Oleh Sefi.
- I. LATAR BELAKANG
Dunia pendidikan kita saat ini tengah mengalami krisis yang cukup serius. Tidak saja disebabkan oleh anggaran pemerintah yang masih rendah untuk membiayai kebutuhan vital dunia pendidikan kita, tetapi juga lemahnya tenaga ahli, visi serta politik pendidikan nasional yang tidak jelas. Konsep ataupun teori pendidikan yang banyak disampaikan oleh para ahli seperti Robert M Gagne dengan Condition of Learning, atapun BF Skiner dengan Oprant Conditioning yang menghubungkan perilaku dengan konsekwensi telah tereduksi pengajaran, dan pengajaran lalu menyempit menjadi kegiatan di kelas. Hal ini menggambarkan bahwa proses pendidikan kita kurang sekali memberi tekanan pada pembentukan watak atau karakter tetapi lebih pada hafalan dan pemahaman kognitif akibatnya mental akademik dan kemandirian belum terbentuk.
Tragedi Perang Dunia II, Perang Teluk dan serangkaian konflik bersenjata diberbagai belahan dunia, telah mengehentakkan kesadaran kita dan juga dunia pendidikan bahwa ternyata kemajuan ilmu dan teknologi modern tidak serta-merta menyelesaikan problem kehidupan. Bahkan telah mencuatkan sebuah ironi dan tragedi sejarah sehingga melahirkan rasa was – was dan pesimisme akan masa depan peradaban. Kenyataan ini bagaimanapun juga harus dijadikan sebagai sebuah agenda pemikiran menyangkut filosofi dan arah pendidikan yang tengah berlangsung. Pengajaran dan pendidikan adalah dua hal yang berbeda. Sementara kita lebih menitikberatkan pengajaran sehingga mengenyampingkan pendidikan. Proses pengajaran yang menitikberatkan pada aspek kognitif dan kemampuan teknis semata justru akan melahirkan manusia tukang dan bukan seorang pemimpin yang kaya dengan inovasi serta memiliki komitmen sosial yang kuat.
Amartya Sen, pemenang hadiah nobel berasal dari India menulis dalam bukunya “Development as Freedom” bahwa tolah ukur keberhasilan politik, ekonomi maupun pendidikan adalah seberapa jauh semua , usaha itu bisa memberikan ruang dan fasilitas yang lebih luas bagi pengembangan kepribadian dan kebebasan masyarakatnya. Dengan kata lain, proses dan hasil pembangunan dinilai gagal jika tidak bisa meningkatkan harkat manusia.
Sekali lagi kita tidak boleh terjebak dalam proses pendidikan dan pengajaran yang hanya melahirkan sarjana bermental tukang dan mental pengawal yang miskin imajinasi dan lemah karakter. Pendidikan harus bersifat emansipatif dan liberatif, pendidikan itu harus membebaskan manusia, bebas dari kebodohan, dari ketertinggalan, dari penindasan dan dari berbagai hal – hal yang membelenggu pertumbuhan manusia. Pendeknya, pendidikan harus mengantarkan manusia menjadi pribadi yang merdeka dan senantiasa tumbuh berkembang.
Dalam beberapa literatur mutakhir, istilah “student” diganti dengan “learner”. Ini merupakan sebuah kesadaran baru bahwa yang harus diutamakan adalah peran anak didik sebagai aktor, bukannya guru. Selama ini yang lebih ditonjolkan adalah guru atau dosen. Ini adalah sebuah kunci bahwa yang dibutuhkan adalah BELAJAR AKTIF sehingga murid tidak diposisikan sebagai objek ataupun bagaikan kaleng tabungan untuk menampung dan menghafal petuah – petuah guru. Jadi, siswa bukan lagi sebagai celengan kosong, kemudian guru masuk untuk menyuapi ataupun mengisinya. Salah satu prinsip dalam “quantum learning” adalah bahwa belajar itu harusnya mengasyikkan dan berlangsung dalam suasana gembira sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih lebar dan terekam dengan baik. Konsep ini akan mudah terlihat dalam cara belajar anak – anak pada dunia olah raga. Mereka melakukan aktivitasnya dengan gembira.
