dan 3,6 ± 0,2. Tampak bahwa indikator keberhasilan untuk keterampilan pemecahan masalah mahasiswa baru tercapai pada siklus II.
2. Hasil belajar
Hasil belajar mahasiswa pada siklus I, II, dan III berturut-turut adalah 6,51 ± 0,75; 6,43 ± 0,70; dan 7,12 ± 0,62. Tampak bahwa hasil belajar mahasiswa berfluktuasi dari siklus ke siklus. Indikator keberhasilan untuk hasil belajar mahasiswa baru dapat dicapai pada siklus III.
3. Pendapat mahasiswa
Mahasiswa sangat setuju dengan diterapkannya pembelajaran berbasis masalah pada mata kuliah Biofermentasi. Mahasiswa beranggapan bahwa pembelajaran ini sangat baik untuk mengajarkan konsep-konsep biokimia pada mata kuliah Biofermentasi. Beberapa dari pendapat mahasiswa dapat ditunjukkan sebagai berikut. Pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan: 1) motivasi belajar; 2) aktivitas belajar; 3) kerjasama; 4) pemahaman konsep-konsep kimia; 5) keterampilan berpikir tingkat tinggi; dan 6) kemampuan mencari sumber-sumber informasi. Mahasiswa berharap agar pembelajaran ini terus diterapkan untuk mengajarkan mata kuliah Biofermentasi dan bahkan untuk mengajarkan mata kuliah lainnya.
B. Pembahasan
Pada siklus I, indikator keberhasilan untuk keterampilan pemecahan masalah dan hasil belajar mahasiswa belum tercapai. Rendahnya keterampilan pemecahan masalah pada siklus I disebabkan oleh mahasiswa tidak terbiasa dengan pembelajaran berbasis masalah. Mahasiswa lebih senang bila dosennya mengajar dengan metode “tutur dan kapur”. Ketika mahasiswa berhadapan dengan metode pembelajaran aktif, seperti pada pembelajaran berbasis masalah, mahasiswa mengalami kebingungan. Hal ini disebabkan oleh karena pada pembelajaran berbasis masalah, mahasiswa memecahkan masalah-masalah yang bersifat ill-structured, open-ended, dan kontekstual. Dalam hal ini, dosen tidak menjelaskan materi perkuliahan, melainkan mahasiswalah yang aktif mencari sumber informasi serta merancang dan melakukan penelitian dalam rangka pemecahan masalah. Dengan demikian, mahasiswa akan menjadi arsitek bagi pembelajaran yang dilakukan.
Kesulitan yang dihadapi mahasiswa dalam memecahkan masalah-masalah ill-structured, open-ended, dan kontekstual adalah kurangnya pemahaman mahasiswa terhadap jalur-jalur metabolik (reaksi-reaksi kimia) yang berlangsung pada proses fermentasi alkohol dan juga mahasiswa tidak dapat mengidentifikasi enzim-enzim yang terlibat pada masing-masing jalur metabolik. Mahasiswa hanya menyebutkan proses-proses kimia secara umum. Mahasiswa juga belum mampu mengidentifikasi jenis-jenis mikroorganisme dan enzim yang dihasilkan pada fermentasi alkohol. Di samping itu, mahasiswa menginformasikan bahwa waktu yang disediakan untuk mendiskusikan masalah-masalah yang terdapat dalam LKM sangat terbatas.
Hasil belajar mahasiswa pada siklus I menunjukkan bahwa mahasiswa masih mengalami kesulitan menjelaskan reaksi-reaksi kimia yang berlangsung pada proses fermentasi alkohol. Kesulitan mahasiswa ini juga ditemukan ketika mahasiswa memecahkan masalah-masalah yang terdapat dalam LKM. Dengan kata lain, rendahnya hasil belajar mahasiswa dipengaruhi oleh rendahnya keterampilan pemecahan masalah mahasiswa.
Tindakan tambahan yang diterapkan pada siklus II adalah dengan membagikan LKM tiga hari sebelum pembelajaran. Di samping itu, dosen mendorong mahasiswa agar mau menanyakan kesulitan-kesulitan yang dialaminya. Pada siklus ini, keterampilan pemecahan masalah mahasiswa mengalami peningkatan yang sangat signifikan sehingga indikator keberhasilan sudah dapat dicapai. Mahasiswa sudah dapat menjelaskan reaksi-reaksi kimia dalam jalur metabolisme, menyebutkan enzim-enzim yang terlibat, dan mengidentifikasi jenis-jenis mikroorganisme yang berperan.
