Mengembangkan Pendidikan Kewirausahaan
di Masyarakat
Oleh: Sony Heru Priyanto1
Abstrak
Menurut Shumpeter (1934), Enterprenuership is driving force behind economic growth. Kewirausahaan merupakan komponen vital dalam pembangunan ekonomi. Jika Indonesia ingin maju seperti negara lain, maka pembangunan kewirausahaan harus dimulai dari sekarang. Untuk mengembangkan kewirausahaan, perlu disusun kurikulum yang memadai, mulai dari pendidikan usia dini sampai Perguruan Tinggi. Prinsipnya adalah mereka harus dibuat tertarik dan termotivasi, kedua mereka harus bisa dibuat melihat adanya kesempatan untuk bisnis yang menguntungkan (opportunity factors), ketiga, mereka harus memiliki beberapa keahlian seperti social skill, indutrial skill, organizasional skill dan strategic skill. Nama program yang bisa dikembangkan seperti Entrepreneurship Orientation and Awareness Programs, New Enterprise Creation Programs dan Survival and Growth Programs for Existing Entrepreneurs.
Kata kunci:
Pentingnya Kewirausahaan
Pada awal abad 20, entrepreneurship atau kewirausahaan menjadi satu kajian hangat karena perannya yang penting dalam pembangunan ekonomi. Adalah Schumpeter (1934) yang mengatakan bahwa jika suatu negara memiliki banyak entrepreneur, negara tersebut pertumbuhan ekonominya tinggi, yang akan melahirkan pembangunan ekonomi yang tinggi. Jika suatu negara ingin maju, jumlah entrepreneurnya harus banyak. Enterprenuership is driving force behind economic growth. Kirzner mengatakan bahwa kewirausahaan merupakan bagian penting dalam pembangunan.
Rasionalisasinya adalah jika seseorang memiliki kewirausahaan, dia akan memiliki karakteristik motivasi/mimpi yang tinggi (need of achievement), berani mencoba (risk taker), innovative dan independence. Dengan sifatnya ini, dengan sedikit saja peluang dan kesempatan, dia mampu merubah, menghasilkan sesuatu yang baru, relasi baru, akumulasi modal, baik berupa perbaikan usaha yang sudah ada (upgrading) maupun menghasilkan usaha baru. Dengan usaha ini, akan menggerakan material/bahan baku untuk “berubah bentuk” yang lebih bernilai sehingga akhirnya konsumen mau membelinya. Pada proses ini akan terjadi pertukaran barang dan jasa, baik berupa sumber daya alam, uang, sumber daya sosial, kesempatan maupun sumber daya manusia. Dalam ilmu ekonomi, jika terjadi hal demikian, itu berarti ada pertumbuhan ekonomi, dan jika ada pertumbuhan ekonomi berarti ada pembangunan.
Dalam kasus negara, kita bisa belajar dari Jepang, dimana saat PD II, mereka hancur-hancuran. Namun karena accident tersebut, Bangsa Jepang justru lebih hebat dari sebelumnya karena setelah itu, pemerintah Jepang melakukan reformasi di segala bidang dengan dua pilar, yakni pembubaran konglomerasi dan UU anti monopoli.
Di sektor pertanian, yang paling awal digarap adalah reformasi lahan pertanian. Sistem “tuan tanah” yang merupakan salah satu bentuk konglomerasi di bidang pertanian dihapus, dan para “tuan tanah” tersebut dilarang memiliki luas lahan yang terlalu besar. Tanah tersebut dipetak-petak, dan masing-masing lahan digarap oleh petani pemiliknya sendiri. Kalau sebelumnya seorang tuan tanah memiliki lahan sampai seluas 8000 ha, sekarang petani di Jepang memiliki luas lahan rata-rata 1,5 ha (kecuali petani di pulau Hokkaido). Kebijakan ini telah membawa dampak besar terhadap pembangunan ekonomi di Jepang.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa Jepang adalah pekerja keras. Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang adalah 2450 jam/tahun, sangat tinggi dibandingkan dengan Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911 jam/tahun), Jerman (1870 jam/tahun), dan Perancis (1680 jam/tahun). Seorang pegawai di Jepang bisa menghasilkan sebuah mobil dalam 9 hari, sedangkan pegawai di negara lain memerlukan 47 hari untuk membuat mobil yang bernilai sama. Seorang pekerja Jepang boleh dikatakan bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh 5-6 orang. Pulang cepat adalah sesuatu yang boleh dikatakan “agak memalukan” di Jepang dan menandakan bahwa pegawai tersebut termasuk “yang tidak dibutuhkan”oleh perusahaan.
