
Drs.Solichan Abdullah,M.Sc.
Oleh Drs.Solichan Abdullah,M.Sc. {Widyaiswara Utama di LPMP Jawa Timur).
Pendahuluan
Peningkatan mutu dan kualitas pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan pembangunan pendidikan, oleh karena itu menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa, pemerintah maupun masyarakat untuk mewujudkannya. Disahkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) merupakan salah satu langkah positif untuk membawa pendidikan Indonesia ke arah yang bermutu dan merata. Diberlakukannya UUGD tersebut telah memacu upaya-upaya meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia, misalnya melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) khususnya pendidik.
Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal maupun informal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi guru itu sendiri.
Filsofi sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia, telah menempatkan fungsi dan peran guru sedemikian rupa sehingga para guru di Indonesia tidak jarang telah di posisikan mempunyai peran ganda bahkan multi fungsi. Mereka di tuntut tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik. Bahkan tidak jarang, para guru dianggap sebagai orang kedua, setelah orang tua anak didik dalam proses pendidikan secara global.
Berdasarkan Permenegpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 yang dimaksud dengan pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) adalah pengembangan kompetensi guru yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan, bertahap, berkelanjutan untuk meningkatkan profesionalitasnya. Pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) merupakan salah satu kegiatan yang dirancang untuk mewujudkan terbentuknya guru yang profesional. Unsur kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) terdiri dari tiga macam kegiatan, antara lain publikasi ilmiah yaitu membuat publikasi ilmiah atas hasil penelitian dan membuat publikasi buku. Kegiatan tersebut tidak bisa terlepas dari masalah membaca. Membaca adalah media utama untuk meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemampuan membaca dan ‘melek’ teknologi merupakan salah satu indikator untuk mengukur kualitas, dan peradaban sebuah bangsa.
Masalah Minat Membaca Guru
Saat ini banyak kegiatan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk membantu guru dalam menulis karya ilmiah melalui penelitian tindakan kelas, salah satu jenis penelitian yang sangat dianjurkan bagi guru karena sambil mengajar juga melakukan penelitian sehingga tidak menganggu kegiatan pembelajaran sesuai kurikulum. Banyak kendala yang ditemui pada saat penulis membimbing guru dalam melaksanakan penelitian tindakan kelas baik langsung maupun melalui internet dengan KTI Onlinenya. Dari banyak kelompok bimbingan, guru yang dapat menyelesaikan penelitian tindakan kelas mulai dari membuat proposal sampai dengan penyusunan laporannya maksimal 15% yang berhasil, suatu kondisi yang memprihatinkan.
Akar masalahnya adalah guru, walaupun berkualifikasi S1 bahkan S2, mereka tidak terbiasa untuk membaca karya ilmiah, baik dalam bentuk artikel dalam jurnal penelitian atau buletin maupun buku. Pada saat menentukan solusi dari masalah, umumnya guru hanya berdasar asumsi tanpa menunjukkan teori yang mendasari pemilihan solusi tersebut. Alasannya adalah menemui kesulitan dalam mencari rujukan atau referensi yang sesuai.
Untuk meningkatkan kemampuan guru dalam menulis karya ilmiah ditemukan sikap mental seperti; kemandirian belajar yang rendah, kesulitan mengatur waktu, budaya copy paste, titip tugas, plagiatisme, pekerjaan apa adanya “asal jadi” dan kemauan yang rendah untuk mencari sumber bahan atau referensi merupakan cerminan sikap atau mentalitas seseorang.
Hasil penelitian Ishartiwi (2011) untuk mengetahui potret guru SD Sleman Yogyakarta menunjukkan bahwa minat membaca sebagian besar guru masih dalam kategori rendah, hal ini diindikasikan dari: (1) sebagian guru hanya membaca buku paket yang menjadi pegangan mengajar, (2) sebagian guru tidak memiliki koleksi bahan bacaan secara mandiri (dirumah dan di sekolah), (3) sebagian besar guru pernah mengakses bahan bacaan dari internet namun bukan untuk menambah wawasan bahan ajar, (4) Sebagian besar guru kurang tertarik berkunjung ke pameran buku dan atau ke toko buku, (5) sebagian guru kurang menganggap penting memiliki buku untuk memperkaya wawasan pembelajaran, dan (6) Sebagian kecil guru tidak membuka buku sumber saat membuat persiapan mengajar (isi materi dirumuskan berdasarkan kebiasaan/rutinitas). Hal senanda diberitakan oleh harian Jawa Pos pada hari Selasa 16 Agustus 2011 yang mengutip hasil survey Badan Arsip dan Perpustakaan Surabaya menyatakan bahwa minat baca guru SD di Surabaya sangat rendah, hanya 26% yang gemar membaca berarti sekitar 70% guru SD yang tidak gemar membaca.
