LARANGAN MERGER
DALAM UNDANG-UNDANG ANTI MONOPOLI
Oleh: Abdul Rokhim
1. Pendahuluan
Pembangunan ekonomi Indonesia pada Jangka Panjang Pertama meski diakui telah menghasilkan banyak kemajuan, khususnya menyangkut pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Namun, banyak pula tantangan atau persoalan ekonomi yang belum terpecahkan, seiring dengan adanya globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990-an.
Peluang-peluang usaha yang tercipta selama lebih dari tiga dasawarsa yang lalu dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Perkembangan usaha swasta selama periode tersebut, di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan pemerintah yang kurang tepat sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, perkembangan usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat.
Ironisnya, fenomena di atas telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan (kolusi) antara pengambil keputusan (pemerintah) dengan para pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga lebih memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu kepada amanat Pasal 33 UUD 1945 serta cenderung menunjukkan corak yang sangat monopolistik. Para pengusaha yang dekat elit kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan sehingga berdampak kepada kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi Indonesia menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing secara sehat.
Mencermati situasi ekonomi yang demikian itu, maka menuntut kita untuk menata kembali kegiatan usaha di Indonesia agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta terhindar dari pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu. Pemusatan ekonomi itu bisa terjadi melalui mekanisme merger, konsolidasi, dan akuisisi. Untuk membatasi persoalan yang ada, tulisan ini hanya menfokuskan pada tindakan merger, yang dalam peraturan perundangan kita disebut dengan istilah “penggabungan” usaha.
Persolannya adalah tindakan merger itu hanyalah merupakan tindakan ekonomi perusahaan, yang di samping mengakibatkan pengaruh positif bagi perusahaan-perusahaan yang bergabung namun hal itu juga memberikan dampak negatif akan terjadinya pasar yang monopolistik atau anti persaingan yang sehat. Karena itu, yang perlu diperdebatkan atau dipermasalahkan dalam tulisan ini adalah tindakan merger yang bagaimana yang secara hukum dipandang sebagai tindakan yang dilarang untuk dilakukan? Dengan perkataan lain, tindakan merger, konsolidasi, atau akuisisi yang bagaimana yang mengarah atau dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat serta bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial.
2. Perbedaan Merger dengan Konsolidasi dan Akuisisi
Istilah “merger”, “konsolidasi” dan “akuisisi” lebih sering digunakan dalam tataran akademis. Sedangkan dalam tataran normatif, menurut peraturan perundang-undangan kita digunakan istilah “penggabungan” untuk menggantikan istilah “merger”, “peleburan” untuk menggantikan istilah konsolidasi, dan “pengambilalihan” untuk menggantikan istilah “akuisisi”. Hal ini antara lain dapat dilihat dalam Bab VII Pasal 102-109 UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) maupun dalam Pasal 28 dan 29 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (yang dalam tulisan ini disingkat UU Anti-Monopoli).
Dalam pasal-pasal UUPT itu sama sekali tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “penggabungan”, “peleburan”, dan “pengambilalihan” itu. UUPT hanya mengatur tentang tata cara atau mekanisme terjadinya tindakan-tindakan penggabungan, peleburan, dan pengmbilalihan. Hal ini mungkin disebabkan oleh “janji” Pasal 109 UUPT yang akan mengatur lebih lanjut mengenai hal itu dalam Peraturan Pemerintah (PP). PP yang dimaksud tidak lain adalah PP No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Penggambilalihan PT.
Menurut Pasal 1 angka 1 PP No. 27 Tahun 1998, penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar. Dalam literatur, penggabungan perseroan ini lazim disebut dengan istilah “merger” yang berarti: “the absorption of one company by another; the former lossing its legal identity, and the later retaining its own name and identity and acquaring assets, liabilities, franchises, and powers of former, . . .” (Black, 1990: 988). Dengan demikian, penggabungan (merger) mengakibatkan hilangnya status badan hukum perseroan yang bergabung, sedangkan perseroan yang lain tetap mempertahankan statusnya dengan mendapatkan segala aset, kekuasaan, dan tanggung jawab perseroan yang bergabung itu.
