PEMANFAATAN INTERNET DAN MULTI MEDIA
DALAM PEMBELJARAN DI SEKOLAH :
Antara Peluang dan Tantangan
Muhammad Isnaini
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Fatah
http//www.muhammadisnain.blogspot.com
isnain_m@yahoo.co.id
Abstrak: Sekalipun Internet begitu cepat merasuk ke dalam kehidupan manusia modern,namun baru akhir-akhir ini para pendidik menyadari kemungkinan memanfaatkan potensi yang terkandung di dalamnya untuk kepentingan pengajaran. Internet juga telah digunakan oleh sejumlah guru secara kreatif, terutama pada awalnya dengan menggunakan fasilitas ‘surat elektronik’ (elektronic-mail, biasa disingkat e-mail), yang merupakan salah satu ciri khas Internet. Ternyata penggunaan sutronik dapat mendorong pembelajaran untuk menggunakan komputer dalam situasi yang realistik dan otentik dalam rangka membangun keterampilan berpikir dan berkomunikasi. Di samping keunggulannya dalam komunikasi, Internet juga dapat digunakan untuk mengakses dan memanggil informasi yang tak terkirakan jumlahnya, tersebesar diseluruh penj uru dunia. Jaringan komputer Sedunia (World Wide Web) karenanya merupakan sebuah perpustkaan elektronik raksasa di ujung jari, yang menyediakan informasi seluruh dunia bagi pembelajaran. Salah satu informasi yang amat penting bagi pembelajaran, yang sering kali tidak tersedia dalam lingkungan mereka adalah informasi tentang konteks kultural serta bagaimana bahasa target sesungguhnya digunakan sehari-hari.
Kata-kata kunci: Internet, multi media, komputer, pembelajaran, tekhnologi hipermedia dan ’ computer assisted language learning ( CALL).
Pendahuluan
Dekade terakhir ini perkembangan yang pesat dalam teknologi Internet telah mulai merasuk ke Indonesia. Sekalipun masih barang baru, Internet ternyata dapat berkembang dengan pesat, terlihat dari jumlah perusahaan yang bergerak dalam industri jasa Internet ini. Pengaruh dari teknologi ini mulai dirasakan dalam hampir semua aspek dari sektor pendidkan, bisnis dan ekonomi. Dalam dunia pendidikan dan politik disinyalir bahwa kelompok-kelompok mahasiswa proreformasi telah memanfaatkan Internet dan e-mail untuk berkomunikasi dan mengkoordinasikan gerakan mereka di seluruh pelosok tanah air, sehingga perjuangan mereka berhasil melengserkan Soeharto dari kekuasaannya dalam waktu yang menakjubkan singkatnya.
Terlepas dari pengetahuan dan keterampilan seseorang dalam menggunakan Internet, kenyataan acuan-acuan terhadap informasi via Internet berkembang pesat dan semakin diakui. Stasiun televisi, perusahaan, koran dan majalah kini merasa bangga bila dapat mencatumkan alamat situs web (website) mereka di iklan-iklan atau kepala surat mereka. Terlepas dari apakah seseorang menggunakan Internet atau tidak, kita mau tak mau harus menyadari bahwa kita tengah memasuki suatu zaman informasi baru di mana Internet memakai peranan penting. Karena Internet telah merasuki banyak lapangan dan kawasan kehidupan manusia tanpa dapat dicegah mapun ditunda, kajian dan pemanfaatan teknologi ini sangat perlu memasuki dunia pendidikan, tidak saja karena anak didik sudah atau nantinya akan berhadapan dengan teknologi ini dalam kehidupannya, tetapi juga karena teknologi ini merupakan bagian dari kehidupan modern. Oleh karena itu tulisan ini ingin membahas kemungkinan penggunaan Internet dan multi media dalam dunia pendidikan di Indonesia dan karena kajian ini meliputi bidang yang amat luas, maka tulisan ini membatasi diri dengan mendiskusikan beberapa masalah penting dalam pengajaran bahasa asing via Internet dan multi media sebagai pengajaran saja.
Sekiranya perkembangan teknologi komputer tidak mengarah kepada keadaannya sekarang, multi media mungkin tak pernah ada. Sekarang tahun 1987, tahun dimana pirati lunak untuk multi media pembelaj ran berjalan secara terpisahpisah. Seorang guru bahasa yang ingin menggunakan media maju seperti video dan tep-rekorder, sulit mengintergrasikan kedua jenia alat tersebut karena masingmasingnya harus diakses secara terpisah dengan cara yang berbeda pula. Dewasa ini, dengan bantuan koordinasi komputer, kedua peralatan tersebut bisa dipadukan, bahkan tanpa harus mempunyai perangkat kerasnya. Komputer multi media kini dapat berfungsi sebagai penghasil suara dan gambar sekaligus, di samaping kemampuan-kemampuannya yang telah ada. Komputer bahkan dapat difungsikan sebagai sarana telepon atau pun video setelah perangkat keras Video Compact Disk (VCD) dan kamera digital (termasuk kamera video) menjadi bagian dari fasilitas yang mampu diberikan oleh komputer melalui manajemen sejumlah perangkat lunak yang sesuai.
Teknologi dan Pengajaran dalam Lintasan Sejarah
Pengajaran telah lama akrab dengan teknologi. Dalam tahun 60-an dan 70-an, laboratorium bahasa banyak digunakan di lembaga-lembaga pendidikan dan secara individu tape-recorder juga lazim digunakan baik oleh guru maupun siswa. Pengajaran bahasa Inggris memalui radio juga telah menyumbang banyak ke dalam kemajuan di bidang penghaj ran bahasa.
Di dalam lab-lab bahasa misalnya, kegiatan dan kemajuan setiap siswa yang belajar pada booth masing-masing dimonitor oleh guru di ruang kontrol. Teknologi ini dikembangkan berdasarkan pola tingkah laku ‘rangsang-respon’, sebuah teori psikologi behavioris yang banyak dianut dalam pengajaran bahasa pada masa itu dalam rangka teori ini dipercaya bahwa bertambah banyak siswa berlatih tambah cepat mereka menguasai bahasa yang dituju.
