“Tanah Pinoh dulu bagian dari Kerajaan Kotawaringin. Posisi inilah yang memungkinkan pendakwah Islam dari Banjarmasin untuk mengunjungi Sintang. Salah seorang penyebar Islam pertama ke Sintang adalah Muhammad Saman dari Banjarmasin. Sayang, tidak ada catatan yang menjelaskan jejak Muhammad Saman ketika melalui daerah Pinoh sebelum sampai ke Sintang,” kata peneliti sekaligus pengajar Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak, Hermansyah, dalam sebuah makalahnya.
Kabupaten Kotawaringin Barat dan kawan-kawannya sejak tahun 2002 mengajukan menjadi provinsi tersendiri, lepas dari Provinsi Kalteng yang beribu kota di Palangkaraya. Sebagai bagian dari peradaban Kerajaan Tanjungpura, Kotawaringin mengajukan permintaan kepada Kabupaten Ketapang supaya mau bergabung dengan calon Provinsi Kotawaringin, beralasan memiliki budaya yang sama dari Imperium Tanjungpura sejak abad 9 Masehi.
Akan tetapi usulan Kotawaringin ditolak dalam sidang DPRD Ketapang tahun 2003. Alasannya Ketapang ingin membentuk provinsi sendiri, Tanjungpura. Walaupun begitu, adat budaya Melayu Kotawaringin maupun suku Dayaknya, mirip dengan yang ada di Kalbar.
Muhammad Saman menyebarkan Islam di kawasan yang dilaluinya atau hanya lewat saja? Jika Muhammad Saman juga menyebarkan Islam di kawasan yang dilaluinya maka dapat dipastikan bahwa Islamisasi di kawasan Pinoh sama waktunya dengan Islamisasi di Sintang.
Pada masa Sultan Nata, Penghulu Luwan (putra Muhammad Saman) pernah diperintahkan oleh sultan untuk pergi negeri asal leluhurnya, yakni Banjarmasin untuk mencari Alquran. Setelah tiga bulan melalui jalan darat, Penghulu Luwan kembali lagi ke Sintang dan membawa Alquran hadiah dari Sultan Banjarmasin.
Selain itu, jelas Hermansyah, kemungkinan Islam sudah disebarkan di kawasan Melawi sejak zaman Muhammad Saman, ada juga kemungkinan lain bahwa Islam disebarkan pada masa Sultan Nata Muhammad Syamsuddin (1672-1737).
Diceritakan bahwa Sultan Nata melakukan ekspansi ke wilayah Ketungau Hilir dan Ketungau Hulu sampai perbatasan daerah Sarawak. Usaha ini dilakukan untuk mempermudah komunikasi dengan Sarawak selain untuk mencukupi kesediaan pangan bagi kerajaan karena daerah tersebut dikenal subur.
Perluasan daerah juga dilakukan ke daerah Melawi yang belum menjadi bagian kekuasaan Sintang pada masa Pangeran Tunggal. Kawasan Melawi yang belum dikuasai adalah Tanah Pinoh sampai Serawai. Pada masa itu daerah ini menjadi kekuasaan Kerajaan Madong yang terletak di Kotabaru, Tanah Pinoh (Syahzaman dan Hasanuddin 2003: 40-41; Yusuf Haris 1993: 9; Sofia Muzdalifah 2004: 8). Boleh jadi perluasan daerah ini bersamaan pula dengan penerimaan Islam oleh masyarakat setempat.
Dia pun mengungkapkan, keberadaan orang Islam di kawasan Melawi baru agak jelas ketika pada zaman Belanda. Pada masa Belanda, daerah aliran Sungai Melawi dan anak-anak sungainya menjadi bagian dari Kerajaan Sintang. Namun dalam administrasi Belanda dijadikan dua bagian yaitu: (1) Daerah aliran Sungai Melawi, dan (2) Tanah-tanah Pinoh (de Pinohlanden).
Dalam catatan Belanda di Nanga Pinoh pada abad ke-19 orang Melayu-Islam berdiam di sepanjang tepi kanan kiri muara pertemuan Sungai Melawi-Sungai Pinoh. Bagian hulu aliran Sungai Pinoh yang oleh Belanda disebut Tanah-tanah Pinoh (Pinohlanden) kemudian banyak didiami warga Sintang.
Daerah ini menjadi konflik Sintang dan Kotawaringin yang akhirnya dimenangkan oleh Sintang. Oleh Belanda pada tahun 1894 kawasan hulu Sungai Pinoh ini dilepaskan dari Kerajaan Sintang dan ditempatkan langsung di bawah administrasi Belanda dengan sebutan Tanah-tanah Pinoh dengan administrator seorang kontrolir Belanda yang berkedudukan di Nanga Pinoh.
“Pada masa itu sejumlah ‘kerajaan kecil’ yang ‘merdeka’ sesungguhnya di bawah kontrol Belanda adalah Nanga Pak, Karangan Purung, Kepala Gading, Nanga Sayan yang termasuk Pinoh Hilir. Di bagian Pinoh Tengah dan Hulu ada Kota Baru, Madung, Nanga Sokan, dan Laman Tawa,” ulasnya.
Lebih perinci, dikatakannya, tahun 1890 keberadaan orang Melayu-Islam di kawasan ini yang dicatat oleh Belanda ada 11 rumah di Nanga Pak, Karangan Purung 10 rumah, Kepala Gading 7 rumah, dan Nanga Sayang 50 rumah. Kota Baru merupakan tempat kedudukan raja setempat. Kota Baru digambarkan sebagai kampung yang makmur dan dianggap penting oleh Belanda.
Di sini terdapat 70-an rumah orang Melayu dan beberapa lanting yang didiami orang Cina. Pada masa itu oleh petugas Belanda digambarkan bahwa Madung merupakan kampung Melayu yang melarat yang hanya terdiri dari 10 rumah orang Melayu, letaknya kira-kira dua jam berkayuh ke hulu dari Kota Baru. Nanga Sokan yang letaknya kira-kira empat jam berkayuh dari Madung terdapat 36 rumah orang Melayu.
“Di hulu Madung terdapat sebuah kampung yakni Laman Tawa yang letaknya kira-kira berkayuh 8 jam. Di kampung ini terdapat 16 rumah orang Melayu. Orang-orang Melayu lain di hulu Sungai Pinoh mendiami sepanjang aliran sungai itu di samping Sungai Cina dan Sungai Sokan,” pungkasnya. (aji).
— —
http://www.equator-news.com/melawi/20120301/jejak-masuknya-islam-di-melawi