Identifikasi dan Model Intervensi Gangguan Kesulitan Belajar
pada Siswa Sekolah Dasar di Surabaya
Oleh
Nur Ainy Fardana Nawangsari dan Veronika Suprapti
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Siswa yang mengalami gangguan kesulitan belajar memperlihatkan permasalahan signifikan dalam beberapa aspek belajar, yaitu membaca, menulis dan berhitung meskipun taraf intelegensinya tergolong rata-rata atau diatas rata-rata (Lerner, 2001). Gangguan kesulitan belajar mengakibatkan rendahnya prestasi akademik. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk gangguan kesulitan belajar yang dialami siswa Sekolah Dasar (SD) serta menyusun model penanganan/intervensi yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar. Subyek penelitian sebanyak 510 siswa kelas IV hingga VI SD di Surabaya. Metode pengumpulan data menggunakan observasi, test formal dan informal kesulitan belajar, portofolio, serta interview pada siswa yang mengalami permasalahan akademik Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 112 siswa (19.8 %) teridentifikasi mengalami gangguan kesulitan belajar dalam bentuk gangguan kesulitan belajar membaca (disleksia), gangguan kesulitan belajar menulis (disgrafia), atau gangguan kesulitan belajar berhitung (diskalkulia). Prosentase siswa yang mengalami disleksia 78,5 %, disgrafia 84.38 %, dan diskalkulia 38,6 %. Berdasarkan jenis kelamin ditemukan bahwa siswa laki-laki menunjukkan prosentase yang lebih tinggi dibanding siswa perempuan (53.6% : 46.4%). Guru menganggap siswa yang mengalami gangguan kesulitan belajar sebagai bodoh atau malas dan cenderung mengabaikan gangguan tersebut. Model intervensi yang dapat dilakukan pada siswa yang mengalami disleksia, diskalkulia dan disgrafia adalah Individual Educational Program (IEP) yang dirancang secara sederhana sesuai dengan situasi dan kondisi siswa di kelas.
Kata Kunci : Gangguan Kesulitan Belajar, Siswa Sekolah Dasar
I. PNDAHULUAN
Gangguan kesulitan belajar (learning disabilities/ LD) merupakan salah satu permasalahan yang banyak ditemui dalam dunia pendidikan. LD menyangkut ketidak mampuan siswa untuk menyelesaikan tugas-tugas akademiknya secara tepat. LD adalah kondisi yang dialami siswa berkait dengan adanya hambatan, keterlambatan dan ketertinggalan dalam kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Siswa yang berkesulitan belajar adalah siswa yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus maupun umum, baik disebabkan oleh adanya disfungsi neurologis, proses psikologis dasar maupun sebab-sebab lain sehingga presatsi belajarnya rendah dan anak beresiko tinggi tinggal kelas (Yusuf, M, 2003).
Hallahan dan Kauffman (1988) mengungkapkan bahwa prevalensi LD sangatlah bervariasi, dari 1% hingga 30%. Secara umum, prevalensi kesulitan belajar mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Prevalensi anak kesulitan belajar pada sekolah umum di Amerika Serikat pada tahun 1976-1977 sebesar 1,8 % (Lyon, dkk., 2001). Hallahan dan Kauffman (1988) mengemukakan bahwa menurut US Department of Education, 4,73% populasi usia sekolah mengalami kesulitan belajar pada tahun 1985-1986. Lyon, dkk. (2001) menyebutkan bahwa pada tahun 1997-1998, prevalensi kesulitan belajar mencapai 5,2%. Hal ini setara dengan yang dikemukakan oleh Graziano (2002) bahwa pada tahun 1996 diperkirakan 5- 6% anak sekolah usia 6 hingga 18 tahun di Amerika Serikat mengalami kesulitan belajar. Lebih lanjut, pada tahun 1976-1977, anak-anak dengan kesulitan belajar mencakup 22% dari anak usia sekolah pada program pendidikan khusus, pada tahun 1997-1998, presentasenya mendekati 52%. Dalam 10 tahun terakhir, jumlah siswa berusia 6-21 tahun yang diidentifikasi mengalami kesulitan belajar oleh IDEA meningkat sebesar 38%, dengan peningkatan terbesar (44%) pada siswa yang berusia 12-17 tahun (Lyon, dkk., 2001). Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa dari 3.2 15 murid kelas satu hingga kelas enam SD di DKI Jakarta, terdapat 16,52% siswa yang dinyatakan sebagai murid berkesulitan belajar oleh guru (Abdurrahman, M, 1999).
Penelitian sebelumnya oleh Balitbang Dikbud dengan menggunakan instrumen khusus dalam peneitian di empat provinsi pada 1996 dan dilaporkan 1997, menemukan bahwa terdapat sekitar 10 % anak mengalami kecsulitan belajar menulis, 9 % mengalami kesulitan belajar membaca, dan lebih dari 8 % mengalami kesulitan berhitung. Di samping itu, diketahui pula bahwa 22 % anak berkesulitan belajar mempunyai intelegensi tinggi, 25 % sedang dan 52 % kurang. Sejalan dengan hasil penemuan tersebut, dari hasil doagnosis terhadap 659 pasien berkesulitan belajar di RS dr. Karyadin Semarang dalam kurun wakru 1991, ditemukan 26.3 % mengalami ganguan pemusatan perhatian plus Disfungsi Minimal Otak (DMO) lain, 18.6 % mengalami disfasia (gangguan bahasa), disleksia (gangguan membaca) dan diskalkulia (gangguan berhiung) (Hartono, 1991 dalam Yusuf, M, 2003). Menurut Hallahan et al (dalam Abdurahman, M, 1999) jumlah anak berkesulitan belajar meningkat secara dramatis.
Dari pemaparan diatas jelas terlihat bahwa LD merupakan kondisi yang dapat dialami oleh siswa, dengan prevalensi yang cenderung meningkat. Hal tersebut berdampak pada terhambatnya kemampuan siswa dalam menguasai tujuan belajar yang harus dicapainya, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kualitas hasil belajarnya. Sebagai akibatnya adalah
adanya kendala dalam kelancaran proses belajar. Banyak siswa yang mengulang disebabkan karena mereka mengalami LD secara akademis.
Sehubungan dengan jumlah siswa yang mengulang, potret pendidikan di kota Surabaya tahun 2004/2005, khususnya pada pendidikan dasar terlihat jumlah murid SDN (Sekolah Dasar Negeri)/Swasta yang mengulang sebanyak 4.0954 dari total 231.377. Implikasi dari fenomena ini menjadi amat menarik karena bertentangan dengan kebijakan pemerataan kesempatan pendidikan. Dengan kata lain adanya murid yang mengulang menjadikan bangku yang seharusnya dapat ditempati oleh siswa baru atau murid yang naik kelas menjadi terbatasi. Hal ini tentunya mempengaruhi tingkat efisiensi pendidikan (Sumber : Data dari Dinas P dan K Kota Surabaya, 2005). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa permasalahan LD berdampak pada prestasi akademik siswa secara khusus dan secara secara umum berdampak pada kurangnya efisiensi dan efektivitas pendidikan.
Berkait dengan permasalahan diatas, diperlukan penanganan yang tepat sebagai bentuk intervensi LD. Agar dapat melakukan penanganan secara tepat, harus didahului oleh identifikasi yang tepat pula. Oleh karena itu diperlukan penelitian yang dapat mengindentifikasi LD secara tepat sehingga dapat disusun model intervensi yang tepat pula.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana identifikasi bentuk – bentuk gangguan kesulitan belajar (LD) yang dialami siswa dan gambaran siswa yang mengalami LD berdasarkan usia, jenis kelamin, kelas dan intelegensi serta bagaimana model intervensi yang dirancang untuk menanganinya.
Tujuan
- Mengidentifikasi bentuk-bentuk gangguan kesulitan belajar (LD) dalam jenis gangguan belajar membaca, menulis dan matematika/berhitung.
- Mendapatkan model intervensi yang dapat digunakan dalam menangani siswa berkesulitan belajar di kelas.
Lingkup dari penelitian ini adalah gangguan kesulitan belajar yang bukan disebabkan oleh keterbatasan fisik (kecacatan atau hambatan perkembangan) dan dialami oleh siswa pada pendidikan yang bersifat regular di sekolah dasar.
