*خير أوقاتك وقت تشهد فيه إلى فاقتك و ترد فيه إلى ذلتك*
“Sebaik-baik waktumu adalah ketika engkau menyadari kekuranganmu dan engkau pun kembali mengakui kerendahanmu” (Ibnu ‘Athoillah as-Sakandari). Para salik biasa menggunakan kata-kata simbolis saat menerjemahkan firman Allah. Mereka memberi tafsir atas firman-firman agung dengan cara yang khas. Termasuk ketika memberi pemaknaan atas substansi dan urgensi waktu bagi anak manusia. Waktu adalah salah satu hal terpenting dalam kehidupan. Bahkan, waktu adalah kehidupan itu sendiri.
Seperti biasa, beliau memberi kita panduan serba singkat. Pendek, tetapi penuh makna. Sedikit, tapi selalu bertenaga. Itulah keistimewaan kata-kata mutiara dari kitab al-hikam, salah satu magnum opus yang diwariskan kepada kita. Demikian penting makna waktu, sehingga semua hal ditentukan dengannya. Kita lahir dengan waktu dan akan pergi meninggalkan dunia ini dengan waktu pula. Kita bergabung dengan waktu, sesuatu yang telah Allah ciptakan sebelum kita lahir ke dunia.
Begitulah dahsyatnya waktu bagi kehidupan. Ia menempati ruang yang sangat penting. Ia mengawali dan ia pula yang mengakhiri setiap kegiatan. Sering kita jumpai dalam al-Qur’an, Allah bersumpah atas nama waktu. Tengoklah Alquran: kita akan dapati Allah bersumpah atas nama waktu Ashar, waktu Dhuha, waktu malam, waktu siang, dan waktu lain. Allah ingatkan kita: pasti merugi siapa saja yang tidak mengindahkan waktu. Sebab, waktu yang tersedia bagi kita sudah dijatahkan. Tak kurang, tak lebih.
Agar setiap makhluk dapat menerjemahkan misi penciptaannya dalam kehidupan, Allah menyiapkan bekal. Bekal yang kita butuhkan dalam mengarungi bahtera kehidupan. Karena misinya sama, maka bekal yang kita terima tak jauh berbeda. Dan bekal paling nyata adalah waktu. Kita diberi garis waktu kapan mesti memulai tugas dan waktu kapan akan menyudahi semuanya. Bila ajal waktu pencabutan nyawa sudah tiba, usai sudah misi kita di dunia.
Dalam konteks kita, waktu tersusun dari banyak dimensi. Detik berdetak menjadi menit. Menit berkumpul menjadi jam. Jam bergerak menjadi hari. Hari berubah menjadi minggu. Minggu berputar menjadi bulan. Bulan berotasi menjadi tahun. Tahun adalah hitungan terpanjang bagi anak manusia. Sebagai hamba Allah, mestinya tak ada detik yang lewat tanpa amal saleh. Sebab, waktu yang tersedia tidaklah banyak. Waktu di dunia tak lebih dari sekadar terbangun dari mimpi.
Waktu akan mengantarkan kita memasuki alam lain yang masanya jauh lebih panjang daripada waktu di dunia. Nah! Amal saleh yang kita kumpulkan selama waktu di dunia akan sangat ditentukan kegunaannya bagi kita oleh Allah melalui rahmat-Nya. Rahmat alias kasih sayang Allah sajalah yang bisa menyelamatkan kita dari tajamnya sayatan waktu dalam kehidupan yang akan datang. Maka, mari dengan segela kerendahan, memohon kepada Allah agar kita dapat berbuat.
Berbuat apa? Berbuat sesuatu yang dapat menyadarkan kita, betapa kecilnya kita di hadapan kebesaran Allah SWT. Betapa kurangnya kita di hadapan kesempurnaan Allah. Betapa bodohnya kita di hadapan ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Betapa hinanya kita di hadapan kemuliaan Allah. Betapa miskinnya kita di hadapan kekayaan Allah. Betapa lemahnya kita di hadapan kekuatan Allah. Betapa bukan siapa-siapa diri kita ini tanpa kehadiran Allah dalam kehidupan kita sehari-hari.
Bagaimana caranya agar kita dapat meraih cinta dan kasih sayang Allah? Ada baiknya *_Hikmah ‘Atho’iyyah_* di awal refleksi ini kita jadikan panduan. Jauh sebelum itu, kata mutiara Arab juga telah mengingatkan kita terkait waktu. Menurutnya , Waktu ibarat pedang yang tajam. Kalau kau tak kuasa memotong waktu, maka waktulah yang akan memotongmu.
Bagi kita, ajakan Ibnu ‘Atho’illah amat penting untuk jadi renungan, Merenungi bahwa manusia diciptakan dengan segala kekurangan dan kelemahan. Diberi banyak tak pernah merasa cukup. Diberi sedikit tak pernah belajar bersyukur. Cara yang tepat untuk menggedor kesadaran terdalam adalah dengan mengingatkan bahwa manusia bukan siapa-siapa tanpa pertolongan orang lain. Hidupnya selalu bergantung pada hidup orang lain.
Maka, duduk dan merenunglah! Rukuk dan bersujudlah! Sadarilah bahwa agar hidup kita bisa hidup, kita butuh tiupan sebagian ruh-Nya ke dalam diri kita. Sejak itu, kekekurangan dan kelemahan kita semakin nyata. Dari kandungan ibunda, kita butuh plasenta. Begitu dilahirkan, kita tergolek lemah tak berdaya. Hanya karena kasih sayang Allahlah orang-orang di sekitar kita menjadi lembut hatinya dan mau berbagi kasih sayang dengan kita. Demikian seterusnya.
Daftar kelemahan dan kekurangan akan makin lengkap sesuai bertambahnya usia. Daftar inilah yang akan menyelamatkan kita. Daftar kekurangan dan kelemahan menjadi alat paling menakjubkan agar kita selalu ingat betapa kita sangat butuh pertolongan Allah. Orang-orang yang merasa kurang dan lemah sajalah yang menyadari pentingnya makna sebuah pertolongan. Mari terus sadarkan diri sendiri, bahwa kita memang makhluk yang lemah dan hina. “Allahu a’lam bisshawab”.
(Dzalimun linafsih – Benali Sarang).