Faktor yang mempengaruhi minat membaca rendah mencakup faktor internal: (1) guru belum sepenuhnya memahami pentingnya membaca dengan peningkatan kinerja yang akan berdampak terhadap peningkatan hasil belajar siswa dan mutu sekolah, (2) guru belum memandang penting budaya membaca atau membaca merupakan bagian profesi. (3) guru merasa cukup dengan pengetahuan yang telah dimiliki, sehingga tidak perlu menambah wawasan melalui berbagai sumber, (4) guru tidak mampu secara finansial untuk mengadakan sumber bacaan secara mandiri,dan (5) guru merasa kurang waktu karena beban kerja di sekolah dan dirumah. Disamping itu faktor kebiasaan sejak kecil juga menjadi kendala, artinya kebiasaan masyarakat pada umumnya lebih senang bertutur, bukan menulis apalagi membaca.
Adapun faktor ekternal secara umum berkenaan dengan keterbatasan layanan, mencakup: (1) sebagian besar sekolah tidak menyediakan buku bacaan untuk guru (seperti bacaan tentang pembelajaran, media pembelajaran dan buku suplemen lainya), (2) koleksi bahan pustaka cenderung untuk siswa, bahkan ada yang hanya memiliki koleksi buku paket dan Lembar Kerja Siswa (LKS), (3) lingkungan sebagian besar sekolah belum menganggap penting program budaya membaca sebagai prioritas program sekolah, dan (4) Sekolah belum menggalakkan pemanfaatan teknologi informasi untuk mengakses bahan bacaan.
Gerakan membaca; Upaya meningkatkan profesionalisme berkelanjutan
Membaca, menurut Suwaryono Wiryodijoyo (1989: 1) ialah pengucapan kata-kata dan perolehan arti dari barang cetakan. Kegiatan itu melibatkan analisis dan pengorganisasian berbagai ketrampilan yang kompleks. Termasuk didalamnya pelajaran, pemikiran pertimbangan, perpaduan, pemecahan masalah yang berarti menimbulkan kejelasan informasi bagi pembaca. Minat baca yang tinggi pada suatu bacaan dapat mengakibatkan seseorang menekuni kepada materi bacaan yang diminati itu. Jika seseorang tidak berminat mempelajari sesuatu maka ia tidak akan dapat berhasil baik dalam mempelajari hal tersebut. Sebaliknya, jika seseorang mempelajari sesuatu dengan penuh minat maka diharapkan hasilnya akan lebih baik.
Membaca merupakan salah satu aktivitas belajar yang efektif untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan. Dengan membaca guru dapat memperoleh pengetahuan dengan cepat dan mudah karena tinggal memilih buku yang akan dibaca, membukanya dan mulai membaca kata-perkata. Oleh karena itulah membaca semestinya menjadi aktivitas pokok para guru. Conny R Semiawan (2008: 27) mengungkapkan membaca dapat memperkaya pengalaman, mengembangkan daya nalar, mengembangkan kreativitas, memahami diri sendiri dan orang lain, serta dapat mengembangkan kepribadian. Guru harus didorong untuk gemar membaca agar mereka senantiasa memperbaharui wawasan dan pengetahuannya. Dengan membaca akan mampu mengembangkan daya kritis dan kreatif para guru. Daya kritis dan kreatifitas merupakan aspek yang penting untuk melahirkan pembelajaran yang berkualitas baru dan bermakna. Disisi lain dengan tambahan pengetahuan baru, guru akan senantiasa memperbarui mutu dan kualitas pembelajaran.
Studi awal yang dilakukan terhadap mahasiswa FIP UNY yang memiliki kegemaran membaca dengan mahasiswa umumnya yang jarang membaca, sungguh memiliki perbedaan jauh dari aspek kekritisan dan kreatifitas. Oleh karena itu membaca menjadi satu kunci bagi para guru untuk menumbuhkan daya kritis dan kreatifitas, menambah pengetahuan dan wawasan. Dan itu semua adalah modal bagi guru untuk dapat disebut sebagai guru yang profesional.