Sekali pun lab bahasa merupakan sumbangan yang positif terhadap bidang pengajaran bahasa, namun beberapa kelemahannya kemudian terungkap. Ternyata kegiatan-kegiatan dalam lab bahasa cepat membosankan siswa berhadapan dengan pengalaman yang lebih abstrak dimana interaksinya dengan guru juga menjadi minimal. Sekalipun siswa dapat belajar menurut kecepatan masing-masing, namun pengajaran individual menjadi tidak relevan lagi, menyebabkan siswa yang tertinggal menjadi frustasi. Lab bahasa tampaknya hanya mempunyai satu fungsi utama saja: mendesiminasikan masukan bunyi (suara). Di samping kelemahan-kelemahan pedagogis, peralatan lab bahasa ternyata juga mudah bertingkah, bahkan rusak. Semua kelemahan ini, ditambah lagi dengan peralihan faham dalam pengajaran bahasa ke ‘pendekatan komunikatif’ serta perkembangan teknologi komputer, kemudian melahirkan gagasan terhadap apa yang disebut sebagai ‘belajar bahasa dengan bantuan komputer’ (computer assisted language learning atau disingkat CALL).
Komputer mikro dan piranti lunak CALL yang bermutu kemudian menjadi medium dalam belajar bahasa. Kemampuannya dalam pembelajaran bahasa menjadi ajang diskusi dan banyak ditulis dalam literatur-litaratur pendidikan di negara-negara maju. Dewasa ini banyak sekali program aplikasi komputer yang telah dikembangkan untuk pembelajaran bahasa termasuk kosa-kata, gramatika, lafal, ejaan, buku latihan elektronik, program-pogram untuk menulis dam membaca, serta paket-paket perangkat lunak yang memungkinkan guru untuk membuat sendiri latihan-latihan tambahan.
Kajian penggunaan CALL dalam pengajaran bahasa menunjukkan keunggulan. Blake (1987) menyatakan bahwa CALL ternyata meningkatkan motivasi belajar. Chun dan Brandi (1992) menemukan bahwa kemajuan interaktif dam multimedia dari komputer membuat mesin ini menjadi suatu alat mengajar-belajar yang menarik. Komputer mampu memberikan umpan balik langsung pada siswa dan siswa dapat bekerja menurut kecepatan masing-masing. Perangkat lunak dapat didesain untuk menggabungkan bunyi, grafik, video dan gambar bergerak (animasi). Yang tak kalah pentingnya, informasi disajikan bukan dalam urutan linear yang kaku, sehingga siswa dapat memilih latihan-latihan atau konsep-konsep yang ingin ditinjau kembali.
Lain halnya dengan multi media pemikiran untuk memadukan penggunaan media dalam pembelajaran telah dilakukan jauh sebelum 1987, ketika komputer masih digunakan secara lebih sederhana. Pada waktu itu dilahirkan gagasan untuk mengadaklan Media Terpadu (“Integrated Media”) yang berupaya untuk mengintergarikan berbagai peralatan media seperti proyektor, VCR dan tep-rekorder dalam suatu ruang media. Namun waktu itu masih digunakan masing-masing alat yang dikoordinasikan oleh mkro-prosesor yang dirancang khusus. Sebelum Media Terpadu sempat menjadi populer di dunia pendidikan dan pengajaran, dan berangkat dari obsesi yang sama, sejumlah riset dilakukan untuk mefungsikan komputer dalam beberapa kapasitas berbagai media tersebut melalui teknologi digital. Salah satu tonggak kemajuan teknologi adalah keberhasilan dalam penyusunan paket perangkat lunak HyperCard/HyperTalk di tahun 1987 (Hofmeister, 1990). Dalam waktu tidak lama kemudian dikembangkan berbagai piranti untuk menyusun paket-paket pembelajaran ‘hipermedia’ seperti Toolbook, Authorware, Professional dan Director 4. Perkembangan yang pesat dalam pengembangan piranti lunak, seiring dengan semakin murahnya harga perangkat keras komputer, telah memungkinkan lebih cepatnys teknologi hipermedia ke sekolah-sekolah.
Banyak pendidik dan ahli pendidikan (Akscyn, McCracken & Yoder, 1988; Halasz, 1988; Barker, 1992; Malhotra & Erickson, 1994) menggunakan pada mulanya istilah hipermedia untuk merujuk paket-paket pelajaran yang dihasilkan. Dalam paket-paket hipermedia ini, informasi dijabarkan ke dalam unit-unit kecil yang dipersentasikan melalui ‘unit sajian’ (‘frames’) yang setara dengan satu layar tanyangan (‘screen display). Setiap layar tanyangan kemudian dihubungkan dengan satu atau lebih layar tanyangan yang berkaitan. Cara penghubungan ini memungkinkan setiap siswa untuk memilih urutan presentasi yang diinginkannya dan menurut kecepatan yang diinginkannya pula. Kondisi ini disebut sebagai ‘kendali siswa’ (‘learner’s control’, lihat Merryl). Berbagai bentuk data multimedia teks, gambar, suarau, gambar animasi dan video digunakan secara terpadu dalam suatu paket hipermedia (Cheung, 1995, p. 188). Jadi paling tidak ada dua ciri utama dari paket hipermedia: (1) informasi dikaittkan satu sama lain, (2) informasi yang saling berkaitan itu bisa disajikan sebagai teks, gambar-gambar, suara, animasi dan video. Karena penggunaan berbagai media, maka pada hekekatnya paket hipermedia menjalankan fungsi multimedia dalam suatu kegiatan pembelaj ran. Dalam makalah ini istilah hipermedia dan multimedia digunakan secara bergantian dengan maksud yang sama.
Apakah Internet Itu ?
Sementara komputer digunakan dalam berbagai cara di banyak kelas bahasa, Internet juga secara bertahap diperkenalkan dalam kelas, terutama ketika para guru juga mulai terbiasa menggunakannya. Internet merupakan penggabungan dari ribuan komputer dari berbagai sektor seperti bisnis, pendidikan, pemerintahan dan militer. Kantor atau lembaga di negara maju pada umunya membentuk jaringan komputer sendiri untuk mengoptimalkan pemanfaatan komputer dan memudahkan komunikasi data. Jaringan komputer lokal (misalnya dalam satu kantor atau bangunan) kemudian dihubungkan dengan jaringan di tempat yang berbeda dengan menggunakan modem dan server sehingga terbentuk jaringan komputer yang lebih luas.
