Oleh AYU ALFIAH JONAS
Aku memungutmu dari kenangan kusam bertahun silam, terpendam di pelataran hati yang lebam.
Ada hal yang belakangan ini amat menyiksaku. Semua hal tentangmu tiba-tiba berkelebat di atas kepalaku, beterbangan mengacaukan pikiranku. Ini sering terjadi. Bahkan bisa lebih dari tiga kali sehari, seperti jadwal mengonsumsi obat anti-rokokmu. Akhir-akhir ini, serangan ingatan itu sering muncul seketika, di beberapa tempat tak terduga. Kadang ia muncul di kamar mandi, di tengah suasana kelas yang gaduh, bahkan di dalam desakan para penumpang bus kota. Tanpa mendramatisir, tentu saja, aku begitu pusing dibuatnya. Kenangan tentangmu sama sekali tidak kupelihara, ia sering muncul begitu saja. Tanpa komando, tanpa isyarat, tanpa melewati keraguan. Aku tidak bisa menghentikannya kecuali dengan satu cara: mengkonsumsi sepuluh butir obat tidur sebelum malam menyapa.
Ia selalu tersedu tiap kali malam berlalu meninggalkanku. Membuatku terjatuh dan tersaruk-saruk mengingatmu. Sepuluh butir obat tidur ternyata tak mampu menghapusmu. Akhirnya, aku harus kembali memungutmu, meletakkan kenangan-kenangan di ingatan yang paling dalam. Lalu, jika ia berhasil keluar lagi, akan segera kutangkap kembali. Begitu seterusnya hingga suatu malam yang sungguh membutakan, ia meloncat keluar otakku dan berhasil mengobrak-abrik isi hatiku. Aku dibuat begitu kacau olehnya. Ia akan semakin menjadi-jadi di tengah malam. Aku hanya bisa terdiam dan menangis. Tak mampu kutepis betapa besarnya ingatan tentangmu menyerangku di setiap malam-malam itu.
Ingatanku kembali tiga tahun lalu. Mata kita bersirobok tepat di sebuah ruangan dengan suhu air conditioner yang seperti menusuk-nusuk kulit ari. Kemejamu belum disetrika, sepatumu kebesaran, dan tubuhmu, seperti belum dimandikan. Kau mengingatkanku pada sosok Soe Hok Gie dan Christopher Johnson McCandless. Dan senyummu, mirip seperti ayahku, seorang petualang yang tak pernah berhenti memburu hewan-hewan liar di hutan. Bahasa tubuhmu menyimbolkan kebebasan, berusaha memberi tahu semua orang tentang arti hidup yang sesungguhnya. Saat ia membimbingku untuk lebih mengingatmu lebih dalam lagi, hatiku menolak dengan tegas. Kali ini aku masih bisa menolak. Selanjutnya, masih seperti biasa, aku tetap tak bisa menahannya.
Aku memungutmu dari perempatan jalan yang masih tetap seperti dahulu meski telah kau tinggalkan bertahun-tahun lalu.
Di sana, masih ada penjual gorengan langganan kita. Tiap kali kesana, penjual itu selalu bertanya tentang keberadaanmu. Kubilang, kau telah memilih jalan hidup sebagai seorang pengembara, meninggalkan seluruh kenikmatan yang menyiksa. Tetapi, katanya, apalah arti mengembara jika harus meninggalkan orang-orang yang dicinta. Penjual gorengan itu seperti tahu, ada kesedihan yang begitu perih di mataku. Ada napas yang disandera di tenggorokanku. Penjual gorengan itu—membaca—telah banyak hari yang kulewati dengannya; kenangan tentangmu. Juga dengan air mata, lalu kembali tak bisa berkata-kata. Aku mengunyah tempe goreng kesukaanmu. Sambil terus tersedu, sambil terus mengadu kepada Tuhanku; kembalikan kekasihku, kembalikan lara yang menderu.
Lampu remang-remang di sudut jalan, seperti berbicara bahwa kau masih baik-baik saja. Masih dengan sifat dan pemikiran yang sama. Bangsa Yahudi, katamu, bangsa yang tak akan pernah bisa dikalahkan meski seluruh umat islam telah mengerahkan kekuatan. Sama sepertimu. Saat kau pergi nanti, tak seorang pun akan menemukanmu. Sebab kau tengah mencari kebenaran, kesejatian. Orang yang sedang dalam pencarian, takkan mungkin disuruh pulang. Namun kau hanya membawa sebuah tas besar saja waktu itu. Siapa yang tidak akan melarang? Rasa khawatir padamu terlahir tepat setelah langkahmu menghilang dari pandanganku. Lalu tumbuh menguat di jemari tanganku, merambat ke sekujur tubuhku, menghasilkan ia: kenangan tentangmu.
Ia mengamuk lagi. Kenangan tentangmu kini hinggap di mataku dan membuatnya menderas. Air mata berjatuhan tanpa jeda. Bola mataku selalu sakit dibuatnya. Aku kesal sekesal-kesalnya. Dengan penyerangannya yang amat buas, aku tak bisa melawan. Selalu kalah setiap kali memeranginya. Aku selalu lelah. Selalu menyerah. Tempe goreng di tanganku masih tersisa saat aku pergi meninggalkan penjual gorengan dengan ingatan tentangmu yang kini, menancap di sekujur tubuhku. Sakit sekali rasanya. Seperti anak panah berapi. Aku gosong. Dan sepotong tempe goreng di tanganku, terjatuh. Aku pergi. Sekali lagi, aku menyerah padanya. Dengan tergugu, kujauhi segalanya. Aku mengurung diri dalam kamar, memukul-mukul kenangan tentangmu hingga lebam.
Aku memungutmu dari buku-buku yang tergeletak di atas meja belajar. Dari debu-debu yang menyelimuti seluruh sisinya.
