Adalah guru besar Fakultas Manajemen Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, yang mengatakan dalam hidup ini kita mengenal dua jenis guru, yaitu guru kurikulum dan guru inspiratif.
Yang pertama sangat patuh pada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer seluruh isi buku yang ditugaskan. Ia mengajarkan sesuatu yang standard (habitual thinking). Guru kurikulum mewakili 99 persen populasi guru di seluruh Indonesia.
Guru inspiratif jumlahnya sangat terbatas, populasinya kurang dari 1 persen. Ia bukan guru yang mengejar kurikulum, melainkan yang mengajak murid-muridnya berpikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Kalau guru kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, guru inspiratif melahirkan pemimpin pembaru yang berani menghancurkan kebiasaan-kebiasaan lama.
Penulis berpikir, dari penjelasan di atas bahwa dunia ini memerlukan dua-duanya seperti kita memadukan validitas internal (dijaga oleh guru kurikulum) dengan validitas eksternal (yang dikuasai guru inspiratif) dalam penjelajahan ilmu pengetahuan. Keberadaan guru inspiratif akan sangat menentukan berapa lama suatu bangsa mampu keluar dari krisis. Semakin dibatasi, akan semakin lama dan semakin sulit suatu bangsa keluar dari kegelapan.
Freedom
Karya-karya pembaruan, baik temuan-temuan spektakuler keilmuan, produk-produk komersial, maupun gerakan-gerakan sosial akan tampak di masyarakat. Tetapi tak dapat dimungkiri semua itu berawal dari bangku sekolah. Dari tangan dan pikiran guru-guru inspiratif yang gelisah dan melihat perlunya kreativitas. Ia memperbaiki hal-hal yang dipercaya banyak orang tidak bisa diperbaiki, dan menghubungkan hal-hal yang tidak terhubung (connecting the unconnected).
Kisah dan karya guru inspiratif antara lain, dapat dilihat dalam diri Erin Gruwell, guru perempuan yang ditempatkan di sebuah kelas “bodoh”, yang murid-muridnya sering terlibat kekerasan antargeng. Berbeda dengan kelas sebelah yang merupakan kumpulan “honors students”, yang memiliki DNA pintar dan disiplin. Di honors class yang dibutuhkan adalah guru kurikulum.
Erin memulainya dengan segala kesulitan. Selain katanya “bodoh” dan tidak disiplin, mereka banyak melawan, terlibat kekerasan antargeng, saling melecehkan, tempramen, dan selalu rusuh. Di pinggang anak-anak SMA ini hanya ada pistol atau kokain. Di luar sekolah mereka saling mengancam dan membunuh.
Kelas itu adalah kelas buangan. Bagi para guru kurikulum, anak-anak supernakal tak boleh disekolahkan bersama-sama distinguished scholars. Tetapi Erin tak putus asa, Ia membuat “kurikulum”-nya sendiri. Kurikulum itu bukan berisi ajaran-ajaran pengetahuan biasa (hard skill), melainkan pengetahuan hidup.
Ia mulai dengan sebuah permainan (line games) dengan menarik sebuah garis merah di lantai dan membagi mereka ke dalam dua kelompok di kiri dan di kanan. Kalau menjawab “ya” mereka harus mendekati garis. Dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan ringan, dari album musik kesayangan, sampai keanggotaan geng, kepemilikan narkoba, dan pernah dipenjara atau ada teman yang mati akibat kekerasan antargeng.
Line games menyatukan anak-anak nakal yang tiba-tiba melihat bahwa mereka senasib. Sama-sama waswas, hidup penuh ancaman, curiga pada kelompok lain, dan tak punya masa depan. Mereka mulai bisa lebih rileks terhadap guru dan teman-temannya dan sepakat saling memperbarui hubungan.