Internet justru merupakan suatu jaringan dari ribuan jaringan komputer yang tersebar di seluruh dunia (Lewis, 1994). Setiap jaringan lokal memiliki kekhasan masing-masing (bank-data, layanan informasi, perpustakaan, foto, grafik, jurnal elektronik, dan lain sebagainya) dan kesemuanya ini ketika tergambung ke dalam Internet, membentuk suatu akumulasi informasi teramat besar. Internet merupakan jaringan komputer sedunia, yang masing-masingnya dapat saling menghubungi melalui suatu sistem ‘protokol’ standar yang berperan sebagai jembatan dari berbagai sistem komputer yang berbeda-beda sehingga memungkinkan berbagai cara akses ke Internet. Misalnya, seorang siswa pengguna IBM di Indonesia dapat berhubungan
dengan sebuah jaringan komputer di Australia yang menggunakan MacIntosh, sekalipun sistem pengoperasian dari masing-masing komputer berbeda. Oleh karena itu Internet dapat digunakan baik untuk pertukaran informasi melalui surat-elektronik (sutronik), newsgroups, listservs, diskusi kelompok profesional yang on-line dan lain sebagainya, mampu untuk mengakses informasi tentang berbagai topik melalui jaringan sedunia (JKS) atau World Wide Web.
Internet dan Surat Elektronik: Implikasinya dalam Pengajaran
Sekalipun Internet begitu cepat merasuk ke dalam kehidupan manusia modern,namun baru akhir-akhir ini para pendidik menyadari kemungkinan memanfaatkan potensi yang terkandung di dalamnya untuk kepentingan pengajaran bahasa asing. Bagian ini berusaha membahas secara ringkas keunggulan dan keuntungan dalam pemanfaatan teknologi ini dalam pengaj ran bahasa. Internet telah digunakan oleh sejumlah guru bahasa secara kreatif, terutama pada awalnya dengan menggunakan fasilitas ‘surat elektronik’ (elektronic-mail, biasa disingkat e-mail), yang merupakan salah satu ciri khas Internet., misalnya telah menguji coba penggunaan surat elektronik (sutronik) dalam mengajarkan mata kuliah English Correspondence. Ternyata penggunaan sutronik dapat mendorong pembelajaran untuk menggunakan komputer dalam situasi yang realistik dan otentik dalam rangka membangun keterampilan berpikir dan berkomunikasi. Sutronik mudah diguakan, bahkan mereka yang selama ini bersikap tidak acuh terhadap teknologi komputer dapat mempelajarinya dalam ‘sekejab mata’. Pemakaian sutronik bahkan juga dapat menjadi sebuag ‘forum’ bagi mahasiswa yang pemalu dalam mengekspresikan diri atau bertanya, karena ‘kerahasiaan’ dan ‘privasi’ ini surat mereka lebih terjamin. Seringkali mereka yang malu mengekspresikan diri dalam kelompokknya lebih unggul dalam menulis. Karena berbagai kemudahan dan fasilitas yang ada dalam komputer, mahasiswa (pemalu) tidak hanya mampu menulis lebih banyak dalam kurun waktu yang sama (dibandingkan dengan cara konvensional) tetapi juga membuat mereka cenderung untuk melahirkan pikiran secara terbuka tanpa keraguraguan. Hal ini membuat terbentuknya rasa percaya diri dan meningkatkan kemampuan menulis mereka (Gonzalez-Bueno, dalam Radjab, 1998).
Kroonenberg (1995), juga menggunakan sutronik dalam kelas-kelas bahasa di Sekolah Internasional Hong Kong (HK International School). Untuk membisakan siswa dengan penggunaan komputer, Koonenberg terlebih dahulu membentuk sebuag ‘buletin elektronik’ (dalam Internet dikenali sebagai Bulletin Board System atau BBS) dimana setiap siswa diminta untuk menulis bebas di dalamnya. Selanjutnya setia siswa didorong untuk memberikan tanggapan terhadap tulisan-tulisan yang muncul dalam BBS. Tentu saja ini memungkinkan terciptanya kegiatan yang berlipat ganda, baik dalam jumlah maupun jenisnya, karena setiap siswa tidak hanya menulis karangannya sendiri tetapi juga menanggapi tulisan dari teman-temannya. Interaksi yang terjadi tidak hanya sangat menarik bagi siswa tetapi juga bagi guru, apalagi jika kemudian melibatkan kelompok-kelompok siswa dari kelompok umur yang berbeda. Setiap siswa, setelah membaca otomatis akan sampai pada setiap siswa lainnya sehingga semua pendapat dapat ‘disuarakan’ dan ‘didengar’ oleh peserta lainnya dalam kadar yang nyaris sama. Hal ini tentu tak sepenuhnya dapat dilakukan dalam kelas-kelas biasa yang menggunakan cara-cara konvensional.
Berbagai keuntungan penggunaan sutronik dalam pengajaran bahasa, baik yang berkaitan dengan masalah penghematan pembiayaan kegiatan maupun tentang teknis pemenfaatan sutronik. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pemanfaatan teknologi ini sanggup mendorong pembelajar untuk mengembangkan gagasan tentang suatu topik, disamping juga memungkinkan mereka untuk menulis bebas, dan semuanya itu dalam suatu suasana yang alami dan kompetitif, suatu hal yang sering kali tidak mudah menciptakannya dalam kelas-kelas konvensional. Sutronik juga dapat digunakan dalam berbagai bentuk format diskusi dan bahkan ‘koperensi’, tanpa kendala jarak dan waktu. Sebagai contoh, Kroonenberg terkandang menawarkan dalam BBS topik menarik yang tengah hangat dibicarakan untuk dibahas lebih lanjut oleh siswanya. Belajar tidak lagi dirasakan sebagai suatu kegiatan sadar, tetapi sebagai interaksi alami yang sesungguhnya. Belajar cara ini mendekatkan siswa pada kehidupan sebenarnya. Komentar seorang siswa tentang kegiatan ini: “saya senang sekali nimbrung di BBS karena topik-topiknya demikian menarik dan saya punya banyak gagasan dan pendapat tentang hal itu”.
‘Ngerumpi’ juga bisa dilakukan melalui sutronik. Dalam hal ini, dua atau lebih siswa didorong untuk ‘omong-omong’ tentang berbagai topik atau isyu. Misalnya mereka diminta ‘berdebat’ tentang isyu yang kontroversial seperti ‘pacaran sembari belajar’ atau ‘haruskah merokok dolarang di tempat-tempay umum?’, dan lain sebagainya. Pengalaman-pengalaman ini merangsang kominikasi otentik, bukan komunikasi tiruan seperti yang biasa diciptakan di dalam kelas-kelas tradisonal. Semua ini menyumbang untuk dalam pembentukan keterampilan-keterampilan komunikasi yang khusus seperti berargumentasi, meyakinkan atau mempertahankan ide masing-masing. Berbeda dengan ngerumpi secara tatap muka (lisan), kegiatan ngerumpi tertulis ini memberikan kesempatan yang luas bagi peserta untuk berpikir, mengkonstruksi, mengacu pada bahan-bahan lain, dan lain sebagainya. Ketika ia menyusun argumentasinya karena ia tidak lagi begitu terikat pada waktu untuk merespon. Di damping itu dalam mengekspresikan diri ia boleh mengerahkan seluruh kemampuan bahasanya, ini juga dimungkinkan karena lebih bebasnya ia dari dimensi waktu. Sementara berdiskusi atau berdebat, siswa dapat didorong untuk memanfaatkan lautan informasi dalam berbagai listservs, yaitu semacam jaringan khusus ‘paguyuban’ yang membahasa masalah-masalah tertentu, yang tersebar di seluruh dunia (via Internet). Listserver ini menerima dan mengirimkan kembali sutronik dari anggota kepada seluruh peserta paguyuban, lengkap dengan ‘subyek’ masing-masing sehingga peserta dapat memilih topik yang diinginkannya.