Di kampus, professor juga biasa pulang malam (tepatnya pagi), membuat mahasiswa nggak enak pulang duluan. Fenomena Karoshi (mati karena kerja keras) mungkin hanya ada di Jepang. Sebagian besar literatur menyebutkan bahwa dengan kerja keras inilah sebenarnya kebangkitan dan kemakmuran Jepang bisa tercapai
Salah satu penyebab kegagalan dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi suatu negara karena tidak adanya entrepreneurship baik dalam level individu, organisasi dan masyarakat. Peneliti sebelumnya telah mengatakan, kewirausahaan sangat berperan dalam pembangunan ekonomi (Kirzner, 1973), merupakan a vital component of productivity and growth (Baumol, 1993), berperan dalam peningkatan investasi, new business creation (Gartner, 1985), memunculkan job training (Brown et al, 1976) dan home-base business (Spencer Hull, 1986), meningkatkan employment growth (Birch, 1981; 1987), penciptaan nasional identity & leadership (Bolton, 1971) dan bersama dengan kapasitas manajemen sangat menentukan kesuksesan usaha (farm performance) (Priyanto, SH, 2005). Schumpeter (1 934) bahkan menyatakan bahwa enterprenuership is driving force behind economic growth, formulating new economic combination by (1) developing new products; (2) developing new sources of materials; (3) accumalating capital resources; (4) introducing new products
and new production functions; and (5) reorganizing or developing a new industry.
Kewirausahaan ternyata juga sangat berperan dalam perkembangan UKM. Penelitian terdahulu menunjukkan, kinerja industri kecil yang rendah disebabkan beberapa faktor antara lain rendahnya karakteristik kewirausahaan (poor entrepreneurial). Kewirausahaan menjadi “motor penggerak” yang berperan dalam pembangunan industri. Dalam proses industrialisasi diperlukan sikap kewirausahaan dalam pembangunan ekonomi (Anderson, 2002; Amstrong dan Taylor, 2000).
Kewirausahaan juga bisa berpengaruh langsung terhadap kinerja usaha. Baum et al. (2001) mengatakan bahwa sifat seseorang (yang bisa diukur dari ketegaran dalam menghadapi masalah, sikap proaktif dan kegemaran dalam bekerja), kompetensi umum (yang bisa diukur dari keahlian berorganisasi dan kemampuan melihat peluang), kompetensi khusus yang dimilikinya seperti keahlian industri dan keahlian teknik, serta motivasi (yang bisa diukur dari visi, tujuan pertumbuhan dan self efficacy), berpengaruh secara positif terhadap pertumbuhan usaha. Hampir senada dengan Baum et al. (2001), Lee dan Tsang (2001) menyimpulkan bahwa elemen kewirausahaan seperti internal locus of control, need for achievement, extroversion, education experience dan self reliance mempengaruhi pertumbuhan usaha.
Menurut ahli perilaku (behaviorits), entrepreneurship sangat berperan dalam kesuksesan seseorang (Kets de Vries, 1977). Seseorang yang memiliki kewirausahaan tinggi dan digabung dengan kemampuan manajerial yang memadai akan menyebabkan dia sukses dalam usahanya (Priyanto, 2006). Entrepreneurship juga berperan dalam mengembangkan seseorang sehingga memiliki keinginginan untuk memaksimalkan economic achievement (Mc Clelland, 1976) dan menyebabkan seseorang bisa tahan uji, bisa fleksibel, bisa dipercaya, bisa mengatasi masalah yang dihadapinya. Sementara itu Barkham, 1989; Pollock, 1989 dalam Ghosh (1999) mengatakan bahwa skill, attitude dan pencarian informasi pasar merupakan faktor yang memberikan kontribusi pada kesuksesan perusahaan.