“Kita dapat memberitahukan para peserta didik tentang apa yang perlu mereka ketahui dengan cepat, tetapi mereka bahkan akan lebih cepat melupakan apa yang kita beritahukan kepada mereka”. Belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi ke kepala seorang peserta didik. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan pelajar itu sendiri. Penjelasan dan peragaan oleh mereka sendiri tidak akan menuju ke arah belajar yang sebenarnya dan tahan lama. Hanya cara belajar aktif saja yang akan mengarah kepada pengertian ini.
- II. TUJUAN PEMBAHASAN
Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, mendukung, dan secara pribadi menarik hati. Sering kali, peserta didik tidak hanya terpaku di tempat – tempat duduk mereka, berpindah – pindah dan berpikir keras. Adapun tujuan belajar aktif adalah untuk mempelajari sesuatu dengan baik, belajar aktif membantu untuk mendengarkannya, melihatnya, mengajukan pertanyaan tentang pelajaran tertentu, dan mendiskusikannya dengan yang lain. Yang paling penting peserta didik perlu “melakukannya” memecahkan masalah sendiri, menemukan contoh – contoh, mencoba keterampilan – keterampilan, dan melakukan tugas – tugas yang tergantung pada pengetahuan yang telah meraka miliki atau yang harus mereka capai.
- III. PEMBAHASAN
Belajar aktif merupakan sebuah kesatuan sumber kumpulan strategi – strategi pembelajaran yang komprehensif. Belajar aktif meliputi berbagai cara untuk membuat peserta didik aktif sejak awal melalui aktivitas – aktivitas yang membangun kerja kelompok dan dalam waktu singkat membuat mereka berfikir tentang materi pelajaran. Juga terdapat teknik – teknik memimpin belajar bagi seluruh kelas, bagi kelompok kecil, merangsang diskusi dan debat, mempraktikkan keterampilan – keterampilan, mendorong adanya pertanyaan – pertanyaan, bahkan membuat peserta didik dapat saling mengajar satu sama lain.
Belajar aktif berlaku bagi siapa saja, baik yang berpengalaman atau pemula, yang mengajarkan informasi – informasi, konsep – konsep dan keterampilan – keterampilan teknis dan non-teknis.
Dalam belajar aktif di terapkan strategi – strategi konkrit yang terbagi dalam tiga tahapan yaitu pembuka pelajaran, ditengah – tengah pelajaran, kesimpulan dan refleksi kelas. Pada tahapan pembuka pelajaran dilakukan strategi sebagai berikut :
- Team building (Pembentukan tim) yaitu membantu siswa – siswi menjadi lebih terbiasa satu sama lain atau menciptakan suatu semangat kerja sama dan saling ketergantungan.
- On The Spot assessment (Penilaian di tempat) yaitu mempelajari tentang perilaku – perilaku siswa – siswi, pengetahuan, dan pengalaman siswa – siswi.
- Immediate learning Involvement (Keterlibatan belajar seketika) yaitu menciptakan minat awal dalam pokok bahasan.
Pada tahapan ditengah – tengah pelajaran dilakukan strategi sebagai berikut :
- Full-class learning (belajar sepenuhnya di dalam kelas) yaitu petunjuk dari pengajar yang merangsang seluruh kelas.
- Class discussion (Diskusi kelas) yaitu dialog dan debat mengenai pokok – pokok bahasan utama.
- Question Prompting (Cepatnya pertanyaan) yaitu siswa meminta klasifikasi / penjelasan
- Collaborative learning (Belajar dengan bekerja sama) yaitu tugas – tugas dikerjakan dengan kerja sama dalam kelompok – kelompok kecil peserta didik.