Membangun Budaya Membaca
Munculnya minat baca seseorang dipicu oleh berbagai faktor, sesuai karakter dan kondisi yang bersangkutan. Secara umum, dapat disebutkan di sini bahwa faktor-faktor tersebut adalah: rasa ingin tahu yang tinggi atas fakta, teori, prinsip, pengetahuan, dan informasi. Faktor kedua adalah keadaan lingkungan fisik yang memadai, misalnya adanya bahan bacaan yang menarik, berkualitas dan yang dapat memenuhi kebutuhan mereka, selain itu faktor lingkungan sosial juga memiliki peran yang besar, misalnya lingkungan yang kondusif, seperti keluarga yang sejahtera, tenang dan memberi teladan yang baik, dapat memicu seseorang untuk memanfaatkan waktunya bersama buku. Berikutnya, faktor keingintahuan akan informasi dan prinsip bahwa membaca merupakan kebutuhan rohani, merupakan pemicu yang tidak kalah penting (Sutarno, 2003).
Meskipun sekolah merupakan tempat mencari ilmu, baik melalui lisan maupun tulisan, belum tentu murid mencarinya di dalam buku, atau melakukan kegiatan membaca untuk menimba ilmu. Kebiasaan ‘guru menjelaskan – murid mendengar’ sudah lama menjadi sistem dalam proses pembelajaran di Indonesia. Tradisi tersebut harus dihilangkan dan tradisi baca-tulis yang dikutip dari Rahardjo perlu dikembangkan. Tradisi yang dimaksud adalah :
- Menciptakan suasana
Membuat komitmen antara guru dan pustakawan. Kedua pendidik ini sangat penting dalam memberi teladan dan menumbuhkan rasa cinta terhadap buku. Komitmen sebaiknya juga membantu guru untuk meningkatkan diri pengetahuannya sehingga pada akhirnya mengajarkan kepada murid bagaimana memahami bacaan.
Membuat program khusus yang terintegrasi. Guru akan berfikir bahwa kegiatan baca-tulis penting jika sekolah membuatnya menjadi program khusus. Program yang dimaksud adalah :
- mendirikan museum sekolah
- membuat surat kabar/majalah/majalah dinding/kliping
- membentuk klub pecinta buku
- membuka toko buku/koperasi sekolah
- memberikan ceramah/bimbingan pemakai secara rutin, dsb.
- Kunjungan pengarang/illustrator : diskusi, bedah buku, pelajaran teknik menulis, dsb.
Buku-buku bermutu yang menyangkut isi, bahasa, pengarang, lay-out atau penyajiannya yang sesuai dengan tingkat pendidikan dan kecerdasan seseorang akan dapat “merangsang birahi membaca” orang tersebut. Demikian pula kalau buku-buku dalam semua jenisnya tersebar luas secara merata ke berbagai lapisan masyarakat, mudah didapat dimana-mana, serta harganya dapat dijangkau oleh semua tingkatan sosial ekonomi masyarakat, maka kegiatan membaca akan tumbuh dengan sendirinya. Pada akhirnya akan tercipta sebuah kondisi “masyarakat konsumen membaca” yang akan mengkonsumsi buku-buku setiap hari sebagai kebutuhan pokok dalam hidup keseharian.
- Membuat perpustakaan sekolah
- Koleksi. Koleksi di perpustakaan sekolah sebaiknya sesuai dengan jenis dan kebutuhan sekolah, tertata rapi, terawat dan mudah ditemukan.
- Pustakawan. Pustakawan profesional sebaiknya menjaga komitmen dalam pekerjaannya, yaitu memberi teladan kepada guru, peserta didik, mengembangkan pengetahuan mengenai perpustakaan dan mempelajari metode pengajaran, kurikulum sekolah, sekaligus mempelajari perilaku manusia.
- Sarana dan program perpustakaan. Perabotan yang nyaman,perlengkapan memadai, jam buka dan kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan siswa akan menciptakan suasana yang menyenangkan.
- Membaca bersama dan berbagi pengalaman
Kegiatan membaca yang kita kenal umumnya adalah membaca dengan diam. Bagi sebagian orang, kegiatan ini terasa berat dan membosankan. Agar menarik, kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan cara-cara lain, seperti :
- membaca bergiliran
- mengadakan acara jam bercerita
- mengadakan diskusi buku mengenai ceritanya, pengarang, ilustrasi, pengalaman individu yang serupa.