Ahli-ahli sosiologi mengatakan bahwa entrepreneurship berperan dalam mengintegrasikan, mengarbitrase dan mengatur subsistem dalam masyarakat dan ekonomi (Parsons and Smelser, 1956). Mereka para entrepreneur merupakan agen perubahan dalam masyarakat dimana dia tinggal (Barth, 1967). Storey (1982) berpendapat bahwa entrepreneur memegang peranan sebagai kreator dalam persaingan dan penciptaan lapangan kerja, sebagai “benih” dimasa depan dan sebagai alternatif dalam hal menghubungkan the bureaucratic employer- employee. Sementara itu Hagen (1960) percaya bahwa entrepreneur mampu memotivasi masyarakat karena dia dipandang menjadi kaum elit karena kesuksesannya di dunia usaha. Entrepreneur bisa memberikan inspirasi bagi masyarakat.
Kemiskinan sangat erat kaitannya dengan ketiadaan kewirausahaan. Oleh karena itu, keberadaan kewirausahaan mulai dari level individu, organisasi sampai masyarakat sangat terkait erat dengan miskin atau tidaknya masyarakat. Jika kewirausahaan tinggi, maka kemiskinan akan rendah.
Memaknai Kewirausahaan
Sejarah panjang pemaknaan entrepreneurship telah dilakukan, mulai dari abad 11. Pada waktu itu, pemaknaan entrepreneurship baru sebatas “to do something” dan belum memiliki dimensi ekonomi. Pada waktu itu, entrepreneurship lebih dikenal sebagai entreprendre. Pada abad 13, pemaknaan kewirausahaan berarti adventurer atau undertaker, yang berarti petualang dan pemberani. Pemaknaan kewirausahaan terus berkembang sehingga pada abad 17 sampailah pada pemaknaan entrepreneurship sebagai improving economics yang dikembangkan oleh Say dan Cantillon. Pada abad 18, Say melanjutkan eksplorasi pemaknaan kewirausahaan dengan mengartikan bahwa kewirausahaan adalah aktivitas untuk membawa dan menyatukan faktor produksi untuk diproses menjadi produksi yang memiliki nilai.
Tabel 1. Perkembangan Pemaknaan Entrepreneurship
Tabel 2. Perkembangan definisi dari Kewirausahaan
Dari sisi psikologis, kewirausahaan adalah suatu jiwa yang yang memiliki semangat, mimpi, berani mencoba, keinginan besar, kreatif, memiliki need for achievement, visi hidup dan independen. Jiwa yang demikian ini bisa dimiliki oleh siapapun, apakah itu pedagang, pengusaha, karyawan maupun masyarakat pada umumnya, yang mampu mengelola diri dan lingkungannya sehingga akan dihasilkan ide, inovasi, penemuan baru, kreatifitas, semangat baru dan pasar yang baru.
Yang sering kita dengar dan artikan bahwa kewirausahaan sama dengan atau selalu identik dengan pemahaman usaha manufaktur dan dagang. Saat ini pemaknaan kewirausahaan telah berkembang tidak hanya pemaknaan seseorang sebagai “pengusaha” namun orang yang mampu mengelola diri dan lingkungannya sehingga akan dihasilkan ide, inovasi, penemuan baru, kreatifitas, semangat baru dan pasar yang baru. Kewirausahaan merupakan sesuatu yang ada didalam jiwa seseorang, masyarakat dan organisasi yang karenanya akan dihasilkan berbagai macam aktivitas (sosial, politik, pendidikan), usaha dan bisnis. Kewirausahaan merupakan bidang yang sangat luas aktivitasnya, mulai
dari individual entrepreneurship, industrial entrepreneurship sampai yang terakh i r berkembang adalah social entrepreneurship.