- Peer teaching (Belajar dengan sebaya) yaitu petunjuk diberikan oleh peserta didik.
- Independent learning (Belajar mandiri) yaitu aktivitas – aktivitas belajar dilakukan secara individual.
- Effective learning (Belajar afektif) yaitu aktivitas – aktivitas yang membantu peserta didik untuk menguji perasaan – perasaan, nilai – nilai dan perilaku meraka.
- Skill development (Pengembangan keterampilan) yaitu mempelajari dan mempraktikan keterampilan – keterampilan, baik teknis maupun non teknis.
Pada tahap kesimpulan / refleksi kelas, strategi yang dapat dilakukan antara lain :
- Review (Pengulangan) yaitu mengingatkan dan merangkum apa yang telah dipelajari.
- Self-assessment (Penilaian diri sendiri) yaitu mengevaluasi perubahan – perubahan dalam hal pengetahuan, keterampilan – keterampilan, atau perilaku – perilaku.
- Future planning (Perencanaan masa yang akan datang) yaitu menentukan bagaimana siswa akan meneruskan kegiatan belajarnya setelah kelas selesai.
- Expression of final sentiments (Pengungkapan sentimen – sentimen akhir) yaitu mengkomunikasikan pikiran – pikiran, perasaan – perasaan dan perhatian – perhatian siswa – siswi yang mereka miliki pada akhir kelas.
Lebih dari 2400 tahun yang lalu Confucius menyatakan :
What I hear, I forget (apa yang saya dengan, saya lupa)
What I see, I remember (Apa yang saya lihat, saya ingat)
What I do, I understand (Apa yang saya lakukan, saya paham)
Tiga pernyataan sederhana ini membicarakan bobot penting belajar aktif. Mel Siberman telah memodifikasi dan memperluas pernyataan Confucius tersebut menjadi apa yang ia sebut paham Belajar Aktif.
What I hear, I forget
What I hear, see and ask questions about or discuss with someone else, I begin to understand.
What I hear, see, discuss and do, I acquire knowledge and skill.
What I teach to another, I master
Apa yang saya dengan, saya lupa
Apa yang saya dengan dan lihat saya ingat sedikit
Apa yang saya dengan, lihat dan tanyakan atau diskusikan dengan beberapa teman saya mulai paham
Apa yang saya dengar, lihat, diskusikan dan lakukan saya memperoleh pengetahuan dan ketrampilan.
Apa yang saya ajarkan pada orang lain, saya menguasainya.
Hal ini diformulasikan untuk menjelaskan bahwa terdapat beberapa alasan yang kebanyakan orang cenderung melupakan apa yang mereka dengar. Salah satu alasan yang paling menarik adalah perbedaan tingkat kecepatan bicara pengajar dengan tingkat kecepatan kemampuan siswa mendengarkan.
Kebanyakan guru berbicara kurang labih 100 – 200 kata per menit. Namun berapa banyak kata yang dapat siswa dengan ? Ini tergantung pada bagaimana mereka mendengarkan. Jika siswa betul – betul konsentrasi, barangkali mereka dapat mendengarkan antara 50 – 100 kata per menit, atau setengah dari yang dikatakan guru. Hal ini karena siswa sambil berfikir ketika mereka mendengarkan. Sulit dibandingkan dengan seorang guru yang banyak bicara. Barangkali para peserta didik tidak konsentrasi karena sangat sulit berkonsentrasi secara terus menerus dalam waktu lama, kecuali materi pelajaran menarik. Penelitian menunjukkan bahwa siswa mendengarkan (tanpa berfikir) rata – rata 400 – 500 kata per menit. Ketika mendengarkan secara terus menerus selama waktu tertentu pada seorang guru yang sedang bicara empat kali lebih lamban, siswa cenderung bosan, dan pikiran mereka akan melayang kemana – mana.