Dalam konteks PKB, kegiatan tersebut dapat dilakukan pada pertemuan Kelompok Kerja baik Kelompok Kerja Guru (KKG) bagi guru SD maupun Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) bagi guru SMP dan SMA/K.
- Melakukan aktivitas
Guru atau pustakawan dapat mengembangkan kegiatan membaca melalui berbagai aktivitas,
seperti :
- membuat proyek bacaan (mendata buku seperti pekerjaan yang dilakukan pustakawan)
- membaca secara kreatif dengan menggambar, menjahit, membuat pembatas buku, boneka, topeng, kolase, bendera, film, jaket buku, kartu ucapan, penahan buku, brosur, iklan, kartun, puisi, lagu, pantomim, drama, teka-teki, permainan.
- Membuat karangan, membuat komentar atau ringkasan, diari.
- Belajar melalui gambar/barang, kunjungan, kliping, musik, teka-teki, atau mengintegrasikan pelajaran-pelajaran.
- Mengadakan pertunjukan drama, panggung boneka.
- Mengadakan kunjungan ke toko buku, penerbitan, percetakan, perpustakaan lain.
- Mengkampanyekan buku-buku terbaik.
- Mengadakan tukar menukar buku dengan perpustakaan, atau sekolah lain.
- Mengadakan bazaar, pameran, atau lomba yang berkaitan dengan buku.
Di samping usaha-usaha di atas, setiap satuan pendidikan perlu berlangganan jurnal hasil penelitian atau sejenis agar guru dapat memanfaatkan jurnal tersebut sebagai wahana membaca karya ilmiah, menambah wawasan keilmuan dalam rangka PKB. Terutama bagi guru yang sudah mendapatkan tunjangan profesi pendidikan karena menyandang predikat ’guru profesional’ yang tertera pada sertifikat karena lulus sertifikasi guru, ’diwajibkan’ bagi mereka untuk berlangganan jurnal tersebut. Sebagian tunjangan profesinya perlu disisihkan untuk pengembangan profesinya adalah suatu hal yang wajar.
5. Mengadakan bimbingan teknis untuk guru, kepala sekolah, maupun pengelola perpustakaan. Disamping itu pihak Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota perlu secara rutin mengadakan lomba karya ilmiah bagi kalangan pendidik.
.
Penutup
Guru profesional tidak lahir dari bentukan sistem, namun guru profesional lahir karena kepribadian yang matang dan berkembang, kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan dan kecintaannya terhadap profesi yang ditekuninya.
Untuk itu perlu dirumuskan satu mekanisme supaya para guru senantiasa mengasa kemampuan dan menambah wawasannya. Mekanisme tersebut ada menumbuhkan gerakan membaca bagi para guru. Gerakan membaca perlu diciptakan sebagai upaya untuk meningkatkan kreatifitas, daya analitis, ide-ide inovatif atau memunculkan gagasan-gagasan baru. Dengan membangun suasana yang menyenangkan dan melakukan aktivitas bersama dalam kegiatan baca-tulis, guru akan tertarik dengan sendirinya dan tanpa paksaan mereka akan mengubah gaya hidup masing-masing menjadi gaya hidup yang berakar pada tradisi baca-tulis. Upaya untuk pengentasan rendahnya minat baca guru tidak akan membuahkan hasil optimal bilamana dilaksanakan secara sendiri-sendiri, terpisah-pisah dan terpotong-potong, oleh karena itu perlu digalakkan secara terstruktur dan sistematis. Menjadi ilmuwan bukanlah menjadi orang serba tahu, tetapi menjadi orang yang dituntut untuk belajar secara terus menerus dengan jalan banyak membaca buku-buku ilmu pengetahuan.
Daftar Referensi
Conny R.Semiawan. 2008. Belajar dan Pembelajaran Pra Sekolah dan Sekolah Dasar. Jakarta: Ideks
Ishartiwi.2001. Potret Minat Membaca Guru Sekolah Dasar (SD) Di Kabupaten Sleman Yogyakarta. http://eprints.uny.ac.id diakses 2 Agustus 2011.
Jawa Pos. 16 Agustus 2011. 70% Guru SD Tak Gemar Membaca, halaman 29 dan 39.
NS , Sutarno. 2003. Perpustakaan dan Masyarakat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Wiryodijoyo, Suwaryono.1989. Membaca : Strategi, Pengantar, dan Tekniknya, Depdikbud, Jakarta.
*) Drs.Solichan Abdullah,M.Sc. Widyaiswara Utama di LPMP Jawa Timur