Lebih lanjut, peleburan (konsolidasi) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara membentuk satu perseroan baru dan masing-masing perseroan yang meleburkan diri menjadi bubar (Pasal 1 angka 2 PP No. 27 Tahun 1998). Secara teoritis, perbedaan pokok antara “merger” dan “konsolidasi” adalah pada merger ada satu perseroan yang eksistensinya tetap ada (dipertahankan), sedang perseroan lainnya lenyap menggabungkan diri dalam perseroan yang tetap dipertahankan itu. Sedang, pada konsolidasi semua perseroan yang pernah ada menjadi bubar dan meleburkan diri menjadi satu perseroan yang baru (Prasetya, 1996: 58).
Tentang pengambilalihan (akuisisi), menurut Pasal 1 angka 3 PP No. 27 Tahun 1998, adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau perseorangan untuk mengambilalih, baik seluruh ataupun sebagian besar saham perseroan, yang mengakibatkan beralihkan pengendalian terhadap perseroan tersebut. Jadi, akuisisi adalah tindakan pengambilalihan (take over) suatu perusahaan oleh perusahaan atau orang lain melalui pengambilan saham (Muhammad, 1995: 233). Meskipun ada pengambilalihan saham oleh perusahaan yang satu terhadap perusahaan yang lain, namun eksistensi kedua perusahaan itu tetap ada. Karena, dalam akuisisi tidak ada satupun perusahaan yang bubar, yang terjadi adalah beralihnya pengendalian (controlling) perusahaan dalam satu kesatuan manajemen.
3. Jenis Merger
Jika merger dapat dibagi ke dalam tiga jenis, maka kategorisasi ini juga berlaku bagi konsolidasi dan akuisisi. Berikut ini secara singkat dijelaskan tentang tiga jenis merger, yaitu:
(1) Merger Horisontal
Merger horisontal merupakan penggabungan usaha antara perusahaan yang menjual barang dan/atau jasa dan berada pada level perdagangan yang sama. Merger horisontal ini merupakan penggabungan usaha yang sangat berpotensi untuk menghambat persaingan karena dengan penggabungan ini dua pesaing bergabung menjadi satu perusahaan yang lebih kuat. Sehingga peluang akan terjadinya praktek monopoli semakin besar (Sitompul, 1999:70).
Dalam merger horisontal ini, perusahaan yang merger tersebut menjual produk yang sama, sehingga persaingan antara perusahaan-perusahaan tersebut dapat ditiadakan dan pangsa pasar yang dikuasai tentu akan menjadi lebih besar. Karena itulah merger horisontal ini sangat “diwanti-wanti” oleh hukum anti monopoli. Meskipun diakui bahwa banyak pula efek positif dari adanya merger horisontal, yakni terbentuknya suatu sinergi antara perusahaan-perusahaan yang melakukan merger tersebut, terutama berkaitan dengan efisiensi produk. Untuk mengetahui apakah suatu merger horisontal itu melanggar prinsip anti monopoli atau persaingan sehat, hukum harus memper-timbangkan benar-benar faktor-faktor berikut:
a) bagaimana konsentrasi pasar setelah dilakukannya merger (post merger concentration); dan
b) peningkatan konsentrasi pasar akibat merger (Fuady, 1999:93-94).
(2) Merger Vertikal
Merger vertikal adalah penggabungan usaha yang terjadi di antara perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang sama, namun dengan level perdagangan yang berbeda, misalnya penggabungan importir mobil dengan dealer mobil. Penggabungan seperti ini sering dilakukan untuk menjamin ketersediaan pasokan atas suatu barang tertentu, atau untuk menjamin penjualan barang. Merger vertikal ini lebih sulit untuk diidentifikasi, karena jumlah pesaing yang ada di masing-masing level perdagangan akan tetap, padahal merger vertikal ini cukup besar kemungkinannya mengakibatkan hambatan bagi persaingan di antara para pelaku usaha baik di level dealer maupun pengecer. Merger vertikal dapat dilakukan oleh suatu perusahaan dengan pembelian perusahaan yang merupakan konsumennya (forward vertical merger), dan dapat pula dengan perusahaan yang merupakan “supplier-nya” (backward vertical merger).