Metode
Tipe penelitian adalah deskriptif eksplanatif, dimana penelitian ini berupaya untuk mendapatkan gambaran secara rinci dan komprehensif dalam mengidentifikasi gangguan kesulitan belajar pada siswa SD yang mengalami permasalahan akademis dalam bentuk gangguan kesulitan belajar serta menjelaskan model intervensi yang dapat digunakan untuk menanganinya. Subyek penelitian yang digunakan adalah siswa SD yang berasal dari 5 SDN di Surabaya. Jumlah keseluruhan populasi adalah 1023 anak dari kelas I hingga VI dari seluruh sekolah yang digunakan sebagai tempat penelitian. Penentuan sample menggunakan purposif yaitu kelas IV, V dan VI yang mengalami hambatan belajar dan berprestasi rendah. Penentuan pada kelas IV, V dan VI didasari pemahaman bahwa kategori kesulitan belajar akademik biasanya tidak terdiagnosa hingga anak berada di kelas tiga atau setelahnya (Graziano, 2002). Berdasarkan hasil purposive sampling diperoleh subyek penelitan sebagai berikut :
Tabel 1.1 Jumlah Subyek Penelitian |
||||
SDN |
Kelas |
Jumlah |
||
IV |
V |
VI |
||
Gubeng III |
38 |
36 |
43 |
117 |
Kertajaya I |
38 |
40 |
51 |
129 |
Mojo IX |
32 |
29 |
26 |
87 |
Mojo X |
38 |
23 |
37 |
98 |
Mulyorejo II |
33 |
24 |
27 |
84 |
136 |
153 |
194 |
510 |
Teknik – teknik yang digunakan untuk menggali data dalam penelitian ini adalah : Observasi, Wawancara, Tes Formal dan Tes Informal. Penggalian data meruoakan assesmen LD. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel, gambar dan narasi. Setelah data tersaji, peneliti melakukan analisis secara kualitatif
II. KAJIAN TEORI
Definisi kesulitan belajar yang dimuat dalam Individuals with Disabilities Education Act (IDEA) tahun 1997. Didalamnya disebutkan bahwa “spesific learning disabilities” berarti suatu gangguan dalam satu atau lebih proses – proses psikologis dasar yang terlibat dalam pemahaman atau penggunaan bahasa lisan atau tertulis, yang dimanifestasikan dalam kemampuan yang tidak sempurna dalam mendengar, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau melakukan perhitungan matematis (Lerner, 2003). Definisi tersebut tidak dapat diaplikasikan pada anak-anak yang memiliki permasalahan belajar terutama yang disebabkan oleh ketidakmampuan penglihatan, pendengaran, atau ketidakmampuan motorik, atau retradasi mental, atau gangguan emosional, atau oleh keadaan lingkungan, kultural atau ekonomi yang merugikan (Graziano, 2002; Lerner, 2003).
Berdasarkan definisi tersebut diatas, tidak mudah membuat klasifikasi kesulitan belajar karena merupakan kelompok kesulitan yang heterogen, kesulitan belajar memiliki banyak tipe yang masing-masing memerlukan diagnosis dan remediasi yang berbeda-beda. Secara garis besar. Abdurrahman, M (1999) mengklasifikasikan kesulitan belajar kedalam dua kelompok, yaitu kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan dan kesulitan belajar akademik. Kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan mencakup gangguan motorik dan persepsi, kesulitan belajar bahasa dan komunikasi dan kesulitan belajar dalam penyesuaian perilaku sosial. Hal ini, merupakan kondisi pra syarat yang terjadi pada masa pra sekolah. Sedangkan kesulitan belajar akademik terjadi pada usia sekolah.
Kesulitan belajar akademik menunjuk pada adanya kegagalan-kegagalan pencapaian prestasi akademik yang sesuai dengan kapasitas yang diharapkan. Kegagalan-kegagalan tersebut mencakup penguasaan ketrampilan dalam hal:
- Membaca
- Menulis
- Matematika/Berhitung
Dalam penelitian ini gangguan kesulitan belajar yang dimaksud adalah gangguan kesulitan
belajar akdemik. Pada dasarnya siswa-siswa SD yang mengalami gangguan kesulitan belajar
akademik memiliki sejarah gangguan kesulitan belajar pada usia pra sekolah. Akan tetapi yang
termanifestasi pada usia sekolah adalah kegagalan-kegagalan dalam penguasaan ketrampilan membaca, menulis dan berhitung. Ketiga hal ini pula yang menjadi aspek yang diidentifikasi dan disusun model intervensinya dalam penelitian ini.
Sebagaimana prevalensi gangguan kesulitan bekajar yang cenderung meningkat, banyak peneliti melakukan kajian terkait dengan assessment dan intervensinya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fletcher, dkk (2002) menyebutkan bahwa assesment yang dilakukan terhadap siswa yang mengalami gangguan kesulitan hendaknya menggunakan pendekatan yang melibatkan tiga komponen yaitu eksklusi, disceprancy, dan heteroginitas. Pendekatan ini menekankan upaya assesment yang mengarah pada pengembangan rencana intervensi. Dalam penelitian ini juga disebutkan assesment yang dilakukan tidak perlu melibatakan tes IQ, karena hasil tes IQ tidak memberikan kontribusi terhadap perencanaan intervensi yang akan dilakukan. Domain assesment yang dimaksudkan oleh Fletcher dkk (2002) sebagai implikasi tiga komponen tersebut adalah :
(1) Oral Expression
(2) Listening Comprension
(3) Griten Expresion
(4) Basic Reading Skill
(5) Mathematics Calculation
(6) Reading Comprension
(7) Mathematics Reasoning
Secara khusus, Sternberg dan Grigorenko (2002) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat beberapa alasan mengapa skor IQ tidak memberikan makna yang cukup memadai untuk mengidentifikasi gangguan kesulitan belajar siswa. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Truscott dan Frank (2001), yaitu bahwa pengklasifikasian gangguan kesulitan belajar yang menyandarkan pada hasil tes IQ akan dipengaruhi oleh flynn effect. Oleh karenanya assesment gangguan kesulitan belajar yang didasarkan pada skor IQ kurang signifikan. Dengan demikian hasil tes IQ tidak dapat digunakan sebagai alat yang mendeteksi gangguan kesulitan belajar. Oleh karenanya dalam penelitian ini tidak menggunakan instrumen tes IQ sebagai alat untuk mengidentifikasi gangguan kesulitan belajar.
Mathew (2001 dalam Lerner, 2003) mengembangkan suatu alat diagnosa gangguan kesulitan belajar sebagai hasil dari penelitiannya, yaitu Learning Disability Evaluation Scale (LDES). Alat ini menggunakan teknik observasi untuk mendapatkan diagnosa tentang kesulitan belajar, terdiri dari 88 item yang skalanya didasarkan pada definisi kesulitan belajar dari IDEA.
Kauffman dan Forness (1987 dalam Lerner, 2003)) dalam penelitian telah mengujicobakan serangkaian tugas-tugas yang dapat mengungkap adanya gengguan kesulitan belajar. Berdasarkan tugas-tugas tersebut, ia menyususn alat yang disebut dengan Tes of Writtten Expression (TOWE). Alat ini terutama dimaksudkan untuk menggungkap gangguan kesulitan belajar menulis.
Beberapa model intervensi gangguan kesulitan belajar yang telah diterapkan
Abdurrahman, M (1999) menyebutkan model pendidikan terintegrasi sebagai penanggulangan kesulitan belajar. Dasar model ini adalah hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dua belahan otak memiliki fungsi yang berbeda. Belahan otak kiri memiliki fungsi berpikir linier, sekuensial, rasional analitik, membaca, bahasa, komputasi matemática dan penemuan; sedangkan belahan otak kanan mengemban fungsi keruangan, holistik, kreasi seni, konsep matematis, sintetik, intuitif dan logika (Clark, 1983). Hasil penelitian ilmiah ini mengimplikasikan perlunya pendidikan yang mengintegrasikan berbagai fungsi kedua belahan otak itu.
Hallahan, dkk (1985 dalam Abdurrahman, M, 1999) mengemukakan strategi pengembangan ketrampilan metakognitif yang terdiri dari lima tahap, yaitu menjelaskan tujuan membaca, memusatkan perhatian-perhatian penting pada bacaan, memantau taraf pemahamannya sendiri, membaca ulang dan membaca cepat lebih dahulu, menggunakan kamus atau ensiklopedi.
Lerner (2003) menggunakan model program intervensi dini untuk menaggulangi gangguan kesulitan belajar, yaitu (1) Program Pengayaan (2) Program Pengajaran Langsung (3) Program yang menekankan pada kognitif (4) Program Kombinasi. Program pengayaan bertolak dari pandangan bahwa anak sebagai satu keseluruhan yang utuh dan karena itu pengembangannya harus menyangkut seluruh aspek fisik, emosi, bahasa, sosial dan kognitif.
Program pengajaran langsung didasarkan atas psikologi behavioral, yang memusatkan perhatian pada pengaaran langsung berbagai ketrampilan relajar khusus yang dipilih oleh guru. Program yang menekankan kognitif didasarkan atas teori perkembangan kognitif Piaget, yaitu mengembangkan berbagai kemampuan kognitif.
Abdurrahman, M (1999) juga menyatakan bahwa intervensi kesulitan belajar harus menggunakan prinsip Program Pendidikan Individual (Individual Education Program/IEP). Hal ini dilakukan untuk menjamin bahwa tiap anak berkesulitan belajar memiliki statu program yang diindividualkan untuk mempertemukan kebutuhan-kebutuhan khas yang dimiliki mereka.
III. HASIL Dan PEMBAHASAN
3.1.Gambaran Umum Hasil Penelitian
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa dari 510 siswa kelas IV, V dan VI yang berasal dari lima SDN di Surabaya, yaitu Mulyorejo II, Kertajaya I, Mojo IX, Mojo X dan Gubeng III, sebanyak 112 orang mengalami gangguan kesulitan belajar baik dalam katagori disleksia, disgrafia dan atau diskalkulia. Dengan kata lain, dari seluru siswa kelas IV, V dan VI pada kelima SDN tersebut, jumlah siswa yang mengalami LD sebesar 19.8 %. Besaran prosentase siswa yang teridentifikasi mengalami LD, variatif untuk tiap sekolah. Secara rinci jumlah siswa yang menjadi subyek penelitian dan jumlah siswa yang teridentifikasi mengalami LD tercantum pada tabel 3.1.