The Social Construction Of Entrepreneurship
Secara umum ada tiga model konstruksi sosial masyarakat. Model yang pertama adalah masyarakat sebagai realitas obyektif. Pada model ini seorang anak yang baru lahir, telah “ditunggu” oleh masyarakatnya berupa nilai, norma, kepercayaan dan ekspektasi yang akan mempengaruhi anak tersebut. Jadi anak yang baru lahir tersebut akhirnya akan mengikuti budaya masyarakat dimana dia tinggal dan hidup. Model kedua adalah model realitas subyektif yang menggambarkan terbentuknya masyarakat dimulai dari nilai-nilai, norma dan ekspektasi yang telah ada dan dibawa sejak lahir kemudian nilai-nilai ini bergabung dengan nilai-nilai dari individu lain, dan jadilah masyarakat itu. Model yang ketiga adalah model gabungan dari model sebelumnya, dimana individu dan masyarakat saling berelasi dan berinteraksi sehingga membentuk masyarakat yang terus menerus berubah yang juga dipengaruhi oleh historisnya masyarakat sebelumnya. Bagaimanapun, masyarakat masa lalu tetap mempengaruhi perjalanan masyarakat masa kini dan mendatang.
Manusia selalu dan akan selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Ketika bayi baru lahir, dia kemudian akan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dengan perantaraan orang-orang penting (significant others). Hubungan antara manusia dan lingkungannya dicirikan oleh dunia terbuka (world openness). Tidak ada manusia yang menghasilkan masyarakat yang terjadi secara soliter.
Berbekal pada pemaknaan demikian, kewirausahaan yang ada pada seseorang pada awalnya muncul dari realitas obyektif yang ada dimasyakarat berupa simbol, pekerjaan, nilai, kepercayaan dan ekspektasi. Pribadi ini terus berkembang dengan berbagai macam relasi, interaksi, integrasi dan akulturasi sehingga akan memunculkan identitas bagi yang bersangkutan. Pengalamanpengalaman yang diperolehnya selama berinteraksi dengan lingkungannya, akan menghasilkan pemaknaan diri dan identitas dirinya. Pada awal pembentukannya, dia akan berinteraksi dengan orang-orang penting seperti keluarga. Keluarga yang menganut sistem pola asuh pola asuh demokratis2 akan menghasilkan karakteristik anak anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap halhal baru, dan kooperatif terhadap orang-orang lain. Pola asuh otoriter3 akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri. Pola asuh permisif4 akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsive, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial. Pola asuh penelantar5 akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang moody, impulsive, agresif, kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, self esteem (harga diri) yang rendah, sering bolos, dan bermasalah dengan teman.(Baumrind‑ 1997) Jadi jika kita ingin menghasilkan anak yang memiliki kewirausahaan tinggi, maka sistem pola asuh yang cocok untuk itu adalah sistem pola asuh demokratis.
Sosialisasi primer kewirausahaan ini akan sangat dipengaruhi oleh stock of knowledge dari inidividu tersebut dan tuntunan dari pranata institusionalnya. Pada masa kanak-kanak, menginternalisasilkan kewirausahaan bisa dimulai dari simbolisasi mengajak ketempat baru, pengalaman baru, makanan baru, teman baru dan lainnya. Aktivitas ini merupakan simbol dari membangun jiwa risk taking. Menanyakan kepada anak pada saat memandikan atau bersenda-gurau mengenai cita-citanya merupakan simbolisasi dari membangun need for achievement.
Percaya diri juga bisa dibentuk dengan mengkonstruksikan kata-kata positif kepada anak. Kata pujian yang wajar ketika dia bisa melakukan sesuatu dan memberi hadiah yang relevan jika dia bisa melakukan sesuatu yang baik, akan membangun kepercayaan diri pada anak. Sebaliknya kalimat negatif bisa mematahkan keyakinan anak bahwa dirinya mampu memakai pakaian dengan benar. “Hati-hati dengan kalimat negatif seperti ini: Kamu bandel, kamu nakal, atau kamu bodoh adalah kalimat-kalimat negatif yang bisa mendistorsi kepercayaan diri pada anak. Mengutip penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, setiap hari anak mendapat perkataan negatif sebanyak 750 kata. Sebaliknya mereka hanya memperoleh kata positif sebanyak 65 kata per hari!
