Oleh: Suwardi
Abstrak
Untuk refleksi dan mencapai kecemerlangan pembelajaran bahasa Jawa diperlukan terobosan baru. Terobosan tersebut berkaitan dengan upaya menindaklanjuti keputusan KBJ I-IV dan merencanakan langkah strategis keputusan KBJ IV. Langkah taktis yang perlu segera disiapkan yaitu mencoba melakukan pembelajaran bahasa Jawa yang memiliki empat karakteristik: (1) sederhana (simple), (2) bermanfaat (useful), (3) menyenangkan (pleasant) atau menumbuhkan kebahagiaan (happiness) dan (4) menanamkan budi pekerti luhur. Perwujudan karakteristik tersebut membutuhkan “payung agung” berupa SK Gubernur dan Perda yang kuat, memuat petunjuk secara komprehensif tentang pemberlakuan kurikulum muatan lokal.
Persiapan awal yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah menetapkan standar kompetensi seorang guru bahasa Jawa secara jelas. Aspek-aspek yang perlu dikuasai seorang guru bahasa Jawa terdiri dari: (1) Aspek Kompetensi Mental, meliputi: (a) denguasaan tatakrama Jawa, (b) Bersikap otonom dan kreatif, (2) Aspek Kompetensi profesional, terkait dengan teaching-learning, yaitu: (a) Menguasai strategi belajar stimulus-respon, (b) Paham terhadap perkembangan jiwa siswa, menguasai pengalaman real-teaching, (d) bersikap berbudi bawaleksana; (3) Aspek kompetensi Substansial, yaitu kemampuan dalam penguasaan materi pokok pembelajaran bahasa dan sastra Jawa yaitu:
Mewujudkan kebijakan dan persiapaa pembelajaran ke depan perlu diadakan berbagai inovasi pembelajaran bahasa Jawa, terutama dalarn bidang metode dan materi (buku). Metode pembelajaran inovasi yang dapat ditempuh antara lain ada tiga macam: (1) Quantum Teaching-Learning: SATRAWA dan AMBAK, (2) Exibibiton Teaching-learning, dan (3) Contextual Teaching- Learning. Ketiga macam metode mi dapat dipilih berdasarkan karakteristik materi yang disajikan. Adapun yang terkait dengan tuntutan bahasa Jawa ideal, ada berbagai ciri khas. Ada beberapa kebijakan yang perlu ditempuh berkaitan dengan buku teks, yaitu: (1) buku teks perlu disusun oleh beberapa !coriponen, dikaji oleh tim ahli substansi, kurikulum, metode, psikologi, dan sebagainya, merangsang siswa belajar mandir’, (4) tidak berbau komersial, dan (5) menciptakan suasana riang, suka, dan ceria jangan memberi kesan yang tidak
Pendahuluan
Wenindaklanjuti Rekomendasi KBJ tentang Pembelajaran Bahasa Jawa
Jika dicermati, masih banyak Keputusan KBJ (I-111) yang membutuhkan pengelolaan, penajaman, manajemen, dan pelaksanaan di lapangan. Keputusan yang berkaitan dengan pembeiajaran bahasa Jawa pun, setelah 15 tahun (1991200G) ini, masih banyak yang membutuhkan pembenahan. Refleksi diri tiga propinsi (Jatim, Jateng, DIY) masih ditunggu oleh banyak kalangan pemerhati bahasa dan sastra Jawa. Meskipun telah ada Keputusan yang telah terwujud, namun masih ada pula yang perlu ditinjau kembali irnplementasinya.
Salah satu Keputusan tiga Gubernur (DIY, Jatim, Jateng) KBJ I – III yang amat strategis dan perlu mendapat penekanan adalah tentang kebijakan pembelajaran Bahasa Jawa dan tingkat SD, SLTA, dan PT. Inti Keputusan KBJ I (15-21 Juli 1991) di hotel Patru Jasa Semarang, yang terkait dengan pembelajaran Bahasa Jawa antara lain: (1) Bahasa dau sastra Jawa harus masuk sebagai mata pelajaran tersendiri, dalam bentuk muatan lokal di tingkat jenjang pendidikan dasar dan lanjutan, (2) pembelajaran hendaknya menghindari sifat kesukuan dan dikaitkan dengan pendidikan budi pekerti.
Keputusan di atas selama 5 tahun berikutnya, telah direfleksikan ke dalam KBJ f.1, tanggal 22-26 Oktober 1996 di hotel Purnama, Batu, Malang. Pusaran clan Keputusan pada event bergengsi ini masih mencoba mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran bahasa dan sastra Jawa di seknlah. Poin penting dari pertemuan besar itu memutuskan: (1) pemerintah perlu segera merumuskaa panduan pelaksanaan pembelajaran bahasa (Ian sastra Jawa di sekolah, (2) pemenntah perlu segera mengambil langkah konkrit dalam pengangkatan gull bahasa Jawa, (3) pemerintah dihimbau agar memasukkan matapelajaran Baha –,a dan Sustra Jawa sebagai r.ivatan lokal wajib, rnulai SD-SLTA di propinsi Jatim, Jateng, DIY. M-rta pelajaran mi hendaknya menentukan nilai kelulusan pada STTB atau ijasah akhir, (4) perlu disusun kurikulum yang khas pada masing-masing propinsi agar bersifat praktis dan pragmatis sesuai dengan otonorni Cacrah.
KGJ III menggariskan agar pembelajaran bahasa Jawa dilaksanakan di jenjang pendidikan SD sarnpui menengah (SLTA). Berkaitan dengan hal ini hcrlu discdial:an kurikulum dan saran, pembelajaran yang menandai, yang disesuaikan dengan jenjang sekolah. Demi realisasi keputusan strategis ini, pemerintah Jatim, Jateng, DIY bersama sama DPRD segera memhuat Peraturan Daerah (Perda) tc;ntang Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa serta Pembinaan Pengembangan Bahasa dan Sastra Jawa. Rekornendasi yang ditetapkan oleh KBJ III, yaitu: (I) kurikulum bahasa Jawa di sekolah seharusnya tetap membentuk budi pekerti serta mampu menggunakan bahasa Jawa yang “lurus” dan “leres”, (2) perlu pembinaan menulis Jawa bagi guru, (3) pembelajaran bahasa Jawa perlu disederhanakan, terutama cii kelas rendah penekanan materi cukup penggunaan bahasa praktis, tembang, dan dongeng.
Atas dasar keputusan-keputusan tersebut, berarti dapat dinyatakan bahwa KBJ I- III merupakan tahap pemanasan dan persiapan. Ibarat seorang atlit lompat jauh, Keputusan termaksud baru sampai penyiapan landasan pijak (lompat). Maka, pada KBJ N ini, memerlukan upaya realisasi berbagai keputusan agar kelak dapat dievalusai hasil-hasilnya pada KBJ V yang akan datang. Penyiapan perangkat pelaksanaan Keputusam pembelajaran bahasa Jawa di SD/MI, SMP/MTs, SMA, SMK, dan NIA antara lain berkaitan dengan penataan manajemen pembelajaran. Oleh karena, manajemen internal dan eksternal pembelajaran bahasa dan sastra Jawa akan mampu menciptakan peta (map) kehidupan bahasa Jawa di era kebhinekatunggalikaan.