Tabel. 3.1. Jumlah seluruh siswa yang menjadi subyek penelitian Dan jumlah siswa yang teridentifikasi mengalami LD
SDN |
Siswa |
Siswa yang teridentifikasi |
Mulyorejo II | 84 | 33 (39.3 %) |
Kertajaya I | 129 | 18 (13.9 %) |
Mojo IX | 87 | 28 (32,1 %) |
Mojo X | 93 | 17 (19.5 %) |
Gubeng III | 117 | 16 (13.6 %) |
Jumlah |
510 |
112 ( 19.8 %) |
Berdasarkan jenjang kelas, ditemukan bahwa secara keseluruhan jumlah siswa yang mengalami LD paling banyak terdapat di kelas lima. Meskipun demikian sebaran siswa ini bersifat variatif untuk siswa-siswa pada setiap sekolah. Secara rinci data tersebut disajikan pada tabel 3.2.
Tabel 3.2. Jumlah siswa yang teridentifikasi mengalami LD
berdasarkan kelas
SDN |
Kelas |
Jumlah |
||
IV | V |
VI |
||
Mulyorejo II | 9 |
15 |
9 |
33 |
Kertajaya I | 2 |
12 |
4 |
18 |
Mojo IX | 12 |
8 |
8 |
28 |
Mojo X | 3 |
10 |
4 |
17 |
Gubeng III | 8 |
6 |
2 |
16 |
Jumlah |
34 |
51 |
27 |
112 |
Secara umum siswa yang mengalami LD paling banyak berada pada rentang usia 10-11
tahun. Secara rinci hal ini disajikan pada tabel 3.3. Tabel 3.3. Jumlah siswa yang teridentifikasi mengalami LD berdasarkan usia |
||||
SDN |
Usia (tahun) |
Jumlah |
||
8 |
– 9 |
10 – 11 12 |
– 13 |
|
Mulyorejo II |
6 |
14 |
13 |
33 |
Kertajaya I |
0 |
15 |
3 |
18 |
Mojo IX |
9 |
13 |
6 |
28 |
Mojo X |
0 |
11 |
6 |
17 |
Gubeng III |
7 |
5 |
4 |
16 |
Jumlah |
21 |
54 |
26 |
112 |
Berdasarkan data, siswa yang mengami LD lebih banyak berjenis kelamin laki-laki dibanding perempuan, meskipun selisihnya tidak terlalu besar. Meskipun demikian pada SDN Mojo IX proporsi siswa perempuan yang mengalami LD lebih besar dibanding siswa laki-laki. Secara rinci dapat dilihat pada tabel 3.4.
Tabel 3.4. Jumlah siswa yang teridentifikasi mengalami LD berdasarkan jenis kelamin
SDN Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan Jumlah
Mulyorejo II |
16 |
17 |
33 |
Kertajaya I |
12 |
6 |
18 |
Mojo IX |
10 |
18 |
28 |
Mojo X |
10 |
7 |
17 |
Gubeng III |
12 |
4 |
16 |
Jumlah |
60 |
52 |
112 |
Sebaran taraf intelegensi siswa yang mengalami LD menunjukkan bahwa : 49 anak (43.75 %) berada pada level average, 21 anak (18.75 %) berada pada level high average, 26 anak (23.21 %) berada pada level superior dan 17 anak (15.18 %) berada pada level very superior. Hal ini mengindikasikan bahwa siswa yang mengalami LD pada dasarnya memiliki potensi intelektual yang cukup bagus, hanya saja pada ketrampilan akademik tertentu ia menunjukkan keterbatasan. Sebaran taraf intelegensi siswa yang mengakami LD pada tabel 3.5.
Tabel 3.5. Jumlah siswa yang teridentifikasi mengalami LD
berdasarkan intelegensi
Intelegensi
SDN Average High Superior Very Jumlah
Average Superior
Mulyorejo II 16 9 5 3 33
Kertajaya I |
9 |
1 |
5 |
3 |
18 |
Mojo IX |
10 |
8 |
5 |
5 |
28 |
Mojo X |
8 |
3 |
6 |
1 |
17 |
Gubeng III |
6 |
0 |
5 |
5 |
16 |
Jumlah |
49 |
21 |
26 |
17 |
112 |
3.2. Hasil Penelitian tentang Identifikasi Disleksia, Disgrafia dan Diskalkulia pada Subyek penelitian
Identifikasi tentang disleksia, disgrafia dan diskalkulia mengacu pada karakterikstik dileksia, disgrafia dan diskalkulia yang dikemukakan oleh Abdurahman (1999) dan Lerner (2003). Dibawah ini adalah hasil identifikasi yang ditemukan pada subyek penelitian.
a. Disleksia
Berdasarkan hasil temuan dilapangan, bentuk-bentuk perilaku yang ditunjukkan oleh subyek penelitian sebagai karakteristik siswa yang mengalami dari LD disleksia adalah :
- Menunjuk tiap kata yang sedang dibaca
- Menelusuri tiap baris yang sedang dibaca dari kiri kanan dengan jari
- Menelusuri tiap baris bacaan ke bawah dengan jari
- Menggerakkan kepala, bukan matanya yang bergerak
- Menempatkan buku dengan cara yang aneh
- Menempatkan buku terlalu dekat dengan mata
- Sering melihat pada gambar jika ada
- Mulutnya komat kamit waktu mermbaca
- Membaca kata demi kata
- Membaca terlalu cepat
- Membaca tanpa ekspresi
- Melakukan analisis tetapi tidak mensintesiskan
- Adanya nada suara yang aneh atau tegang yang menandakan adanya keputusasaan
- Membaca terbata-bata
- Membaca dengan bantuan guru
- Membaca tanpa memperhatikan tanda baca
b. Disgrafia
Berdasarkan temuan di lapangan, perilaku-perilaku subyek penelitian yang mengindikasikan karakteristik LD disgrafia adalah sebagai berikut :
1. Menulis dengan buruk (tiadanya jarak antar kalimat dan jarak tiap kata/huruf, bentuk huruf, kemiringan huruf, tekanan pada kertas serta cara memegang pensil),
2. Mengalami kesulitan mengeja (pengurangan huruf, mencerminkan dialek, pembalikan huruf dalam kata, pembalikan konsonan atau vokal, pembalikan suku kata, penambahan huruf),
3. Menunjukkan kesalahan memenggal suku kata,
4. Kurang memperhatikan huruf besar dan kecil serta tanda baca
Bentuk-bentuk disgrafia diantara dapat dilihat pada gambar 3.1. hingga 3.10. berikut ini :
Gambar 5.2. bentuk tulisan yang tidak terbaca dan ruwet, adanya ketidak konsistenan bentuk huruf.
Gambar 3.3. tulisan yang tidak lurus pada kertas tidak bergaris, pemenggalan kata yang salah “seda-ngkan”, tiada jarak antar kata, kesalahan perencanaan spasial kertas, penambahan huruf “mengerangi”.
Gambar 3.4. penambahan huruf “menggejar”, “sebilah”, “memeggeraji”, pengurangan huruf “ora”, “bag”, “mengelemBungkan”, tiada jarak antar kata, tulisan tidak lurus, kekurang pahaman perhitungan, penulisan huruf besar-kecil tidak sesuai kaidah
Gambar 3.5. tulisan terbaca, pertukaran huruf “menamam”, pengurangan huruf “mengeraji”, kesulitan diskriminasi “kanvas” ditulis “kompos”, “berkarat” ditulis “berkawat”.
Gambar 3.6. Menunjukkan ketidak konsistenan: pencampuran tulisan dan kemiringan, posisi lebih tinggi dan lebih rendah, atau ukuran, bentuk atau sudut huruf yang tidak teratur, kesulitan diskriminasi huruf yang mirip berpidato ditulis “perpidato”, akrab ditulis akrap
Gambar 3.7. Tulisan yang buruk
Gambar 3.8. pengurangan huruf “sawa”, “teratuk”, “berasil”, “mengali”, “hinga”, “mengunakan”, “mengoreskan”
Gambar. 3.10. pengurangan huruf “pemipin”, semagat”, taiada jarak antar kata, penyisipan dan pertukaran huruf “aklih”, penulisan huruf besar –kecil tidak sesuai kaidah
c. Diskalkulia
Berdasarkan hasil temuan dilapangan, perilaku-perilaku yang ditunjukkan subyek penelitian sebagai karakteristik LD diskalkulia adalah : Kekurangan pemahaman tentang (1) simbol, (2) nilai tempat, (3) perhitungan, (4) penggunaan proses yang keliru, (5) tulisan yang tidak terbaca. Gambar 5.11. memperlihatkan sebagian contoh diskalkulia.