Konstruksi sosial kewirausahaan dimulai dari orang tua yang memiliki peranan penting bagi pembentukan pengalaman si anak. Beranjak dewasa, dia mulai mengenal significant other yang lain. Teman, tetangga, guru, teknologi audio video, dan lainnya akan mempengaruhi realitas subyektifnya. Pada sosialisasi primer, akan terjadi proses imitasi, role playing dan role game dari si anak tersebut. Sosialisasi primer tercipta didalam kesadaran awal pada masa kanakkanak dan berkembang secara progresif berdasarkan norma dan sikap yang spesifik untuk menjadi norma dan sikap secara umum. Abstraksi dari norma dan sikap secara konkrit berpengaruh nyata kepada hal-hal lain. Pada masa inilah terjadi generalisasi sifat kewirausahaan dan akan berpengaruh di masyarakat dan pada akhirnya akan menghasilkan jiwa kewirausahaan atau tidak pada seseorang. Namun demikian, kejadian yang terjadi banyak dipengaruhi juga oleh faktor eksternal seperti lingkungan ekonomi, organisasi dan lingkungan fisik dimana dia berada. Perkembangan yang pesat dari teknologi komunikasi, produksi dan jasa juga sangat berperanan pada seseorang sehingga akan memotivasi atau tidak seseorang dalam hidupnya. Variabel eksternal ini terus berubah dan menyebabkan kewirausahaan seseorang juga terus berubah dengan intensitas dan kompleksitas yang tidak konstan.
Gambar 1. Siklus Konstruksi Sosial Kewirausahaan
Setelah terjadi sosialisasi primer, akan terjadi sosialisasi sekunder dimana seorang anak mulai mengenal juga lingkungan diluar ayah-ibunya. Dia mulai mengenal ada guru, ada pendeta, dan pada akhirnya dia akan mengenal kelembagaan yang ada di masyarakat dengan seperangkat job discriptionnya. Dia akan mengenal petani, pegawai negeri, pedagang dan pengusaha, kaum kaya-kaum miskin. Disinilah mulai terjadi internalisasi the vision of lifenya, akan membentuk desire for independence dan drive. Kalau yang dia lihat bahwa petani hidupnya makmur, maka dia akan bermimpi akan jadi petani. Jika dia melihat pegawai negeri statusnya baik, maka dialam bawah sadarnya tidak akan menampik juga menjadi pegawai negeri dikelak-kemudian hari.
Tesis yang bisa dibangun kemudian adalah anak yang memiliki stock of knowledge terbatas maka realitas obyektif akan berperan dalam pembentukan kewirausahaannya. Sebaliknya jika seseorang memiliki stock of knowledge dan ability yang bagus, realitas subyektifnya akan sangat mempengaruhi terbentuknya kewirausahaannya.
Di level organisasi, proses konstruksi sosial kewirausahaan dimulai dari interaksi antara pengusaha dan stakeholdernya dalam menghasilkan model bisnis. Saat ini, proses coproduce ini belum jelas benar, dan kedepan menjadi domain penelitian kewirausahaan yang penting. Secara samar-samar dapat dijelaskan bahwa terjadi interaksi antara nilai, self-belief individu dengan strategi dan hubungan dengan stakeholder yang menghasilkan perubahan atau keberlanjutan dalam model bisnis (Downing, 2005). Para strukturalis
mendiskripsikan bahwa nilai-nilai individu akan berinteraksi dengan nilai-nilai individu lain dalam organisasi dan kemudian berinteraksi dengan nilai-nilai yang telah ditanamkan sebelumnya dalam organisasi oleh para pendiri dan penerus, menjadi social order of the firm (Frank and Lueger, 1997). Interaksi ini akan terjadi secara terus menerus sesuai dengan dinamika lingkungan ekonomi, politik, sosial dan budaya, teknologi, yanga akan menghasilkan perubahan tatanan sosial perusahaan yang baru.