Dalam kaitan ini, ada sejumlah persoalan yang perlu segera mendapat perhatian ekstra berbagai pihak. Masalah pengelolaan kompetcnsi yang berkaitan dengan: (I) pemberlakuan kurikulum Bahasa Jawa sebagai muatan lokal wajib, (2) perrgangkatan guru bahasa Jawa dan SKGP (Standar Kompetensi Guru Pemula), (3) metode pembelajaran yang inovatif, (4) persiapan buku teks yang ideal, bahan pembelajaran yang aktual dan, relevan, (5) media pembelajaran yang rekretif/krea.tif, dan (6) sistem evaluasi pembelajaran yang cerdas, layak dipertirnbangkan. Kelima permasalahan tersebut jika ditindaklanjuti secara cermat akan memberi nilai plus dan warns baru dalam pembelajaran bahasa Jawa. Oleh karena itu seluruh stakeholder dari tingkat Gubernur, Bupati/walikota, Dinas Pendidikan, Balai Teknologi Komunikasi Pendidikan, Balai Baliasa, guru, perguruan tinggi, media massa, MGMP, KKG, praktisi, dan penulis/pengarang perlu bergandengan tangan (saiyeg saeka praya). Berbagai komponen tersebut perlu segera menyusun langkah-langkah (kontrak kerja), duduk pada “satu meja”, menyiapkan dan melaksanakan pembelajaran bahasa Jawa yang memiliki empat karakteristik: (1) sederhana (simple), (2) bermanfaat (used), (3) menyenangkan (pleasant) menumbuhkan kebahagiaan (happiness), dan (4) menanamkan budi pekerti luhur.
“Payung Agung”: Kebijakan, Strategi, dan Substansi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa
Untuk mewujudkan pembelajaran bahasa dan sastra Jawa di SD-SLTA telah diupayakan “payung agung”. “Payung agung” itu penting, agar agar sekolah sebagai pelaksana program merasa perlu mengajarkan bahasa Jawa. Jika seluruh komponen, seperti Kepala Sekolah, siswa, guru, sarana, dan administrator siap, pembelajaran bahasa Jawa akan berjalan mulus. Sebaliknya, jika seluruh komponen ada yang menganggap kehadiran bahasa Jawa sebagai “beban”, proses pembelajaran akan sia-sia.
Di DIY dan Jateng, telah terbit SK Gubernur, yang menghimbau (mewajibkan) jenjang penJidikan SD, SMP, MTs, SMA, SMK, dan MA wajib mengajarkan Bahasa dan Sastra Jawa sebagai muatan lokal wajib. SK tersebut sebagai bagian dan “payung agung”. Sedaiigkan propinsi Jatim rnasih dalam taraf konsolidasi antara stakeholder dengan pemerintah, sementara beberapa Kabupaten mulai memberlakukan pembelajaru.n bahasa Jawa secara efektif di setiap jenjang pendidikan. Di DIY, dengan Surat Edaran nomor 423.5/0912, tangga129 Maret 2005, kemudian ditindaklanjuti melalui SK Bersama Kanwil Depag Propinsi dan Dinas Pendidikan Propinsi, nomor 423/777, tanggal 19 April 2005, telah menjadi penguat pelaksanaan pembelajaran bahasa Jawa di SMA/SMK/MA.
Di Jateng pun, telah muncul SK Gubemur yang memiliki relevansi dan kekuatan sepertinya halnya DIY. Intinya, pembelajaran bahasa dan sastra Jawa di sekolah menengah perlu diintensifkan. Tentu saja yang masih menjadi “PR” berat adaiah propinsi Jatim, apakah pasca KBJ IV ini segera ada titik terang atau perlu diperjuangkan lagi. Hal ini penting, agar generasi muda di era globalisasi komunikasi, teknologi, dan informasi yang membelah sekat-sekat dunia mi tidak terjadi degradasi moral yang berkepanjangan. Padahal, bahasa dan s.istra .1awa telah “teruji” menyimpan nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan penyeimbang, penyaring, dan sekaligus preventif kemerosotan akhlak generasi muda.
Memang harus diakui, bahwa hadirnya SK Gubernur, surat edaran, (Ian SK Bersama instansi terkait masih mengundang kontroversi pada tingkat implementasi. Buktinya, Warmanto (Kompas, 19 September 2005), seorang guru masih meragukan pelaksanaan pembelajaran bahasa Jawa di SMA/SMK/MA, terutama di wilayah Jateng. Sikap apriori dia, memang tidak dapat dipandang remeh dan cukup beralasan. Paling tidak, ada tiga percikan pemikiran sinis yang dilontarkan. Pertama, tentang peninjauan ulang SK Gubernur Jateng, yang dianggap belum saatnya diberlakukan pembelajaran bahasa Jawa SMA/MA/SMK. Kedua, adanya asumsi dini yang terlalu minir bahwa siswa SMA/MA/SMK “menolak” bahasa Jawa. Ketiga, pelajaran bahasa Jawa bukan satu satunya wahana penyemaian budi pekerti, sehingga dipandang membebani siswa.
Menurut hemat saya tidak masalah penerapan pembelajaran bahasa Jawa di SMA/MA/SMK, di Jateng, DIY, dan Jateng asalkan ditanggapi dengan riang gembira. Sebaliknya, kalau sebelum atau sedang diujicoba telah ada yang phobi, gatal, dan merasa ada beban memang sah-sah saja, karena mereka itu kurang tahu action plan pembelajaran bahasa Jawa ke aepan. Yang penting, asal “payung agung” ada, tinggal mengupayakan pengembangan “payung agung” itu sedikit demi sedikit. Saya telah mengunjungi beberapa SMU/MA/SMK di Purworejo (10 sekolah), Klaten (8 sekolah), DIY (10 sekolah), Kulon Progo (5 sekolah), dan beberapa seko!ah lain intinya sekolah menyambut antusias. Dengan pemberlakuan kurikulum wajib Bahasa Jawa, di beberapa wilayah DIY/Jateng telah dilakukan pelatihan-pelatihan calon guru. Sementara itu perrnintaan menjadi guru bahasa Jawa selalu hadir ke Perguruan Tinggi yang membuka program studi Bahasa Jawa. Saya sendiri, tidak selalu negative thingking ketika ada wartawan menanyakan tentang pemberlakuan bahasa Jawa di sekolah, terutama dengan adanya guru pocokan (Kedaulatan Rakyat, 23 Februari 2006).
Yang penting bahwa esensi dan perubahan sistem pembelajaran bahasa Jawa, tetap berpegang teguh pada implementasi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 37 disebutkan “Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat muatan lokal ke arab pengembangan budi pekerti serta kepribadian. Dalam kaitan ini, akan Iebih bagus lalu apabila “payung agung” berupa SK Gubernur, ditunjang lagi dengan Perda Bahasa .Tawa di tiga Propinsi. Perda tersebut akan memberikan kekuatan hukum yang memadai, agar pembelajaran bahasa Jawa di sekolah semakin jelas eksistensinya.
Manajemen Kondusif Pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa Standar Kompetensi Guru Pemula (SKGP)
Pembelajaran membutuhkan menajemen cerdas dan kondusif. Dalam kaitan ini, guru adalah faktor yang perlu mendapat perhatian dalam penanganan manajerial pembelajaran. Guru menjadi faktor utama yang menentukan keberhasilan pembelajaran bahasa dan sastra Jawa. Penyiapan guru pemula, yang asal-asalan (asal comot) tentu akan berakibat fatal dalam proses pembelajaran. Terlebih lagi dalam menghadapi era multikultural, tentu pengelolaan guru. tidak bisa dipandang sebelah mata. Penyiapan tenaga guru, memang telah dilakukan oleh PT antara lain, Unesa, UNY, Univet, UNY, dan Unes. Namun, pada masing-masing PT sering ada keberagaman penekanan kompetensi yang kurang sinkron dengan kebutuhan di lapangan. Hal ini penting dikelola secara profesional, apalagi dengan munculnya pembukaan “Jurusan Jawa” oleh PT swasta, agar guru pemula merniliki kompetensi memadai.
Sampai detik ini, penerimaan guru bahasa dan sastra Jawa yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan rnaupun Departemen Agarna di DIY, Jateng, Jatim, belum memiliki SKGP yang jelas. Rambu-rambu penerimaan yang dikemas dalam bentuk ujian tertulis maupun lisan memang telah ada. Namun, umumnya ketiga propinsi itu belum tertata secara proporsional kompetensi seiring dengan tuntutan jaman. Akibat Mum ada SKGP, amat memungkinkan terjadinya nepotisme (kancaisme) sehingga kualitas pembelajaran bahasa dan sastra Jawa meragukan. Buktinya, dengan SK Gubernur tentang pemberlakuan muatan lokal wajib Bahasa Jawa di SD/MI, SMP/MTs, SMAIMA/SMK sekolah mulai kerepotan memilih eaton guru yang dianggap mampu.