Gambar 3.11. soal berhitung matematika yang dikerjakan oleh siswa kelas V dengan intelegensi high average
3.3 Hasil Identifikasi Kematangan Sosial siswa yang mengalami Gangguan Kesulitan Belaj ar
Berdasarkan pengukuran menggunakan VSMS dan tes kepribadian yang diungkap melalui tes proyektif BAUM-DAM, para siswa yang teridentifikasi mengalami LD menunjukkan karakteristik :
1). Kurang matang
2). Motivasi rendah
3). Penyesuaian sosial kurang memadai
4). Toleransi terhadap stress rendah
Karakteristik tersebut tidak sekedar karakter yang bersifat bawaan, namum juga terbentuk karena proses belajar dari lingkuangn. Perlakuan guru yang kurang tepat dalam menangani problem LD menjadikan para siswa semakin tertekan/terpojokkan dengan hambatan yang dialaminya.
3.4. Rincian Hasil Penelitian di setiap SDN yang menjadi Lokasi penelitian
a. Hasil Penelitian di SDN Mulyorejo II
Prosentase tertinggi jumlah siswa kelas IV, V dan VI yang mengalami LD di SDN Mulyorejo adalah kelas V, yaitu sebesar 45,45 %. Sedangkan pada kelas IV sebesar 27.27 % dan kelas VI sebesar 27.27 %. Data tersebut tersaji dalam tabel 3.6.
Tabel 3.6. Jumlah siswa kelas IV, V dan VI SDN Mulyorejo II
yang teridentifikasi mengalami LD
Kelas |
∑ Siswa |
Siswa yang teridentifikasi |
IV | 33 |
9 (27.7 %) |
V | 24 | 15 (45.45 %) |
VI | 27 |
9 (27.27 % |
Jumlah | 84 | 33 |
Katagori siswa yang mengalami LD berusia 8-9 tahun menunjukkan prosentase yang paling rendah, yaitu 18.18 %, sedangkan pada rentang usia 10-11 tahun adalah 54.54 % dan pada usia 12-13 tahun sebesar 27.27 %.
Tabel 3.7. Jumlah siswa kelas IV, V dan VI SDN Mulyorejo II yang teridentifikasi mengalami LD berdasarkan usia
Kelas |
Usia (tahun) |
Jumlah |
|||||
8 – 9 |
10 – 11 |
12 – 13 |
|||||
IV |
6 |
3 |
0 |
9 |
|||
V |
0 |
13 |
2 |
15 |
|||
VI |
0 |
2 |
7 |
9 |
|||
Jumlah |
6 (18.18 |
%) |
18 (54.54 |
%) |
9 (27.27 |
%) |
33 |
Jenis kelamin siswa laki-laki yang mengalami LD sebesar 48.48 % sedangkan siswa perempuan sebesar 52.52 %. Selisih antara siswa laki-laki dan perempuan tidak besar, dengan
kata lain tidak ada perbedaan yang berarti berdasarkan jenis kelamin. Data tersebut tersaji pada tabel 3.8 dibawah ini .
Tabel 3.8. Jumlah siswa kelas IV, V dan VI SDN Mulyorejo II yang teridentifikasi mengalami LD berdasarkan jenis kelamin
Kelas |
Jenis Kelamin |
Jumlah |
||||
Laki-laki Perempuan |
||||||
IV |
4 |
5 |
9 |
|||
V |
10 |
5 |
15 |
|||
VI |
2 |
7 |
9 |
|||
Jumlah |
16 |
(48.48%) |
17 |
(52.52 |
%) |
33 |
42,42 % siswa yang mengalami LD memiliki intelegensi yang tergolong average/ratarata. Sedangkan pada taraf very superior sebesar 6 %. Siswa yang taraf intelegensinya tergolong high average sebesar 36.36 % dan siswa yang tergolong superior memiliki prosorsi sebanyak 12.12 %.
Tabel 3.9. Jumlah siswa kelas IV, V dan VI SDN Mulyorejo II yang teridentifikasi mengalami LD berdasarkan intelegensi
Kelas |
Intelegensi |
Jumlah |
|||
Average High Average |
Superior Very Superior |
||||
IV |
4 |
3 |
1 |
1 |
9 |
V |
7 |
5 |
2 |
1 |
15 |
VI |
3 |
4 |
1 |
0 |
9 |
Jumlah |
14 |
12 |
4 |
2 |
33 |
(42.42%) |
(36.36%) |
(12.1 %) |
(6 %) |
b. Hasil Penelitian di SDN Kertajaya I
Prosentase tertinggi jumlah siswa kelas IV, V dan VI yang mengalami LD di SDN Kertajaya I adalah kelas V, yaitu sebesar 66.67 %. Sedangkan pada kelas IV sebesar 11.11 % dan kelas VI sebesar 22.22 %
Tabel 3.10 Jumlah siswa kelas IV, V dan VI SDN Kertajaya I
yang teridentifikasi mengalami LD
Kelas |
Siswa |
Siswa yang teridentifikasi mengalami LD |
IV |
38 | 2 (11.11%) |
V |
40 | 12 (66.67%) |
VI |
51 | 4 (22.22 %) |
Jumlah |
129 |
18 |
Katagori siswa yang mengalami LD berusia 8-9 tahun menunjukkan prosentase yang paling rendah, yaitu 0 %, sedangkan pada rentang usia 10-11 tahun adalah 83.33 % dan pada usia 12-13 tahun sebesar 16.67 %.
Tabel 3.11. Jumlah siswa kelas IV, V dan VI SDN Kertajaya I yang teridentifikasi mengalami LD berdasarkan usia
Kelas |
Usia (tahun) |
Jumlah |
||
8 – 9 |
10 – 11 |
12 – 13 | ||
IV |
0 |
1 |
1 |
2 |
V |
0 |
10 |
2 |
12 |
VI |
0 |
4 |
0 |
4 |
Jumlah |
0 (0%) |
15 (83.33%) |
3 16.67%) |
18 |
Berdasarkan jenis kelamin, siswa yang mengalami LD di SDN Kertajaya I sebanyak 75 % adalah siswa laki-laki. Sedangkan siswa perempuan hanya 25 %.
Tabel 3.12. Jumlah siswa kelas IV, V dan VI SDN Kertajaya I
yang teridentifikasi mengalami LD berdasarkan jenis kelamin
Kelas |
Jenis Kelamin |
Jumlah |
|
Laki-laki |
Perempuan |
||
IV |
2 |
0 |
2 |
V |
8 |
4 |
12 |
VI |
2 |
2 |
4 |
Jumlah |
12 (75%) |
6 (25%) |
18 |
Sebaran taraf intelegensi siswa yang mengalami LD, terbesar pada taraf average yaitu 50 %. Sedangkan pada taraf high average prosentasenya hanya 5.6 % dan merupakan prosentase terendah. Sebanyak 27.2 % para siswa yang mengalami LD berada pada taraf kecerdasan superior. Pada taraf very superior banyaknya siswa yang mencapai taraf intelegnsi ini adalah 16.7 %.
Tabel 3.13. Jumlah siswa kelas IV, V dan VI SDN Kertajaya I
yang teridentifikasi mengalami LD berdasarkan intelegensi
Kelas Intelegensi
Average High Average Superior Very Superior Jumlah
IV |
1 |
0 |
1 |
0 |
2 |
V |
7 |
0 |
3 |
2 |
12 |
VI |
1 |
1 |
1 |
1 |
4 |
Jumlah |
9 (50%) |
1(5.6%) |
5(27.2%) |
3 (16.7%) |
18 |
c. Hasil Penelitian di SDN Mojo IX
Pro sentase tertinggi jumlah siswa kelas IV, V dan VI yang mengalami LD di SDN Mojo IX adalah kelas IV, yaitu sebesar 42.3 %. Sedangkan pada kelas V dan VI masing – masing sebesar 28.6 %.
Tabel 3.14. Jumlah siswa kelas IV, V dan VI SDN Mojo IX
yang teridentifikasi mengalami LD
Kelas |
Siswa |
Siswa yang teridentifikasi mengalami LD |
IV |
32 |
12 (42.3%) |
V |
29 |
8 (28.6%) |
VI |
26 |
8 (28.6%) |
Jumlah |
87 |
28 |
Katagori siswa yang mengalami LD berusia 12-13 tahun menunjukkan prosentase yang paling rendah, yaitu 21.4 %, sedangkan pada rentang usia 8-9 tahun adalah 32.14 % dan yang paling besar pada usia 10-11 tahun sebesar 72.22 %.
Tabel 3.15. Jumlah siswa kelas IV, V dan VI SDN Mojo IX yang teridentifikasi mengalami LD berdasarkan usia
Kelas |
Usia (tahun) |
Jumlah |
||
8 – 9 |
10 – 11 |
12 – 13 |
||
IV |
8 |
4 |
0 |
12 |
V |
1 |
6 |
1 |
8 |
VI |
0 |
3 |
5 |
8 |
Jumlah |
9 (32.4%) |
13 (72.22%) |
6 (21.4%) |
28 |
Berdasarkan jenis kelamin, siswa perempuan menunjukkan jumlah yang lebih besar dibandingkan siswa laki-laki yang mengalami LD dengan perbandingan 64.28 % : 35.72 %.
