IT’S MY WISH FOR YOU,
MY SPECIAL STUDENT……
Dina Merris
Esok adalah hari pertamaku mengajar. Aku dipercaya memegang mata pelajaran kesenian pada sebuah sekolah dasar berasrama atau yang lebih dikenal dengan boarding school. Begitulah trend style pendidikan di Indonesia masa kini. Entah karena kurang puas dengan kurikulum yang dicanangkan pemerintah atau karena imitasi kurikulum Negara lain, maka akhirnya kita mengenal sekolah dengan metode full day dan boarding school. Biarlah! Bagiku, yang telah menjual diri pada dunia pendidikan, bagaimanapun kurikulum yang dianut sebuah sekolah, yang terpenting goal seorang guru adalah mencerdaskan murid, yakni dari keadaan tidak bisa menjadi bisa.
Untuk hari pertama, aku harus membuat gebrakan. Aku harus membuat anak-anak surprise. Bukankah murid akan dengan mudah menerima pelajaran ketika dia menyukai gurunya? Maka semalaman aku mempersiapkan surprise yang akan aku persembahkan untuk para anak didikku. Mencuplik sebuah iklan, “Kesan pertama begitu mengagumkan, selanjutnya terserah Anda”
* * *
Bel masuk pun berbunyi. Aku bersiap menuju ruang ganti.
Teretett…. Aku telah berubah menjadi seorang badut dengan beberapa balon yang khusus aku tiup untuk tawa anak-anak kelas tiga sekolah dasar.
Rencanaku, dua jam ini, yang pertama akan aku isi dengan perkenalan sambil bernyanyi dan menari, dan jam kedua, anak-anak akan aku minta bereksplorasi dengan cat air.
Riuh menyeruak tatkala aku memasuki kelas. Luar biasa gaduh! Anak-anak berhamburan. Kami beradu dalam nyanyi dan tari. Berbagi dalam alunan melodi. Suasana kelas benar-benar hidup. Semoga aku benar-benar mengesankan bagi mereka, doaku membathin.
“Good morning, anak-anak…….Nama saya adalah Mister Jojon”, ucapku seraya mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris.
Disini, guru-gurunya memang diharapkan untuk bilingual dalam tiap proses belajar-mengajar. Sehingga akan tercetaklah output-output yang siap berkompetisi dalam ranah globalisasi pada kancah masyarakat.
“Hello, good morning Mister Jojon……..”, jawab anak-anak serentak
“Nice to meet you, guys………. And now, semuanya boleh corat-coret buku gambarnya dengan cat air. Ciptakan apa saja yang kalian sukai. It’s time for you…….”, pintaku lantang
“Horreyyy……”, teriak anak-anak membahana, yang aku yakin itu merupakan ungkap luapan kegembiraan mereka
Dunia anak-anak memang dunia yang indah. Dunia yang dipenuhi petualangan dan imajinasi. Alam fantasi mereka jauh lebih kaya dan lebih cerdas dibandingkan orang dewasa. Namun bagi mereka yang tidak memahaminya, maka harta karun tersebut dirampas begitu saja dengan gembok penjara larangan, hardikan, ancaman dan lainnya.
Aku menyaksikan mereka penuh semangat mencelupkan kuas pada warna-warni cat air dan menorehkannya menjadi berbagai bentuk yang mewakili luapan fikir mereka.
“What happen with you, honey…?”, tanyaku pada seorang anak lelaki yang nampak begitu murung. Dari awal aku memasuki kelas, dia terlihat amat sangat tidak bergairah.
“Hello……. Are you okey?”, tanyaku lagi karena dia sama sekali tidak berkutit. Buku gambarnya tertutup rapat serapat dia menutup mulutnya. Semuanya tertata rapi. Begitu pula posisi duduknya. Sama sekali tidak berubah.
“Apa kau tidak ingin diganggu?, tanyaku kemudian dengan mimik muka yang lebih serius. Berharap dia lebih terbuka. Tapi dugaanku salah. Dia sama sekali tidak berkutit. Oh, mungkin aku memang harus membiarkannya sendiri.
* * *
Aku tidak bisa tinggal diam. Beberapa kali dalam jam pelajaranku, ku lihat dia selalu diam. Tak bergerak. Tak bersuara. Bahkan tak menoleh sedikit pun kepada temannya. Sama sekali tidak terdapat bias semangat sedkit pun.
Ini aneh. Ada apa dengannya? Lebih-lebih aku mendengar, seluruh guru mengajukan kepada kepala sekolah bahwa anak tersebut kelak tidak akan mengalami kenaikan kelas. Semuanya mengeluhkan hal yang sama. Budi, bocah yang seharusnya telah duduk di kelas empat sekolah dasar, ternyata masih nangkring di bangku kelas tiga. Dan aku baru tahu, bahwa dia adalah siswa pindahan. Entah apa alasannya.