Sementara itu, yang harus berpikir seribu kali untuk menentukan kompetensi “seleksi” (jika ada) penerimaan guru bahasa Jawa adalah Kepala Sekolah. Oleh karena kekurangaur pendaftar, akhimya kompetensi yang dicanangkan sekedar formalitas. Hal ini terjadi ketika sekolah harus menyiapkan guru mata pelajaran bioang studi bahasa Jan sastra Jawa, hanya didasarkan feeling, misalkan diambilkan guru yang bisa gemar menonton ketoprak dan wayang. Padahal, sesungguhnya kompetensi pembelajaran bahasa Jawa tidak hanya rnembutuhkan hal seperti itu saja.
Pada jenjang SMP/MTs memang sedikit telah tertata penyiapan tenaga gurunya. Namun, kompetensi yang sehamsnya dimiliki guru pemula juga belum ditentukan dengan tegas. Buktinya, ketika saya memberikan penataran di wilayah Kabupaten Pekalongan, Salatiga, Madiun, Kiaten, Yogyakara masih banyak guru yang tidak mampu menembang dan tnenulis Jawa dengan lancar. Di beberapa kabupaten tersebut masih banyak guru (3QQ/o lebih) yang berasal dan guru “karbitan”, yang berasal dan berbagai bidang studi, harus mengajarkan bahasa Jawa. Hat yang sama juga terjadi ketika di UNY rnenyelenggarakan PKS (Program Kelanjutan Studi) bagi guru bahasa Jawa SMP/MTs, ada yang berasal dan disiplin Seni Rupa, Seni Tari, PPKN, dan sebagainya yang kompetensi “Kejawaannya” amat minim.
Terlebih lagi penyiapan guru bahasa Jawa di jenjang SMA/MA/SMK, jelas masih perlu penataan SKGP yang optimal. Hal mi harus disadari, karena selama mi FBS UNY, FBS Unes, FBS Unesa, dan Univet yang tengah menyiapkan para guru telah kehabisan “stock” (cadangan). “stock” (cadangan). Akibatnya ada di antara mahasiswa yang tinggal menyusun skripsi, harus mengajar dengan segala kemampuan yang ada. Ada lagi sekolah yang asal mengajarkan bahasa Jawa, tanpa melalui seleksi kompetensi yang pasti. Kondisi ini memang biar berjalan terlebih dahulu, dalam tataran persiapan awal pembelajaran bahasa Jawa pada tahun pertama mi. Namun, pada tahun kedua sampai seterusnya, SKGP memang amat diperlukan agar pembelajaran berjalan sebagaimana mestinya (maton), bukan asal (waton) jalan. Jika SKGP ini diabaikan, besar kemungkinannya pembelajaran bahasa Jawa akan dilecehkan, dan akhirnya menjadi bumerang bagi pengembangan bahasa Jawa ke depan.
Berkaitan dengan hal tersebut, di bawah mi saya paparkan lontaran pemikiran SKGP yang memungkinkan. Tentu saja, SKGP mi masih perlu pertimbangan masak dan penambahanlpengurangan beberapa hal. Selengkapnya seorang guru yang hendak mengajar di sekolah seharusnya memiliki SKGP yang tergolong menjadi tiga aspek sebagai berikut:
Aspek Kompetensi Mental, meliputi:
Penguasaan tatakrama Jawa
Standar kompetensi im penting, karena path akhirnya guru merupakan agent of change. Dia menjadi figur yang semestinya tidak sekedar tahu tentang tatakrama, melainkan juga bagaimana mengajarkan dan membenikan tauladan budi pekerti luhur. Jika guru pemula sampai “dicap merah” tidak tahu tatakrama yang njawani, berarti bisa disebut “ora Jawa”. Meskipun dia lahir dan dibesarkan di Iingkungan Jawa, dapat saja hanya Iahiriah, sedangkan batin telah terkategorikan hang Jawane (kehilangan tatakrama dan kepribadian Jawa).
Tatakrama Jawu itu kaitannya dengan penguasaan “unggah-ungguh bahasa Juwa “. Di dalam unggah-ungguh terdapat ataran sikap, tingkah laku dan penerapan berbahasa Jawa yang baik (lurus) dan benar (leres). Jika seorang guru pemula mampu mengucapkan “nawun sewu” sambil agak rnembungkuk ketika hanis lewat di tcngah kerumunan guru lain, dia jelas mengerti unggah-ungguh. Menurut Tjahyono (2005:2) unggah-ungguh sepintas sama dengan sopan santun. Bedanya unggah-ungguh penekanannya pada penggunaan bahasa Jawa yang benar. Sedangkan sopan santun lebih mengutamakan pada sikap dan atau tingkah laku. Namun, kedua hal ini menurut hemat saya sulit dipisahkan. Keduanya sering menyatu dalam penggunaan bahasa Jawa. Yang penting, di dalamnya terdapat penerapan angon rasa, angon kinon, angon ulat, dan angon mangsa pada saat menerapkan tatakrama, unggah-ungguh, dan sopan santun.
Penguasaan tatakrama Jawa, merupakan dasar mentalitas guru pemula yang amat penting. Hal mi akan menambab kepercayaan din sebagai guru yang mampu melakukan purba din sebagai wujud human relation. Human relation yang dijiwai oleh tatakrama, adalah bagian kecakapan hidup. Memang, patut diresapi bahwa tatakrama Jawa sering memunculkan kontroversi, antara lain:
(1) berhau feodalisme, (2) tidak demokratis, dan (3) ketinggalan jaman. Ketiga hal mi, cukup beralasan, narnun bagi seorang guru yang seharusnya digugu (dipatuhi) dan tlitiru (dicontoh), masih penlu sekali. Feodalisme, tidak selamanya jelek, asalkan tepat sasaran. Sikap hormat antara guru-murid, tetap penting agar saling menghargai. Prinsip hormat, tidak berarti hendak meninggalkan sikap demokrat. Begitu pula tatakrama yang sering dibuntuti rasa pakewuh, sebenarnya dapat dikurangi sedikit demi sedikit.
Bersikap otononi dan kreatif
Guru pemula bahasa dan sastra Jawa seyogyanya telah memiliki standar kompetensi hersikap otonom, kreatif dan profesional. Guru bahasa dan sastra Jawa otonom artinya bersikap mandiri, mau mengembangkan din dan tidak tergantung pada perintah saja, dan profesional. Guru kreatif artinya memiliki daya kreativitas yang tinggi dalam mengelola pembelajaran, inovatif, serta tidak hanya puas bila sudah mengajarkan (menyelesaikan) bahan. Guru kreatif, adalah figur pemikir dan perancang bahan pelajaran yang kritis dan analitis serta berani mengungkapkan berhagai gagasan yang bertanggungjawab. Aspek Kompetensi Profesional, terkait dengan teching‑learning, yaitu:
Menguasai strategi belajar stimulus-respon
Penguasaan guru pemula bahasa dan sastra Jawa tentang stimulusrespon, akan merangsang siswa aktif dan kreatif. Stimulus, berupa motivasi yang menggugah setnangat siswa bertanya, berdiskusi, dan bertindak yang responsif. Pancingan-pancingan berupa reward system, akan membangkitkan daya juang siswa belajar bahasa dan sastra Jawa. Tentu saja, aspek-aspek logika tetap hams dipegang oieh seorang guru pemula. Kemampuan guru menguasai strategi komunikasi dengan siswa, akan membantu kreativitas siswa.
