Nyaris setiap hari ada pemberitaan atau iklan komersial tentang mal baru, perumahan baru, dan apartemen baru—terutama di kota-kota besar. Meskipun harganya terus meroket, semua jenis properti tersebut laku keras. Properti memang tengah jadi primadona. Berapapun unit apartemen yang dibangun, sebanyak itu pula yang terjual.
Akan tetapi, setiap hari membaca koran dan menonton televisi, saya tidak menjumpai berita tentang berdirinya gedung perpustakaan baru. Satu gedung perpustakaan baru dalam satu tahun pun tidak terdengar beritanya. Apalagi kabar perihal kemeriahan datangnya koleksi baru dalam jumlah besar.
Jadi sungguh mengherankan jika masih ada pejabat yang mengatakan bahwa buku itu penting atau perpustakaan itu berperan strategis bagi kemajuan bangsa. Dalam hemat saya, itu cuma sekedar untuk menghibur, bila bukan mencemooh. Faktanya: menemukan perpustakaan publik tak semudah menemukan mal. Di Bandung, perpustakaan umum tidak terletak di tempat yang mudah dicapai dari segala penjuru kota.
Beberapa tahun yang lampau, saya tak ingat persis tahunnya, di Bandung terdapat perpustakaan British Council. Walaupun ruangannya tidak terlalu luas, tapi perpustakaan ini selalu ramai pengunjung. Mereka betah membaca buku di sini. Sayang, perpustakaan yang dibiayai oleh pemerintah Inggris ini tutup dan koleksinya dihibahkan ke perguruan tinggi.
Di Jakarta, beberapa tahun yang silam, juga ada perpustakaan Amerika di Jl. Sudirman—kalau tidak keliru namanya Zorinsky Memorial Library. Menempati tiga lantai sebuah gedung perkantoran besar (Metropolitan II waktu itu), perpustakaan publik ini termasuk tempat favorit bagi banyak orang untuk membaca. Sayang juga, perpustakaan ini ditutup karena kesulitan pembiayaan.
Di era digital, perpustakaan digital memang semakin banyak diadopsi, tapi di Indonesia perpustakaan digital untuk publik rasanya belum ada. Bahkan perpustakaan digital perguruan tinggi pun baru menyimpan publikasi digital secara terbatas. Misalnya, ringkasan skripsi dan tesis maupun scientific papers. Umumnya, buku-buku digital belum tersedia di perguruan tinggi, apalagi di perpustakaan publik/umum.
Karena itu, perpustakaan umum (yang mengoleksi buku cetak) tetap diperlukan. Di Bandung, misalnya, perpustakaan yang dikelola oleh pribadi atau komunitas memang bertebaran. Namun tentu saja, pertumbuhan koleksinya tidak bisa laju dan sebagian menyatu dengan toko buku.
Masyarakat masih tetap membutuhkan perpustakaan publik sebagai bagian dari aktivitas budaya literasi. Bagaimana menjadikan perpustakaan publik tempat yang menarik untuk dikunjungi merupakan isu tersendiri. Di samping lokasinya mesti mudah diakses, ruangannya perlu dibuat nyaman untuk membaca, laju pertumbuhan koleksinya pun mesti ditingkatkan.
Lebih pokok dari itu, pertanyaan pertama yang mesti dijawab lebih dulu ialah “apakah perpustakaan publik lebih penting dari mal?” Jika untuk aktivitas ekonomi, investasi berapapun disanggupi, mengapa untuk perpustakaan publik kita enggan? Di banyak kota-kota penting dunia, perpustakaan publik menjadi salah satu kebanggaan masyarakat sebagai penanda kebudayaan (gambar di atas satu sudut perpustakaan publik di Amsterdam, yang buka dari jam 10 pagi sampai 10 malam–foto bibliotecasemrede.blogspot.com).
http://blog.tempointeraktif.com/buku/mencari-perpustakaan-di-rimba-mal/