Sutronik juga digunakan untuk komunikasi jarak jauh dengan siswa di negara lain. Chang (1993) melakukan kajian tentang potensi penggunaan sutronik untuk memperbaiki kemampuan menulis dalam bahasa target. Tujuan kajian adalah untuk memberikan konteks alami dalam menulis, membantu mereka mengembangkan gagasan dalam membaca/memahami kawasan konten (content-area) dan menulis fungsional melewati batas-batas kultural, membiasakan siswa dengan telekomunikasi terhadap akuisisi bahasa tulisan (Davis & Chang, 1994). Dalam kajian ini Chang melibatkan mahasiswa S1 dari Taiwan’s National Kaohsiung Normal University (NKNU) dan mahasiswa Iniversity of North Carolina at Charlotte (UNCC) dalam sebuah koperensi j arak jauh (teleconference) selama 8 minggu. Pada langkah 1, para mahasiswa diminta menulis sutronik satusama lain berisikan perkenalan dan satu fokus mengenai pengalaman belajar bahasa Inggris mereka serta masalah-masalah yang berkaitan dengan pengalaman tersebut. Pada langkah 2 dan 3 mahasiswa diminta untuk memakai buku teks The History of English Language yang mereka gunakan untuk menyampaikan bagian-bagian yang menarik dari bahasa Inggris (misalnya connotations spelling dll). Langkah ke-4 dan ke-5 diminta untuk bekerja dengan bagian tertentu dari isi buku untuk mengomentari penggunaan kata ganti (pronoun), penggunaan makna dan struktur sintaksisnya. Dalam langkah terakhir, kedua kelompok mahasiswa mengumpulkan contoh-contoh slang dan idiom yang digunakan dalam filem-filem dan musik di negari masing-masing. Pertanyaanpertanyaan yang berkaitan dengan hal-hal tersebut dipertanyakan dan ditanggapi oleh masing-masing kelompok.
Davis dan Chang (1994) mengungkapkan bahwa begitu penulis dari kedua belah pihak mulai berbagi pertanyaan dan tanggapan, olok-olok (jokes) mulai muncul, menandai hadirnya suasana yang lebih akrab. Kehadiran jokes tentu saja membutuhkan penguasaan bahasa yang lebih tinggi karena kelucuan yang terkandung di dalamnya tidak begitu saja dapat dipahami sehubungan dengan sifat antar budayanya. Dan ternyata kemampuan baca tulis mahasiswa berubah dengan cepat. Kajian selama konperensi tersebut memperlihatkan bahwa kemampuan menulis mahasiswa meningkat pesat, baik dalam bereksperensi maupun dalam pengorganisasian gagasannya.
Internet Sebagai Mediuam Belajar-Mengajar
Di samping keunggulannya dalam komunikasi, seperti disebutkan sebelumnya, Internet dapat digunakan untuk mengakses dan memanggil informasi yang tak terkirakan jumlahnya, tersebear diseluruh penjuru dunia. Jaringan komputer Sedunia (World Wide Web) karenanya merupakan sebuah perpustkaan elektronik raksasa di ujung jari, yang menyediakan informasi seluruh dunia bagi pembelajaran. Salah satu informasi yang amat penting bagi pembelaj ran bahasa asing, yang sering kali tidak tersedia dalam lingkungan mereka adalah informasi tentang konteks kultural serta bagaimana bahasa target sesungguhnya digunakan sehari-hari. Melalui Internet, kehausan pembelajaran dalam kedua jenis informasi ini dapat dipenuhi. Baik melalui info yang dikandung oleh jutaan ‘homepage’ maupun dengan kontak langsung dengan penutur asli melalui sutronik (secara individual maupun via ‘paguyuban’), berbagai bentuk informasi yang diperlukan dapat diperoleh. Kemajuan teknologi Internet juga telah menyediakan ‘mesin pencari’ (search-engine) yang dengan cepat menemukan situs-situs yang mengandung ‘kata kunci’ yang dicari, sehingga seorang penjelajah info tidak perlu mati tenggelam dalam lautan tersebut.
Internet dapat pula digunakan oleh pembelajar untuk memajang karyanya sendiri seperti esai, sajak atau cerita. Berbagai sekolah di negara maju telah menggunakan JKS untuk memajng karya siswa-siswa agar bisa diakses oleh siapa saja dari manapun dan kapan saja. Siswa, dengan demikian tidak hanya menjadi pemakai tetapi juga penyumbang.
Mike (1996) mengytarakan bahwa penggunaan Internet dapat menghasilkan kemajuan berpikir yang lebih tinggi tingkatannya. Seorang siswa yang diminta untuk mencari sejemput informasi tertentu di JKS, misalnya memerlukan keterampilan logika agar berhasil. Begitu ia berhasil menemukan situs-situs yang berisikan informasi tersebut, hasilnya harus diseleksinya (mengingat demikian banyaknya informasi yang tersedia) melalui keterampilan membaca selintas (scanning), membuang (discarding), memilah dan mengambil (sebagaian atau seluruhnya) dengan mengerahkan seluruh keterampilan evakuatifnya agar ia betul-betul hanya memperoleh informasi yang inginkan. Butir-butir informasi ini kemudian harus disusun kembali untuk membentuk suatu keutuhan, tentu saja dengan menggunakan keterampilan sintesis – suatu keterampilan yang konon terbilang masih langkah dalam dunia pendidikan Indonesia. Kegiatan seperti ini memungkinkan siswa untuk mengerahkan seluruh strategi dan keterampilan membacanya di samping mengembangkan strategi berpikir.