Paham terhadap perkembanganjiwa siswa
Pemahaman calon guru akan perkembangan anak didik adalah penting. Menurut Suparno Dkk. (2002:103) pemahaman calon guru dalam aspek mi akan memberi peluang yang kondusif bagi calon guru sendiri untuk menerapkan berbagai metode pembelajaran yang aktif dan konstruktivis dengaa lebih arif. Konsep mi relevan bagi kompetensi guru bahasa dan sastra Jawa, agar menguasai kepekaan humanistik terhadap siswa. Belajar bahasa Jawa, tidak sekedar menjejalkan pengalaman, melainkan perlu menyesuaikan dengan perkembangan jiwa siswa. Implikasi seluruh kompetensi mi, akan mempengaruhi guru lebih bijak dalam menyeleksi materi dan menentukan metode yang relevan dengan kemampuan siswa.
Memiliki pengalaman real-teaching.
Program Pengalaman Lapangan (PPL) bagi para calon guru perlu dioptimalkan peranannya. Tidak sekedar micro-teaching, melainkan real-teaching sekurang-kurangnya 1 semester, sehingga calon guru mampu beradaptasi dengan siswa. Real-teaching akan membekali guru, agar lebih berpengalaman secara langsung dalam mengelola kelas, menerapkan metode, menggarap administrasi kelas, dan mengevaluasi pembelajaran. Penekanan real-teaching adalah pada penghayatan dalam melakukan kegiatan pembelajaran, aik sebagai dinamisator, motivator, dan edukator, maupun aktor. Real teaching, tidak harus memilih materi yang dianggap mudah, melainkan juga terkait dengan materi pembelajaran seperti sesorah, tembang, baca geguritan, menulis Jawa, dan sebagainya.
Sikap adil dan bamra Ieksana, dapat dicapai melalui ujian kompetensi praktek di kelas. Selarna mi, penentuan formasi guru jarang dilakukan dengan uji kompetensi semacam ini. Akibatnya, tidak mengherankan kalau sekolah merasa kecolongan, artinya mendapatkan guru pemula yang tidak memiliki kompetensi adil bawaleksana. Padahal, Menurut Suhadi TC (2005:5) guru bahasa Jawa yang disenangi dan disegani siswa adalah yang bersikap adil dan bijaksana, tidak mem>;edakan siswa dengan motif persamaan insan. Guru yang adil equel opportunity kepada muridnya. Guru harus bergaul akrab dengan siswasiswanya. Namun pergaulan pendidikan itu bagaimanapun akrabnya harus tetap ada batasnya. Batas pergaulan pendidikan adalah kewibawaan pendidrk. Bawaleksana memanl;ku makna yang diucapkan harus dilaksanakan.
Aspek kompetensi 5ubstansial, yaitu kemampuan dalam penguasaan materi pokok pembelajaran bahasa dan sastra Jawa
Pada umumnya, substansi pembelajaran babasa Jawa meliputi bidang Nyemak (menyimak), Wicara (berbicara), Maca (membaca),Nulis (menulis), dan Apresiasi sastra dan budaya. Kelima substansi mi kunci suksesnya berada pada empat skill (keterampilan). Empat keterampilan ini seharusnya dikuasai oleh guru pemula bahasa Jawa, yaitu: (1) membaca/menulis huruf Jawa, (2) menembang Jawa (dolanan, macapat, campursari, dli.), (3) sesorah (pidato), (4) membaca dan mencipta karya sastra.
Atas dasar SKGP demikian, perlu diimplement:asikan dalam penerimaan formasi guru melalui Pemerintah Daerah (Dinas Pendidikan). Maka dalam uji kompetensi mental, profesional, dan substansial bagi eaton guru perlu dilakukan secara cermat. Tentu saja, seieksi perlu dilakukan oleh tim yang benar-benar menguasai kompetensi yang dibutuhkan. Ada baiknya Dinas Pendidikan juga bekerjasama dengan instansi terkait, yang memiliki kewenangan menentukan uji kompetensi.
Setelah SKGP mi terpenuhi, tentu akan berimbas pada guru bahasa Jawa yang tidak memiliki SKGP, tetapi telah terianjur mengajar beberapa tahun. Dalam kaitan ini, memang ada baiknya Pemerintah Daerah, merancang: (1) program kelanjutan studi (PKS) baik jarak jauh maupun dalam bentuk apa saja, (2) mengadakan pelatihan pada guru secara periodik yang menghasilkan sertifikat setara dengan SKGP. Pada akhirnya, sel:urang-kurangnya setiap lirna tahun sekali p;,rlu dilakukan “uji kompetensi” dengan mengikuti rambu-rambu SKGP. 13agi guru yang aidak memenuhi SKGP, selama “uji kompetensi” bertunit-turut, ada baiknya dipensiun dim. Jika tidak, hal ini hanya akan mengotori situasi pembelajaran.
Implementasi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa Ke Depan
Metode Pembelajaran Inovatif
Pembelajaran bahasa clan sastra Jawa, selama mi masih menerapkan metode tradisional, yang kurang memberi iklim belajar yang bagus. Bahkan, metode pembelajaran tradisional, seperti ceramah, tanya jawab, clan tugas, hanya akan menguras ingatan yang berlebihan. Ceramah dan tanya jawab melulu, seperti halnya mendongeng Kancil Nyo%ng Tiinun di depan kelas, akan membosankan. Begitu pula tugas dengan tanpa ada kompetensi yang jelas, akan membertkan siswa. Disadari atau tidak, penerapan model CCD (ceramah, catat, dengar) – maaf – mengakibatkan siswa PCDS (pecah ndhase). Pembelajaran demikian biasanya hanya menggiring peserta didik agai belajar bahasa clan sastra Jawa secara mekanik clan pasif Pengajar menjadi sentral yang dianggap tahu segalanya, sehingga kurang atau bahkan tidak menghargai perbedaan budaya peserta didik. Model pembelajaran demikian boleh dikatakan jauh dan wawasan multikultural clan kurang menjunjung tinggi paham kebinekatunggalikaan.
Hal ini perlu disadari, sebab arah pembelajaran bahasa dan sastra Jawa di era KBK menuntut inovasi metode yang, seiring dengan perkembangan jaman. Penguasaan metode inovatif, akan menentukan iklim pembelajaran yang kondusif. Jika guru tidak pernah mengubah metode pembelajaran selama puluhan tahun, tentu akan menjemukan. Inovasi metode pembelajaran memang membutuhkan waktu. Uji cobs clan retleksi clan waktu ke waktu amat diperlukan dalam inovasi. Metode inovatif merupakan “jalur altematif atas kritik pembelajaran bahasa dan sastra Jawa yang digulirkan selama mi. Inovasi mi diharapkan dapat diterapkan bagi substansi bahasa, sastra, seni, dan budaya Jawa secara integrated learning. Dalam kaitan in disajikan beberapa metode pembelajaran bahasa dan sastra Jawa sebagai berikut.
Quantum Teaching-Learning:SATRAWA dan AMBAK
Quantum Teaching-Learning, dapat diterapkan dalam metode pembelajaran bahasa dan sastra Jawa dengan modifikasi dan penyesuaian. Quantum Learning berakar dan ternuan Lozanov (DePorter dan Hernacki, 2003:14) dengan konsep suggestology atau suggestopedia. Karena dalam belajar, membutuhkan pengajar, maka metode mi saya namakan Quantum Teach ing=Learning (QTL). QTL yang diterapkan pada pembelajaran bahasa dan sastra Jawa dapat disebut QTL SATRAWA (bahasa-sastra-Jawa).
Pada prinsipnya, sugesti yang ditawarkan dalam QTL SATRAWA dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detail apapun memberikan sugesti positif atatrpun negatif. Salah satu yang dapat menumbuhkan sugesti positif adalah mendudukan siswa secara nyatnan, memasang musik dalam kelas, menggunakan poster-poster untuk membenkan kesan menonjol pada informasi, dan menyediakan guru terlatih.