Kali ini, ia menyeretku ke buku-bukumu. Masih banyak buku-buku tentang Socrates atau Plato yang masih belum kubaca. Dulu, katamu, aku juga harus sering membaca buku-buku tentang biografi para tokoh sejarah. Agar aku bisa lebih memaknai hidup dan belajar menghargai. Berjam-jam aku mencarimu di sela-sela tumpukan buku yang disusun rapi di atas meja belajar. Aku melihat buku-buku, mengamati udara-udara yang berlalu, lalu kembali mengingatmu. Ia menyerangku lagi. Kali ini dadaku sesak dibuatnya. Aku tak bisa bernapas seketika. Rintik hujan diluar kamar yang melewatiku hanya sedikit memberi obat dan menentramkan. Dada yang sesak ini sungguh tak bisa disembuhkan. Meski dibelah berkali-kali, ia akan tetap sesak, sesesak-sesaknya.
Sejak pagi hingga malam hari, ia masih merenggut seluruh pikiranku. Aku tidak bisa merasakan enaknya rasa makanan. Bahkan saat menelan ludah, ia menyekatku dengan sempurna. Lagi-lagi aku harus mengalah padanya. Kembali berpikir tentangmu, pada rindu-rindu yang terpupuk dalam alam bawah sadarku. Orang tuaku khawatir. Mereka memaksaku untuk lebih sibuk dari biasanya. Aku sudah mencoba. Beberapa organisasi kuikuti dan kemanapun teman-temanku pergi, aku akan selalu membuntuti. Sekeras usahaku, semakin keras juga ia menghantamku. Terlebih lagi, kini, hari-hari menjelang ulang tahunmu. Kau melewati tiga kali ulang tahunmu. Aku menangisi seluruhnya. Tak ada yang abadi. Begitu juga aku dan kamu, begitu juga rindu.
Di atas meja belajar, sampul-sampul buku menjelma wajahmu. Mereka seolah menyuruhku untuk lebih memikirkanmu. Betapa ia amat menggebu-gebu membuatku mengenang segala tentangmu. Ia menyantap sarapanku. Perutku dibuat keroncongan olehnya. Ia menuntunku membuka sebuah album foto yang seluruhnya, berisi foto petualanganmu. Ia mengajakku berpetualang seperti dirimu. Supaya kita bisa bertemu di suatu lembah yang curam, atau sekadar bertukar sapa di atas puncak gunung Jaya Wijaya. Lagi-lagi, ia berhasil membujukku untuk mengeluarkan isi dompet dan menyulut malapetaka. Aku membeli perbekalan untuk memulai petualangan. Orang tuaku ketar-ketir. Meski tak pernah membantah, jiwa berontakku sungguh tak mampu dicegah.
Aku memungutmu dari masjid besar di perkotaan, tepat di sebuah menara yang menjulang tinggi ke langit biru.
Di sana, angin melambai-lambai ke arahku, menghembuskan namamu. Ia membimbingku berjalan ke arah barat. Sebab dari mulutmu aku pernah mendengar, kau akan berlari ke ujung arah matahari. Saat matahari tenggelam, kau akan menggelar karpet dan menjadi juru cerita. Bercerita pada anak-anak tentang seorang pemuda yang pergi dari rumah demi mendapatkan kebebasan. Bahwa dari alam, kita bisa memiliki segalanya. Bahwa dengan meninggalkan rutinitas, kita bisa meretas tanpa batas. Aku membayangkan betapa kau sedang benar-benar menjadi dirimu sendiri. Manusia yang tak dibatasi aturan, bebas melakukan apapun tanpa beban.
Sekali lagi, ia membuat hatiku berkecamuk kembali. Menimbang-nimbang tentang arti kehidupan, dan sebuah keputusan yang aku sendiri masih terlalu bimbang untuk menjalankannya. Ia merasuk melalui pembuluh darahku, merasuki sel-sel dalam tubuhku. Segalanya kini hanya berisi kenangan tentangmu. Dan aku, dengan sangat terpaksa, mencoba membenarkan semuanya. Apa yang terjadi padaku, semua tentangmu, memenuhi otakku sepenuhnya. Ia menyeretku habis-habisan. Kenangan tentangmu menganggapku bukan manusia. Ia menyiksaku dengan segenap denyut yang menghasilkan rasa sakit dan membuatku menggigil. Beberapa obat tidur masih dalam genggamanku malam itu, dimana aku mengandap keluar rumah dengan tas ransel yang besar dan membiarkan sebuah surat tergeletak di atas meja belajar.
Dari balik semburat sinar mentari pagi, ia menuntunku untuk kembali padamu. Kuraih tas ransel di atas meja pedagang gorengan itu, bersiap mengembara menyusulmu. Dari bawah menara, aku mengingat kembali percakapan terakhir dari bibir kita masing-masing. Bahwa kau, dengan segenap kelemahanmu, akan meninggalkan segalanya. Kau tersenyum untuk yang terakhir kalinya. Lalu kau menghilang bersama ranselmu, meninggalkan aku dengan buku-bukumu. Dan pikiran-pikiranmu yang membuat gelisah di hampir setiap malamku. Selanjutnya, setelah bertahun lamanya aku dirundung duka, kenangan tentangmu hinggap di separuh tubuhku. Ia membuat satu peristiwa baru, merenggutku dari kenyataan yang selalu membuatku ingin mengeluarkan seluruh isi perutku.
Aku memungutmu dari sisa masa depan yang mungkin, akan suram, atau bisa jadi terselamatkan. Aku, menyusulmu.
Boulevard Raya, 2013
Selesai.
http://www.radarbanten.com/read/berita/140/24650/Lelaki-dengan-Separuh-Napas-2.html