Tabel 3.16. Jumlah siswa kelas IV, V dan VI SDN Mojo IX yang teridentifikasi mengalami LD berdasarkan jenis kelamin
Kelas |
Jenis Kelamin |
Jumlah |
|
Laki-laki |
Perempuan |
||
IV |
4 |
8 |
12 |
V |
2 |
6 |
8 |
VI |
4 |
4 |
8 |
Jumlah |
10 (35.72%) |
18 (64.28%) |
28 |
Tabel 3.17. Jumlah siswa kelas IV, V dan VI SDN Mojo IX
yang teridentifikasi mengalami LD berdasarkan intelegensi
Kelas |
Intelegensi |
Jumlah |
|
Average High Average Superior |
Very Superior |
||
IV V VI |
5 6 0 0 0 2 4 2 1 |
1 |
12 |
Jumlah |
9 8 3 |
8 |
28 |
d. Hasil Penelitian di SDN Mojo X
Prosentase tertinggi jumlah siswa kelas IV, V dan VI yang mengalami LD di SDN Mojo X adalah kelas V, yaitu sebesar 58.8 % Sedangkan pada kelas IV sebesar 17.64 % dan kelas VI sebesar 23.53 %.
Tabel 3.18. Jumlah siswa kelas IV, V dan VI SDN Mojo X
yang teridentifikasi mengalami LD
Kelas |
Siswa |
Siswa yang teridentifikasi mengalami LD |
IV |
33 |
3 (17.64%) |
V |
23 |
10 (58.8) |
VI |
37 |
4 (23.53%) |
Jumlah |
93 |
17 |
Tidak ada siswa berusia antara 8-9 yang mengalami gangguan disleksia, disgrafia atau diskalkulia. 64.70 % dari siswa yang mengalami LD berada pada usia 10-11 tahun, sekitar 35.29 % sisanya adalah siswa yang berusia 12-13 tahun.
Tabel 5.19. Jumlah siswa kelas IV, V dan VI SDN Mojo X yang teridentifikasi mengalami LD berdasarkan usia
Kelas |
Usia (tahun) |
Jumlah |
|||
8 |
– 9 |
10 – 11 |
12 – 13 |
||
IV |
0 |
3 |
0 |
3 |
|
V |
0 |
7 |
3 |
10 |
|
VI |
0 |
1 |
3 |
4 |
|
Jumlah |
0 |
11 (64.70%) |
6 (35.29 |
%) |
17 |
58.82 % siswa yang mengamai LD di SDN Mojo X berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan yang berjenis kelamin perempuan sebesar 41.18 %.
Tabel 3.20. Jumlah siswa kelas IV, V dan VI SDN Mojo X
yang teridentifikasi mengalami LD berdasarkan jenis kelamin
Kelas Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan Jumlah
IV 2 1 3
V 6 4 10
VI 2 2 4
Jumlah 10 (58.82%) 7 (41.18%) 17
Berturut-turut prosentase siswa yang mengalami LD dari taraf Average hingga very superior adalah 41.18 %, 17.64 %, 29.41 % dan 11.76 %.
Tabel 3.21. Jumlah siswa kelas IV, V dan VI SDN Mojo X yang teridentifikasi mengalami LD berdasarkan intelegensi
Kelas Intelegensi
Average High Average Superior Very Superior Jumlah
IV 2 1 0 0 3
V 3 2 3 2 10
VI 2 0 2 0 4
Jumlah 7 3 5 2 17
(41.18%) (17.64%) (29.41%) (11.76%)
e. Hasil Penelitian di SDN Gubeng III
Prosentase tertinggi jumlah siswa kelas IV, V dan VI yang mengalami LD di SDN Gubeng III adalah kelas IV, yaitu sebesar 50 %. Sedangkan pada kelas V sebesar 37.5 % dan kelas IV sebesar 12.5 %.
Tabel 3.22. Jumlah siswa kelas IV, V dan VI SDN Gubeng III yang teridentifikasi mengalami LD
Kelas Siswa Siswa yang teridentifikasi mengalami LD
IV 38 8 (50%)
V 36 6 (37.5%)
VI 43 2 (12.5%)
Jumlah 117 16
Katagori siswa yang mengalami LD berusia 8-9 tahun menunjukkan prosentase yang paling tinggi, yaitu 43.75 %, sedangkan pada rentang usia 10-11 tahun adalah 31.25 % dan pada usia 12-13 tahun sebesar 25 %.
Tabel 3.23. Jumlah siswa kelas IV, V dan VI SDN Gubeng III yang teridentifikasi mengalami LD berdasarkan usia
Kelas Usia (tahun)
8 – 9 10 – 11 12 – 13 Jumlah
IV 7 1 0 8
V 0 4 2 6
VI 0 0 2 2
Jumlah 7 (43.75%) 5 (31.25%) 4 (25%) 16
Terdapat perbedaan yang cukup besar antara jumlah siswa laki-laki dan siswa perempuan yang menunjukkan adanya gangguan kesulitan belajar. Dominansi siswa laki-laki ditunjukkan dalam prosentase 75 % sedangkan siswa perempuan prosentasenya hanya 25 %.
Tabel 3.24. Jumlah siswa kelas IV, V dan VI SDN Gubeng III
yang teridentifikasi mengalami LD berdasarkan jenis kelamin
Kelas |
Jenis Kelamin |
Jumlah |
|
Laki-laki |
Perempuan |
||
IV |
5 |
3 |
8 |
V |
6 |
0 |
6 |
VI |
1 |
1 |
2 |
Jumlah |
12 (75%) |
4 (25%) |
16 |
Berdasarkan taraf intelegensinya, tidak ada siwa yang mengamai LD memiliki taraf intelegensi high average. 37.5 % berada pada taraf average dan masing-masing 31.25 % berada pada taraf superior dan very superior.
Tabel 3. 25. Jumlah siswa kelas IV, V dan VI SDN Gubeng III yang teridentifikasi mengalami LD berdasarkan intelegensi
Kelas |
Intelegensi |
Jumlah |
|||
Average High Average |
Superior |
Very Superior |
|||
IV |
5 |
0 |
2 |
1 |
8 |
V |
0 |
0 |
3 |
3 |
6 |
VI |
1 |
0 |
0 |
1 |
2 |
Jumlah |
6 |
0 |
5 |
5 |
16 |
(37.5%) (31.25%) (31.25%)
3.5. Pembahasan Hasil Identifikasi
Berdasarkan hasil identifikasi menunjukkan bahwa dalam hal membaca, siswa yang menagalami LD memperlihatkan berbagai kekeliruan-kekeliruan, yaitu penghilangan, penyisipan, penggantian, pembalikan, salah ucap, pengubahan tempat, tidak mengenal kata dan tersentak-sentak. Kekeliruan lain yang nampak adalah kesalahan membaca kata-kata karena kekurangan diskrimninasi penglihatan. Siswa LD akan membaca kata “mengelabui” dengan bacaan “mengebui”. Ketidak mampuan tidak hanya pada diskriminasi visual melainkan juga diskriminasi auditoris. Ketika didikte, siswa LD akan melakukan kekeliruan dalam menuliskan
kata-kata, misalnya kata “menggergaji” akan ditulis “meggeraji”, “kanvas” ditulis “kampas”, “mengejar” ditulis “megejar”.
Pada pengajaran yang bersifat klasikal, guru sulit kurang memperhatikan kondisi individual siswa. Hasil amatan memperlihatkan bahwa guru memberikan tugas dalam konteks membaca atau menguasai isi bacaan dengan beban yang sama pada seluruh siswa tanpa memperhatikan kondisi individual. Apabila siswa tidak mampu meyelesaikan tugas atau mendapatkan nilai yang baik, guru mengganggapnya malas belajar atau bodoh. Padahal merujuk pandangan Myklebust & Johnson (1984), penyebab kekeliruan dalam membaca adalah : 1) mengalami kekurangan dalam memori visual dan auditoris, kekurangan dalam memori jangka pendek dan jangka panjang 2). Memiliki masalah dalam mengingat data 3). Miskin dalam mengeja.
Selain itu, penghilangan huruf atau kata pada siswa yang teridentifikasi mengalami LD karena adanya kekurangan dalam mengenal huruf, bunyi bahasa (fonik), dan bentuk kalimat. Penghilangan huruf atau kata biasanya terjadi pada pertengahan atau akhir kata atau kalimat. Penyebab lain dari gangguan yang dialami siswa ini adalah karena siswa menganggap huruf atau kata yang dihilangkan tersebut tidak diperlukan. Contoh penghilangan huruf atau kata adalah “petani menanam padi di sawah” dibaca “petani menanam di sawah”. Penggantian kata merupakan kesalahan yang banyak terjadi. Hal ini mungkin disebabkan siswa tidak memahami kata tersebut sehingga hanya menerka-nerka saja.
Pengucapan salah yang nampak pada subyek penelitian adalah : 1) pengucapan kata yang salah makna berbeda, 2) pengucapan kata salah makna sama, 3) pengucapan kata salah tidak bermakna. Keadaan semacam ini terjadi karena siswa tidak mengenal huruf sehingga menduga-duga saja, mungkin karena membaca terlalu cepat, karena perasaan tertekan atau takut kepada guru, atau karena perbedaan dialek anak dengan bahasa Indonesia yang baku. Misalnya “tukang mereparasi mesin” dibaca ”tukang mereparasi misin”.