Istilah lain dun sugesti adalah “pemercepatan bclajar” (accelerated learning). Pemercepatan belajar memungkinkan siswa belajar cepat dan rnenyenangkan, dengan upaya normal, dan dibarengi kegembiraan. Tadi, QTL adalah metode yang mengedepankan pembelajarai) dengan hiburan, permainan, wama, berpikir positif, kebugaran fisik, dan kesehatan emosional. Di dalarnnya ada proses mencontoh, menangkap inspirasi, bermain, simulasi, kreativitas, dan komunikasi. Kunci utama QT’L SATRA WA adalah konsep AMBAK singkatan dan “Apo Manfaat BagiKu “. Kansep ini sejalan dengan strategi pragmatik atau useful dalam belajar bahasa dan sastra Jawa. Hanya saja, untuk memperoleh manfaat tersebut dalam konsep Keon (Abrams, 1971:14- 21) perlu cheer (sorak), pleasure (kesenangan), pleasing (kesenangan), dan delightful (kegembiraan).
Dalam kaitan itu, perubahan ke arah itlovasi dan metode tradisional ke QTL, akan mempengaruhi pembelajaran bahasa dan sastra Jawa disenangi dan disegani oleh siswa. Metode belajar bahasa Jawa, seperti mengenalkan kalimat, kata, paragraf, wacana, dapat dieapai secara pragmatik-komunikatif. Di dalamnya dapat memanfaatkan model permainan (game) yang atraktif, model teka-teki, melempar bulatan ke sebuah lubang, menonton lukisan, menonton wayang, gambar wama, centa gambar, dan sebagainya. Sistem baca catat dan dekte, sudah tidak relevan lagi, melainkan siswa hams termotivasi menemukan sendiri dengan bersuka ria, seakan tidak ada beban apa pun.
Model pembelajaran baca-tulis huruf Jawa, juga tidak lagi mengenalkan satu per satu 20 aksara nglegena, angka, pasangan, dan sandhmgan yang bertubi-tubi.
Dalam kaitan ini, siswa dapat diajak masuk ke ruang “instalasi aksara Jawa”, diajak bermain dengan kompetisi mencari huruf-huruf yang dibuat warna-wami. Setelah itu, baru dikenalkan satu persatu dan diajak membaca-menulis model !gra’. Lebih naik lagi, siswa juga diajak melagukan hanacaraka-datasawala padhajayanyamagabathanga dengan sejumlah versi, disertai gerakan oiah raga atraktif (tarian). Strategi semacam ini, boleh dikemas pula dengan dramatisasi adegan AjisakaDora-Sembada-. Dewatacengkar, agar siswa mengapresiasi iebih asyik.
Berkaitan dengan hal mi, model kolaborasi (MK) dalam pembelajaran bahasa dan sastra Jawa dapat dijadikan alternatif dan inovatif yang sejalan dengan KBK.IVTK tergolong inovasi pembelajaran ke arah “Janges Gersem”, kependekan dari “bahasa dan sastra Jawa yang nges, seger, dan sengsem”. Nges, artinya belajar yang menarik dan menyenangkan. Seger, artinya belajar penuh permainan, tnik-tnik estetis, ada entertainment, sehingga tidak membosankan. Sengsem, artinya belajar penuh nilai seni, sehingga mengasyikkan dan nikmat. Jika “Janges Gersem” telah dilalui dengan sukses, siswa akan mencapai tataran: gendhing, gendhung, dan gendheng. Gendhirtg, artinya belajar sastra berkolaborasi dengan gendhing (unsur seni). Gendhung, berarti merasa bangga, asyik, senang, dan bergairab. Gendheng, artinya, belajar sampai pada tataran “gila” (nikmat luar biasa).
Pengalaman mengajar menunjukkan bahwa keberhasilan KBM suatu mata pelajaran itu ditentukan oleh guru disenangi anak atau tidak. Kalau ingin mendapat stigma sebagai guru yang disenangi dan disegani maka gum harus menjadi idola dan ikon bagi siswasiswanya di mana pun guru itu eksis sebagai insan edukator. Agar guru disenangi siswa, salah satu kiatnya adalah menyelipkan humor (joke joke) pada kegiatan rnengajarnya. Humor guru itu bukan saja menghibur murid, namun juga menyehatkan. Ada sebuah jargon yang mengatakan laugh the beat medicine! Tertawa itu obat mujarab! Namun humor itu hams bermakna pendidikan. 3. Exhibiton Teaching-Learning
Pada dasarnya siswa adalah makhluk yang gemar tampil (exhibition) dan berkompetisi (champion). Dengan cara mempertontonkan kebolehan, kompetisi atau perlombaan, rasa ingin meningkatkan kompetensi berbahasa dan bersastra selalu bertambah. Perasaan untuk mengungguli kompetensi siswa lain merupakan modal penting dalam pembelajaran bahasa dan sastra Jawa. Maka, metode Exhibiton Teaching- Learning (ETL) merupakan alternatif yang dapat digarap.Hal tersebut cukup beralasan, karena pembelajaran bahasa. dan sastra Jawa hendak menyemaikan life skill yang sarat dikompetisikan antar individu, kelompok, kelas, dan sekolah. Pencarian kejuaraan, akan membangun mental siswa untuk selalu mempertaha:nkan eksistensinya. Yang dipentingkan dalam champion adalah semangat untuk bereksibisi. Dalam champion (sayembara), perlu ditinjau dan kompetensi proses dan segi hasil. Dan segi proses guru dikatakan berhasil apabila mz’mpu melibatkan sebagian besar peserta didik secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran. Pelibatan ini ditempuh melalui perlombaan dalam kelas, misalkan saja membaca geguritan, menembang, menu’.is huruf Jawa, mencipta parikan dan lain lain. Dengan sayembara, dapat dilihat dan gairah dan semangat mengajarnya, serta adanya rasa percaya diri. Sedangkao dari segi hasil, guru dikatakan sukses apabila pembelajaran yang diberika.rmya mampu mengadakan perubahan perilaku pada sebagian besar peserta didik ke arah yang lebih baik. Melalui sayembara, setiap siswa dapat menghayati, menikmati, dan menginternalisasi nilai-nilai apa saja dalam pembelajaran.
Untuk memenuhi tuntutan eksibisi dan sayembara dalam konteks pembelajaran tersebut diperlukan herbagai kompetensi guru yang memadai. Salah satu kompetensi gum yang digagas Mulyasa (2002: 186) untuk mendukung CTL dapat diidentifikasikan sebagai berikut: (1) antusias dan bergairah terhadap bahan, kelasnya, dan seluruh pengajarannya; (2) berbicara dengan jelas dan komunikatif (dapat mengkomunikasikan idenya terhadap siswa); (3) memperhatikan perbedaan individual siswa; (4) memiliki banyak pengetahuan, inisiatif, kreatif dan banyak akal; (5) menjadi teladan bagi siswanya. Dalam kaitan ini, guru perlu bersikap adil, cermat, dan mendorong motivasi siswa.
Dalam kaitan itu, pembelajaran dapat dibagi dalam kelompok-kelompok eksibisi. Misalkan saja eksibisi cipta geguritan, lomba pidato, lomba apresiasi cerita cekak, lomba membuat surat berbahasa Jawa krama, lomba meringkas novel Jawa, dan lomba teatrikalisasi puisi Jawa. Lomba dapat dilakukan antar siswa dalam kelas, antar gender, antar siswa, antar kelompok, dan seterusnya: Lomba tidak semata-mata menentukan kemenangan, maka penilai pun boleh dari siswa yang lain. Guru cukup mengamini saja. Perlombaan tadi semata-mata untuk mengajak siswa ke dalam proses imersi (immersion), agar siswa mencelupkan atau menggauli bahan pembelajaran lebih suntuk.