Setelah berdamai, guru inspiratif membagikan buku, mulai dari biografi Anne Frank yang menjadi korban kejahatan Nazi, sampai buku harian. Anak-anak diminta menulis kisah hidupnya, apa saja. Mereka menulis bebas. Karya-karya mereka disatukan dan diberi judul Freedom Writers (FW). Murid-murid berubah, hidup mereka menjadi lebih baik dan banyak yang menjadi pelaku-pelaku perubahan di masyarakat. Kisah guru inspiratif dan perubahan yang dialami anak-anak ini didokumentasikan dalam film FW yang dibintangi Hilary Swank.
Keluar dari belenggu
Apa yang dilakukan Erin Gruwell sebenarnya tidak hanya terbatas pada dunia pendidikan dasar saja, melainkan juga pada pendidikan tinggi. Namun entah mengapa belakangan ini dunia pendidikan kita semakin mengisolasi dirinya dari dunia luar dan hanya ingin menghasilkan lulusan yang terbelenggu oleh kurikulum.
Meski belum begitu menonjol dalam masyarakat kita, peranan guru-guru inspiratif ini sangat dibutuhkan. Terlebih anggaran pendidikan kita masih sangat terbatas, dan lulusan-lulusannya banyak yang tidak bisa bekerja sesuai dengan bidang studi yang ditempuhnya. Kita tidak bisa mendiamkan lahirnya generasi yang patuh kurikulum, pintar secara akademis, tahu kebenaran internal, tapi kurang kreatif mendulang kesempatan dan buta kebenaran eksternal.
Ada dua masalah yang perlu kita renungkan di sini. Pertama, guru kurikulum seharusnya tidak hanya membentuk kompetensi (student’s ability), tetapi juga harus memiliki kesamaan dengan guru inspiratif, yaitu membentuk bukan hanya satu atau sekelompok orang, melainkan ribuan orang. Satu orang yang terinspirasi menginspirasi lainnya sehingga sering terucap kalimat “Aku ingin jadi seperti dia” atau “Aku bisa lebih hebat lagi”.
Kedua, ketidakmampuan para pendidik merespons tekanan-tekanan eksternal, dapat membuat mereka membentengi diri secara berlebihan dengan mengunci kurikulum secara sakral. Setiap upaya yang dilakukan guru-guru kreatif untuk meremajakannya dianggap sebagai proporsi pahlawan kesiangan yang baru muncul, dan dipandang sebagai pemula yang belum punya wawasan dan kapasitas.
Saya pernah membaca sebuah jurnal pendidikan, terdapat sebuah cerita kejadian yang menimpa seorang guru inspiratif. Ceritanya begini, pada tahun 2005 ia menerima penghargaan dari Yayasan Pengembangan Kreativitas atas karya-karyanya dalam bidang pendidikan. Penghargaan serupa dalam masing-masing bidang saat itu juga diberikan kepada Helmi Yahya, Jaya Suprana, Bang Yos, dan Guruh Soekarno Putra.
Tapi tak banyak yang tahu hari-hari itu ia baru saja menerima ancaman pemecatan karena dianggap melanggar “kurikulum”. Kesalahannya adalah telah memperbarui metode pengajaran agar murid-muridnya menjadi lebih artikulatif. Semester berikutnya namanya dicoret dari daftar pengajar. Karier guru besarnya pun dipersulit oleh guru-guru kurikulum yang menggunakan kaca pembesar menguji kebenaran internal.
Saya mengutip kata Jagdish N Sheth, begitu orang-orang lama menyangkal realitas baru, maka mereka dapat menjadi arogan, terperangkap dengan kompetensi masa lalu, ingin hidupnya nyaman, dan membangun batas-batas kekuasaan teritorial. Perilaku internal itu adalah belenggu innertia, yang disebutnya sebagai destructive habits. Mereka menggunakan mikroskop untuk memperbesar hal-hal kecil yang tidak dimilikinya.
Sudah saatnya benteng innertia seperti ini dihapuskan dengan “memanusiawikan” kurikulum dengan memberi ruang yang lebih memadai bagi guru-guru kreatif.
.
http://www.equator-news.com/kolom/20110821/menjadi-guru-inspiratif