JAKARTA (Pos Kota) – Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mendesak agar pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran ditunda. Organisasi profesi ini memandang RUU itu sangat berpotensi merugikan masyarakat dan dunia pendidikan kedokteran.
”Pembahasan RUU sudah menyimpang dari tujuan semula, yaitu membenahi mahalnya pendidikan kedokteran. Sekarang IDI berseberangan dengan DPR RI,” tegas Ketua Umum PB IDI Prijo Sidipratomo, Senin, di Jakarta.
Terdapat sejumlah alasan kuat bagi IDI untuk memboikot pembahasan draft RUU yang tengah dibahas di Komisi X DPR RI. Pertama, RUU yang dijadwalkan dapat disahkan pada April nanti ini, tidak secara tegas menyatakan negara berkewajiban menanggung biaya pendidikan kedokteran.
Menurut Ketua PB IDI, hal ini dapat mengancam hasrat masyarakat yang ingin menempuh kuliah bidang kedokteran. Sebagaimana diketahui biaya pendidikan kedokteran di negara kita semakin hari semakin mahal saja.
Sekjen PB IDI Slamet Budiarto mencontohkan, mahalnya biaya pendidikan kedokteran bahkan sudah sampai di Kota Palu, Sulteng. Universitas negeri di sana mematok uang masuk fakultas kedokteran hingga Rp160 juta. Padahal biaya di universitas swasta di kota kecil itu
hanya dipatok Rp60 juta.
Selain minimnya peran pemerintah dalam menanggung beban biaya pendidikan kedokteran, kebijakan dari RUU yang menyerahkan biaya pendidikan bisa diputuskan oleh fakultas kedokteran masing-masing dinilai sangat riskan.
”Sudah jad rahasia umum fakultas kedokteran cenderung menarik biaya secara tidak terkontrol,” sebut Prijo.
Draft ini, kata dia, juga berpotensi membuat pelanggaran HAM bagi lulusan
dokter. Pasalnya lulusan dokter diwajibkan mengikuti Program Kerja Wajib
Sarjana di wilayah terpencil.
Bagi Prijo ini adalah bentuk pemaksaan. Pasalnya pemerintah tidak berhak memaksa dokter yang sekolah dengan biaya sendiri tanpa sepeserpun dibantu pemerintah untuk bertugas di daerah terpencil.
Dia menambahkan, RUU ini tidak mengatur pendidikan dokter spesialis untuk tugas jaga dibatasi waktu. Kerap dijumpai di lapangan, dokter yang mengambil pendidikan spesialis dipaksa melakukan 10 kali operasi di malam hari dan siangnya kembali diminta melakukan 10 kali operasi.
”Ini berbahaya bagi masyarakat. Dokter bisa salah melakukan kerja,” protes Prijo. Harusnya waktu jaga pendidikan spesialis dibatasi 48 jam per minggu.
RUU PT
Prijo juga menyesalkan sikap Komisi X selaku pihak yang berinisiatif mengeluarkan RUU memanggil pakar yang tidak jelas sebagai narasumber penyusunan draft RUU. Prijo menjelaskan, ada seorang narasumber berinisial”L” yang dianggap sebagai ahli ekonomi kesehatan oleh Komisi X, namun menurut IDI kredibilitasnya sangat diragukan.
Berkaca dari beberapa potensi yang dapat merugikan dunia kesehatan, IDI meminta sebaiknya RUU ini tidak perlu disahkan. Menimpali keterangan Ketua PB IDI, Slamet malah berpikir sebaiknya bidang pendidikan kedokteran diatur dalam bentuk peraturan pemerintah saja. Pasalnya saat ini juga tengah dibahas RUU Perguruan Tinggi (RUU PT) di DPR yang dinilai memiliki obyek pengaturan yang sama. (aby/b)
Teks:Ketua Umum PB IDI Dr Prijo Sidipratomo (kiri) didampingi Sekjen PB IDI Dr Slamet Budiarto (kanan) (aby).
— —
http://www.poskotanews.com/2012/03/26/idi-boikot-ruu-pendidikan-kedokteran/