Seperti disebut terdahulu, penggunaan Internet mengandung sifat otentik dalam tujuan-tujuannya. Di samping merupakan suplemen bagi bahan bacaan, terutama yang muktahir, sewaktu siswa merancah ke dalam dunia virtual itu, mereka sebenarnya bertualang dalam dunia yang sesungguhnya (otentik). Petualangan itu bahkan dapat membawanya ke dalam hal-hal baru tanpa disengaja karena mereka berhadapan dengan demikian banyaknya informasi dengan keragaman yang tak terduga. Jika ia kemudian melanjutkan dengan berkomunikasi dengan penutur asli,ia tidak hanya berhadapan dengan hal-hal yang otentik, tetapi ia juga dapat membandingkan perspektifnya tentang berbagai isyu yang menarik memungkinkannya untuk melatih beberapa keterampilan khusus lain seperti bernegosiasi, menghargai (pendapat orang lain), mengajak/meyakinkan orang lain, menjelaskan maksud, meminta info (lebih lanjut), tetapi juga memungkinkannya.melibatkan diri dalam diskusi kehidupan otentik yang sesungguhnya.
Kegiatan yang dilakukan secara terpadu ini jelas menyentuh kawasan efektif, suatu kawasan yang sering tak tersentuh dalam PBM kelas-kelas konvensional. Kegiatan ini juga, tanpa bisa diingkari akal sehat, secara mantap akan membentuk keterampilan sosial yang lebih mantap dalam diri siswa dan ini juga pada gilirannya akan menuju pada kerja sama berlandaskan persahabatan dan saling pengertian dan dengan sendirinya komunikasi antar peserta akan meningkat pesat sehingga melahirkan suatu masyarakat baru, masyarakat masa depan yang terbatas dari belenggu batas-batas negara dan chauvinism (kesempitan pikiran). (Bukankah semua manusia adalah keturunan Adam dan Hawa?).
Hal lain yang perlu diulas sedikit di sini adalah tentang terdapatnya berbagai kemungkinan pengayaan pengalaman siswa berkaitan dengan ‘pembelajaran secara sadar’ terhadap bahasa target melalui Internet. Ini dimungkinkan karena terdapat banyak situs yang menyajikan beragam pelajaran dan latihan dan tes bahasa secara sangat menarik sehingga siswa dapat belajar dan berlatih secara intensif di depan komputer masing-masing (akankah di suatu hari kelak guru bahasa digantikan oleh ‘guru virtual’ yang lebih menarik, efesien dan efektif ini? Sangat mungkin, jika ia tetap membiarkan dirinya tenggelam dalam tradisi masa lalunya). Siswa dapat melanglang buana ke situs-situs bahasa yang menyajikan berbagai wacana, latihan gramatika, latihan lafal yang memungkinkan melalui kemampuan multimedia dari Internet dewasa ini, latihan kosakata dan lain sebagainya. Di negara-negara yang sudah memanfaatkan Internet sebagai medium pengajaran bahasa, guru-guru bahasa buhkan memberikan pada siswanya akamat URL dari situs-situs yang berguna baik bagi pembelajar maupun guru bahasa (Paramkas, 1993). Banyak guru kini kian menyadari bahwa akses ke Internet secara amat menyakinkan meningkatkan keterampilan pemanfaatan komputer di samping pengalaman-pengalaman konseptualnya, suatu keterampilan yang amat vital dalam kehidupan abad ini dan seterusnya.
Peranan Teknologi Hipermedia di Sekolah sebagai Pengajaran
Teknologi hipermedia di sekolah-sekolah dapat digunakan dalam dua bentuk, yaitu sebagai (1) sebagai tutor pembelajaran, dan (2) alat untuk menghasilkan paketpaket pembelaj ran bermultimedia.
- Tutor Pembelajaran
Menurut Picciano (1994), terdapat beberapa istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan apa yang disebut sebagi “tutor pembelajaran” tersebut, seperti Computer-Assisted Intruction (CAI), Computer-Assisted Learning (CAL) dan Computer-Based Teaching (CBL). Tujuan utama dari tutol pembelaj ran adalah untuk menyajikan pembelajaran atau menyediakan suatu lingkungan atau kondisi pembelajaran.
Cheung (1995) menyebutkan empat macam tutor pembelajaran: tutorial; latihan’ simulasi; dan alat pendidikan. Setiap macamnya mempunyai peran yang berbeda dalam memfalitasi pembelajaran. Tutorial digunakan untuk mengajarkan sesuatu yang baru pada siswa, paket latihan untuk pemantapan/pelatihan, simulasi untuk pembelajaran dalam lingkungan ajar yang disimulasikan dan alat pendidikan memberikan ‘perlengkapan’ pada siswa dalam menemukan informasi yang diperlukannya (Cheung, 1995, p. 189).
Program aplikasi hipermedia ditandai oleh informasi yang saling dihubungkan dan informasi tersebut disajikan melalui pelbagai media. Aplikasi ini juga dilengkapi dengan beberapa ciri lain seperti ‘learner’s control’ yang tinggi serta penggunaan multimedia yang membantu peningkatan pembelajaran.
- Alat Penghasil Paket Pembelajaran.
Akhir-akhri ini para pendidik dan perencana pembelajaran telah dilengkapi dengan berbagai alat pembuat paket-paket ajat hipermedia. Alat ini berupa paketpaket piranti lunak komputer yang memudahkan para perancang bahan ajar mentransferkan gagasannya ke dalam format hipermedia tanpa harus mempelajari bahasa komputer yang rumit. Di antara paket-paket kemudahan tersebut dikenal beberapa paket yang sangat populer seperti Visual Basic Professional, IconAuthor, Authorware Professional, ToolBook, HyperCard/HyperTalk, Directoe 4 dan SuperCard. Sekalipun berbagai piranti lunak tersebut dapat membantu para guru dan perancang pembelajaran menghasilkan paket-paket ajar, pembuatan piranti lunak tersebut tidak bisa menjamin produk yang dihasilkan bermutu tinggi (Sponder & Hilgenfeld, 1994).
Membuat Paket Ajar Hipermedia Oleh Guru
Morariu (1988, p. 19) menyatakan bahwa kenyataan dalam perencangan dan penyusunan paket ajar hipermedia melalui teknologi interaktif yang relatif masih baru ini membutuhkan ‘teamwork’ yang terdiri atas beragam profesional yang meliputi; para ahli dalam mata ajar sampai pada ahli di bidang video, analisa sistem, seniman grafik dan perancang pembelajaran. Jadi jelas bahwa suatu paket hipermedia komersial membutuhkan suatu tim produksi dari berbagai disiplin ilmu. Namun ini tidak berarti bahwa para guru tidak bisa menggunakan paket-paket pembuatan bahan ajar hipermedia untuk menyusun paket ajar sederhana yang berguna bagi siswasiswanya.