Siswa yang teridentifikasi mengalami disleksia juga memperlihatkan pengucapan kata dengan bantuan guru. Hal ini terjadi karena sudah beberapa saat ditunggui oleh guru, siswa belum juga melafalkan kata-kata yang diharapkan. Menurut Abdurrahman (1999), siswa yang memerlukan bantuan semacam ini biasanya karena adanya kekurangan dalam mengenal huruf
atau karena takut resiko jika terjadi kesalahan. Siswa semacam ini juga memiliki kepercayaan diri yang kurang terutama pada saat menghadapi tugas membaca.
Perilaku yang mengindikasikan disleksia lainnya adalah pengulangan, pembalikan, raguragu dalam membaca dan pembetulan sendiri. Pengulangan yang diperlihatkan terjadi pada kata, suku kata, atau kalimat. Pengulangan terjadi mungkin karena kurang mengenal huruf sehingga harus memperlambat membaca sambil mengingat – ingat nama huruf yang kurang dikenal tersebut. Pembalikan huruf terjadi karena anak bingung posisi kanak – kiri atau atas –bawah. Pembalikan umumnya terjadi pada huruf yang hampir sama, misalnya “berpidato” dibaca “perpidato”. Pembetulan sendiri dilakukan oleh siswa jika ia menyadari adanya kesalahan. Karena kesadaran akan adanya kesalahan, siswa lalu mencoba membetulkan sendiri bacaannya. Siswa yang ragu-ragu terhadap kemampuan membacanya, maka ia sering membaca dengan tersendat-sendat.
Kesulitan membaca dalam menulis diperlihatkan dalam bentuk kurangnya keindahan tulisan, kesulitan mengeja, kesalahan memenggal suku kata, tanpa memperhatikan huruf besar dan kecil serta tanda baca, kurangnya keindahan tulisan dalam bentuk tiadanya jarak antara kata atau kalimat, kemiringan huruf, tekanan pada kertas serta cara memegang pensil. Hal-hal yang menjadi kondisi awal kesulitan menulis ini adalah perkembangan motorik yang kurang matang atau terganggu, perhatian mudah teralihkan dan terganggu persepsinya. Persepsi visual yang terganggu menyebabkan anak sulit membedakan antara p dan b, misalnya sulit membedakan akarab dengan akrap. Jika persepsi auditorisnya yang terganggu, siswa akan kesulitan menuliskan kata-kata yang didiktekan guru (seperti hasil tes informal). Gangguan memori juga dapat menjadi penyebab terjadinya kesulitan belajar menulis karena siswa tidak mampu mengingat apa yang akan ditulis. Oleh karenanya sering mereka mengurangi, mengganti atau menghilangkan kata-kata yang didiktekan oleh guru.
Kesalahan dalam menuliskan kata-kata atau kalimat yang didiktekan guru juga disebabkan karena siswa memiliki kekurangan dalam ketrampilan metalistening. Akibatnya anak sering menuliskan kata-kata yang tidak bermakna dalam isi kalimatnya. Selain itu disgrafia yang ditunjukkan oleh siswa ditengarai karena keterbatasan kemampaun cross modal menyangkut kemampuan mentransfer dan mengorganisasikan fungsi visual motorik. Ketidak mampuan di
bidang ini oleh Abdurrahman (1999) dapat menyebabkan anak mengalami gangguan koordinasi mata-tangan sehigga tulisan menjadi tidak jelas, terputus-putus, atau tidak mengikuti garus lurus.
Siswa yang mengalami kesulitan berhitung matematika, menurut Lerner (1981) disebabkan oleh beberapa hal, yaitu : (1) adanya gangguan dalam hubungan keruangan, (2) abnormalitas persepsi visual (3) asosiasi visual motor (4) perseverasi (5) kesulitan mengenal dan memahami simbol (6) gangguan penghayatan tubuh (7) kesulitan dalam bahasa dan membaca. Siswa memperlihatkan adanya kekurang pahaman tentang simbol (+), (-), (x) dan (:). Selain itu terdapat siswa yang belum dapat memahami nilai tempat (meletakkan satuan, puluhan, ratusan, ribuan dan seterusnya) yang digunakan dalam operasi matematika.
Terkait dengan kekurang pahaman akan proses matematika, siswa yang berkesulitan belajar umumnya memiliki ketrampilan metakognisi yang rendah sehingga mereka memiliki masalah dalam memecahkan berbagai problema memori. Anak berkesulitan belajar juga menunjukkan perilaku-perilaku penyerta yang semakin memperburuk relasi sosialnya. Mereka cenderung implusif, kurang matang, hiperaktif, sulit memusatkan perhatian dan rendah motivasi belajar. Perilaku ini akan mempengaruhi penerimaan sosial orang lain termasuk teman-teman dan guru. Pada akhirnya mereka juga sulit membangun konsep diri yang positif akibat dari kekurangan tersebut.
Siswa yang menunjukkan gangguan kesulitan belajar pada dasarnya memiliki potensi intelektual yang dapat digunakan secara optimal. Oleh karenanya peran lingkungan, dalam hal ini sistem persekolahan dan guru yang mampu mewujudkan program pendidikan individual merupakan hal yang pokok dalam mengoptimalkan potensi positif yang dimiliki siswa dengan gangguan kesulitan belajar. Penanganan dalam bentuk intervensi yang tepat dan terintegrasi kedalam proses pembelajaran akan membantu munculnya kondisi yang lebih baik untuk menangani gangguan kesulitan belajar.
3.6. Model Intervensi yang dirancang berdasarkan hasil identifikasi
Hasil identifikasi untuk mengetahui siswa yang mengalami LD, didapatkan bahwa prosentase siswa yang mengalami disgrafia sebesar 84.38 %, disleksia sebesar 78.5 % dan diskalkulia sebesar 38.6 %. Sesudah diperoleh hasil identifikasi gangguan kesulitan belajar, maka diperlukan suatu intervensi
untuk menanganninya. Model intervensi yang dirancang adalah Program Pendidikan Individual Individal Education Program/IEP) yang terintegrasi dalam kegiatan belajar siswa. Abdurrahman, M (1999) menyatakan bahwa intervensi kesulitan belajar harus menggunakan prinsip Program Pendidikan Individual (Individual Education Program/IEP). Hal ini dilakukan untuk menjamin bahwa tiap anak berkesulitan belajar memiliki statu program yang diindividualkan untuk mempertemukan kebutuhan-kebutuhan khas yang dimiliki mereka. Artinya model ini adalah suatu cara atau metode yang dirancang sesuai kebutuhan individu dengan karakterisktik LD tertentu. Metode IEP terinterasi dengan kegiatan belajar, memuat serangkaian strategi yang difasilitasi oleh guru. Dalam penelitian ini strategi-strategi metode IEP yang digunakan merujuk pada strategi penanganan LD yang dikemukakan oleh Lerner (2003), yaitu
a. Intervensi Gangguan Kesulitan Belajar Membaca (Disleksia)
- 1. Metode multisensori
Metode ini menggunakan beberapa alat indera untuk memperkuat proses belajar, sebagaimana digambarkan dalam singkatan VAKT (visual, auditori, kinestetik dan taktil/peraba). Untuk menstimulasi seluruh alat indera ini, siswa mendengarkan guru mengucapkan suatu kata, mengucapkan kata tersebut kepada dirinya sendiri, mendengarkan diri mereka mengucapkan kata tersebut, merasakan gerakan otot saat mereka menelusuri kata yang tertulis, merasakan permukaan rabaan pada jari mereka, melihat tangan mereka bergerak saat menelusuri tulisan, dan mendengarkan diri mereka mengucapkan kata tersebut sambil menelusuri tulisan
- 2. Metode Orton-Gillingham.
Metode ini menfokuskan pada siswa untuk mempelajari bunyi huruf tunggal dan perpaduan (blending) huruf-huruf tersebut. Siswa mempelajari suatu huruf tunggal dan bunyinya dengan menggunakan teknik penelusuran (tracing). Bunyi-bunyi tunggal tersebut kemudian dikombinasikan dalam kelompok yang lebih besar, dan selanjutnya dalam kata-kata pendek.
- 3. Metode Fernald
Metode ini terdiri dari empat tahap,
Tahap 1. Siswa diminta memilih satu kata untuk dipelajari. Guru menuliskan kata pada
sehelai kertas dengan krayon. Siswa kemudian menelusuri kata tersebut dengan
tangannya, membuat kontak dengan kertas, sehingga menggunakan indera peraba dan
kinestetik. Saat siswa menelusurinya, guru menyebutkan kata sehingga siswa mendengarnya (menggunakan indera pendengaran). Proses ini diulang hingga siswa dapat menulis huruf dengan benar tanpa melihat contoh. Sekali siswa mempelajari kata, contoh diletakkan dalam sebuah kotak arsip. Kata-kata tersebut terhimpun dalam kotak hingga terdapat kata-kata yang cukup bagi siswa untuk menulis suatu cerita. Cerita ini lalu diketik sehingga siswa dapat membaca cerita buatannya sendiri.