Menurut Ernest Gellhorn, dalam menentukan apakah suatu merger yang dilakukan para pelaku usaha melanggar undang-undang anti monopoli, pengadilan di Amerika Serikat mempertimbangkan dua hal, yaitu:
a) bahwa merger tersebut membawa dampak yang cukup besar bagi pasar;
b) bahwa merger mengakibatkan terhambatnya persaingan pada sektor pasar yang cukup besar (Sitompul, 1999: 71).
(3) Merger Konglomerat
Merger konglomerat adalah jenis penggabungan usaha yang relatif kecil kemungkinannya untuk menjadi ancaman bagi persaingan usaha tidak sehat, karena penggabungan usaha ini tidak membentuk gabungan beberapa usaha menjadi satu usaha dan tidak pula selalu menghambat atau membatasi pasar tertentu. Merger konglomerat ini dapat terjadi dimana masing-masing perusahaan yang merger sebelumnya tidak mempunyai hubungan bisnis, jadi bulan supplier maupun konsumen. Merger ini biasanya dilakukan untuk meningkatkan efisiensi melalui penciptaan skala ekonomi, kontrak kerjasama operasi, maupun perluasan cakupan ekonomi dan finansial (Fuady, 1999: 95).
4. Akibat Merger
Merger sebagai salah satu instrumen ekonomi bagi perusahaan dalam meningkatkan bisnisnya, di samping dapat membawa dampak positif juga negatif. Sungguhpun sulit diukur secara pasti tentang efek dari merger, namun secara umum dapat dikatakan bahwa salah efek positif dari merger horisontal adalah terbentuknya suatu sinergi antara perusahaan-perusahaan yang melakukan merger tersebut, sehingga dapat menghasilkan suatu produk (barang atau jasa) yang lebih efisien atau lebih murah. Sedang salah satu efek negatif dari merger horisontal adalah dapat menciptakan konsentrasi pada pasar tertentu, sehingga kemungkinan terjadinya praktek monopoli semakin besar.
Dalam hal ini, merger harus dibedakan dengan kartel. Pada merger, perusahaan-perusahaan yang bersaing itu bergabung menjadi satu perusahaan, sehingga kemampuan untuk menentukan harga tidak tergantung kepada perusahaan-perusahaan lain, melainkan ditentukan oleh dirinya sendiri yang sudah menjadi satu perusahaan yang memiliki kedudukan monopolistik. Sedangkan pada kartel, kemampuan untuk menetapkan kesatuan harga itu diperoleh atas dasar kesepakatan di antara beberapa perusahaan yang saling bersaing di pasar yang oligopolistik. Dengan demikian, upaya untuk dapat melakukan price fixing policy lebih dahsyat melalui mekanisme merger daripada melalui perjanjian penetapan harga (price fixing agreement) dengan membentuk kartel (Sjahdeini, 2000: 17) yang dilarang oleh UU Anti Monopoli.
Berbeda dengan merger horisontal yang memungkinkan adanya kompetitor yang hilang karena melakukan merger ke dalam perusahaan lain. Dalam merger vertikal tidak membawa pengaruh secara langsung kepada persaingan pasar, karena penggabungan yang terjadi pada merger ini adalah perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang sama, namun dengan level perdagangan yang berbeda. Efek positif yang paling penting dalam merger vertikal adalah peningkatan efiensi, baik dalam hal penggunaan teknologi maupun dalam hal pendistribusian suatu produk. Di samping itu, penggabungan seperti ini juga sering dilakukan untuk menjamin ketersediaan pasokan atas suatu barang tertentu. Sebaliknya, salah satu yang sangat ditakutkan dengan adanya merger vertikal adalah terjadinya pengekangan terhadap masuknya pihak pesaing ke pasar yang bersangkutan (entry barrier). Dengan demikian, memang ada kemungkinan bahwa merger vertikal ini akan mengurangi atau membatasi kompetisi pasar secara substansial atau kecenderungan menimbulkan monopoli pasar.