Aku harus membantunya.
Aku tidak percaya ada anak yang sama sekali tidak ada guratan ekspresi di wajahnya. Sepertinya banyak tragedi yang tidak diinginkannya, yang memaksanya harus patuh dan diam. Atau mungkin dia mengalami trauma akan sesuatu? Ah..entahlah. Percuma kalau aku hanya sekedar memutar tanda tanya di kepala tanpa aku mencari tahu.
Pulang sekolah, ku lihat semua murid telah menuju asramanya masing-masing. Begitu pula para guru dan jajaran staf karyawan telah menuju kediamannya masing-masing. Inilah waktuku untuk mencari tahu informasi tentang Budi.
Aku pun menuju ruang guru. Mencari dan mengambil kunci loker. Kemudian menuju ruang kelas Budi. Dan ku buka loker yang bertuliskan Budi Atmaja. Ku periksa bukunya satu persatu. Hanya sedikit tulisan di dalamnya. Sebagian besar kosong. Ya, banyak sekali halaman yang kosong.
Dan…
Ini dia jawaban atas sekelumit pertanyaanku. Tulisannya acak-acakkan. Budi mengalami kebingungan dalam menuliskan beberapa huruf. Huruf b, d, m, w, i dan l ditulis secara terbolak-balik. Dia kesulitan untuk membedakan mana huruf b dan d. kata bola ditulis doia. Kalimat saya pergi ke sekolah ditulis menjadi 5aya p3rgl k3 53koiah.
Jangan-jangan dia menderita dislexia?
Bergegas aku menuju ruang tata usaha untuk mencari keterangan lebih lanjut tentang data diri dan keluarga Budi. Aku pun menemukan arsipnya. Ku catat alamat dimana orangtua Budi tinggal. Aku harus mencari tahu kepada orangtuanya. Kalau toh memang benar Budi mengalami dislexia, maka harus ada penanganan. Bukannya dibiarkan begitu saja. Dan dia pun kehilangan masa depannya.
* * *
Sekarang aku telah berada di depan sebuah rumah mewah. Rumah dimana tinggal di dalamnya keluarga Budi. Hari ini adalah hari minggu, maka pasti aku bisa menjumpai kedua orangtuanya.
Pintu rumah pun dibuka. Dan aku dipersilahkan masuk serta duduk di atas sofa putih tulang yang tertata rapi di ruang tamu. Ternyata Budi berasal dari keluarga kaya. Dari data yang aku lihat di ruang tata usaha kemarin, tertulis disitu bahwa papa Budi berprofesi sebagai seorang pengacara.
“Perkenalkan nama saya Jonathan Darmawan. Anak-anak biasa memanggil saya Mister Jojon. Saya guru kesenian dari Budi Atmaja, putra bungsu bapak dan ibu yang sekarang duduk di kelas tiga sekolah dasar”, ujarku memperkenalkan diri di depan orang tua dan kakak lelakinya. Budi adalah anak kedua keluarga Atmaja. Dia memiliki seorang kakak lelaki yang duduk di bangku sekolah menengah pertama.
“Saya datang kesini tidak ada maksud apa-apa. Hanya sekedar kunjungan guru. Home visit. Kalau boleh tahu, kegiatan apa yang sangat digemari Budi?”, tanyaku mencoba menarik perhatian
“Melukis…”, jawab mama dan kakaknya serempak. Sepertinya sang papa jarang berada di rumah. Karena ku lihat sedari tadi dia kurang mengetahui tentang sepak terjang Budi. Berbagai pertanyaan kebanyakan dijawab oleh mama dan kakaknya.
“Boleh saya melihat karyanya? Siapa tahu Budi berbakat dan saya bisa mengikutsertakannya dalam ajang perlombaan melukis”, ucapku kemudian
Sang ibu pun beranjak dari ruangannya, menuju ke dalam bilik rumah. Dan tak begitu lama, dia kembali dengan membawa beberapa buku.
Aku membukanya satu per satu. Aku terpesona. Gambarnya benar-benar hidup. Bukan gambar biasa yang lazim dibuat oleh anak seusianya. Belum selesai aku mengagumi karyanya, ku dengar sang ibu menyampaikan sesuatu.
“Dia juga membuat gambar raksasa di dalam kamarnya”, ujar sang ibu
“Oh ya…? Boleh saya melihatnya?”, sambutku kemudian
“Tentu saja. Mari saya antar”, ucapnya seraya berdiri dan mengantarkan saya menuju kamar tidur Budi
Wow…wonderful!!!
Dia mengubah ruangannya menjadi hamparan kanvas raksasa. Dinding-dindingnya dipenuhi lukisan. Sangat menakjubkan! Padahal sangat sulit bagi anak seusia Budi untuk melukis dalam ukuran raksasa seperti ini. Wah…sungguh mengagumkan.