Sebenarnya suatu penelitian menunjukkan bahwa siswa dalam ruang kuliah akademik tidak memperhatikan kurang lebih 40% dari waktu yang tersedia (Pollio 1984). Lebih lanjut, siswa mencapai 70% pada sepuluh menit pertama kuliah, mereka hanya bertahan 20% sepuluh menit terakhir (McKeachie, 1986). Tidak mengherankan jika siswa dalam kuliah pengantar psikologi hanya 8% lebih dari kelompok pengontrol yang tidak pernah mengambil kuliah itu sama sekali (Richkard, 1988).
Dua tokoh terkenal dalam pergerakan kerja sama pendidikan, David Roger Johnson bersama – sama dengan Kal Smith, menunjukkan beberapa problem kuliah secara terus menerus (Johnson, Johnson & Smith, 1991) yaitu :
- Perhatian siswa berkurang bersamaan dengan berlalunya waktu
- Ini hanya terjadi pada siswa yang mengendalkan pendengaran.
- Ini cenderung mengarah pada tingkat belajar lebih rendah dari informasi faktual.
- Ini mengasumsikan bahwa semua siswa memerlukan informasi yang sama dan pada langkah yang sama.
- Siswa cenderung tidak menyukainya.
Dengan menambah visual pada pelajaran menaikkan ingatan dari 14% ke 38% (Pike, 1989). Penelitian itu juga menunjukkan perbaikan sampa 200% ketika kosa kata diajarkan dengan menggunakan dengan alat visual. Bahkan, waktu yang diperlukan untuk menyampaikan konsep berkurang sampai 40% ketika visual digunakan untuk menambah presentasi verbal. Sebuah gambar barangkali tidak bernilai ribuan kata, namun tiga kali lebih efektif dari pada hanya kata – kata saja.
Manakala pengajaran menggunakan auditori dan visual, kesan menjadi lebih kuat dengan dua sistem penyampaian itu. Juga beberapa siswa, sebagaimana akan kita diskusikan nanti, lebih suka satu metode penyampaian dari mode – mode yang lain. Dengan menggunakan keduanya, akan ada kesempatan lebih besar memenuhi kebutuhan beberapa tipe siswa. Namun hanya mendengarkan sesuatu dan melihatnya tidaklah cukup untuk mengetahuinya.
Otak kita tidak berfungsi seperti kerja audio recorder atau video tape recorder. Begitu informasi masuk terus dipertanyakan. Otak kita mengemukakan pertanyaan – pertanyaan seperti :
Apakah saya telah mendengar atau melihat informasi ini sebelumnya ?
Di mana informasi ini cocok ? Apa yang dapat aku lakukan dengan ini ?
Dapatkah saya mengasumsikan bahwa ini sama dengan yang telah saya dengar kemarin, bulan yang lalu atau tahun lalu ?
Otak tidak hanya menerima informasi, tetapi juga memprosesnya.
Untuk memproses informasi secara efektif, otak membantu melaksanakan refleksi baik secara eksternal maupun internal. Menurut John Holt (1967), belajar semakin baik jika siswa diminta untuk melakukan hal – hal berikut:
- Mengungkapkan informasi dengan bahasa mereka sendiri
- Memberikan contoh – contoh
- Mengenalnya dalam berbagai samaran dan kondisi
- Melihat hubungan antara satu fakta atau gagasan dengan yang lain.
- Menggunakannya dengan berbagai cara.
- Memperkirakannya berapa konsekuensinya.
- Mengungkapkan lawan atau kebalikannya.