Selanjutnya, efek positif dari merger konglomerat antara lain adalah sebagai berikut:
a) dapat meningkatkan efisiensi melalui penciptaan skala ekonomi, kontrak kerjasama operasi, dan perluasan cakupan ekonomi dan finansial;
b) memungkinkan terjadinya optimalisasi pergerakan penggunaan aset perusahaan;
c) dapat menggantikan atau mendisplinkan manajemen yang tidak efektif;
d) dapat menyediakan akses yang lebih baik terhadap servis dan sumber daya.
Sebaliknya, merger konglomerat juga memiliki dampak negatif (kelemahan) antara lain, yaitu:
a) dapat meningkatkan konsentrasi pasar;
b) memaksakan manajemen untuk mengoperasikan perusahaan hanya untuk mencapai tujuan-tujuan jangka pendek;
c) dapat menyebabkan mislokasi sumber finansial dari lembaga pemberi pinjaman, dengan menunjukkan kesan seolah-olah merupakan investasi yang produktif;
d) dapat merusak moral dari manajemen dan staf;
e) diperkenankannya tingkat leverage yang tinggi sehingga debt equity ratio (rasio kecukupan modal) menjadi tidak dapat ditoleransi (Fuady, 1999: 96).
Berdasarkan uraian di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa tindakan merger itu tidak selalu berakibat negatif, baik bagi pelaku usaha maupun konsumen. Karena baik menurut UUPT maupun UU Anti Monopoli, tindakan merger itu boleh dilakukan sepanjang hal itu tidak mengakibatkan terjadinya konsentrasi pasar dan praktek monopoli yang merugikan masyarakat (konsumen). Yang menjadi masalah adalah sulitnya membuat ukuran yang tegas dan pasti tentang terjadinya akibat negatif dari merger tersebut. Karena itu peraturan perundangan harus membuat aturan atau pedoman yang jelas mengenai hal ini, supaya ada kepastian hukum dalam menegakkan UU Anti Monopoli ini.
5. Merger yang Dilarang
Pasal 28 ayat (1) UU Anti Monopoli menentukan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan (baca: merger) atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Selanjutnya, dalam ayat (3)-nya ditentukan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
Berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (1) tersebut, menunjukkan bahwa yang merger yang dilarang oleh undang-undang tersebut hanyalah apabila perbuatan tersebut mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Jadi, secara a contrario apabila merger itu tidak sampai menimbulkan akibat yang demikian, maka perbuatan tersebut diperbolehkan. Permasalahan yang muncul berkenaan dengan rumusan pasal ini adalah apakah pelanggaran terhadap merger menurut undang-undang ini merupakan delik formil atau delik materiil? Menurut pemahaman saya, pelanggaran terhadap larangan merger menurut UU Anti Monopoli hanyalah terjadi manakala akibat dari merger itu terbukti menimbulkan atau mengakibatkan monopoli pasar atau persaingan usaha tidak sehat (delik materiil), bukan melihat cara atau bentuk merger itu dilakukan (delik formil). Karena itu harus ada parameter yang jelas tentang akibat dari suatu merger yang dilarang oleh undang-undang. Yang menjadi masalah sekarang adalah belum adanya ketentuan yang mengatur lebih lanjut, dalam hal ini PP, yang mengatur tentang merger yang dilarang oleh undang-undang ini. Padahal, sejak 5 Maret 2000 yang lalu secara formal undang-undang ini berlaku sebagaimana yang diamanatkan oleh ketentuan Pasal 53 UU Anti Monopoli. Dengan demikian, selama PP ini belum diundangkan maka larangan merger belum bisa atau sulit diterapkan meskipun ada bukti-bukti yang mengindikasikan telah terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Yang perlu ditegaskan adalah bahwa monopoli itu sendiri sebenarnya bukan merupakan suatu perbuatan yang secara otomatis jahat atau terlarang. Apabila monopoli itu diperoleh dengan mempertahankan posisi pasarnya melalui kemampuan, prediksi, atau kejelian bisnis yang tinggi, menurut Chatamarrasjid (1999: 77), selayaknya undang-undang tidak melarangnya. Suatu perusahaan tumbuh secara cepat dengan menawarkan suatu kombinasi antara kualitas dan harga yang dikehendaki oleh konsumen, dapatlah dikatakan bahwa perbuatan perusahaan itu telah meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, tidak semua monopoli itu merupakan perbuatan yang terlarang, selama hal itu tidak merugikan konsumen dan terjadi melalui cara-cara yang sehat.