Seusai mengagumi karya-karya maestronya, kami kembali menuju ruang tamu.
“Yang saya tahu, Budi itu adalah siswa pindahan. Kalau boleh saya tahu, mengapa dia dipindahkan dan disekolahkan di sekolah asrama yang jauh dari keluarganya?”, tanyaku mencoba menggali informasi
“Dia tidak naik kelas. Nilai-nilainya kacau berantakan. Kami tidak ingin malu. Maka kami pun mengambil keputusan untuk menyekolahkan Budi di sekolah asrama yang jauh dari rumah. Berharap supaya dia lebih mandiri dan tidak hanya disibukkan dengan bermain”, jelas sang ibu
Bermain?? Bukankah Budi seorang anak pemurung?? Yang sepanjang jam pelajaran, hanya diam tanpa ada gerakan dan suara??
“Bermain?? Memangnya Budi suka bermain apa?”, tanyaku
“Sepak bola…”, jawab sang kakak antusias
“Tapi dia nggak bisa main. Tendangannya sama sekali ngawur. Tidak fokus. Main bola apa namanya kalau sekedar muter-muter berlarian tak tentu arah. Sekolah bodoh. Main bola juga bodoh. Sama sekali tidak bisa dibanggakan. Berbeda sekali dengan Bima Atmaja. Prestasi akademiknya selalu bagus. Selalu mendapat peringkat satu. Benar-benar anak yang bisa dibanggakan”, kata pak Atmaja yang sedari tadi diam. Dia begitu membanggakan putra sulungnya. Bima Atmaja yang seringkali disebut-sebut sering menyabet prestasi-prestasi di sekolahnya. Memang sangat nampak dari raut wajahnya yang begitu bersih, enerjik dan jenius. Sangat berbeda dengan adiknya, yang sama sekali tidak bergairah.
“Boleh saya lihat buku catatan Budi. Buku catatan sekolah maksud saya”, ucapku mencoba memeriksa tulisan Budi
Sang ibu dengan tangkas menyodorkannya pada ku sesudah beberapa saat mengambilnya di dalam rumah. Aku mulai membuka buku catatan Budi satu per satu.
“Selain seorang guru kesenian, saya juga seorang sarjana Psikologi. Benar dugaan saya rupanya. Putra bapak dan ibu, Budi Atmaja mengalami dislexia”, ucapku mencoba memancing respon orangtua Budi
“Dislexia???”, tanya kedua orangtua dan kakak Budi berbarengan
“Ya… Dislexia!! Dislexia adalah salah satu gangguan belajar. Anak tidak bisa membaca dan menulis dengan baik. Budi mengalami kebingungan dalam membaca dan menulis beberapa huruf yang memiliki kemiripan satu sama lain. Coba Anda perhatikan tulisan Budi dengan seksama. Dia mengalami kebingungan dalam menuliskan huruf b,d, m, w, i maupun l. Coba bandingkan dengan tulisannya sekarang. Kebetulan saya membawa salah satu buku catatan Budi. Dia pun mengalami hal yang sama. Tidak jauh berbeda. Malahan lebih parah. Anda perhatikan, bahwa dia hanya menulis beberapa lembar saja. Tahukah Anda bahwa Budi setiap hari dan pada jam pelajaran apapun tidak berkutit sama sekali. Dia tidak bergerak dan tidak bersuara. Tidak menulis dan juga tidak membaca. Dia hanya mengeluarkan bukunya dan meletakkannya di atas meja. Tidak membukanya sama sekali. Bahkan semua guru sudah membuat kesepakatan, Budi terancam tidak naik kelas. Bahkan kemungkinan akan dikeluarkan. Mereka semua menilai Budi adalah seorang autis. Yang hanya layak bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) atau sekolah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Tidak bisa menendang bola dengan baik adalah satu tandanya. Anak penderita dislexia cenderung tidak bisa fokus. Dia mengalami kebingungan. Terlalu banyak perintah yang acak dalam memorinya. Dan kita harus membantunya”, jelasku panjang lebar. Dan ku lihat kedua orangtua dan kakak Budi memperhatikan dengan seksama. Menyiratkan rasa ketidakpercayaan akan realita yang tengah membelit sang anak.