Temuan penelitian juga menunjukkan bahwa masalah-masalah ill-structured, open-ended, dan kontekstual dapat memacu mahasiswa untuk terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Mahasiswa memperoleh pengalaman memecahkan masalah yang dijumpai dalam kehidupan nyata. Temuan ini sejalan dengan temuan-temuan sebelumnya dari beberapa peneliti (Duch, 1996; Woods, 1006; Delishe, 1997; Levine, 2001). Menurut Gardner (1983), pembelajaran berbasis masalah memotivasi mahasiswa menggunakan beberapa intelegensinya untuk menentukan isu-isu nyata.
Pengalaman mahasiswa dalam memecahkan masalah-masalah ill-structured, open-ended, dan kontekstual dapat melatih keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skills). Hal senada juga diungkapkan oleh beberapa peneliti (lihat Newmann & Wehlage, 1993; Savoi & Hugges, 1994; Kendler & Grove, 2004). Keterampilan berpikir tingkat tinggi merupakan keterampilan hidup yang sangat diperlukan oleh mahasiswa untuk menghadapi dan untuk berhasil dalam kehidupan. Keterampilan berpikir tingkat tinggi yang dimaksud adalah berpikir kritis (critical thinking), berpikir kretatif (creative thinking), dan pembuatan keputusan (decision making). Dalam hal berpikir kritis, mahasiswa melakukan analisis, sintesis, dan evaluasi secara mendalam terhadap masalah yang dipecahkan. Mahasiswa menentukan sumber informasi yang kredibel, menganalisis bukti-bukti; melakukan klarifikasi, melakukan penyedilikan, mempertimbangkan akibat dan implikasi dari tindalan atau solusi yang dipilih. Dengan kondisi ini siswa akan menjadi seorang critical thinker yang baik. Dengan berpikir kritis, mahasiswa akan dapat membuat keputusan yang tepat karena mahasiswa mampu menganalisis situasi dan mempertimbangkan dampak dan akibat dari keputusan atau solusi yang dipilih. Dalam hal ini, mahasiswa akan menjadi seorang decision maker yang baik. Melalui diskusi kelompok, mahasiswa berusaha menghasilkan ide-ide atau gagasan dalam rangka pemecahan masalah sehingga diperoleh solusi alternatif (berikir kreatif). Dalam hal ini, mahasiswa akan dapat menjadi seorang creative thinker yang baik. Perlu diketahui bahwa berpikir kritis dan berpikir kreatif terjadi secara bolak-balik agar dapat menghasilkan solusi (keputusan) yang terbaik bagi kelompoknya.
Berbeda halnya dengan hasil belajar mahasiswa. Hasil belajar mahasiswa sedikit mengalami penurunan. Hasil analisis terhadap item-item tes hasil belajar menemukan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam tes hasil belajar pada siklus II sedikit lebih sulit daripada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam tes hasil belajar pada siklus I. Pertanyaan-pertanyan pada siklus I lebih banyak berkaitan dengan metabolisme karbohidrat, terutama glikolisis, di mana mahasiswa sudah pernah memperoleh konsep glikolisis sudah pada mata kuliah sebelumnya, yaitu mata kuliah Biokimia. Sebaliknya, mahasiswa belum mempunyai pengetahuan yang memadai berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan pada siklus II. Dalam menjawab tes hasil belajar, mahasiswa tidak dapat menjelaskan reaksi-reaksi kimia yang terjadi selama pembentukan tempe “bosok” dan cara mencegahnya. Demikian juga, mahasiswa tidak dapat menjelaskan reaksi-reaksi kimia pada pemanfaatan ampas tahu.
Tindakan tambahan yang diterapkan pada siklus III adalah memberikan waktu lebih banyak kepada mahasiswa untuk mengakses sumber-sumber informasi, misalnya dari internet, atau melakukan studi lapangan ke industri kecil yang memanfaatkan teknologi fermentasi. Dengan cara demikian, mahasiswa diharapkan dapat belajar dari lingkungan dan melihat kondisi yang sebenarnya tentang pemanfaatan tekonologi fermentasi dalam industri rumah tangga. Di samping itu, selama diskusi kelompok dan diskusi kelas, dosen lebih banyak memerankan dirinya sebagai fasilitator belajar bagi mahasiswa dengan menanyakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh mahasiswa. Hal ini sejalan dengan apa yang disarankan oleh White (1996), yaitu peranan utama dari pengajar adalah memfasilitasi proses pembelajaran kelompok, bukan menyediakan jawaban. Sementara Barrows (1988), Savery & Duffy (1991), dan Wilkerson (1996) mengatakan bahwa dosen hendaknya bertindak sebagai tutor atau pelatih metakognisi dengan mengajukan berjenis-jenis pertanyaan kepada mahasiswa agar mereka bertanya pada dirinya sendiri untuk memahami dan mengelola masalah.
