Oleh Ahmad Saifus Salam
MAHASISWA dikenal sebagai kaum cendekia dan dipandang mempunyai intelektualitas yang tinggi. Kehadirannya mampu merombak kondisi yang lapuk menjadi tegak kembali.
Pemuda sebagai penerus bangsa dituntut mampu menyulap dunia yang kini kerap kisruh menjadi aman, nyaman, dan sentosa, bahkan mampu menciptakan masyarakat yang makmur serta sejahtera. Bukan malah memperparah keadaan dengan tawuran ataupun demo yang tak sehat.
Di era globalisasi kini, muncul berbagai permasalahan dalam mempertahankan hidup. Manusia berlabel fakir ataupun miskin seakan mudah ditemukan di berbagai penjuru. Termasuk di kota-kota besar, tak jarang para pengemis ataupun gelandangan berkeliaran. Anak-anak kecil banyak yang menjadi pengamen jalanan. Mestinya mereka mendapat perlindungan dari negara. Namun, kenyataannya tidak demikian. Itu tak sesuai dengan UUD 1945 pasal 34 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar diurus oleh negara.
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, penduduk miskin di Indonesia mencapai 31, 02 juta (13,33 persen) pada tahun lalu. Namun kini, pada bulan maret 2011 sebesar 30,02 juta orang (12,49 persen). Kepala BPS Rusman Heriawan menyebutkan, angka itu turun 1 juta orang atau 0,84 persen dibanding tahun lalu. Meskipun demikian, perlu dilakukan upaya pengentasan kemiskinan yang kini masih menjadi persoalan bangsa.
Entrepreneur
Seiring dengan paradigma bahwa mahasiswa sebagai agen perubahan (agen of change), diharapkan mampu mengubah sendi-sendi kehidupan di segala bidang. Peran mereka sangat urgen dalam mengubah peradaban negara. Namun, sayangnya, kaum intelektual itu kini jauh dari harapan. Tak sedikit dari mereka usai menyelesaikan studinya, menyandang predikat pengangguran. Seakan mereka lulus untuk meraih gelar sarjana atau diploma pengangguran. Bukan sarjana atau diploma sukses berkat keilmuannya.
Oleh karenanya, tak heran jumlah sarjana pengangguran bertambah setiap tahun. Data Badan Pusat Statistik (Agustus, 2010) menunjukkan, sebanyak 8,32 juta penduduk Indonesia berstatus pengangguran. Dari jumlah itu, 24,7 persen adalah lulusan kampus yang berijazah diploma 12,7 persen, dan sarjana 11,92 persen (SM 4/6/11).
Kini, sudah seharusnya mahasiswa dibekali keterampilan dalam berwirausaha (entrepreneur) untuk menjembatani intensitas pengangguran. Menciptakan peluang kerja sangat diperlukan untuk menampung pengangguran. Jika melihat kenyataan di lapangan, sangat berbanding terbalik antara kaum intelektual dan masyarakat biasa. Tak sedikit kesuksesan material diraih oleh mereka yang berpendidikan rendah, seperti lulusan SMA, SMP, bahkan SD. Itu dikarenakan sebagian besar dari mereka ulet dalam berwirausaha. Padahal, disiplin ilmu mereka jauh di bawah para mahasiswa. Untuk itu, perlu daya kreativitas mahasiswa dalam menciptkan peluang usaha.
Skill yang mereka miliki saja tak cukup. Itu perlu pengembangan. Di samping itu, mereka dituntut untuk menjadi mahasiswa aktif dan produktif. Aktif dalam membaca peluang dan menggali informasi di berbagai sektor sesuai dengan bidang atau keahlian yang dimiliki. Produktif untuk menghasilkan produk atau jasa yang dapat digunakan nilai kemanfaatannya.
Menurut Peggy dan Charles (1999), entrepreneur harus memiliki 4 komponen pokok, yaitu: kemampuan (IQ dan skill), keberanian (EQ dan mental), keteguhan hati (motivasi diri), dan kreativitas.
Pertama, kemampuan berkenaan dengan membaca peluang, berinovasi, mengelola, dan menjual. Kedua, keberanian diri dalam mengatasi ketakutan, mengendalikan risiko, dan keluar dari zona kenyamanan. Ketiga, keteguhan hati dalam mengambil sikap, ulet, determinasi (teguh dalam keyakinan), dan power of mind. Keempat, secara aktif menciptakan kreativitas dalam membaca sekaligus mencari peluang.
Jika mahasiswa mempunyai keempat hal tersebut, ia akan mampu menjadi mahasiswa berjiwa entrepreneur yang cerdas. Selain itu, seorang entrepreneur pun harus mempunyai pengetahuan luas, kemampuan, jaringan, informasi, sumber yang ada, waktu, dan masa depan serta kesempatan.
Sayangnya, di negera kita tak banyak orang yang berjiwa entrepreneur. Dari total penduduk Indonesia, kurang lebih 231, 83 juta jiwa, hanya sekitar 2 persen yang berwirausaha (4,6 juta). Jumlah ini sangat kecil dibanding dengan negara lain. Negara-negara maju memiliki jiwa entrepreneur yang relatif tinggi. Di Singapura mencapai 7 persen, China dan Jepang 10 persen dari total jumlah penduduk mereka, sedangkan yang tertinggi adalah Amerika Serikat sebesar 11,5-12 persen.
Untuk itu, mahasiswa di Indonesia sebagai kaum akademisi perlu berpikir lebih maju dan meningkatkan daya kreativitas dalam menumbuhkan jiwa berwirausaha (entrepreneur) agar mampu menekan jumlah pengangguran sekaligus bersaing dengan negara-negara lain.
Mahasiswa dengan intelektualitasnya sangat berpeluang melakukan kegiatan wirausaha. Terbukti minat mahasiswa kini untuk terjun ke bidang wirausaha cukup signifikan. Hal itu bisa dilihat dari mahasiswa yang sembari berjualan, baik langsung maupun lewat internet, untuk menyambung biaya kuliah ataupun berlatih mandiri.
Tak hanya berwirausaha mandiri, namun menciptakan peluang usaha sekaligus menghasilkan lapangan pekerjaan bagi kelompok pinggiran agar pengangguran dan masyarakat tak mampu kian berkurang. Dengan demikian, mereka mempunyai jiwa entrepreneur yang tinggi. (24)
—Ahmad Saifus Salam, mantan aktivis pers mahasiswa, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Unnes.
.
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/13/155971/Mahasiswa-Berjiwa-Entrepreneur