Lebih jauh, belajar bukanlah merupakan satu peristiwa pendek. Belajar terjadi secara bergelombang. Ini memerlukan beberapa ekspose materi untuk mencernanya dan memahaminya. Ini juga memerlukan jenis – jenis ekspose yang berbeda – beda, bukan sekadar pengulangan input. Sebagai contoh, matematika dapat diajarkan dengan alat konkret melalui buku latihan, dan dengan aktivitas praktis harian. Setiap cara presentasi konsep membentuk pemahaman peserta didik. Lebih penting lagi adalah cara bagaimana ekspose itu terjadi. Jika hal ini terjadi pada peserta didik, maka akan terdapat tantangan mental bagi mereka. Ketika belajar secara pasif, peserta didik mengalami proses tanpa rasa ingin tahu, tanpa pertanyaan dan tanpa daya tarik pada hasil. Ketika belajar secara aktif, pelajar mencari sesuatu. Dia ingin menjawab pertanyaan, memerlukan informasi untuk menyelesaikan masalah, atau menyelidiki cara untuk melakukan pekerjaan.
Pendidik hendaknya menyadari bahwa peserta didik memiliki berbagai cara belajar. Beberapa peserta didik paling baik belajar dengan cara melihat orang lain melakukannya. Biasanya, mereka secara hati – hati mengurutkan presentasi informasi. Meraka lebih senang mencatat apa yang pengajar katakan. Selama pelajaran, mereka biasanya tenang dan jarang terganggu oleh suara. Peserta didik yang bersifat visual adalah kebalikan dari peserta didik bersifat auditory, yang seringkali tidak terganggu melihat apa yang pengajar lakukan, atau membuat catatan. Mereka betul – betul ada pada kemampuannya untuk mendengar dan mengingat. Selama pelajaran, mereka mungkin aktif bercakap – cakap dan dengan mudah terganggu oleh suara. Peserta didik yang bersifat kinesthetic adalah menguatkan belajar dengan terlibat secara langsung dalam aktifitas. Meraka cenderung pada gerak hati, dengan sedikit sabar. Selama pelajaran berlangsung meraka mungkin gelisah kecuali jika mereka dapat bergerak dan melakukannya. Pendekatan meraka untuk belajar dapat terjadi secara acak dan random.
Pengajar juga harus memperhatikan perubahan – perubahan pada gaya belajar peserta didik. Selama 15 tahun yang lalu, Scroeder dan koleganya (1993) telah memberikan Tipe Indikator Myers-Briggs (MBTI) pada siswa akademi. MBTI salah satu alat yang paling luas digunakan dalam pendidikan dan bisnis saat ini. Ini terutama berguna untuk mengetahui peran individu yang berbeda – beda dalam proses belajar. Hasilnya menunjukkan bahwa kurang lebih 60% siswa mempunyai orientasi belajar praktis bukan teoritis, dan presentasinya meningkat dari tahun ke tahun. Peserta didik lebih suka terlibat secara langsung, pengalaman kongret daripada konsep dasar lebih dahulu dan menerapkannya kemudian. Penelitian MBTI lain, Schroeder, menunjukkan bahwa para peserta didik sekolah lanjutan atas lebih suka belajar aktivitas yaitu aktivitas konkrit bukan aktivitas yang berupa refleksi abstrak dengan perbandingan 5 : 1. Dari ini semua, dia menyimpulkan bahwa mode mengajar dan belajar aktif menciptakan gabungan yang paling bagus untuk peserta didik sekarang. Agar efektif, pendidik hendaknya menggunakan hal – hal berikut : diskusi kelompok kecil dan proyek (penelitian), presentasi kelas dan berdebat, latihan pengalaman, pengalaman lapangan, simulasi dan studi kasus. Secara khusus, Schroeder menekankan, peserta didik sekarang “sangat pandai menyesuaikan dengan aktivis kelompok dan belajar secara bersama – sama.
Temuan – temuan ini tidak mengejutkan jika dipikirkan langkah aktif dari kehidupan modern. Peserta didik sekarang hidup didunia di mana hal – hal terjadi secara cepat dan banyak pilihan dihadirkan. Suara – suara menggigit dan berbagai warna merupakan getaran dan memotivasi. Objek – objek, baik yang riil maupun virtual; lebih cepat. Kesempatan untuk mengubah sesuatu dari satu keadaan pada keadaan yang lain terjadi dimanapun.