Hasil-hasil yang dicapai pada siklus III adalah sebagai berikut. Hasil belajar mahasiswa mengalami peningkatan yang sangat signifikan sehingga melampaui indikator keberhasilan yang ditetapkan pada penelitian ini. Walaupun tindakan tambahan yang diterapkan pada siklus III lebih diarahkan pada upaya untuk meningkatkan hasil belajar mahasiswa, keterampilan pemecahan masalah mahasiswa juga mengalami peningkatan. Ini merupakan efek pengiring (nurturant effect) dari tindakan yang dilakukan pada siklus III. Peningkatan hasil belajar mahasiswa dengan penerapan pembelajaran berbasis masalah juga telah dilaporkan oleh Stepien & Gallagher (1993), Gallagher, et al (1995), dan Barrows (1996).
Peningkatan hasil belajar mahasiswa ini beralasan karena pembelajaran berbasis masalah dimulai dari masalah-masalah ill-structured, open-ended, dan ambigu (Woods, 1996; Forgaty, 1997). Masalah-masalah ini juga otentik (Newmann & Wehlage, 1993). Mahasiswa tidak akan dapat memecahkan masalah sebelum mereka mengumpulkan informasi, merumuskan pemecahan masalah, melakukan penyelidikan, dan menarik kesimpulan. Selama proses ini, mahasiswa akan mengalami pematangan intelektual yang berpengaruh pada peningkatan hasil belajar mahasiswa. Glaser (1991) dan Gijselaers (1996) menyatakan bahwa pada pembelajaran berbasis masalah, mahasiswa mengkonstruksi pengetahuan secara aktif. Pengetahuan dibentuk dari konsep-konsep yang berhubungan yang ditunjukkan sebagai jaringan semantik (Bruning, dalam Gijselaers, 1996). Mahasiswa bertindak sebagai stakeholder, ahli, dan menjadi arsitek pembelajaran (Fogarty, 1997). Dengan demikian, mahasiswa akan dapat mengendalikan pembelajaran yang dilakukan, tanpa banyak intervensi dari dosen. Hasil-hasil ini sejalan dengan hasil-hasil yang diperoleh sebelumnya (Light, 1990; Jhonson, et al, 1991; Bodner, 1992; Stepien, et al, 1993; Delishe, 1997).
Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa pembelajaran berbasis masalah dalam kelompok kecil mendorong mahasiswa mengemukakan pendapat atau bertanya sehingga keterampilan mahasiswa dalam berkomunikasi, khususnya komunikasi lisan, dapat ditingkatkan. Kendler & Grove (2004) melaporkan hal yang sama. Kondisi ini juga mendorong terjadinya kegiatan peer tutoring. Mahasiswa bekerja dengan teman sejawatnya untuk memecahkan masalah sehingga dihasilkan pemecahan masalah yang terbaik bagi kelompoknya. Menurut Glaser (1991), melalui kerja dalam kelompok kecil, mahasiswa dapat menggunakan metode pemecahan masalah dan pengetahuan konseptualnya. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan belajar kooperatif dalam kelompok kecil dapat meningkatkan prestasi belajar atau hasil belajar mahasiswa (Light, 1991; Jhonson, et al, 1991; Bodner, 1992). Bekerja dalam kelompok kecil memungkinkan mahasiswa dapat mengembangkan keterampilan berkomnikasi, baik tertulis maupun lisan (Czujko (1994; dalam Allen, et al, 1996). Pembelajaran berbasis masalah dapat melatih keterampilan-keterampilan berkomunikasi, meningkatkan tanggung jawab belajar, dan pembelajaran menjadi lebih menarik (Kendler & Grove, 2004); memacu terjadinya diskusi kelompok (Ommundsen, 2001); meningkatkan keterampilan kerja tim (Levine, 2001); dan meningkatkan motivasi belajar (Stepien, et al, 1993; Delishe, 1997; Ommundsen, 2001).
Simpulan dan Saran
Dari hasil-hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan keterampilan pemecahan masalah dan hasil belajar mahasiswa. Pembelajaran ini sangat efektif untuk mengajarkan mata kuliah Biofermentasi. Mahasiswa berharap agar pembelajaran ini diteruskan untuk mengajarkan mata kuliah Biofermentasi dan bahkan untuk mengajarkan mata kuliah lainnya. Teman-teman dosen dapat mengadaptasi pembelajaran berbasis masalah ini untuk diterapkan pada mata kuliah yang diampu.
Daftar Pustaka
Allen, Duch, B. J., & Groh, S. E. (1996). The Power of Problem-Based Learning in Teaching Introductory Science Courses. New Direction for Teaching and Learning. 68: 43-51.
Barrows, H. S. (1988). The Tutorial Process. Springfield: Southern Illinois University School of Medicine.
Barrows. H. S. (1996). Problem-Based Learning in Medicine Beyond: A Brief Overview. New Direction for Teaching and Learning. 68: 3-12.
Bodner, G. M. (1992). Why Changing the Curriculum May not be Enough. Journal of Chemical Education. 69: 186-190.
