Di Kalbar terdapat kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda dan lembaga swasta, yaitu misi Katolik dan madrasah-madrasah Islam. Adanya pendidikan sistem Barat, pendidikan Bumiputra tidak tinggal diam, mereka berusaha meningkatkan diri dengan sekolah ke luar pulau.
Sebagian warga Kalbar yang muslim, mengirimkan anak-anaknya menjadi santri di pulau Jawa maupun langsung ke jazirah Arab. Demikian juga para jemaah haji, wajib didata pemerintah Hindia Belanda, untuk menanggulangi Pan-Islamisme, gerakan kemerdekaan dari jajahan bangsa Eropa.
Setiap orang yang naik haji, pejabat Belanda memberinya gelar haji, untuk membedakan warga Islam yang belum naik haji. Alasannya, rata-rata orang yang kembali dari Mekkah (jazirah Arab), memiliki pemikiran tidak mau tunduk kepada penguasa Eropa.
Pemberian gelar haji, menjadikan petugas maupun pejabat Belanda, dapat mengawasi secara saksama. Alasannya dengan sendirinya, orang akan memanggil Pak Haji, sehingga mudah mencari alamatnya, kalau sewaktu-waktu meletus pemberontakan.
Tekanan tiap orang yang naik haji, tak menyurutkan ulama di Kalbar untuk menyeru kaum muslim yang mampu untuk naik haji. Alasannya di Mekkah akan berkumpul orang-orang berbagai ras, bangsa, bahasa, adat istiadat berlainan, namun dipersatukan dalam bermunajat kepada Tuhan. Sehingga mampu menimbulkan persaudaraan Islam yang mayoritas dijajah Eropa.
Karenanya ulama Kalbar yang tergugah atas Pan Islam mulai mengirimkan putra-putrinya menuntut ilmu ke Arab. Di antaranya Haji Muhammad Baisuni Imran, Haji Fauzi (adik Muhammad Baisuni Imran), dan Haji Abdrurrahman.
Di antara mereka yang sungguh cermerlang adalah Haji Fauzi Imran, tetapi hanya berada di Kalbar sekitar 4-5 tahun saja, sekembali dari Mesir. Alasannya tekanan dari Belanda setiap orang yang memiliki gelar haji, apalagi berpendidikan tinggi. Ia pun meninggal dan hanya membagikan ilmunya hanya di kisaran 4 tahunan saja.
Melihat kejadian itu, beberapa kenalan Haji Fauzi dari pulau Jawa dan sekitarnya datang ke Kalbar, untuk memperkuat pendidikan bagi warga pesisir yang di kala itu, kesejahteraannya sangat memprihatinkan.
Kemudian para santri-santri dari Sambas yang belajar di pulau Jawa juga kembali ke daerahnya untuk memperkuat pendidikan. Namun atas saran ulama Sambas, para santri itu tidak hanya menjadi guru di wilayah kerajaan Sambas, namun juga menyebar ke beberapa daerah pedalaman di Kalbar. Termasuk ke pedalaman Melawi (saat ini jadi kabupaten sendiri.
Kemudian saudara Haji Fauzi, Haji Baisuni Imran yang menjadi imam kerajaan Sambas, melihat tekanan Belanda, maka dia tak terlalu berlawanan demi memberikan pendidikan ke warga Sambas. Taktik itu cukup berhasil, walaupun ia tetap diawasi ketika sudah berbicara di depan umum tentang kesejahteraan warga.
Dalam memajukan pendidikan di kerajaan Sambas, didirikan Tarbiah Islamiah, sejenis sekolah rakyat (volksschool) dengan bantuan dan dukungan Sultan Sambas.
Pada tahun 1916, Sultan Sambas mendirikan madrasah As-Sulthaniah yang setingkat HIS, di mana juga diajarkan bahasa Belanda.
Masyarakat pedalaman, melalui misi Katolik juga mulai mengembangkan pendidikan Latin bagi suku dan Dayak dan Melayu. Sampai tahun 1910, pendidikan sekolah lanjutan menengah, masih belum ada di Kalbar. Mereka harus pergi ke pulau Jawa atau ke luar negeri, seperti ke negeri Belanda langsung.
Pertukaran pikiran antara pelajar beda pulau namun sama-sama dijajah Belanda itulah, timbul rasa kebangsaan, kalau persatuan antara warga di nusantara, dapat mengusir Belanda dari Bumi Pertiwi. (bersambung).
.
Sumber: http://www.equator-news.com/6-kebangkitan-nasional-melalui-pendidikan