Tahap 2. Siswa tidak lagi diharuskan menelusuri setiap kata melainkan mempelajari kata-kata baru dengan melihat gurunya menulis sebuah kata dan membunyikan kata tersebut saat menulis.
Tahap 3. Siswa mempelajari kata-kata baru dengan melihat pada suatu kata yang tertulis dan menyebutkannya berulang-ulang pada dirinya sendiri sebelum menulis. Pada titik ini, siswa dapat mulai membaca buku.
Tahap 4. Siswa dapat mengenali kata-kata baru dari kemiripannya dengan kata atau bagian kata yang tertulis yang telah dipelajari. Sekarang siswa dapat menggeneralisasikan pengetahuan yang telah diperolehnya melalui keterampilan membaca.
b. Intervensi Gangguan Kesulitan Belajar Menulis (Disgrafia)
Intervensi yang dilakukan terhadap siswa dengan gangguan disgrafia adalah :
1. Model Ekspresi Tertulis
Metode ini menggunakan serangkaian strategi, yaitu :
(1) Guru meminta siswa secara berkesinambungan untuk membuat suatu tulisan, empat kali seminggu, masing-masingnya 50 menit.
(2) Guru mengijinkan siswa memilih topik sendiri dalam membuat karangan/tulisan singkat.
(3) Guru memberikan model tentang proses menulis dan berpikir strategik. Misalnya, guru memberi contoh tahapan menulis dengan mengatakan, “Aku ingin merencanakan suatu latar misterius untuk ceritaku. Bagaimana dengan sebuah rumah hantu? Selanjutnya, aku harus menentukan karakter-karakter dalam cerita ini…”
(4) Guru menghindari penilaian yang menghukum. Guru sebaiknya juga memberi penilaian terhadap ide, bukan hanya teknik penulisan. Jika siswa membuat banyak kesalahan dalam berbagai aspek, guru hendaknya hanya mengkoreksi satu keterampilan saja,
misalnya pemakaian huruf kapital. Bila siswa telah menguasai keterampilan tersebut, guru dapat berfokus pada aspek yang lain.
(5) Guru memberi banyak masukan untuk ditulis oleh siswa, misalnya dengan mendiskusikan berbagai pengalaman keseharian siswa sebelum siswa mulai menulis.
(6) Mengunakan prosedur dloze, yaitu guru menulis sebuah kalimat dengan satu kata dihilangkan, dan siswa diminta mengisinya dengan kata yang sebanyak mungkin berbeda, contohnya “Ali ____ bola itu.”
2. Model intervensi dalam hal meningkatkan kemampuan mengeja (spelling) Strategi yang dapat dilakukan adalah:
(1) Guru memberitahu siswa bahwa mereka akan mempelajari beberapa kata dengan cara baru. Siswa didorong untuk memilih suatu kata yang ingin mereka pelajari.
(2) Guru menuliskan kata yang dipilih siswa dalam selembar kertas berukuran 4×10 inci, sementara siswa mengamati dan guru mengucapkan kata tersebut.
(3) Guru meminta siswa untuk menelusuri kata tersebut, mengucapkannya beberapa kali, kemudian menuliskannya dalam selembar kertas terpisah sambil mengucapkannya.
(4) Guru meminta siswa menulis kata tersebut berdasarkan ingatannya tanpa melihat pada tulisan sebelumnya. Jika penulisannya keliru, siswa mengulang langkah (3). Jika tulisannya benar, kertas tersebut dimasukkan dalam kotak arsip. Kata-kata dalam kotak arsip selanjutnya akan digunakan untuk menulis cerita.
(5) Selanjutnya, siswa dapat mempelajari kata dengan mengamati guru menuliskannya, lalu siswa mengucapkan dan menulisnya. Pada tahap berikutnya, siswa dapat belajar hanya dengan mengamati suatu kata tertulis, lalu menulisnya. Pada akhirnya, mereka belajar hanya dengan mengamati suatu tulisan.
3. Model intervensi dalam hal menulis dengan tangan (handwriting)
Strategi yang dapat dilakukan adalah :
(1) Guru melatih gerakan menulis pada siswa, misalnya dengan berlatih menggambar berbagai bentuk geometri, menulis huruf dan angka.
(2) Guru mengatur posisi duduk siswa untuk menulis, yaitu menggunakan kursi yang nyaman dan meja dengan tinggi yang sesuai, kedua kaki siswa menempel di lantai, dan kedua lengan berada di atas permukaan menulis.
(3) Guru melatih siswa memegang pensil dengan tepat.
(4) Guru melatih siswa menjiplak bentuk dan huruf.
(5) Guru melatih siswa menulis suatu huruf dengan menghubungkan titik-titik yang telah disediakan.
(6) Guru melatih siswa menjiplak dengan petunjuk yang semakin berkurang. Awalnya siswa diminta menjiplak suatu huruf utuh, kemudian menjiplak huruf yang belum utuh dan harus melengkapinya. Pada akhirnya, petunjuk yang diberikan hanya sebuah garis dan siswa diminta menulis huruf secara utuh.
(7) Guru meminta siswa menggunakan kertas bergaris.
(8) Guru melatih siswa menulis sesuai dengan tingkat kesulitan huruf. Berdasarkan kemudahan, huruf latin diperkenalkan dalam urutan: kata pemula yaitu m, n, t, i, u, w, r, s, l dan e; kata yang lebih sulit yaitu x, z, y, j, p, h, b, k, f, g dan q; dan kombinasi huruf yaitu di, ke dan seterusnya.
(9) . Guru memberikan petunjuk verbal, yaitu membantu siswa menulis dengan mendengarkan arahan saat membentuk huruf, misalnya “turun-naik-berputar.” Ketika menggunakan teknik ini, guru harus menjaga supaya siswa tidak terganggu oleh arahan verbal yang diberikan. Setelah siswa berlatih menulis huruf tunggal, siswa belajar menulis kata dan kalimat.
c. Intervensi Gangguan Kesulitan Belajar Berhitung Matematika (Diskalkulia) Strategi yang dapat dilakukan guru untuk menangani siswa dengan gangguan diskalkulia: (1). Guru mengajarkan prasyarat belajar matematika
Kemampuan |
Deskripsi |
|
Mencocokkan | Mengelompokkan bersama obyek yang serupa | |
Mengenali kelompok obyek | Mengenali suatu kelompok yang terdiri dari tiga obyek tanpa menghitung | |
Menghitung | Mencocokkan bilangan dengan obyek | |
Menamai suatu angkamuncul setelah angka
diberikan |
yang |
Menetapkan angka apa yang muncul setelah 7 |
Menulis bilangan dari 0 sampai 10 | Mengetahui urutan yang benar |
Mengukur dan memasangkan | Korespondensi satu-satu, memperkirakan,mencocokkan obyek |
Nilai berurutan | Menyusun obyek secara berurutan berdasarkan perbedaan kuantitatif (misalnya, ukuran) |
Operasi | Manipulasi fakta angka sampai 10 tanpa ada obyek konkrit |
(2). Guru mengajarkan konsep konkrit sebelum konsep abstrak
(3). Guru memberikan kesempatan untuk berlatih dan mengulang
Teknik yang dapat digunakan antara lain lembar kerja, permainan, teknik
manajemen perilaku (seperti memberikan reward bila tugas telah diselesaikan)
(4). Guru mengajari siswa untuk melakukan generalisasi pada situasi baru
Siswa perlu belajar menggeneralisasikan suatu keterampilan pada banyak situasi
(5). Guru mengajarkan kosakata matematis
Siswa perlu mempelajari kosakata dan konsep matematika. Siswa dapat mengetahui operasinya tapi belum tentu mengetahui istilah yang tepat untuk operasi tersebut, misalnya penambah, pengali, pembagi, hasil.
(6) Guru mengijinkan penggunaan jari dan menghitung di kertas
(7) Guru menggunakan diagram dan menggambar konsep-konsep matematika
(8) Guru memberikan pendampingan teman yang lebih mampu dalam berhitung
(9) Guru menyarankan penggunaan kertas bekas
(10) Guru menyarankan penggunaan pensil berwarna untuk membedakan berbagai permasalahan
(11) Guru meminta siswa bekerja secara manipulatif
(12) Guru membuat gambar-gambar dari soal yang berupa kalimat sehingga mudah dipahami siswa
(13) Guru mengajarkan metode mnemonic untuk mempelajari langkah-langkah suatu konsep matematika
(14) Guru menggunakan ritme dan musik untuk mengajarkan fakta-fakta matematika dan merangkaikan langkah-langkah menjadi suatu irama
(15) Apabila memungkinkan, guru menjadualkan waktu belajar dengan komputer bagi siswa untuk mengingat dan berlatih
Contoh Form Model IEP : Nama :
Kelas :
Bentuk |
Target Intervensi |
Tanggal |
Strategi |
Hasil |
|
IV. SIMPULAN Dan SARAN 4.1. Simpulan
a. Simpulan Hasil Identifikasi
Berdasarkan temuan di lapangan menunjukkan bahwa dari 510 subyek penelitian, sebanyak 112 siswa (19.8 %) teridentifikasi mengalami LD baik dalam bentuk tunggal maupun kombinasi disleksia, disgrafia, dan atau diskalkulia. Sebaran siswa yang mengalami gangguan kesulitan belajar bervariasi di masing sekolah tempat penelitian, rentangnya berkisar antara (16 % – 3 9.3%). Berdasarkan usia, siswa yang mengalami LD 48.2 % berada pada rentang usia 10- 11 tahun, 23.2% berada pada rentang usia 12-13 tahun, dan 18.6 % berada pada rentang usia 8-9 tahun.
