Kota Batu, Jawa Timur, tak lagi sejuk. Kualitas lingkungan kota menurun sedikit demi sedikit. Kabut yang biasa menyelimuti kota ini di pagi hari sangat jauh berkurang. Hutan lindung rusak. Mata air pun banyak yang mati. Lahan-lahan basah berubah menjadi lahan kering.
Sebagai kota wisata, kenyataan itu memprihatinkan banyak pihak. Kondisi ini menggugah dunia pendidikan di kota itu ikut berperan mencegah kerusakan lingkungan lebih parah. Andil yang bisa disumbangkan yakni mendidik anak-anak sekolah untuk lebih peduli terhadap lingkungan.
Muncul kesepakatan di kalangan para pendidik dengan difailitasi Dinas Pendidikan setempat untuk menyusun kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH). Awalnya kurikulum ini dicantolkan ke mata pelajaran yang sesuai. Setelah tahun 2006 turun Permendiknas nomor 22 tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang mewajibkan ada kurikulum monolitik di daerah, barulah PLH digarap serius sebagai kurikulum yang berdiri sendiri.
Kurikulum PLH ini disusun ini dijabarkan dan dikembangkan dari kurikulum Pendidikan Nasional dan Pedoman Pendidikan Lingkungan Hidup di sekolah. Modulnya disesuaikan dengan potensi kekayaan alam dan budaya Kota Batu yang dilaksanakan dengan prinsip pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan.
PLH diajarkan mulai jenjang SD sampai SMA. Kurikulum PLH di SD bersifat dasar (basic). Isinya lebih banyak ditekankan pada penanaman pemahaman (mental building). Kemudian di SMP sudah lebih bersifat analitik tentang lingkungan hidup. Sementara, pada SMA, selain analisis, juga diajarkan bagaimana tindakan atau solusi mereka tentang perusakan lingkungan hidup. Kurikulum ini menempatkan siswa sebagai agen perubah masyarakat di sekitarnya.
Saat ini, kurikulum PLH sudah dalam bentuk modul ajar. Kurikulum PLH untuk SD sudah sempurna dan sedang dalam proses pematenan. Modul bagi siswa SMP masih disusun. Sementara modul SMA sampai pada tahap penataan materi.
Para penggagas menyadari bahwa pendidikan lingkungan hidup tidak bisa dilihat hasilnya dalam waktu singkat. Butuh waktu. Evaluasi secara berjangka terus dilakukan demi penyempurnaan modul-modulnya. Namun mereka yakin pendidikan adalah agen paling strategis untuk mengampanyekan kepedulian terhadap lingkungan dan membangun mental anak-anak agar berperilaku hidup bersih dan sehat.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Batu, Mistin, menjelaskan, kurikulum ini tergolong unik. Mengapa? Karena kurikulum ini mampu menjawab kekinian, membumi, mudah dicerna, dan tidak terlalu ilmiah. Penyampaiannya menggunakan metode pengajaran yang menarik dan mudah. Antara lain siswa diajak kunjungan lapangan, permainan, dan simulasi. Pengajaran difokuskan pada pendekatan psikomotorik dan pengembangan aspek afektif.
Keberadaan kurikulum PLH ini didukung sepenuhnya oleh Pemkot Batu. Hal ini diwujudkan dengan keluarnya kebijakan Pemkot yang mewajibkan semua sekolah mengajarkan PLH monolitik kepada seluruh siswa. “Di TK dan SLB (sekolah luar biasa) pun diberikan materi PLH,” kata Mistin. Kini, PLH diajarkan di 85 SD, 27 SMP, 11 SMA, dan 10 SMK di kota Batu. Tiap-tiap sekolah diberi kebebasan untuk menentukan jam pelajaran.
Peningkatan Kapasitas Guru
Keberadaan kurikulum PLH ini belum didukung sumber daya guru yang memadai. Hal ini disadari betul oleh Dinas Pendidikan setempat. Masalah motivasi menjadi kendala. Soalnya ini adalah mata pelajaran baru yang butuh kreativitas dan inovasi, sementara prasarana dan sarana ajar sangat minim. Belum lagi mata ajaran ini tidak termasuk ujian nasional.
Karenanya, berbagai upaya dilakukan oleh Pemkot setempat untuk meningkatkan kemampuan para guru di bidang ini. Workshop pun diadakan bagi para guru dari berbagai latar belakang. Mereka memperoleh pembekalan tentang kurikulum muatan lokal pendidikan lingkungan hidup Kota Batu, greenning school, sekolah adiwiyata, sekolah sebagai agen pembaharuan dalam kelestarian lingkungan, sampai pengembangan keprofesionalan guru PLH melalui Lesson Study di gugus Kelompok Kerja Guru (KKG).
Bimbingan teknis diberikan kepada para guru terkait perangkat pembelajaran PLH sampai pada tataran bagaimana mengevaluasinya. Sukistono, salah satu anggota tim penyusun kurikulum PLH Kota Batu, membagi tingkat kesadaran berperilaku hidup bersih di sekolah ini menjadi tiga bagian yakni 30, 60, dan 100 persen. Pada tataran angka 30 persen, siswa bisa mengubah kebiasannya menjadi kebiasaan hidup bersih. Pada angka 60 persen, siswa bisa berperilaku hidup bersih dan sehat serta mampu mengelola energi berwawasan lingkungan. Dan pada tahap 100 persen, siswa tidak hanya berperilaku bersih di sekolah, namun mampu menyebarkan perilaku positif berkehidupan bersih kepada orang tua dan lingkungan masyarakatnya.
Dampak
Bukan hal mudah mengubah perilaku masyarakat. Paling tidak sekolah-sekolah sudah mulai merasakan adanya kurikulum PLH ini. Siswa sudah bisa memahami perilaku hidup bersih dan sehat. Mereka pun bisa memerankan diri dengan baik kepada lingkungannya.
SMP PGRI 2 Batu misalnya. Siswa berbagi tugas membersihkan sekolahnya. Ada yang menyapu lantai, menyiram tanaman, dan menyapu halaman. Sampah-sampah yang terkumpul mereka pilah antara yang basah dan kering, lalu dibuang ke bak sampah yang berbeda pula.
Piket kebersihan tidak sekadar dipahami sebagai perintah guru tapi mereka memahami tujuan dari kegiatan tersebut. Guru pun menjadikan piket kebersihan ini sebagai bagian dari praktik pendidikan lingkungan hidup.
Memang praktik lebih banyak diberikan guru kepada siswa. Untuk mengenal dampak negatif pembuangan air limbah ke sungai misalnya, siswa diajak ke sungai dan memperhatikan akibat limbah tersebut pada biota sungai dan pertanian/perkebunan.
Hasil pendidikan lingkungan hidup ini tidak bisa langsung dirasakan. Namun jika model pengajaran ini terus dikembangkan secara berkelanjutan, bukan tidak mungkin kesadaran masyarakat akan meningkat. (Percik edisi PPSP 2010)
.
http://sanitasi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=626:-kota-batu-merintis-pendidikan-lingkungan-hidup-di-sekolah&catid=55:berita&Itemid=125