Jalan Menuju Unisma
Siang itu hari terasa panas sekali, bahkan pendingin ruanganpun tidak bisa menghapus rasa gerahku. Aku dan teman-temanku duduk di ruangan micro teaching menunggu dosen. Sembari menunggu, kami bercerita tentang banyak hal. Tiba-tiba aku teringat perjalananku menuju kampus ini sekitar tiga tahun yang lalu.
Setelah dinyatakan lulus dari SMA, aku dan temanku Eka memilih untuk melanjutkan studi ke Universitas Negeri Palangkaraya. Mungkin keberuntungan tidak berpihak pada kami. Kami tidak lulus tes. Kami pulang dengan penuh rasa kecewa.
Aku menangis dan terus-menerus memikirkan nasibku. Mau jadi apa aku nanti kalau tidak kuliah? Aku tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk bekerja. Beberapa hari aku larut dalam kesedihanku. Hingga suatu hari ayah datang membawa kabar gembira, beliau menyuruhku untuk kuliah di Malang.
Kata ayah, “Jangan mempermasalahkan kita kuliah dimana atau kuliah di universitas apa, itu semua sama saja. Tergantung individu yang menjalankannya. Jika ia menjalankan dengan baik insyaallah hasilnya akan baik, begitu pula sebaliknya”.
Dengan mengucap basmallah aku mengiyakan amanah ayah, lalu aku mengabari Eka. Eka juga ingin kuliah di Malang bersamaku. Tiga hari kemudian, Eka datang ke rumahku mengabarkan bahwa ia diizinkan untuk melanjutkan studi ke Malang.
Seminggu kemudian, kami berangkat dari Kumai menuju Surabaya dengan menggunakan kapal laut. Saat itulah ujian pertama kami datang, ujian yang harus kami hadapi berdua. Aku mabuk laut. Gelombang besar mengiringi perjalanan kami hingga tempat tujuan yaitu Surabaya.
Saat tiba di Surabaya, aku dan Eka kebingungan, tidak tahu harus kemana. Eka memutuskan untuk bertanya kepada salah satu polisi yang ada di pintu keluar pelabuhan Tanjung Perak. Kemudian, kami diantar ke salah satu bus yang menuju terminal Bungurasih. Sesampainya kami di sana, kami langsung mencari bus dengan tujuan Malang mengikuti instruksi pak polisi tadi.
Di terminal Arjosari Malang sudah ada bang Upi yang menunggu kami. Ia adalah anak dari teman baik orangtuanku. Ia sudah punya istri dan istrinya adalah alumni Universitas Islam Malang. Merekalah yang mengurus pendaftaran kuliah kami.
Di Universitas Islam Malang inilah tempat aku dan Eka menimba ilmu. Dengan bekal ilmu yang telah aku dapatkan sejak duduk di bangku sekolah dasar hingga SMA aku menjalankan amanah dari orangtuaku. Menuntut ilmu di tempat orang tidaklah mudah. Banyak ujian yang harus aku lalui tanpa orangtua di sampingku.
Kami hanya bisa berkomunikasi melalui telepon genggam untuk melepas rindu, berbagi cerita, dan mereka selalu memberikan semangan untukku.
Semangat itu masih terasa dan terus menggebu-gebu hingga kini saat aku duduk di kelas ini.
Orang yang kami tunggu akhirnya datang juga. Ia adalah dosen mata kuliah PPL 1. Tak terasa aku sudah berada di tangga teratas. Dua buah anak tangga lagi yang harus ku lalui agar aku bias meraih mimpiku, mewujudkan keinginan orangtuaku, dan melanjutkan cita-citaku untuk mengabdi pada nusa dan bangsa.
By: Eka Nurjanah (3k2 ?up173r)