Karena peserta didik sekarang menghadapi dunia dengan ledakan pengetahuan, perubahan cepat dan serba tidak menentu, mereka menjadi was – was dan defensif. Abraham Maslow mengajar kita bahwa manusia memiliki dua perangkat kekuatan atau keperluan, yang satu berusaha untuk tumbuh dan yang lain melekat pada keselamatan. Seseorang yang harus memilih antara dua pilihan ini akan memilih keselamatan bukan pertumbuhan. Keperluan akan merasa aman harus memenuhi sebelum pemenuhan kebutuhan pertumbuhan, mengambil resiko dan eksplorasi baru dapat dilakukan. Pertumbuhan terjadi pada langkah – langkah kecil, menurut Maslow dan “setiap langkah kedepan menjadi mungkin melalui rasa aman, menerapkannya pada sesuatu yang tidak diketahui dari tempat yang selamat (Maslow, 1969).
Aktifitas belajar kolaboratif membantu mengarah belajar aktif. Meskipun belajar independen dan kelas penuh instruksi juga mendorong belajar aktif, kemampuan untuk mengajar melalui aktifitas kerja kolaboratif dalam kelompok kecil akan memungkinkan mempromosikan belajar aktif dengan cara khusus. Apa yang peserta didik diskusikan dengan yang lain dan apa yang peserta didik ajarkan pada yang lain menyebabkan dia memperoleh pemahaman dan menguasai cara belajar. Belajar aktif tidak hanya memperoleh pemahaman tetapi juga membentuk watak dari siswa sehingga terjadi keseimbangan antara keilmuwan dan pembentukan karakter.
- IV. KESIMPULAN
Pendidikan tidak boleh menyempit menjadi pengajaran. Karena disitu anak – anak belajar hidup dan mempersiapkan masa depannya secara terarah dan terpadu sehingga apa yang dijalani dalam proses pendidikan bukanlah sebuah kehidupan yang lain (cultural enclave). Anak didik haruslah berperan menjadi “aktor” dalam proses pendidikan sehingga potensi yang ada pada anak didik bukannya malah mati ditangan sekolah. Belajar Aktif menjadi fasilitas yang kongkrit untuk menjembatani pendidikan menjalankan fungsinya dengan tepat. Kata pakar pendidikan, guru yang baik adalah guru yang bisa belajar dari muridnya. Murid adalah “gurunya” guru. Dan setiap murid adalah sebuah dunia yang unik yang perlu dipahami secara individual. Dengan demikian seorang guru haruslah memiliki kemampuan berempati, menjadi pendengar yang baik, dan bisa menjadi fasilitator bagi anak didik dalam memecahkan problem mereka oleh mereka sendiri. Belajar Aktif membentuk siswa mempunyai kemandirian dan mental akademik yang mumpuni. Dengan belajar aktif tidak lagi akan melahirkan generasi manusia tukang tetapi akan mendorong terbentuknya generasi manusia pemimpin yang kaya inovasi serta memiliki komitmen sosial yang kuat. Dan pada akhirnya para guru tidak boleh lagi terjebak pada sekedar melaksanakan rutinitas mengajar atau bahkan hanya sekedar formalitas menyampaikan materi di depan kelas, karena siswa yang kita didik harus bisa meningkat harkat dan martabatnya sebagai manusia.
DAFTAR PUSTAKA
- Mel Silberman, 1996, Active Learning, Insan Madani Islamic Publisher
- LouAnne Johnson, 2009, Pengajaran yang Kreatif dan Menarik, PT Indeks
TUGAS UAS
MATA KULIAH
LANDASAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN
(Drs. RULAM AHMADI, M.Pd)
Oleh:
SEFI L. ARISANTO
NPM : 2101040123
Mahasiswa Program Pasca Sarjana
Pendidikan Bahasa Inggris
Universitas Islam Malang
Desember, 2010