Menurut Rude-Parkins (1992), HyperCard adalah paket pemograman hipermedia yang mudah dipakai oleh para guru. Dalam riset yang dilakukannya, Rude menemukan bahwa “melalui pelatihan minimum (12 jam tatap muka) dalam rentang waktu pengembangan antara 40-100 jam, seorang pemakai HyperCard yang awam mampu mambuat sejumlah bahan untuk digunakan dalam bidang studi yang diajarkan, atau untuk pelatihan guru lainnya dalam penggunaan teknologi tersebut. Sponder dan Hilgenfeld (1994) juga mencoba menyediakan program 20 jam bagi guru untuk menguasai seperti HyperCard (Macintoch) atau ToolBook (IBM) dan berhasil mengembangkan sebuah pakert ajar berbantuan komputer.
Pemakian Pemograman Hipermedia di Kalangan Siswa
Paket pemograman Hipermedia ternyata dapat pula dipakai siswa dalam PBM. Beberapa riset (Brown, 1993; Scheidler, 1993; Kennedy, 1995; Dipinto and Turner, 1995) mengungkapkan bahwa pemberian tugas membuat proyek-proyek hipermedia memberikan cara baru bagi siswa dalam membangun pengetahuan. Dipinto dan Turner (1995, p.8) menemukan bahwa siswa yang diteliti menunjukkan keterampilanketerampilan kognitif yang lebih tinggi berupa kemampuan: memecahakn sebuah topik menjadi sub-sub topik, mengumpulkan dan mengorganisasikan pelbagai informasi, menjabarkan informasi untuk ‘klompencapir’ tertentu, mengevaluasi rancangan masing-masing dan melakukan revisi berdasarkan evaluasi tersebut. Dipinto dan Turner juga yakin bahwa jika siswa diajari menggunakan paket pemograman hipermedia, mereka akan berada di pusat pengkonstruksian pengetahuan. Ini berarti membantu siswa konstruktif.
Peralihan Peran Guru.
Ketika paket ajar hipermedia digunakan oleh guru di kelas, maka secara pasti oeran guru beralih. Hannafin dan Savenye (1993) menemukan bahwa bila teknologi komputer dipakai dalam kelas, maka guru harus bertindak sebagai pengelola, pengatur, pelatih, pembimbing, pemicu dan fasilisator. Menurut Cheung (1995) guru nerupakan pengelola atau oengatur dalam arti bahwa guru harus bertindak sebagai pengatur suasana dan lingkungan pembelajaran yang tugasnya meliputi pemilihan perangkat keras dan piranti lunak. Oleh karena itu, guru harus mempelajari dan menguasai tekhnik-teknik pengelolaan dalam menggunakan paket-paket hipermedia. Di samping itu sang guru juga harus membangun disiplin dan aturan baru yang berkaitan dengan pemanfaatan fasilitas komputer untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan.
Sebagai pemicu kegiatan dan fasilitator, guru harus mampu memperkenalkan teknologi hipermedia kepada siswanya. Ia diharapkan dapat menjelaskan potensi dan keuntungan-keuntungan penggunaan paket-paket hipermedia dalam lingkungan belajar mereka. Dalam perannya sebagai fasilitator, guru memberikan dorongan pada siswanya untuk menggunakan teknologi hipermedia.
Sebagai pelatih dan pembimbing, guru harus memperlihatkan pada siswa cara dan kapan teknologi hipermedia digunakan. Bimbingan dapat berupa prosedur, strategi dan keterampilan dalam menggunakan teknologi hipermedia dalam proses belajar. Guru harus memberikan latihan-latihan dan umpan balik selama PBM.
Di samping peran-peran utama di atas, guru juga harus menjadi seorang evaluator paket-paket pemograman hipermedia karena tidak semua paket-paket yang dipasarkan secara komersial bermutu baik atau cocok dengan keperluan PBM yang dikembangkannya. Panduan untuk hal tersebut sudah banyak ditulis dalam berbagai literatur yang relevan (Alesandrini, 1984; Kearsley, 1988; Oren, 1990; Aarntzen, 1993; Jacques, Nonnecke & Preece, 1993; Park & Hannafin, 1993; Park, 1994; Alesandrini, 1984; Kearsley, 1988; Oren, 1990; Aarntzen, 1993; Jacques, Nonnecke & Preece, 1993; Park & Hannafin, 1993; Park, 1994; Dipinto and Turner (1995)).
Keuntungan Pemakaian Multimedia.
- Dengan perkembangan tersebut di atas, seorang guru atau siswa dapat memperoleh fasilitas pembelajran atau pengelaman belajar yang lebih bervariasi tanpa harus terganggu konsentrasinya disebabkan oleh interupsi yang timbul oleh peralihan dari satu media lainnya.
- Kemampuan multi media dari perangkat komputer ini membuka suatu peluang nyaris tak terbatas mengingat hal-hal berikut: Perangkat multi media yang terpadu dalam satu komputer memungkinkan guru dan siswa untuk menggunakan beberapa media sekaligus dalam proses pembelaj ran tanpa harus mengalami interupsi;
- Perangkat komputer memungkinkan penyajian dan pemerolehan informasi secara acak dan tidak linear (yang merupakan sifat dari beberapa media seperti tep-rekorder dan video), sehingga terdapat ‘learner’s control’ yang tinggi terhadap proses;
- Pembelajaran dapat dilakukan secara lebih individual dan meninggalkan azaz klasikan yang memandang setiap siswa relatif sama;
- Perangkat multimedia memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan masing-masing degan kebebasan penuh dalam menentukan proses sesuai degan minat dan latar pengetahuan dan kemampuan masing-masing;
- Perangkat multimedia memungkinkan siswa untuk belajar mandiri dan mengembangkan strategi belajar masing-masing sesuai dengan gaya belajat (‘learning style’) yang dianutnya;
- Perangkat multi media memungkinkan penyajian bahan ajar secara sangat menarik dalam tata warna dan ilustrasi gambar (bergerak) serta serta suara dan semuanya itu dengan biaya yang sangat rendah bila dibandingkan dengan media cetak, audio dan video konvesional;
- Perangkat multimedia memungkinkan penyajian bahan ajar secara lebih standar melalui kajian yang mendalam dalam penyusunan desain pembelajaran serta teori-teori psikologi dan pedagogi yang relevan;
- Perangkat multimedia memungkinkan dilakukannya penghematan besarbesaran dalam pembelian peralatan media yang berbeda-beda karena semua peralatan tersebut kini telah dipadukan dalam kemampuan fisilitas komputer;
- Perangkat multimedia yang duhubungkan dengan jaringan komputer sedunia
(Internet) memungkinkan tersedianya informasi dalam jumlah tidak terbatas.