Siswa dengan jenis kelamin laki-laki menunjukkan jumlah yang lebih banyak mengalami LD dibanding jenis kelamin perempuan (53.6 % : 46.4 %). Sebaran taraf intelegensi siswa yang mengalami LD adalah 49 anak (43.75 %) berada pada level average, 21 anak (18.75 %) berada pada level high average, 26 anak (23.21 %) berada pada level superior dan 17 anak (15.18 %) berada pada level very superior.
Subyek penelitian memerlihakan perilaku disleksia dalam bentuk perilaku membaca secara terbata-bata, penghilangan kata atau suku kata, penggantian kata atau suku kata, penambahan kata atau suku kata, pembetulan sendiri, ragu-ragu, membaca dalam cara yang tidak lazim, pertukaran huruf, penghilangan kata/huruf, penyelipan kata, penambahan huruf, menunjuk setiap kata yang hendak dibaca, membaca tanpa ekspresi, melompati kata, kalimat atau baris, kurang memperhatikan tanda baca, salah memenggal suku kata, kesalahan dalam mengeja, nada
suara yang aneh tampak tegang, pengucapan salah dan tidak bermakna, pengucapan kata dengan bantuan guru, pengulangan, menggerakkan kepala bukan matanya yang bergerak.
Disgrafia yang teridentifikasi daam penelitian ini adalah : kurangnya keindahan tulisan (tiadanya jarak antar kalimat dan jarak tiap kata/huruf, bentuk huruf, kemiringan huruf, tekanan pada kertas serta cara memegang pensil), kesulitan mengeja (pengurangan huruf, mencerminkan dialek, pembalikan huruf dalam kata, pembalikan konsonan atau vokal, pembalikan suku kata, penambahan huruf), kesalahan memenggal suku kata, tanpa memperhatikan huruf besar dan kecil. Diskalkulia yang teridentifikasi diperlihatkan dalam bentuk : Kekurangan pemahaman tentang (1) simbol, (2) nilai tempat, (3) perhitungan, (4) penggunaan proses yang keliru, (5) tulisan yang tidak terbaca.
Para siswa yang teridentifikasi mengalami LD tercatat memiliki capaian pretasi yang tergolong rendah di kelasnya. Di dalam kegiatan belajar di kelas mereka seringkali tertinggal. Peran guru kurang banyak membantu karena guru hanya memberi tekanan agar siswa mengejar ketertinggalannya. Para siswa tersebut diangap bodoh, malas atau memiliki kapasitas intelektualnya terbatas. Pada akhirnya yang terjadi adalah mereka kurang mendapatkan dukungan untuk mengerjakan tugas-tugas dengan baik. Pola kegiatan belajar yang kurang kondusif tersebut terakumulasi sejak jenjang kelas-kelas sebelumnya, selain itu hal ini juga disertai oleh keterlambatan kematangan sosial.
Status sosial ekonomi juga berpengaruh tehadap kondisi LD. Para siswa yang berasal dari status menengah kebawah cenderung lebih banyak mengalami LD. Faktor biologis yang bersifat genetis dan faktor lingkungan menentukan kondisi fisiologis pada perkembangan otak. Sebagaimana diketahui LD merupakan katagori gangguan Disfungsi Minimal Otak.
b. Simpulan Model Intervensi untuk Menangani Gangguan Kesulitan Belajar
Berdasarkan hasil identifikasi gangguan kesulitan beajar siswa, maka dapat ditarik suatu kesimpulan tentang Model Intervensi yang dapat digunakan dalam menangani siswa berkesulitan belajar di kelas menggunakan Program Pendidikan Individual (Individual Education Program/IEP) yang terintegrasi dan sesuai dengan kondisi gangguannya. Adapun intervensi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1) Menangani Disleksia :
- Metode Multisensori
- Metode Orton-Gillingham
- Metode Fernald
2) Menangani Disgrafia
- Model Ekspresi Tertulis
- Model intervensi dalam hal meningkatkan kemampuan mengeja (spelling)
- iii. Model intervensi dalam hal menulis dengan tangan (handwriting)
3) Menangani Diskalkulia
Metode IEP yang digunakan menekankan pada oprasonalisasi konsep-konsep abstrak menjadi lebih konkrit. Guru memfasilitasi strategi yang diguanakan dalam IEP
4.2. Saran
Hal-hal yang disarankan dari hasil penelitian ini :
- Guru meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap problem – problem balajar yang dialami siswa
- Guru meningkatkan kemampuan dalam merancang dan mengelola prosess belajar mengajar yang mengakomodasi siswa dengan gangguan kesulitan beajar (misalnya, mengurangi porsi tugas-tugas dan target penguasaan bahan-bahan bacaan bagi siswa yang mengalami disleksia). Selanjuntya guru dapat menggantikan dengan tugas yang dikerjakan sesuai keunggulan siswa
- Guru memberikan intervensi pada siswa berkebutuhan khusus dalam bentuk individual Individual Education Program) sesuai kebutuhan dan kondisi gangguan yang dialami siswa
- Kepala Sekolah dan guru merancang mekanisme deteksi dini gangguan kesulitan belajar ketika siswa mengalami permasalahan akademik
- Kepala sekolah dan para guru perlu melakukan koordinasi dalam menangani gangguan kesulitan belajar.
- Kepala sekolah memberikan penghargaan bagi guru yang mampu menangani siswa dengan gangguan kesulitan belajar
- Pemerintah perlu mengambil keputusan tentang kebijakan pendidikan berupa perluasan ranah indikator kompetensi siswa selain kompetensi akademik. Misalnya : Keberhasilan pendidikan menggunakan indikator berbagai kompetensi dalam ranah kecerdasan jamak (multiple intelligence). Agar prestasi anak tidak terfokus pada kemampuan akademik yang didasarkan pada baca, tulis dan hitung. Hal ini terutama untuk memahami dan mengoptimalkan potensi non akademik siswa berkesulitan belajar yang tergolong Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
- Pemerintah perlu memfasilitasi sekolah agar mampu mengelola siswa yang mengalami gangguan kesulitan belajar melalui program pendidikan inklusi. Fasilitasi ini misalnya berupa pelatihan guru tentang gangguan kesulitan belajar, alat peraga pendukung identifikasi dan intervesi serta referral dengan profesional terkait (psikolog)
- Pemerintah disarankan untuk melakukan edukasi kepada masyarakat (sosialisasi) tentang hambatan-hambatan perkembangan yang dapat mengganggu prestasi akademik, sehingga masyarakat dapat memahami bahwa rendahnya prestasi akademik dapat dakibatkan oleh berbagai hal, termasuk adanya gangguan kesulitan belajar.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, M. (1999). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Fletcher, J.M., Foorman, B.R., Boudousquie, A., Barnes, M.S., Schatschneider, C & Francis, D.J (2002). Assesment of Reading and Learning Disabilities A Research-Based InerventionOriented Approach. Journal Of School Psychology. Vol. 40 No. 12 pp. 27-63
Graziano, A.M. (2002). Developmental Disabilities: Introduction to A Diverse Field. Boston: Allyn and Bacon.
Hallahan, D.P. dan Kauffman, J.M. (1988). Exceptional Children: Introduction to Special Education. (4th ed). USA: Prentice Hall.
Lerner, J. (2003). Learning Disabilities: Theories, Diagnosis, and Teaching Strategies. Boston: Houghton Mifflin Company.
Lyon, G.R., Fletcher, J.M., Shaywitz, S.E., Shaywitz, B.A., Torgesen, J.K., Wood, F.B., Schulte, A., Olson, R. (2001). Rethinking Learning Disabilities. Thomas B. Fordham Foundation. (Online). Diakses 9 Mei 2003. Sumber: http://www.edexcellence.net/library/ special_ed/special_ed_ch, 1 2.pdf.
Mathew, T,S. (2003). A Review of The Learning Disability Evaluation Scale (LDES). Journal of School Psychology, Vol 39, No.3 pp. 279-284
Sanders, M. (2001). Understanding Dyslexia and the Reading Process: A Guide for Educators and Parents. Boston: Allyn and Bacon.
Statistik Pendas. (2004). Data Siswa SD/MI Pemerintah Kota Surabaya. Surabaya: Kantor Diknas Pemkot
Sternberg, R.G & Grigorenko E.L (2002). Difference Scores in The Identification of Children With Learning Disabilities It’s Time to Use A different Method. Journal of School Psychology Vol. 40 No. 1 pp. 65-83
Truscott, S.D. & Frank, A.J. (2001). Does The Flynn Effect Affect IQ Scores of Students Classified as LD ?. Journal of School Psychology, Vol. 39 No. 4 pp. 3 19-334
Whitmore, K., Hart, H. dan Willems, G. (Eds). (1999). A Neurodevelopmental Approach to Specific Learning Disorders. London: Mac Keith Press.