Masalah selanjutnya adalah akhir-akhir ini keberadaan undang-undang yang mengatur larangan praktek monopoli di Amerika Serikat melalui Sherman Act dan Clayton Act sejak tahun 1890, yang sebagian besar isinya kita adopsi itu, ternyata mulai dipertanyakan, bahkan dianggap sudah berada di tepi jurang kematian. Penyebabnya tidak lain adalah FTC (Federal Trade Commission) telah menyetujui terjadinya merger yang dilakukan oleh dua pabrik pesawat terbang terbesar di dunia, yaitu Boeing dan McDonell Douglas pada tahun 1996. Ironisnya, kita di Indonesia justru sedang memulai untuk menerapkan larangan merger itu (Prasetiantono, 1999: 1) melalui UU No. 5 tahun 1999. Praktek merger di Amerika Serikat memang sudah sangat populer, sehingga hampir setiap minggu terjadi merger antara satu pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya. Oleh karena itu beredar anekdote yang mengatakan bahwa apabila perusahaan automobil Toyota melakukan merger dengan perusahaan automobil Chevrolet, maka mereka akan memproduksi mobil dengan merek “Toilet” (Sitompul, 1999: 73). Bagaimana pengaturan tentang larangan merger dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Secara ringkas, UU Anti Monopoli ini mengatur tentang larangan praktek-praktek yang tidak jujur menyangkut hubungan antar pelaku usaha, baik hubungan yang bersifat horisotal maupun vertikal. Yang bersifat horisontal misalnya: perjanjian penetapan harga (price fixing agreement), kartel, pembangian wilayah (market allocation), boycott, dan lain-lain. Sedang yang bersifat vertikal misalnya: resale price maintenance, tying arrangement, exclusive dealing (perjanjian tertutup), dan lain-lain. Undang-undang ini juga melarang kegiatan: penyalahgunaan posisi dominan (abuse of market power), praktek monopoli (monopolization), merger, konsolidasi, dan akuisisi tertentu yang berpotensi menimbulkan monopoli dan praktek persaingan curang (unfair competition; oneerlijke concurrentie). Tindakan-tindakan ini ada yang dilarang secara mutlak (per se illegal) dan ada yang dilarang apabila terbukti atau patut diduga dapat mengurangi atau menghambat persaingan (rule of reason).
Salah satu hal yang perlu dikritisi dalam UU Anti Monopoli ini adalah berkaitan dengan pengertian “persaingan usaha yang tidak sehat” yang dalam Pasal 1 angka 6 hanya diartikan sebagai “persaingan yang tidak jujur” atau “melawan hukum” atau “menghambat persaingan usaha”. Yang dimaksud “tidak jujur”, “tidak sehat”, atau “menghambat” itu kriterianya apa? Undang-undang tidak menegaskannya, karena itu menurut Purnomo (1999: 10), perlu ada guideline yang jelas di dalam peraturan pelaksanaannya nanti. Rumusan “menghambat persaingan usaha”, di samping tidak tegas batasannya juga terlalu keras akibatnya, karena begitu terbukti bahwa suatu tindakan merger misalnya, dapat menghambat persaingan usaha, maka tindakan tersebut masuk dalam perangkap dilarang menurut undang-undang ini. Hal ini berbeda dengan di Amerika Serikat, Uni Eropa dan Australia yang dengan menggunakan prinsip Rule of Reason melarang beberapa tindakan tertentu “hanya apabila” mereka terbukti atau patut diduga mengurangi persaingan secara substansial (substantially lessening competition).