“Sebenarnya tujuan utama kedatangan saya kesini adalah untuk ini”, ucapku seraya menyodorkan selembar kertas. “Beberapa hari yang lalu, saya berseteru dengan jajaran dewan guru dan kepala sekolah. Mereka semua bersikukuh pada keyakinan mereka bahwa Budi menderita autis dan hanya bisa belajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) atau sekolah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Tapi saya bersikeras kalau Budi hanya menderita dislexia. Bukan autis. Dan memasukkannya di Sekolah Luar Biasa (SLB) atau sekolah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) hanya akan menambah catatan hitam dalam sejarah hidupnya. Budi sekarang tengah mengalami tekanan mental. Itu kenyataannya. Dan saya akan membantunya. Ini adalah surat pernyataan orangtua yang menyatakan setuju atau tidak jika Budi mendapatkan tambahan bimbingan belajar. Dan saya sendiri yang akan turun tangan. Saya seorang psikolog. Saya seorang psikolog anak. Saya yakin Budi akan sembuh. Saya percaya setiap anak dilahirkan istimewa. Dan Budi adalah salah satu anak yang istimewa tersebut. Tolong izinkan saya membantunya. Saya hanya butuh persetujuan. Ini tidak memerlukan biaya. Budi perlu ditolong. Kalau sampai dia dikeluarkan, maka dia akan semakin kehilangan semangat hidupnya. Dan itu sama saja kita membunuhnya secara perlahan. Tolong percaya pada saya. Demi Budi. Budi Atmaja”, pinta saya panjang lebar seraya memohon pada Sang Penggenggam Kekuasaan
Lama tak ada gerakan. Tak ada suara. Mereka saling berpandangan satu sama lain. Masih shock dengan kenyataan yang mendera putra bungsunya. Putra bungsu keluarga kaya raya dan terpandang.
“Kami harap Anda tidak mengada-ada, Mister Jojon”, jawab Tuan Atmaja ketus. Meskipun kalimatnya sangat menyiratkan kesombongan, namun aku lega karena ku lihat dia mangayunkan pena untuk menorehkan tanda tangan bukti persetujuan.
“Keputusan Anda sangat tepat, tuan Atmaja”, sambut saya mantap seraya melayangkan senyum kepuasan.
Seusai berpamitan. Aku yang sepanjang perjalanan menempuh kereta api, merancang berbagai kegiatan yang kelak akan dilalui Budi. Ya!! Sebelum aku mengajarinya calistung, aku harus mendapatkan simpati Budi. Anak itu telah krisis kepercayaan. Dia merasa dirinya sudah tidak berharga.
* * *
“Begitulah kisah Albert Enstein. Nilainya di sekolah dasar sangat buruk sampai gurunya menyuruhnya berhenti sekolah dan berkata kepada Einstein, ‘Kamu tak akan bisa belajar apa saja ‘. Dan banyak orang yang tidak bisa membaca dan menulis, namun berhasil menjadi tokoh dunia. Ada juga Walt Disney, Woodrow Wilson, Isaac Newton dan mereka semua yang fotonya ada disini”, jelasku sambil menunjukkan gambar-gambar tokoh dunia yang mengalami kekurangan fisik maupun mental.
“Kok ada fotonya Mister Jojon?”, tanya seorang anak
“Karena Mister Jojon adalah salah satu penyandang dislexia. Mister Jojon nggak bisa membaca dan menulis. Tapi Mister jojon bisa membuktikan kalau kelemahan Mister Jojon bisa diasah dan sekarang Mister Jojon bisa menjadi psikolog anak, bahkan menjadi your teacher”, ucapku sambil tertawa terbahak-bahak.
Ups!!! Ada yang merangkulku. Mendekap sangat erat sambil mencurahkan air matanya. Aku pun berjongkok dan memandangnya, mencari jawab siapa gerangan bocah yang merangkulku dengan penuh kasih. Ouw… Budi Atmaja.
“I want to be like you, Mister Jojon”, ucapnya sambil terisak-isak
Aku meraih tubuhnya. Memeluknya dengan sangat erat. Aku akan membantumu. Aku berjanji. Aku akan mengembalikan kebahagiaanmu. Dan aku akan menyelenggarakan olimpiade melukis supaya semua orang bangga pada mu. Dan kau pasti akan mencetak prestasi-prestasi. Akademik, bola, lukis, semuanya!! Tekadku dalam hati.
***
Merice Syahidah adalah nama pena dari Dina Merris Maya Sari. Wanita kelahiran Sidoarjo, 07 April 1987 silam ini menekuni dunia pendidikan. Pernah terjun di dunia pendidikan anak usia dini dan pendidikan anak sekolah dasar. Meski disibukkan dengan kedua permata hatinya, ia masih aktif mengasuh dan membina Rumah Yatim Ukhuwwah.
Dia juga aktif dalam wadah penulis Sidoarjo atau yang lebih dikenal dengan FLP Sidoarjo. Karyanya antara lain : Kehangatan Sang Surya (cerpen, 2006), Halilintar Untuk Indonesiaku (cerpen, 2008), Ranah Penaku (Esai, 2011), Kemiskinan (Motivasi, 2012).
Innallaha ma’ana wa fathun qarib, begitulah motto hidupnya dan dakwah baginya adalah lahan yang bisa disampaikan lewat media apapun.