Rahan-bahan imersi juga tidak sembarangan. Guru pun tidak harus yang menentrkan, melainkan bersama siswa memilih bahan yang cocok. Dalam bidang sastra misalnya, kita dapat herkiblat pada pemikiran Rosenbalt (Gani, Bernas, 7 November 2004) bahwa pengajaran sastra semestinya dipilih yang relevan dengan kehidupan (siswa) di masa depan. Karena itu, makna yang diperoleh dan diberikan siswa dalam proses penjelajahan sastra (eksibisi) haruslah mempakan hasil dan transaksi antara jiwa siswa dengan kata-kata yang terangkai dalam halaman-halaman cipta sastra itu. Hal senada juga sejalan dengan gagasan Sayuti (2003 : 514) bahwa karya sastra memiliki kennrngkinan yang luas untuk menjadikan dirinya sebagai tempat “penyimpanan” nilai-nilai manusiawi, yaitu nilai-nilai yang dalam realitas kehidupan sering tersudutkan, mengalami distorsi, dan bahkan hilang. Di dalarn karya sastra yang baik nilai-nilai kemanusiaan tersebut dipertahankan dan disebarluaskan. Melalui karya sastra, pranata atau tradisi suatu masyarakat ditemukan kepada khalayak pembaca pada masanya, dan kepada masyarakat di masa mendatang, baik yang menyangkut cara berpikir, perilaku religius, adat-istiadat, sejarah, maupun nilai kultural lainnya.
Melalui arena sayembara, siswa tidak lagi hanya seperti mesin dalam belajar. Mereka tidak lagi bagaikan robot atau ember yang menerima kucuran air. Yakinlah, dia tidak akan rela bahkan untuk melangkahi (by passing) hati nuraninya. Jelas, keunikan setiap pribadi lnaruslah dihargai. Inilah pentingnya paham multikultural dalam pembelajaran melalui eksibisi. Pembelajaran berwawasan multikultural ini menurut Banks (1997:7) dalam artikelnya berjudul “Multicultutul education: Characteristic and Goals” adalah suatu keinginan merespon tuntutan dan aspirasi kelompok yang berbeda etnis, klYltur, bahasa, agama, dan sebagainya. Dalam hal ini siswa tidak lagi dipandang sebagai penerima informasi pasif, tetapi sebagai discover (penemu) dan pencipta atas pemahamannya sendiri untuk ditampilkan dalam sayembara. Dengan perlombaan, disamping siswa akan lebih menjiwai, berusaha keras untuk menang, menikmati dengan sepuas hati, juga terjadi pengalaman batin yang lebih bermakna.
Penerapan ETL dalam pembelajaran juga akan menggairahkan denyut bahasa dan sastra Jawa. Paling tidak, jika ETL itu diintensitkan keraguan Sudikan (2001) ketika KSJ I di Solo, tentang bibit-bibit baru dalam sastra Jawa masih perlu dipertanyakan konsistensinya akan segera terpatahkan. Bahkan, dan proses ETL juga akan berimbas pada munculnya “mutiara-mutiara baru” yang perndh dilontarkan Hutomo. Dengan kata lain, metode ETL akan menjadi wahana “mata rantai pengembangan bahasa dan sastra Jawa agar tetap berkualitas. Bahkan, siswa dan guru akan sclalu bersikap on gningformal ion dalam berbagai event.
Hasil dari sebuah eksibisi dikemas dalam model portofolio. Menurut Budimansyah (2002:48) portofolio dapat dikernbangkair meliputi dua seksi, yaitu portofclio seksi penayangan dan seksi dokumentasi. Portofolio seksi penayangan adalah portofolio yang akan ditayangkan sebagai bahan presentasi kelas pada saat show-case. Adapun portofolio seksi dokumentasi adalah portofolio yang disimpan pada sebuah map jepit (binder) yang berisi data dan informasi lengkap setiap kelompok portofolio.
Dalam pembelajaran ETL bahasa dan sastra Jawa, protofolio penayangan digunakan sebagai hasil rekamall, yang sewaktu-waktu dapat diapresiasi. Karya siswa yang juara, dapat diteladani siswa lain, dijadikan refleksi, dan dirembug kurang lebihnya. Adapun dokumentasi sebenarnya tidak harus dimap (binder), melainkan dapat dirnasukkan ke dalam majalah dinding dan data base (komputer). Karya apa saja dapat dipasang pada rnajalah dinding sekolah/kelas, sebagai publikasi awal. Jika memang meyakinkan, guru juga dapat melempar ke media Inassa. Misalkan saja, karya yang menang dimasukkan ke web site, apabila sekolah telah memiliki, sehingga dapat diakses oleh siswa lain lebih leluasa.
Contextual Teaching-Learning
Contextual Teaching-Learning (CTL) adalah basis pembelajaran yang bertujuan agar materi yang diberikan lebih bermakna, tepat sasaran, dan relevan dengan dunia siswa. Guru yang menjejalkan materi tanpa memperhatikan konteks, hanya akan sia-sia dan membebani siswa. Materi sebanyak-banyaknya, sehebat apapun, berkualitas apa saja, jika jauh dan konteks akan menjadi racun. Maka, telah sewajarnya dalam CTL bahasa dan sastra Jawa menggunakan prinsip less is more.
Melalui CTL„ akan mcmberikan keleluasaan siswa untuk bermimpi (dreatn) atau berfantasi sesuai dcngan “dunianya”. CTL ini memang cukup strategis, karena menghendaki: (a) terhayati fakta yang dipelajari, karya sastra benar-benar “dimiliki” dan aspek kejiwaan (nyarira), bukan verbalistik; (b) permasalahan yang akan dipelajari harus jelas, terarah, rinci; (c) pragmatika materi harus mengacu pada kebermanfaatan secara konkret; (d) memerlukan belajar kooperatif dan mandiri (Endraswara, 2003:58). Dengan demikian, belajar bahasa dan sastra Jawa tidak lagi mengambang dan mengada-ada. Bahasa dan sastra Jawa tnenjadi bagian siswa, karena yang dipelajari benar-benar menjadi milik, hidup, dan sesuai realita. Dalam hal ini seakan-akan tidak ada “jarak budaya” antara bahan dan siswa.
Strategi CTL meliputi 7 elemen pokok (Sudikan, dkk., 2002:50) yang perlu dipegang yaitu:
(1) Konstruktivisme, yaitu langkah pengajar menyesuaikan bahan dengan kemampuan peserta didik. Pengajar perlu pula tnenanyakan kesiapan peserta didik; (2) pembentukan pemahaunan, yaitu melaksanakan question dan inquiry. Questioning, dilakukan dengan menanyakan berbagai yang ada dalam kaiya sastra, mungkin tentang pelaku, peristiwa, sisi kehidupan yang digambarkan dan sebagainya; (3) belajar kooperatif peserta didik diajak bertukar pengalaman dalam kelompok; (4) komunikasi belajar, kelas adalah durna kecil yang perlu berhubungan sam sama lain, itulah sebabnya hasil pembacaan harus dikomurnkasikan antar peserta didik; (5) pemodelan, seorang pengajar dapat memberi contoh pembacaan, gaya pembacaan, baik dilakukan sendiri maupun dan rekaman VCD; (G) peniluiun securu otentik, pengajaran menghendaki kontekstual dan menekankan nengetahuan dan pembentukan keterampilai, yang terkait dengan real life (life skill education). Pengajaran dan pemlaian yang authentic contexts akan memben peluang kepada peserta didik menatap masa depan; (7) rejleksi, yaitu langkah penggarnbaran kembali pengalaman basil belajar.
Pengajaran CTL akan mengarah pada strategi PAKEM (pengajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan). Yang dirangsang dalam pengajaran tak hanya pikiran belaka, melainkan keinginan dan perasaan. Strategi PAKEM dalam pengajaran bahasa dan sastra Jawa otomatis menghendaki peserta didik bergelut dalam materi pembelajaran secara langsung. Peserta didik barus membaca atau menonton sendiri, tak sekedar mendengarkan kisah (infonnasi sekunder), teijun ke lapangan (konteks), dan menikmati pengalaman. Informasi sekunder; misalkan melalui ceritera pengajar yang telah dipoles dan sinopsis, kurang mendukung CTL.