Tantangan dan Kendala
Tidak adil kalau bicara keunggulan tanpa menengok kelemahan suatu sistem. Bagian ini berusaha menggambarkan secara ringkas kendala utama yang mungkin dihadapi dalam peralihan ke dalam sistem ini, diikuti dengan kemungkinan penanggulangannya. Di Indonesia, kendala utama tentunya berkaitan dengN ketersediaan peralatan namun dengan meningkatnya kesadaran terhadap manfaat media ini, mudah-mudahan secara bertahap kendala ini dapat diatasi. Kenyataan bahwa Internet kian populer di kalangan anak muda merupakan titik awal yang baik. Kenyataan bahwa kebanyakan sekolah di kota telah mempunyai perangkat komputer adalah hal yang mengembirakan. Dengan peralatan yang ada dan minat siswa yang tengah menggebu, guru dan Kepala Sekolah sebenarnya perlu satu langkah lagi, yaitu menyediakan sebuah modem (yang tidak terlalu mahal harganya) dan berlangganan Internet (dengan ongkos sekitar Rp. 20.000,- per bulan). Nah, dengan memanfaatkan telepon sekolah (pada jam-jam tertentu) guru dan para siswa siap ‘berkeliling dunia’.
Berkaitan dengan biaya pulasa telepon, sekalipun Internet hanya menggunakan pulsa lokal yang murah, memang diperlukan pengendalian penggunaan yang rapi selagi PT. Telkom masih mengutamakan keuntungan komersial. Di Australia, sebuah negara yang konon berlipat kali lebih kaya rakyatnya dari rakyat Republik tercinta ini, perusahaan telekomnya tidak menghitung pulsa berdasarkan waktu penggunaan untuk hubungan lokal, tetapi hanya menghitung jumlah kali kontak saja. Ini memungkinkan setiap orang yang akses ke Internet untuk membiarkan komputernya ‘on-line’ sepanjang hari tanpa khawatir hitungan pulasanya membekak. Tapi tentu saja ini dimungkinkan karena adanya perbedaan budaya pemakaian telepon di kedua negara. Orang Australia berbicara seperlunya saja, apalagi di telepon, mereka jelas tidak mempunyai keterampilan bertele-tele dan juga tidak punya waktu untuk berleha-leha. Tahun berapakah orang Indonesia berhenti ‘ngerumpi’ atau ‘berpacaran’ lewat telepon? Namun demikian, sekiranya penggunaan Internet di sekolah-sekolah kelak telah menjadi komitmen nasional (mudah-mudahan dalam waktu dekat), tidak mustahil akhirnya didapat kesepakatan agar PT. Telkom mulai menjalankan fungsi sosialnya dengan menghitung pulsa lokal sperti Australia. Atau paling tidak memperlakukan setiap telepon yang digunakan untuk Internet dengan sistem penghitungan pulsa seperti itu.
Kendala lain bersifat teknis. Sekalipun hubungan elektrolis menjanjikan kecepatan yang amat fantastis, namun situs-situs tertentu yang banyak diminati sering kali ‘diakses’ terlalu banyak pengunjung sehingga mereka terpaksa antrian. Hal ini terkadang cukup menggannggu dan membosankan (dan Indonesia ini berarti pulsa). Apalagi jika komputer yang digunakan masih menggunakan prosesor yang lamban atau modemnya tidak berkecepatan tinggi atau saluran teleponnya penuh distorsi. Penanggulangan dari masalah ini membutuhkan kecermatan dan tentu saja biaya, namun kita percaya bahwa perkembagan teknologi yang pesat akan cepat dapat mengatasi masalah-masalah tersebut dengan biaya yang lebih murah, karena teknologi yang telah sedikit ketinggalan cenderung diobral, dari pada terbuang percuma.
Kurangnya pengetahuan dan keterampilan komputer juga dapat menjadi kendala namun pengembangan perangkat lunak akhir-akhir ini yang lebih berorientasi obyek (object oriented) sangat membantu mempermudah penggunaan baik perangkat lunak maupun perangkat lain. Sistem Windows yang menggunakan lambang-lambang gambar (icon) juga membuat mereka yang ‘buta komputer’ dapat cepat menikmati teknologi ini, sehingga nyaris tak ada sisi yang sukar bagi mereka yang berminat. Namun demikian, agar menyajikan hal-hal yang esensial dengan tujuan akhir kemampuan mengembangkan secara mandiri di pihak siswanya.
Masalah lain adalah kendala sensor yang di Indonesia merupakan hal yang amat penting. Di dalam maya Internet, setiap orang bebas bertualangan ke mana saja. Karena itu situs-situs terntentu yang mengandung hal-hal yang mengancam ‘keutuhan bangsa dan lainsebagainya’ tentu harus diblokir. Guru tentu harus berperan dalam mengawasi siswa agar tidak terjerumus ke dalam ajaran ‘sesat’ atau hal-hal tabu lainnya.
Penutup
Internet mengandung potensi pendidikan yang sangat besar, termasuk dalam pengajaran bidang pengajaran bahasa asing. Karena kemampuan interaktif dan multimedianya Internet dapat digunakan sebagai medium pengajaran bahasa yang sangat efisien dan efektif. Berbagai lembaga yang telah menggunakan Internet dalam proses pendidikan mereka menemukan banyak keunggulan Internet dalam membentuk ketrampilan dan meningkatkan pengetahuan dan daya nalar siswa. Dalam konteks jangkauan, Internet sangat unggul dalam arti dapat menjangkau bagian dunia manapun tanpa dibatasi lagi oleh dimensiruang dan waktu. Dari sisi ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan Internet jauh lebih murah dari pada media lainnya yang telah tersedia. Internet tidak hanya dapat menjadi perpustakaan virtual raksasa yang menyimpan imformasi (mutakhir) dalam jumlah tak terkira, tetapi juga menjadi sarana komunikasi dalam kehidupan yang semakin mengglobal. Indonesia, sebagai sebuah negara besar yang penduduknya tersebar di ribuan pulau, sudah sepatutnya menyadari manfaat penggunaan Internet sebagai media pengajaran dan pendidikan.