Delisle, R. (1997). How to Use Problem-Based Learning in The Classroom. Virginia: ASCD.
Duch, B. J. (1996). Problem-Based Learning in Physics: The Power of Students Teaching Students. JCST. Maret/April: 326-329.
Fogarty, R. (1997). Problem-Based Learning and Multiple Intelligences Classroom. Melbourne: Hawker Brownlow Education.
Gallagher, S., Stepien, W. J., Sher, B. T. & Workman, D. (1995). Implementing Problem-Based Learning in Science Classrooms. School Science and Mathematics. 95(3): 136-146.
Gardner, H. (1993). Multiple Intelligences: The Teory in Practice. Basic Book.
Gerhard, M. (1971). Effective Teaching Strategies with The Behavioral Outcomes Approach. New York: Parker Publishing Company, Inc.
Gijselaers, W. H. (1996). Connecting Problem-Based Learning with Educational Theory. New Direction for Teaching and Learning. 60: 13-21.
Glaser, R. (1991). The Maturing of the Relationship between the Science of Learning and Cognition and Educational Practice. Learning and Instruction. 1: 129-144.
Jhonson, D. W., Jhonson, R. T., & Smith, K. A., (1991). Cooperative Learning: Increasing College Faculty Instructional Productivity. ASHE-ERIC Higher Education Report No. 4. Washington DC: School of Education and Human Development, George Washington University.
Karlimah (1999). Pembelajaran Konsep Benda Melalui Model Siklus Belajar untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Konservasi Kuantitas dan Berat Siswa Kelas III SD. Tesis. Program Pasca Sarjana IKIP Bandung. Tidak diterbitkan.
Kemmis, S. & McTaggart, R. (2000). The Action Research Planner, 3rd Edition. Victoria: Deakin University Press.
Kendler, B. S. & Grove, P. A. (2004). Problem-Based Learning in Bioligy Curriculum. The American Biology Teacher. 66(5): 348-354.
Levine, A. (2001). An Overview of PBL. Tersedia pada http://www.mcli.dist.maricopa.edu/ pbl/info.html. Diakses tanggal 3 Juli 2007.
Light, R. J. (1990). The Harvard Assessment Seminars. Cambridge, Mass.: Harvard Universty Press.
Newmann, E.M. & Wehlage, G. G. (1993). Five Standards of Authentic Instruction. Educational Leadership. 50(7): 8-12.
Ommundsen, P. (2001). Problem-based Learning in Biology. Tersedia pada http://www.saltspring.com/capewest/pbl.htm. Diakses tanggal 3 Juli 2007.
Redhana, I W. & Sastrawidana, I D. K. (2002). Penerapan Strategi Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Generatif Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Kimia Dasar II pada Mahasiswa TPB Jurusan Pendidikan Kimia IKIPN Singaraja Tahun Akademik 2001/2002. Laporan Penelitian. Dikti. Tidak dipublikasikan.
Redhana, I W. & Kartowasono, N. (2006). Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Minat, Pemahaman, dan Hasil Belajar Mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika. Laporan Penelitian. Dikti. Tidak dipublikasikan.
Redhana, I W. & Kirna, I M., (2004) Identifikasi Miskonsepsi Siswa SMA Negeri di Kota Singaraja terhadap Konsep-konsep Kimia yang Dilakukan Setelah Pembelajaran, Laporan Penelitian. IKIPN Singaraja. Tidak dipublikasikan.
Reigeluth, C. M. (1983). Instructional-Design Theories and Models : An Overview of Their Current Status, London: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Rutherford F. J. & Ahlgren A. (1990). Science for All Americans. New York: Oxford University Press.
Savery, J. R. & Duffy, T., M. (1991). Problem-Based Learning: An Instructional Model and Its Constructivist Framework. Constructivist Learning Environments. 135-148.
Savoi, J. M. & Hughes, A. S. (1994). Problem-Based Learning As Classroom Solution. Educational Leadership. Nopember: 54-57.
Stepien, W & Gallagher, S. (1993). Problem-Based Learning: As Authentic as It Gets, Educational Leadership. April: 25-28.
Stepien, W., Gallagher, S., & Workman, D., (1993). Problem-based Learning for The Tradisional anf Interdisciplinary Classroom. Journal for Gifted Education. 17(4): 338-357.
White, H. B. (1996). Dan Tries Problem-Based Learning: A Case. Tersedia pada http://www.udel.edu/pbl/dancase3.html. Diakses tanggal 3 Juli 2007.
Wilkerson, L. (1996). Tutors and Small Group in Problem-Based Learning: Lessons from the Literature. New Direction for Teaching and Learning. 68: 23-32
Woods, D.R. (1996). Problem-based Learning, Especially in The Context of Large Classes. http://www.chemeng.mcmaster.ca/pbl/pbl.htm. Diakses tanggal 3 Juli 2007.