Pada awal pendiriannya, biasanya nilai dan ekspektasi dari pendiri akan sangat berpengaruh dalam organisasi/perusahaan. Ketika, mulai ada rekrutmen, ada interaksi dengan nilai-nilai pekerja, yang tentu saja dipengaruhi oleh lingkungan eksternalnya (stakeholder). Secara terus menerus, hasil adaptasi, interaksi dan inersia dari semua pihak, akan menghasilkan sistem atau social order of the firm dan akan menjadi budaya. Kondisi ini akan terus berlangsung selama organisasi/perusahaan itu ada.
Proses Pem belajaran kewi rausahaan (Entrepreneurial Learning)
Dalam teori siklus pembelajaran, Munford (1995) menyatakan bahwa pembelajaran didapat dari proses pembelajaran atas pengalaman yang didapat dalam aktivitas sehari-hari yang kemudian disimpulkan dan menjadi konsep maupun sistim nilai yang dipergunakan untuk keberhasilan dimasa yang akan datang. Hall (1996) menyatakan bahwa dalam jangka pendek pembelajaran akan merubah sikap dan kinerja seseorang, sedangkan dalam jangka panjang mampu menumbuhkan identitas dan daya adaptabilitas seseorang yang sangat penting bagi keberhasilannya.
Cope dan Watt (2000) menyatakan bahwa kejadian kritis (critical-incident) yang dialami wirausaha dalam kegiatan usahanya sehari-hari mengandung muatan emosional yang sangat tinggi dan pembelajaran tingkat tinggi. Cope dan Watt menekankan pentingnya pembimbingan (mentoring) untuk mengintepretasikan kejadian kritis yang dihadapi sebagai pembelajaran, sehingga hasil pembelajarannya menjadi efektif.
Sulivan (2000) menekankan pentingnya client-mentor matching dalam keberhasilan pembimbingan. Ia mengatakan bahwa pengetahuan, keterampilan, dan pembelajaran dapat difasilitasi ketika dibutuhkan wirausaha. Dengan memperhatikan tingkat siklus hidup wirausaha. Lebih jauh, Rae (2000) menggambarkan bahwa pengembangan kemampuan wirausaha di pengaruhi oleh motivasi, nilai-nilai individu, kemampuan, pembelajaran, hubungan-hubungan, dan sasaran yang diinginkannya. Sementara itu Minniti dan Bygrave (2001) membuktikan dalam model dinamis pembelajaran wirausaha, bahwa kegagalan dan keberhasilan wirausaha akan memperkaya dan memperbaharui stock of knowledge serta sikap wirausaha sehingga ia menjadi lebih mampu dalam berwirausaha.
Dalam kaitannya dengan upaya untuk mempertahankan usaha, seorang
wi rausahawan memerl u kan suatu strateg i positioning yang kuat serta konsisten dalam suatu lingkungan persaingan yang dinamis. Hal ini memerlukan suatu perbaikan yang berkelanjutan untuk mengelola perubahan tersebut agar efektif sehingga diperlukan suatu proses pembelajaran baik single-loop learning untuk memperkuat posisi saat ini maupun double-loop learning untuk menemukan landasan kokoh guna membangun keunggulan bersaing.
Wright (1997) menyebutkan bahwa “akumulasi pembelajaran” merupakan salah satu harta tak berwujud yang menjadikan suatu kapabilitas individu atau perusahaan yang tidak dapat ditiru (inimitable), terutama pengetahuan teknis yang tidak kentara (tacit knowledge).
Pendidikan dan latihan, mentoring dan belajar dari pengalaman merupakan faktor pembentuk pembelajaran kewirausahaan yang signifikan. Hal ini sesuai dengan pendapat beberapa ahli tentang pembelajaran wirausaha (Rae, 2000; Minniti dan Bygrave, 2001), proses pendidikan dan pelatihan (Ulrich dan Cole, 1987; Robinson dan Sexton, 1994; Gibb, 1997; Leitch dan Horrison, 1999