Dalam hal belajar bahasa Jawa, siswa dapat digiring mempelajari yang ada di sekitarnya. Strategi belajar dengan model BASJAM, kependekan dan “bahasa Jawa asyik dan menyenangkan”. Asyik, artinya belajar bahasa yang hidup dalam konteks, melalui permainan, lagu, dramatisasi, dan seterusnya. Sebagai contoh, belajar bahasa Jawa krama dengan lagu “adhik ndherek ibu, tindak menyang pasar, mengko ibu mesthi mundhut oleh-oleh, kacang karo rot adhik diparingi “. Dengan cara semacam mi, berarti KBK bidang bahasa dan sastra Jawa tersistem dan terintegrasi, keduanya saling memperkaya.
Dengan demikian, belajar bahasa dan sastra Jawa lebih eksluslf. Siswa di pedesaan, seharusnya tidak sama dengan siswa di perkotaan dalam belajar. Konteks lingkungan dan kebutuhan, amat menentukan warna pembelajaran. Jadi, proses yang mendukung KBK sekurang-kurangnya memperhatikan tiga hal. Pertama, konteks pengajaran bahasa dan sastra Jawa selalu memberdayakan lingkungan. Yakni, mampu memanfaatkan lingkungan peserta didik seoptirnak mungkin. Apa yang ada di sekeliling kita harus dibangun dan dipergunakaa sebagai rujukan pembelajaran. Tentu saja, keadaan lingkungan tersebut tetap diseleksi yang sejalan dengan tingkat emosi dan intelektual siswa.
Kedua, pengajaran, mestinya berlangsung dalam suasana rnenyenangkan (fitn), artinya dihuat permainan-permainan kecil. Yang penling, siswa tid;rk hos,rn, dart bahkan semakin ketagihan. Centa-cerita lucu, gambar aneh, lingkungan alamiah yang rnengasyikkan, dapat dijadikan obyek pembelajaran. Pengajaran selalu disesuaikan dengan konteks peserta didik. Pengajaran semacam mi otomatis boleh berhubungan satu sekolah dengan sekolah lain, antara kelas satu dengan yang lain, dan bahkan antara peserta didik satu dengan yang lain.
Ketiga, pcmbela;aran bahasa dan sastra Jawa boleh melawau arus (teaching as subversive acktivity). Maksudnya, guru dan siswa sama-sama mencari konteks yang paling jitu. Kurikulum dan buku teks, bersifat fleksibe!, dan bukan sebuah “kitab suci” yang harus diikuti mati-matian. Akibatnya, kalau ada yang berusaha menyeragarnkan buku teks satu Kabupaten atau soal tes dibuat sama oleh MGMP (maaf, karena’cepentingan bisnis), amat konyol. Mustinya,
kondisi Irngkungan yang menentukan nuansa pembelajaran bahasa dan sastra Jawa, bukan sebuah paksaan.
Berdasarkan tiga hal itu, CTL bahasa dan sastra Jawa semakirl “hidup dan tidak kering”. Maka, tidak salah apabila guru dan siswa berkreasi dalarn belajar bahasa dengan model live in dan visit on. Artinya, siswa diajak mengunjungi tempat tertentu, masuk di dalarnnya, biarlah mendengarkan, mengikuti, dan menemtikan sendiri bahasa dan gagasan sastra Jawa dalam kancah itu. Pada saat itu, siswa dibiarkan bersikap pragmatilc komunikatif dcngan kontcks yang dirnasuki atau dikunjungi. Sikap proaktif serupa tidak harus b.-darn-jam crtau bc:rhari-hari, melainkan seperlunya saja.
Konsep yang sejalan dengan rnodel demikian udalah ziarah (pilgimrage) atau anjangsana. Tempat yang dijadikan sasaran, tidak harus jauh dari sekolah, seperti halnya melakukan piknik. Yang penting, siswa mengenal dunianya secara natural. Mungkin sekali, hanya diupayakan dalam bentuk “kemah” (camping study) di tempat yang strategis. Pada saat itu siswa akan belajar bahasa dan sastra Jawa lebih kontekstual, untuk mencari dan menemukan berbagai hal secara induktif. Proses pembelajaran mengikuti teori model of Lawan model of adalah model for. Jika model for mirip dengan sebuah pakem dalam wayang, model of justru sebaliknya yaitu identik dengan lakon carangan. Model of adalah proses kolaborasi dengan mengedepanl:an sistem aspiratif, tidak kaku, mengadopsi bakat, mengikuti keinginan peserta didik, sehingga terbentuk sebuah performance art atau performance of literature. Model ini jelas hendak megadopsi aspek multikultural dan kebinatunggalikaan. Perbedaan siswa akan terwadahi melalui model ini, sehingga hasil evaluasi pun tidak dituntut sama seluruh kelas. Evaluasi model of, mengikuti sistem Lima P yang meliputi: paper (mengukur capability), performance (creativity), product (originality,), project (ability), dan portofolio (aktivity). Proses pembelajaran sastra model of dan evaluasi Lima P, dipandang lebih memperkuat fenomena multikultural dan kebinekatunggalikaan.
Buku Teks yang Ideal
Buku teks tergolong sebuah “kitab” di sPkolah. Banyak guru baliasa dan sastra Jawa yang “mensakralkan” buku teks. Apalagi kalau buku teks tadi ada pesan sponsor, semakin ditaati secara gila-gilaan. Duapuluh tahun yang lalu, buku teks menjadi monopoli Dinas (Kanwil). Maksudnya, asal yang menulis bukuteks ada orang Kanwil atau ditunjuk Kanwil, bul:u teks menjadi “sakral”. Seperti halnya Serat Piwulang Basa Ian Sastra Jawa karya RS. Subalidinata oleh PT Intan. Guru tak berani mc;lawan. Hasil pembelajaran bahasa dan sastra Jawa melalui buku teks demikian nonsence, karena siswa sPkedar diberondong dengan hafalan istilah, nama bunga, judul, nama pujangga dan sejenisnya.
Sepuluh tahun kemudian, telah bermunculan penerbit buku teks yang berani berspekulasi. Penerbit Erlangga, mengorbitkan Widya Basa tulisan Doyosantosa (alm.), Widya Duta mengorbitkan Mardi Jawi karya Sutarno, Ef ar Publishing mengorbitkan Grenda Basa karya Sudharto Dkk., Ebsilon Group menerbitkan Ngudi Aruming Basa Jawi karya Dofwan, Tiga Serangkai menerbitkan Trampil Basa karya Sam Muharto dan W Nataatmaja, dan sebagainya. Sejak pemberlakuan Kurikulum 1994, buku teks pembelajaran bahasa Jawa mulai bergeser, seiring dengan munculnya KKG (Kelompok Kerja Guru) di tingkat SD dan MGMP (Mus)awarah Guru Mata Pelajaran) tingkat SMP / SLTA. Aklirnya, detik ini kedua organisasi ini semacam sebagai “malaikat” buku teks Hal ini mernang bagus, sayangnya MGMP juga semakin bernada komersial, sehingga terjadi ricuh di sana sini. Apalagi, kalau MGMP telah ditunggangi penerbit clan atau memang sekaligus sebagai penerbit, sering ada politisasi buku teks yang menyebabkan pembelajaran bahasa dan sastra Jawa keruh.
Akibatnya, sampai detik ini belum ditemukan buku teks bahasa dan sastra Jawa yang memadai (ideal). Hal mi memang dilematis, sebab tanpa buku teks pembelajaran kurang terfokus. Namu, ketika ada buku teks yang ditulis banyik orung, dcngan sistem “karbitan”, hasilnya mengecewakan. Sebaliknya buku teks yang ditulis oieh satu atau dua orung, sering terjadi ketimpangan. Ada buku teks yang tidak proporsional, antara bidang Nyemak, Wicara, Maca, Nulis, dan Apresiasi. Seluruh aspek tergantung like and dislike, sehingga komposisi bahan tidak jelas. Jika buku teks semacam ini terlalu “didewakan” tentu berbahaya. Celakanya lagi, ketika dibuat buku teks yang representatif, rnasih ada guru yang menggunakan “lompat katak”, artinya melewati materi-maten yang dianggap sulit.