Sedangkan para guru perlu mempelajari dan memanfaatkan teknologi hipermedia untuk pembelajaran, tidak saja karena teknologi ini jauh lebih murah (karena mampu menghimpun berbagai media pembelajaran dalam satu mesin komputer yang harganya selalu turun) tetapi juga karena teknologi ini akan merupakan media utama di masa depan. Teknologi ini merupakan dampak positif yang besar baik bagi proses instruksional dipihak guru maupun proses belajar di pihak siswa. Teknologi hipermedia merupakan alat yang sangat efektif, efesien dan ‘powerful’ bagi guru dan siswa jika guru tahu memanfaatkannya dan dapat membimbing siswanya dalam penggunaannya. Hipermedia dapat membuahkan hasil belajar yang lebih baik jika digunakan secara semestinya. Untuk semuanya itu, guru juga harus mampu menilai piranti lunak hipermedia yang banyak dipasarkan oleh para pembuat perangkat lunak.
Bibliografi
Aarntzen, D. (1993). Audio in courseware: Design knowledge issues. Educational & Training Technologi.
International, 30(4), 354-366.
Alesandrini, K (1984). Picture and adult learning. Instructional Science, 13(1), 63-77.
Armstrong, K.M. & Yetter-Vassot, C. (1994). Transforming teaching trough technology. Foreign Language Annals, 27(4), 475-486.
Akscyn, R., McCracken, D., & Yoder, E. (1988). KMS: A distributed hypermedia system for managing knowledge in organizations. Communications of the ACM, 3 1(7), 820-835.
Barker, P. (1992). Hypermedia interaction for the disabled. Journal of Educational Multimedia and Hypermedia, 1(2), 187-208.
Becher, D., & Dwyer, M. (1994). Using hypermedia to provide learner control. Journal of Educational Multimedia and Hypermedia, 3(2), 155-172.
Brown, A. (1993) History, computer and video. Journal of the Australian Council for Computer in Education, 28(1), 37-3 9.
Carrier, C. (1984). Do learner make good choices? Instructional Innovator, 29(2), 15-17.
Cheung, W. (1993). Common mistakes in developing computer-based learner packages. In B. Lo (Ed), Proceeding of the Australian Society for Computers in Learning in Tertiary Educational 93 Conferences (pp. 123-127). The University of New England Northern Rivers Lismore, NSW, Australia.
Cheung, W. (1995). How to intergrate hypermedia technology in teaching and leaning. In R. Oliver & M. Wild, (Eds.), Proceedings of the Australian Computers in Education Comference 1995, 1, (pp. 187-194). Perth, WA, Australia.
Chun, D.M., & Brandl, K.K.(1992). Beyond form-based drill and practice: Meaning-enhanced CALL on the Macintosh. Foreign Language Annals, 25(3), 255- 267.
Davis, B. & Chang, Ye Ling. (1994/95). Long distance collaboration with online conferencing. TESOL Journal, 4(2), 28-31.
Dipinto, V., & Turner, S (1995). Zapping the hypermedia zoo Assessing students hypermedia projects. The Computing Teacher, 22(7), 8-11.
Halasz, F. (1988). Reflections on notecard: Seven issues for the next generation of hypermedia systems. Communications of the ACM, 3 1(7), 836-852.
Hammond, N., & Allinson, L (1989). A learning support environment: The hitchhiker guide. In McAleese, R. (Ed), Hypertext: Theory into practice. Oxford: Intellect.
Hannafin, R., & Savenye, W. (1993). Technology in the classroom: The teacher’s new role and resistence to it. Educational Technology. 3 3(6), 26-31.
Hofmeister, J. (1990). The birth of HyperSchool. In Ambron, S. & Hooper, K. (Eds). Learning with Interactive Multimedia. Redmond, WA: Microsoft Press.
Jacques, R., Nonnecke, B., & Preece, J (1993). Current designs in HyperCard: Whatcan we learn? Journal of Educational Multimedia and Hypermedia, 2(3), 219- 237.
Kearsley, G. (1988). Authoring considerations for hypertext. Educational Technology, 28,(11) 21-24.
Kennedy, L (1995). HyperCard and oral presentation. The Computing Teacher, 22(6), 15-16.
Kroonenberg, N. (1994/95). Developing communicative and thinking skills via electronic mail. TESOL Journal, 4(2), 24-27.
Lewis, P.H. (1994, August 9). Who’s the coolest Internet Provider? The New York Times, p.12.
Malhotra, Y., & Erickson, R. (1994). Interactive educational multimedia: Coping with the need for increasing data storage. Educational Technology, 34(4), 38- 46.
Mike, D. (1996). Internet in the schools: A literacy perspective. Journal of Adolescent and Adult Literacy, 40(1), 1-13.
Morariu, J (1998). Hypermedia in intruction and training: The power and the promise. Educational Technology, 28(11), 17-20.
Oren, T. (1990). Cognitive load in hypermedia: Designing for the exploratory learner. In Ambron, S & Hooper, K (Eds.), Learning with Interactive Multimedia. Microsoft Press: Redmon, Washington.
Park, O (1994). Dynamic Visual Displays in Media-Based Instruction. Educational Technology, 34(4), 2 1-25.
Park, I., & Hannafian, M. (1993). Emprically-Based Guide-lines for the Design of Interactive Multimedia. Educational Technology Research and Development, 41(3), 63-86.
Paramskas, D. (1993). Computer-assisted language learning: Increasingly integrated into on ever more electronic world. The Canadian Modern Language Review, 50(1), 124-138.
Picciano, A. (1994). Computers in the Schools. New York: Macmillian Publishing Company.
Ross, S., & Rakow, E. (1981). Learner Control versus Program Control as Adaptive Strategies for Selection of Instruktional Support on Math Rules. Journal of Educational Psychology, 73(5), 745-753.
Rude-Parkins, C. (1992). Computer-based Curriculum Development Tools Teachers. Journal of Educational Multimedia and Hypermedia, 1(2), 179-186.
Scheidler, K. (1993). Students cross discipline boundaries with hypermedia. The Computing Teacher, 20(5), 16-20.
Skillen, P. (1995). ThinkingLand Helping Students Construct Knowledge with Multimedia. The Computing Teacher, 22(7), 12-15.
Sponder, B., & Hilgenfeld, R. (1994). Cognitive Guildeline for Teacher Developing Computer-Assisted Intruction. The Computer Teacher, 22(3), 9-15.
Stanton, N., & Baber, C. (1992). An investigation of styles and strategies in self-directed learning. Journal of Educational Multimedia and Hypermedia, 1(2), 147- 167.