Jadi, merger yang dilarang adalah merger yang dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan konsentrasi pasar secara substansial serta hilangnya pesaing potensial, dengan cara menghambat atau menyulitkan para pelaku pasar pendatang baru. Praktek merger seperti ini dilarang, meskipun akibat merger ini hanya menimbulkan pengaruh tidak langsung (secondary effect) terhadap persaingan pasar. Karena pihak yang bergabung sewaktu merger dilakukan biasanya tidak dalam keadaan bersaing secara langsung yang dapat mengakibatkan perubahan struktur, konsentrasi atau penguasaan pangsa pasar. Yang ada hanyalah hilangnya pesaing potensial. Meski demikian, hukum anti monopoli memandang jenis merger ini sebagai suatu yang berbahaya bagi suatu pasar. Sehingga dalam teori hukum anti monopoli muncul teori Potential Competitor. Menurut teori ini, agar dapat dikatakan bertentangan dengan hukum anti monopoli, maka merger konglomerat tersebut haruslah dilakukan dengan pihak yang merupakan pesaing potensial, sehingga merger itu dapat mengakibatkan terjadinya pengekangan persaingan pasar (Fuady, 1999: 96).
Untuk mencegah pelanggaran dalam pelaksanaan merger ini, di Amerika Serikat, berdasarkan Section 7A the Clayton Act dan the Hart-Scott-Rodino Act 1976, mewajibkan pengusaha yang akan melakukan merger untuk mengajukan pemberitahuan kepada Federal Trade Commission (FTC) 30 hari sebelum dilaksanakannya merger yang bersangkutan. Di Indonesia, ketentuan senada diatur dalam Pasal 29 UU Anti Monopoli yang menggariskan bahwa penggabungan (baca: merger) atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan saham yang berakibat nilai aset dan nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau pengambilalihan.
6. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa merger (seperti halnya konsolidasi dan akuisisi) merupakan salah satu instrumen atau kebijakan ekonomi perusahaan yang lazim digunakan oleh para pelaku usaha untuk meningkatkan bisnisnya, terutama dalam menghadapi persaingan usaha yang semakin kompetitif;
Tindakan merger, di samping membawa kebaikan (khususnya bagi pelaku usaha yang bergabung), juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi pasar, yakni terjadinya konsentrasi pasar yang monopolistik dan anti kompetisi. Karena itu, untuk menangani praktek merger yang dilarang oleh undang-undang diperlukan penelitian yang seksama, tidak cukup kalau dilakukan penerapan berdasarkan pada peraturan perundangan semata-mata;
Salah satu tugas berat dari pelaksana UU Anti Monopoli dalam hal merger ini adalah memantau setiap merger yang terjadi dengan meneliti dampaknya pada persaingan usaha dan terhadap kecenderungan terjadinya praktek monopoli berdasarkan ukuran-ukuran yang belum diatur secara tegas dalam peraturan pelaksanaan undang-undang ini (PP). Selama PP yang mengatur secara tegas tentang larangan merger yang dilarang oleh undang-undang itu belum diundangkan, maka sulit bagi penegak hukum untuk menjerat pelaku usaha yang telah melakukan tindakan merger, meski hal itu terbukti telah menimbukan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Karena, memang parameternya belum ada!
DAFTAR BACAAN
Black, Henry Cambell. 1990. Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul, Minnesota.
Chatamarrasjid. 1999. “UU Larangan Praktek Monopoli, Magna Charta Bagi Kebebasan”, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 7 Tahun 1999.
Fuady, Munir. 1999. Hukum Anti Monopoli, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Muhammad, Abdulkadir. 1995. Pengantar Hukum Perusahaan, Citra Aditya Bakti Bandung.
Pramono, Nindyo. 1999. “Mengkritisi Kehadiran UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Makalah, Seminar Nasional 7 Oktober 1999, Unmuh Surakarta.
Prasetiantono, Tony A. 1999. “Catatan Kecil tentang UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Makalah, Seminar Nasional 7 Oktober 1999, Unmuh Surakarta.
Prasetya, Rudhi. 1996. Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sitompul, Asril. 1999. Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sjahdeini, Sutan Remy. 2000. “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 10 Tahun 2000.
___
[1] Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum dan Pascasarjana Unisma Malang.