Jika demikian, memang layak disusun buku teks yang ideal. Paling tidak, buku teks tersebut memenuhi 5 kriteria, yaitu: (I) kelancaran (fluency), (2) keluwesan (flexibility) (3) keaslian (originality) (4,) keterperincian (elaboration) dan kepekaan (sensitivity). Sayangnya, kelima kriteria ini sering kurang terpenuhi, sehingga buku teks bahasa clan sastra Jawa terkesan memberatkan, asal asalan, dan menciptakan siswa “buta”. Buku teks yang terlalu sulit, akan menakutkan guru dan siswa. Sebaliknya, yang terlaiu mudah, juga kurang menantang. Maka, sebaiknya buku teks cukup memotivasi siswa untuk bergerak maju dan menunibuhkan rasa ingin tahu.
Seiring dengan era multikultural dan kebhinekatunggalikaan siswa, buku teks ideal perlu memperhatikan aspek diversity atau pluralisnte. Artinya, keragaman pengelolaan sekolah harus dilakukan supaya setiap siswa dan budaya terientu mendapatkan ternpat yang sungguh signifikan. Agar diversity ini sungguh mendapatkan tempat, maka dibutuhkan kebijakan buku teks yang ke arah keseimbangan antara equaltly dengan pluralisme. Setiap siswa mempunyai hak clan perlakuan yang sama (equality), tetapi setiap siswa juga mendapatkan perhatian secara pluralis, artinya yang kurang mampu lebih diperhatikan.
Saya memandang buku teks ideal paling tidak rnemiliki dua ciri pokok. Pertama, dari aspek relevansi atau muatan materi. Aspek ini menghendaki buku teks bukan harga mati, melainkan dapat berubah setiap waktu clan tergantung kapan dan di mana dipakai. Idealisme buku teks ke arah multikultural cukup penting, kaYena pembelajaran tingkat SMP dan SLTA kota, kita telah terjadi kontak lintas budaya. Tidak sedikit siswa dalam satu kelas yang memiliki aneka ragam suku, budaya, bahasa, minat, dan sejenisnya. Kedua, saya sejalan dengan TVC1g11T1 (1990:7) bahwa (tail aspek bentuk, buku teks sebagai pengisi bahan haruslah menampilkan sumber bahan mantap. Susunannya teratur, sistematis, jenisnya bervariasi, dan kaya.
Persyaratan lain yang patut dipertimbangkan dalam meyusun buku teks bahasa dan sastra Jawa ke depan yaitu: (1) memiliki tampilan menarik, berwarnawarni, (2) mendorong minat belajar, rasa ingin mengekplorasi, rasa ingin tahu, (3) disajikan dengan bahasa dan ilustrasi yang komunikatif, (4) memupuk kepribadian daii budi pekerti luhur, (5) menghindari kansep yang bersifat ambigu, (6) memiliki kompetensi yang sejalan dengan kurikulum dan perkernbanga jaman, (7) memupuk jiwa kretif. Dari tujuh kriteria ini, buku teks bahasa dan sastra Jawa akan disenangi siswa. Latihan-latihan dalam buku tersebut disertai petunjuk yang jelas, dan memungkinkan siswa berbuat lebih banyak. Pendek kata, buku tcks bahasa Jawa di sckolah seharusnya tidak Buku teks yang hanya disusun oleh segelintir orang, dengan dorongan komersial penerbit tertentu, hanya akan menjadi beban. Sebaiknya, buku teks disusun bersama oleh guru terpilih, didiskusikan oleh para ahli substansi dan penerbitan. Bahkan kalau penlu juga, mengundang ahli psikologi. Jika perlu, buku tersebut diujicobakan terlebih dahulu, kemudian direvisi seperlunya. Yang lebih penting lagi, daya rangsang dan kebermanfaatan buku teks amat dibutuhkan. Buku teks yang menciptakan suasana riang, suka, dan cenia juga akan memberi kesan bagus. Lebih hebat lagi, kalau buku teks tersebut dapat menuntun siswa belajar secara mandiri, tanpa harus tergantung guru.
Simpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penubelajaran bahasa Jawa di sekolah, terutama di tingkat lanjutan memerlukan kebijakan, strategi, langkah, inovasi dalan berbagai hal. Hal ini penting dilakukan, sebab di era multikultural dan kebinekatunggalikaan ini banyak hal yang terkait dengan eksistensi pembelajaran muatan lokal bahasa Jawa. Berkaitan dengan hal ini, ada beberapa hal yang dapat disarankan direkomendasikan agar pembelajaran bahasa Jawa di era kebinekatunggalikaan lebih memadai.
Pertama, pemerintah perlu mengintensifkan dan mensosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan ke arah pembelajaran sederhana (simple), (2) bernianfaat (useful), (3) menyenangkan (pleascant) atau menumbuhkan kebahagiaan (happiness) dan (4) menanamkan budi pekerti luhur.
Kedua, diperlukan “payung agung” berupa SK Gubernur/Bupati/ Walikota dan Perda pcmbelajaran bahasa Jawa.
Ketiga, pemerintah bersama-sama stakeholder perlu menyiapkan kompetensi guru bahasa Jawa yang memamdai, dengan cara melakukan “uji kompetensi” baik di tingkat awal pengangkatan guru maupun setelah menjadi guru
Keempat, perlu segera dilakukan pelatihan-pelatihan intensif di tiap-tiap Dinas Pendidikan, berkaitan dengan inovasi metode pembelajaran.
Kelima, perlu segera disusun kurikulum dan buku teks yang memadai, dengan mempert imbangkan aspek idealisme.
DAFTAR PUSTAKA
Keputusan KBJ I-111. Diterbitkan oleh Panitia KBJ emarang, Malang, dan Yogyakarta.
___________ . 2005. Surat Edaran Gubernur ienatng Penerapan Muatan Lokal Bahasa Jawa.
Budimansyah, Dasim. 2002. Metode pembelajaran dan Penilaian; Portofolio. Bandung: Genesindo.
DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki. 2003. Quantum Learning; Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.
Endraswara, Suwardi. 2003. Membaca, Menulis, dan Mengajarkan Sastra; Sastra Berbasis Kompetensi. Yogyakarta: Kota Kembang.
Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Rosda.
Sayuti, Suminto A. 2003. “Pengajaran Sastra sebagai Media Transformasi Edukatif, Kultural, cian Keluhurarr Budi Mannsia” dalam Sujarwanto dan Jabrohim (Ed.) Bahasa dan Sastra Indonesia Menuju Abad )00. Yogyakarta: Gama Media.
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Pemasyarakatan Sastra Jawa Modern. Solo: KSJ, 6-7 Juli.
__________________________ . 2002. Apresiasi Prosa Fiksi. Modul Pelatihan Terintegrasi
Berbasis Kompetensi Pengajar Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Dekdiknas.
Suhadi TC. 2005. “Manajemen Pembelajaran Sastra Jawa di Pendidikan SD”. Tulungagung: Makalah Sarasehan dan Temu Pengaraiig, Seperempat Abad HUT Triwida.
Suparno, 2002. Reformasi Pendidikan; Sebuah Rekomendasi. Yogyakarta: Kanisius.
Tarigan, Henry Guntur. 1990. Telaah Buku Teks Bahasa Indonesia. Bandung:Angkasa.
Tjahjono, Heru. 2005. “Guru Pelaku Utama dalam Mempertahankan Nilai-Nilai Tatakrama Jawa”. Tulungagung: Makalah Sarasehan dan Temu Pengarang, Seperempat Abad HUT Triwida.